Tidak Bai’at Maka Islamnya Tidak Sah?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz,ada kelompok yg diwajibkan kalau masuk kelompoknya harus dibaiat,klw tidak mau katanya islam kita belum sah,apakh benar pernyataan tersebut..ustadz..

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Jika seseorang dilahirkan dari keluarga muslim, maka ijma’ bahwa org tersebut telah Islam, tidak perlu baginya syahadat ulang. Berdasarkan surat Al A’raf 172, dan hadits:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka bapaknyalah yang mebuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah (w. 852H):

وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام

“Pendapat yang paling masyhur bahwasanya maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar: ‘Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.’ Para ulama telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud ayat: “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” adalah Islam.” (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)

Jika dia pernah diubah oleh orangtuanya menjadi kafir, maka untuk kembali kepada Islam adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Jadi, mengucapkan dua kalimat syahadatlah sebagai madkhal (pintu masuk) kepada Islam.

Ada pun bai’at adalah mekanisme antara rakyat kepada pemimpinnya atau anggota sebuah komunitas kepada pimpinannya. Ini bukan penentu keislaman. Jika seseorang tidak berbaiat maka dia tetap muslim. Di masa konflik Ali dan Muawiyah Radhiallahu ‘Anhuma ada 7 sahabat nabi senior yang tidak berbai’at kepada keduanya, tentunya tidak bermakna mereka telah murtad.

Ada pun hadits yang berbunyi:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)

Banyak manusia dan kelompok Islam teracuni pemikiran takfir (mudah mengkafirkan) gara-gara permasalahan ini. Hal ini terjadi karena penafsiran mereka yang keliru dan menyimpang terhadap makna hadits tersebut, dan tidak merujuk kepada penafsiran para Ahli, yakni para ulama, tapi merujuk tafsiran guru ngaji mereka demgan bujuk rayuan yang membius.

Kita lihat, apa sih makna miitatan jahiliyah (mati dalam keadaan jahiliyah) dalam hadits tersebut.

Apakah orang yang belum berbai’at lalu dia mati, matinya terhukum kafir. Sebagaimana sangkaan sebagian kelompok? Saya akan kutip syarah (penjelasan) yang dilakukan beberapa imam terpercaya umat ini, di antaranya Al Imam An Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim, tentang makna miitatan jahiliyah berikut:

هِيَ بِكَسْرِ الْمِيم ، أَيْ : عَلَى صِفَة مَوْتهمْ مِنْ حَيْثُ هُمْ فَوْضَى لَا إِمَام لَهُمْ

Dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). ( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/322. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sekarang penjelasan Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar, sebagai berikut:

وَالْمُرَادُ بِالْمِيتَةِ الْجَاهِلِيَّةِ وَهِيَ بِكَسْرِ الْمِيمِ أَنْ يَكُونَ حَالُهُ فِي الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إمَامٌ مُطَاعٌ لِأَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَعْرِفُونَ ذَلِكَ ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَمُوتَ كَافِرًا بَلْ يَمُوتَ عَاصِيًا

Dan yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 7/171. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Dengan demikian, jika ada umat Islam yang tidak berbai’at kepada pemimpin yang sah d8 sebuah negeri lalu jika dia mati, matinya seakan manusia yg hidup di masa jahiliyah yang dahulu tidak miliki imam, dan bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Bukan kafir sebagaimana tuduhan sebagian manusia.

Hal Itu jika berbai’at kepada khalifah yang sah dan diakui seluruh dunia Islam bukanlah kekafiran, maka apalagi dengan mencabut bai’at dr pemimpin sebuah kelompok saja dari umat Islam, yang kita tidak mengenal siapa pimpinannya?

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Berenang Saat Puasa

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bolehkah berenang ketika puasa? (Grup A23)

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika dugaan kuatnya orang yang berenang tersebut mampu menjaga air tersebut tidak masuk atau tertelan maka umumnya ulama mengatakan hal itu boleh, namun itu baiknya dihindari sebagai tindakan preventif.

