Jangan Dibalik .. Kalianlah Yang Harus Berkoordinasi Kepada Ulama

Manusia memang aneh, Allah ﷻ mengatakan A, tapi mereka kontra A. Jika ini datangnya dari orang yang tidak mengimani Allah ﷻ, tidak mengimani Al Quran, barangkali bisa dimaklumi, tapi ini datangnya dari muslim sendiri yang mengaku mengimani Allah dan kitab suciNya.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
َ
“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)

Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب

.Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), makna keduanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Juz. 10, Hal. 108, Ihya’ Ats Turats Al ‘Arabi, 1985M-1405H. Beirut-Libanon)

Jadi, kalianlah yang mesti berkoordinasi dengan para ulama, meminta nasihat dan petunjuknya, menanyakan hukumnya, jangan justru ulama disuruh-suruh untuk tunduk dengan maunya kalian. Lalu, menggoyang independensi fatwa mereka dengan segala macam jamuan.

Apakah mereka-mereka ini mau seperti yang disindir oleh Nabi ﷺ?

Dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Bukan termasuk umatku, orang yang tidak menghormati orang besar kami (orang tua, pen), tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak para ulama kami.” (HR. Ahmad No. 22755, Al Bazzar No. 2718, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Atsar No. 1328, Asy Syaasyi dalam Musnadnya No. 1272. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 22755)

Ataukah mereka mau seperti yang Nabi ﷺ kabarkan tentang kondisi akhir zaman …, bahwa manusia akhirnya bertanya agama kepada tokoh-tokoh bodoh (ru’uusan juhhaala) saja ?

…. اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا و اضلوا

… Maka manusia mengangkat tokoh-tokoh bodoh, mereka ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, lalu mereka sesat dan menyesatkan. (HR. Al Bukhari No. 98, Muslim No. 4828)

Ayo .. kita dudukan para ulama kita sesuai haknya sebagaimana perintah Allah dan RasulNya.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

Farid Nu’man Hasan

Fatwa Imam Ibnul Qayyim Tentang Mengucapkan Selamat Natal

Berikut ini fatwa Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat hari raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll, pen) adalah hal yang diharamkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.

Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal. 162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

Farid Nu’man Hasan

Khitbah (Melamar/Meminang) (Bag. Terakhir)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

🔟 Mengambil Kembali Hadiah/Seserahan

Dalam tradisi khitbah di tanah air, biasanya pihak laki-laki membawa barang-barang hadiah untuk pihak wanita. Ada yang membawanya saat khitbah, ada pula saat akad nikah. Ini luwes saja. Dalam kitab-kitab fiqih ini juga dibahas dan hal yang baik.

Lalu, bagaimana jika khitbah dibatalkan, apakah hadiah atay seserahan tersebut diambil lagi atau sudah milik pihak wanita?

Harta yang sudah kita hibahkan, sedekah, waqaf, dan semisalnya, tidak boleh diambil lagi.

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ

“Orang yang mengambil kembali pemberiannya, bagaikan anjing yang menjilat muntahnya sendiri, kami tidak memiliki sebuah perumpamaan yang buruk semisal ini “. (HR. Al Bukhari No. 2589, 6975, Muslim No. 1622)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

ولعل هذا أبلغ في الزجر عن ذلك وأدل على التحريم

Dan bisa jadi ini peringatan yang paling keras tentang masalah ini, dan menunjukkan keharamannya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/435)

Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

فيه دلالة على تحريم الرجوع في الهبة وهو مذهب جماهير العلماء

Pada hadits ini terdapat dalil keharaman mengambil lagi pemberian. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. (Subulus Salam, 3/90)

Demikianlah secara umum, namun ada pengecualian, yaitu dibolehkan mengambil kembali pemberian jika pemberian orang tua ke anaknya. Misal anak diberikan HP, tp HP itu membuatnya lupa shalat dan belajar, maka tidak apa-apa diambil lagi sebagai hukuman dan pendidikan bagi anak.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده

Tidak halal bagi seseorang memberi suatu pemberian lalu dia ambil kembali, kecuali orangtua, dia boleh mengambil kembali apa yang telah diberikan kepada anaknya”. (HR. At Tirmidzi No. 1298. Hadits ini shahih)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkomentar:

والعلم على هذا الحديث عند بعض أهل العلم من بعض أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وغيرهم قالوا من وهب هبة لذي رحم محرم فليس له أن يرجع فيها ومن وهب هبة لغير ذي رحم محرم فله أن يرجع فيها ما لم يثب منها وهو قول الثوري وقال الشافعي لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده واحتج الشافعي بحديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده

Sebagian ulama dari sahabat nabi dan yang lainnya mempraktekkan hadits ini. Mereka berkata, “Seseorang yang memberi suatu pemberian kepada kerabat mahramnya (orang yg haram menikah dengannya), dia boleh mengambil kembali pemberian tersebut, sementara orang yang memberi suatu pemberian kepada orang lain yang bukan mahramnya, maka dia tidak boleh mengambil kembali pemberian tersebut. Demikian ini juga  pendapat Ats-Tsauri. Asy Syafi’i berkata, “Tidak halal bagi seseorang yang memberi suatu pemberian. lalu mengambilnya kembali. kecuali orangtua, dia boleh mengambil apa yang telah diberikan kepada anaknya.” Asy Syafi’i berdalih dengan hadits Abdullah bin Umar, dari Nabi  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  beliau bersabda:  “Tidak halal bagi seseorang memberikan snatu pemberian lalu mengambilnya kembali, kecuali orangtua”. Dia boleh mengambil kembali apayang telah diberikan kepada anaknya. (Sunan At Tirmidzi No. 1299)

Sebagian ulama membolehkan mengambil lagi barang seserahan itu. Mereka qiyaskan itu dengan jual beli ‘urbun (panjer/DP) dimana mayoritas ulama mengatakan tidak boleh jika ada pembatalan lantas panjer itu menjadi milik pedagang, mesti kembali ke pembelinya.

Pendapat yang paling kuat adalah pendapat mayoritas ulama  bahwa seserahan tidak boleh diambil lagi. Qiyas pihak yang membolehkan tidaklah pas, sebab ini bukan masalah jual beli, tapi hadiah atau pemberian yang didasari kerelaan.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌴🌻🌺☘🌷

Farid Nu’man Hasan

Bahasan tentang khitbah:

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 1

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 2

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 3

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 4

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 5

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 6

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag Terakhir

Khitbah (Melamar/Meminang) (Bag. 6)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

7⃣ Mencari Informasi Tentang Kepribadian

Ini bukan ghibah. Tidak masalah dilakukan untuk memperteguh dan memantapkan pernikahan. Sebab khitbah itu masih janji  (Al Wa’du) untuk menciptakan ikatan (Al ‘Aqdu), bukan ikatan itu sendiri. Sehingga kemungkinan untuk lanjut dan batal masih terbuka. Hal ini bukan termasuk ghibah yang diharamkan, tapi ini adalah upaya taqwim yang dibolehkan.

Hal ini pernah terjadi dan dialami seorang shahabiyah pada masa Nabi ﷺ, yaitu Fathmah binti Qais Radhiallahu ‘Anha. Beliau menceritakan kepada Nabi ﷺ, telah dilamar oleh dua laki-laki Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhuma dan Abu Jahm Radhiallahu ‘Anhu.

Maka, Nabi ﷺ memberikan keterangan:

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ

“Ada pun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari bahunya (maksudnya suka memukul), sedangkan Muawiyah orang susah tidak ada hartanya. Nikahlah kamu dengan Usamah bin Zaid.” Aku (Fathimah binti Qais) tidak menyukainya. Beliau bersabda: “Nikahlah kamu dengan Usamah.” Maka aku menikahinya, lalu Allah menjadikan banyak kebaikan padanya dan aku begitu bahagia. (HR. Muslim No. 1480)

8⃣  Jarak Antara Khitbah dan Pernikahan

Tidak ada keterangan secara spesifik, baik Al Quran dan As Sunnah, tentang ketentuan jarak antara khitbah dan pernikahan. Hal ini disesuaikan dengan kematangan, persiapan, masing-masing pihak, tanpa melupakan kepantasan yang berlaku di masyarakat (‘Urf). Kedua pihak bisa menyepakati sesuai kerelaan dan kesiapannya, bisa hitungan bulan, atau bahkan tahunan. Hanya saja mempercepat lebih baik, sebab penundaan sekian lama akan membuka peluang pintu maksiat. Biasanya mereka sudah saling mencintai, ada keinginan kuat untuk bertemu, dan rindu. Jika ini ditunda lama-lama, maka khawatir terjadi madharat.

Sebaiknya masa-masa jeda digunakan untuk memperbaiki diri, niat, skill rumah tangga, dan sebagainya, untuk kebaikan bersama. Tidak masalah membicarakan persiapan teknis pernikahan, yang penting tanpa khalwat.

9⃣ Lamaran Dibatalkan

Lamaran bisa saja dibatalkan baik sebelumnya sudah diterima atau masih pikir-pikir. Baik oleh laki-laki pelamar atau wanita yang dilamar. Bisa saja setelah berlangsung lamaran salah satu dari mereka berpikir ulang untuk membatalkan setelah mendapatkan berita buruk yang valid tentang calonnya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Fathimah binti Qais dalam point 7 di atas.

Ada pun jika pembatalannya tidak jelas alasannya, apalagi tiba-tiba dia tertarik dengan yang lebih kaya –misalnya- maka ini pembatalan yang tercela, walau dia punya hak untuk itu. Ini sama dengan membatalkan janji dengan alasan yang tidak benar, dan merupakan bentuk kemunafikan.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

إن الخطبة مجرد وعد بالزواج، وليست عقدا ملزما، والعدول عن إنجازه حق من الحقوق التي يملكها كل من المتواعدين. ولم يجعل الشارع لا خلاف الوعد عقوبة مادية يجازي بمقتضاها المخلف،وإن عد ذلك خلقا ذميما، ووصفه بأنه من صفات المنافقين، إلا إذا كانت هناك ضرورة ملزمة تقتضي عدم الوفاء. ففي الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: (آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا اؤتمن خان)

Sesungguhnya  khitbah itu baru semata-mata janji untuk pernikahan, dia bukan akad itu sendiri. Dan pembatalan adalah hak di antara orang-orang yang memiliki janji. Terhadap orang yang mengingkari janji, Islam tidak ada formulasi hukuman materil, sekalipun itu dianggap sebagai akhlak tercela dan mensifatkannya sebagai sifat orang-orang munafik, kecuali jika ada alasan yang benar yang membuat pantas tidak memenuhi janji.

Dalam hadits Shahih di sebutkan, dari Rasulullah ﷺ bahwa dia bersabda: “Ciri-ciri munafik ada tiga: jika bicara dia bohong, jika janji dia ingkari, dan jika diberi amanah dia khianat. (Fiqhus Sunnah, 2/31)

Bersambung …

🌸🍃🌾🌻🌴🌺☘🌷
✍ Farid Nu’man Hasan

Bahasan tentang khitbah:

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 1

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 2

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 3

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 4

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 5

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag 6

Khitbah (Meminang/Melamar) Bag Terakhir

scroll to top