Abu Bakar berkata, telah ada yang bercerita kepadaku seseorang:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَر

“Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengguyurkan air ke kepalanya, lantaran rasa haus dan panas.” (HR. Malik, Al Muwaththa, No. 561, riwayat Yahya Al Laits. Ahmad No. 16602. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 16602)

Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji Rahimahullah menjelaskan:

وَقَدْ بَلَغَ بِهِ شِدَّةُ الْعَطَشِ أَوْ الْحَرِّ أَنْ صَبَّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ لِيَتَقَوَّى بِذَلِكَ عَلَى صَوْمِهِ وَلِيُخَفِّفْ عَنْ نَفْسِهِ بَعْضَ أَلَمِ الْحَرِّ أَوْ الْعَطَشِ وَهَذَا أَصْلٌ فِي اسْتِعْمَالِ مَا يَتَقَوَّى بِهِ الصَّائِمُ عَلَى صَوْمِهِ مِمَّا لَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ مِنْ التَّبَرُّدِ بِالْمَاءِ وَالْمَضْمَضَةِ بِهِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعِينُهُ عَلَى الصَّوْمِ وَلَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ ؛ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا فِي فَمِهِ مِنْ الْمَاءِ وَيَصْرِفُهُ عَلَى اخْتِيَارِهِ وَيُكْرَهُ لَهُ الِانْغِمَاسُ فِي الْمَاءِ لِئَلَّا يَغْلِبَهُ الْمَاءُ مَعَ ضِيقِ نَفَسِهِ فَيَفْسُدَ صَوْمُهُ فَإِنْ فَعَلَ فَسَلِمَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ

“Beliau mengalami haus atau panas yang sangat, sehingga beliau mengguyurkan air ke kepalanya untuk menguatkan puasanya, dan meringankan sebagian rasa sakit yang dialami dirinya lantaran panas atau haus. Ini adalah hukum dasar dalam memakai apa saja yang bisa menguatkan orang berpuasa, yakni tidaklah membatalkan puasa, baik berupa menyejukkan diri dengan air dan berkumur-kumur dengannya. Karena hal itu bisa membantunya dalam puasa dan tidaklah membatalkan puasanya, karena dia mampu menjaga mulutnya dari air dan bisa mengatur air. Dan dimakruhkan berendam dalam air karena air telah menguasai (menutupi) dirinya dan membuatnya disempitkan dnegan air tersebut, sehingga puasanya bisa dirusak olehnya. Tetapi jika dia melakukan itu dan selamat dari hal itu, maka tidak apa-apa.” (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’ , Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam)

Tentang hadits di atas, berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَكْسِرَ الْحَرَّ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَعْضِ بَدَنِهِ أَوْ كُلِّهِ ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ الْجُمْهُورُ ، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ الْأَغْسَالِ الْوَاجِبَةِ وَالْمَسْنُونَةِ وَالْمُبَاحَةِ .
وَقَالَتْ الْحَنَفِيَّةُ : إنَّهُ يُكْرَهُ الِاغْتِسَالُ لِلصَّائِمِ ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَلِيٍّ مِنْ النَّهْيِ عَنْ دُخُولِ الصَّائِمِ الْحَمَّامَ

“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya bagi orang puasa mengurangi rasa panas dengan mengguyurkan air ke sebagian badannya atau seluruhnya (seperti mandi, pen), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas ulama), dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunah, dan mubah (semuanya hukumnya sama).

Kalangan Hanafiyah berkata: Sesungguhnya mandi adalah makruh bagi orang berpuasa, mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ali, berupa larangan bagi orang puasa untuk memasuki kamar mandi.” (Nailul Authar, 4/585. Lihat Aunul Mabud, 6/352)

Tetapi riwayat larangan tersebut adalah dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Ibid)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

إذا كان يغلب على ظن السابح عدم دخول الماء إلى معدته من الفم أو الأنف ، وكان يحسن السباحة بحيث يضمن الحفاظ على صيامه ، فلا بأس عليه حينئذٍ من السباحة ، ويكون حكمها حكم الاغتسال للصائم ، وقد نص العلماء على جوازه ، ولو للتبرد فقط

Jika dugaan kuat orang yang berenang tersebut bisa menjaga masuknya air ke perut baik lewat mulut atau hidung, dia pun berenang dgn baik yang dapat menjamin terjaga puasanya, maka dlm kondisi seperti itu tidak masalah berenang, itu hukumnya sama dengan mandi, para ulama mengatakan hal itu dibolehkan walau untuk menyegarkan badan semata-mata

قال البخاري رحمه الله : بَاب اغْتِسَالِ الصَّائِمِ . وَبَلَّ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ثَوْبًا فَأَلْقَاهُ عَلَيْهِ وَهُوَ صَائِمٌ

Al Bukhari Rahimahullah berkata: “Mandi Bagi Orang Berpuasa. Bahkan Ibnu Umar Merendam Pakaiannya dan Menutupi Dirinya Dengan Itu Padahal Dia Sdg Pausa.”

وَدَخَلَ الشَّعْبِيُّ الْحَمَّامَ وَهُوَ صَائِمٌ .. وَقَالَ الْحَسَنُ : لا بَأْسَ بِالْمَضْمَضَةِ وَالتَّبَرُّدِ لِلصَّائِم …

Asy Sya’bi masuk ke tempat pemandian padahal dia sdg puasa. Al Hasan berkata: “Tidak masalah berkumur-kumur dan menyegarkan badan bagi yg berpuasa.”

(Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 65734)

Tapi jika dugaan kuatnya akan tertelan, maka terlarang berenang saat berpuasa.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

إذا غلب على ظنه دخول الماء إلى جوفه بسبب السباحة ، فلا يجوز له هذا الفعل ، ويحرم عليه أن يمارس السباحة في نهار رمضان . ودليل ذلك :

Jika dugaan kuatnya air akan tertelan saat berenang maka tidak dibolehkan melakukan aktivitas ini. Maka diharamkan berenang di siang Ramadhan. (Ibid)

Imam Al Bujairami mengatakan:

لو عرف من عادته أنه يصل الماء إلى جوفه من ذلك لو انغمس ، ولا يمكنه التحرز عن ذلك ، حرم عليه الانغماس

Seandainya diketahui bahwa dengan berendam dapat tertelannya air sampai ke perut dan hal tidak dapat dihindari maka haram atasnya berendam saat itu.

(Hasyiyah Al Bujairami,2/74)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Ziarah Kubur di Hari Raya

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ziarah kubur di hari raya, baik ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha atau di waktu-waktu lainnya, tentu dibolehkan dan itu bagian dari keumuman hadits anjuran ziarah kubur. Para fuqaha pun tidak mempermasalahkan hal itu dari zaman ke zaman.

Ada pun yg terjadi di berbagai negeri muslim baik asia tenggara, afrika, sebagian timur tengah, di antara mereka ziarah kubur di hari raya atau setelahnya, itu adalah pilihan waktu yang lapang didasari kebiasaan semata, bukan bagian dari sunnah dan tidak ada keutamaan khusus dibanding hari-hari lainnya. Ziarahnya sendiri Sunnah, ada pun pilihan harinya itu mubah. Karena biasanya manusia memiliki waktu lebih lapang saat liburan hari raya.

Dalam berbagai rujukan kitab-kitab mu’tabarah para ulama dan huffazh, berziarah kubur di saat hari raya juga disebutkan. Sebagian ulama mengatakan, di antara alasan kenapa Rasulullah ﷺ menempuh jalan yang berbeda antara pergi dan pulang dari shalat ‘id adalah untuk ziarah kubur kerabatnya.

Misalnya, Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani mengatakan bahwa salah satu makna atau kemungkinan kenapa Rasulullah ﷺ pulang shalat ‘id menempuh jalan yang berbeda adalah:

وقيل: ليزور أقاربه الأحياء والأموات

Dikatakan, untuk mengunjungi kerabatnya yang masih hidup dan sudah wafat (maksudnya ke kubur). (Fathul Bari, 2/473)

Imam Ad Damiri juga menjelaskan:

وقيل: ليزور قبور أقاربه فيهما

Dikatakan, dalam rangka menziarahi kubur kerabatnya di dua hari raya tersebut. (An Najm Al Wahj Syarh al Minhaj, 2/547)

Sementara Al Hafizh Al Barmawi, menjelaskan beberapa kemungkinan kenapa Rasulullah ﷺ memilih jalan lain saat pulang shalat ‘id:

… أو يدعو لأهل قُبورهما، أو يتصدَّق على فقرائهما

Atau untuk mendoakan ahli kubur atau bersedekah kepada fuqara (Al Luma’ Ash Shabih, 4/385)

Imam Badruddin Al ‘Aini juga mengatakan:

ليزور أَقَاربه الْأَحْيَاء والأموات

Untuk mengunjungi kerabatnya yang masih hidup dan sudah wafat. (‘Umdah Al Qari, 6/306)

Semua keterangan ini memiliki dasar yaitu hadits shahih, dari Bara bin ‘Azib, Beliau menceritakan:

خرج النبي صلى الله عليه وآله وسلم يوم أضحى إلى البقيع، فصلى ركعتين، ثم أقبل علينا بوجهه ….

Pada hari ‘Idul Adha Rasulullah ﷺ keluar menuju Baqi’ (kuburan di Madinah), lalu Beliau shalat dua rakaat dan menghadapkan wajahnya kepada kami …. (HR. Bukhari no. 976)

Hal serupa juga diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Al Marasil , dari Asy Sya’bi -secara mursal- bahwa Rasulullah ﷺ berziarah ke Baqi’ pada Idul Fitri dan Idul Adha. Riwayat ini juga disebutkan oleh Al Mizzi dalam Tuhfatul Asyraf, juga Abdul Haq Al Isybili dalam Al Ahkam Al Wasathi.

Syaikh Syauqi ‘Alam Hafizhahullah, mufti Mesir saat ini, mengatakan:

زيارة المقابر مندوب إليها في جميع الأوقات؛ لأن الأمر بها جاء مطلقًا، فشمل ذلك جميع الأوقات، وتزيد أفضلية زيارتها في الأيام المباركة التي يُلتمس فيها مزيد العطاء من الله تعالى، ومنها أيام العيدين؛ لما في ذلك من استشعار معاني الصلة والبر، والدعاء بالرحمة والمغفرة لمن توفي من الأهل والأقارب

Ziarah kubur dianjurkan di seluruh waktu karena perintahnya datang secara umum (mutlak), maka itu mencakup semua waktu, keutamaannya bertambah jika ziarahnya di waktu-waktu yang diberkahi yang didalamnya diperoleh tambahan limpahan dari Allah Ta’ala, di antara waktu tersebut adalah di dua hari raya. Sebab, di dalamnya terdapat kaitan berbagai makna silaturahim dan kebaikan, mendoakan rahmat dan ampunan bagi keluarga dan kerabat yang telah wafat. (masrawy.com, Selasa 9 April 2024)

Namun demikian, harus tetap memperhatikan adab dan ziarah kubur sesuai tuntunan syariat. Serta tidak dicampur dengan akhlak buruk atau kemaksiatan.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Khutbah Id Adalah Sunnah, Bukan Rukun

Ada seorang jamaah mengirimkan video ceramah tiktok seorang “Ustadzah” yang mengatakan Khutbah ‘Id adalah rukun dan wajib, jika tidak, maka shalat ‘Id tidak sah.

Ini kekeliruan fatal. Semoga Allah Ta’ala luruskan jalannya.

Mendengarkan khutbah ‘Id bukanlah kewajiban apalagi rukun. Ini tidak ada khilafiyah para ulama sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Qudamah.

Berbeda dengan khutbah Jumat yang memang kewajiban dalam paket aktivitas shalat Jumat. Kami berbaik sangka mungkin Ustadzah tersebut terkecoh menganggap aturan dalam shalat ‘Id sama dengan khutbah Jumat.

Dari Abdullah bin As Saa’ib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Saya menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah ﷺ, ketika shalat sudah selesai, beliau bersabda:

“Kami akan berkhutbah, jadi siapa saja yang mau duduk mendengarkan khutbah maka duduklah, dan yang ingin pergi, pergilah!”

(HR. Abu Daud No. 1155, Shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 2289)

Hadits ini menunjukkan dengan tegas bahwa mendengarkan khutbah bukan kewajiban, tetapi sunah. Namun, muslim yang baik, yang mengakui cinta Rasulullah ﷺ tidak elok dia meninggalkan sunah nabi pada saat dia mampu menjalankannya.

Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan:

الخطبة بعد صلاة العيد سنة والاستماع إليها كذلك

Khutbah setelah shalat ‘Id adalah sunah, mendengarkannya juga begitu. (Fiqhus Sunnah, 1/321)

Kesunnahan khutbah shalat id adalah berdasarkan kesepakatan empat madzhab.

1. Hanafiyah (al Bahr ar Raiq, 2/174-175. Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/175)

2. Malikiyah (Hasyiyah ad Dasuqi, 1/400)

3. Syafi’iyah (al Majmu’, 5/21-22, Mughni Muhtaj, 1/311)

4. Hanabilah (Kasysyaf al Qinaa’, 2/56. al Inshaf, 2/302)

Walau ini sunnah tidak berarti kita meremehkan, tapi juga tidak dibenarkan mengubahnya dan menganggapnya sebagai rukun, sebab itu bertabrakan dengan sunah Nabi ﷺ dan kesepakatan para fuqaha Islam.

Demikian. Wallahul Musta’an wa ‘Alaihit Tuklan

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top