Dampak Buruk Penghasilan dan Harta Haram

Rasulullah ﷺ bersabda:

يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidak akan pernah masuk surga daging yang tumbuh dari harta haram, neraka lebih layak baginya

Takhrij Hadits:

Hadits ini diriwayatkan oleh:

– Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, jilid. 19, hal. 141, no hadits.

– Juga Ath Thabarani dalam Al Awsath, jilid. 4, hal. 378, juga dari Ka’ab bin ‘Ujrah, dengan lafaz sedikit berbeda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

Tidak akan pernah masuk surga daging yang tumbuh dari harta haram, dan setiap daging yang tumbuh dari harta haram maka neraka lebih layak baginya.

Hadits serupa juga diriwayatkan dari berbagai jalur sahahat lainnya, seperti:

– Abu Bakar ash Shiddiq (Lihat Al Baihaqi, Syu’abul Iman, jilid. 7, hal. 505)

– Abdurrahman bin Samurah (Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, jilid. 4, hal. 141, no. 7162)

– Jabir bin Abdillah (Lihat Al Jami’ Ash Shahih Lissunan wal Masanid, jilid. 6, hal. 169)

– Ibnu ‘Abbas (Ismail Al Ashfahani, At Targhib wat Tarhib, jilid. 2, hal. 313-314)

Sanad hadits ini satu sama lain saling menguatkan, sehingga para ulama menyatakan hasan atau shahih, di antaranya:

– Imam At Tirmidzi (Al ‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, hal. 437)

– Imam Al Hakim (Al Mustadrak no. 7162)
– Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish
– Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ no. 4519)

Sementara itu, Imam Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

كل لحم أنبته السحت فالنار أولى به ” قيل يارسول الله وما السحت؟ ، قال: ” الرشوة فى الحكم

“Setiap daging yang tumbuh dari “as suhtu” (harta haram) maka neraka lebih layak baginya.” Lalu ada yang bertanya: “Apakah as suhtu?” Beliau menjawab: “Risywah (sogokan-suap) dalam hukum (peradilan)”

(Fathul Bari, jilid. 4, hal. 454, sanadnya semua rawinya terpercaya namun mursal)

Pelajaran dari hadits:

– Hadits ini menunjukkan peringatan bahaya di akhirat bagi yang memenuhi kebutuhan hidupnya dari As Suhtu (haram), baik itu penghasilan, makanan, dan minuman. (Ash Shan’ani, At Tahbir Li Idhah Ma’ani At Taysir, jilid. 3, hal. 741)

– Ancaman neraka dan tidak akan masuk surga merupakan bukti perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar.

– Salah satu harta haram yang dimaksud adalah risywah (sogok-suap) dalam peradilan, dan tentunya berlaku pada suap secara umum.

– Ancaman pada hadits ini berlaku bagi yang sampai wafat dia tidak bertobat dan belum diampuni. Lalu, apakah di neraka abadi? Jika dia masih meyakini harta haram itu adalah haram, maka dia masih muslim, dan keadaannya sesuai kehendak Allah Ta’ala apakah diampuni atau disiksa sesuai kadar dosanya. Namun jika dia menghalalkan yang jelas haramnya, maka dia telah murtad, inilah yang dinyatakan tidak masuk surga sama sekali.

– Imam Ali Al Qari menjelaskan:

أَيْ دُخُولًا أَوَّلِيًّا مَعَ النَّاجِينَ ; بَلْ بَعْدَ عَذَابٍ بِقَدْرِ أَكْلِهِ لِلْحَرَامِ مَا لَمْ يُعْفَ عَنْهُ، أَوْ لَا يَدْخُلُ مَنَازِلَهُ الْعَلِيَّةَ، أَوِ الْمُرَادُ أَنْ لَا يَدْخُلَهَا أَبَدًا إِنِ اعْتَقَدَ حِلَّ الْحَرَامِ، وَكَانَ مَعْلُومًا مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ، أَوِ الْمُرَادُ بِهِ الزَّجْرُ وَالتَّهْدِيدُ وَالْوَعِيدُ الشَّدِيدُ، وَلِذَا لَمْ يُقَيِّدْهُ بِنَوْعٍ مِنَ التَّقْيِيدِ

(Tidak masuk surga) yaitu tidak masuk surga secara langsung bersama orang-orang yang selamat; melainkan setelah mendapat azab sesuai kadar dosa dia memakan harta haram, selama bagian itu tidak dimaafkan.

Atau (maknanya) ia tidak akan masuk ke tempat-tempat yang tinggi di surga.

Atau maksudnya, ia tidak akan masuk surga sama sekali jika meyakini kehalalan harta haram, padahal itu termasuk perkara agama yang aksiomatik (sudah diketahui secara pasti).

Atau maksud dari perkataan itu adalah sebagai bentuk larangan keras, ancaman, dan peringatan yang begitu keras. Oleh karena itu, maknanya tidak dibatasi dengan bentuk pengkhususan tertentu. (Mirqah Al Mafatih, jilid. 5, hal. 1899)

– Namun bagi mereka yang sempat bertobat dari penghasilan yang haram, dengan sebenar-benarnya tobat, menjauhi, menyesali, dan tidak mengulanginya, maka dia tidak termasuk dalam ancaman ini. Begitu pula bagi yang telah mendapatkan ampunan-Nya karena luasnya rahmat-Nya walau belum bertobat.

Imam Ali Al Qari melanjutkan:

أَمَّا إِذَا تَابَ أَوْ غُفِرَ لَهُ مِنْ غَيْرِ تَوْبَةٍ وَأَرْضَى خُصُومَهُ، أَوْ نَالَتْهُ شَفَاعَةُ شَفِيعٍ، فَهُوَ خَارِجٌ مِنْ هَذَا الْوَعِيدِ

Adapun jika ia telah bertobat, atau telah diampuni Allah tanpa taubat, dan ridha terhadap musuhnya, atau ia mendapatkan syafa’at dari yang memberi syafaat , maka ia keluar dari ancaman ini (tidak termasuk dalam ancaman tersebut). (Ibid)

Semoga Allah Ta’ala jauhkan kita dari penghasilan dan harta yang haram.

Doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

ALLAAHUMMAKFINII BIHALAALIKA ‘AN HARAAMIK, WA AGHNINII BIFADHLIKA ‘AMMAN SIWAAK (Ya Allah, cukupkanlah aku dengan kehalalan-Mu sehingga tidak memerlukan keharaman-Mu, dan jadikanlah aku kaya sehingga tidak butuh kepada selain-Mu). (HR. At Tirmidzi no. 3563, Imam At Tirmidzi berkata: hasan)

Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Numan Hasan

Di saat shalat, melakukan Gerakan Selain Gerakan Shalat

 PERTANYAAN:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Ustadz… Saya mau bertanya, ketika shalat (sendiri atau berjamaah) lalu kita bersin, dan hidungpun berair/meler/ingusan bolehkah kita meraih kain/tisu atau yang sejenis, untuk membersihkan itu? Atau dengan ujung sajadah/serban? Mohon penjelasannya

 JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة

Gerakan yang ada sebab, dalam rangka menjaga kekhusyuan dan kesempurnaan shalat, adalah gerakan yang dibolehkan. Baik itu membenahi peci, kenaikan kain sarung yang kedodoran, menutupi aurat yang tersingkap, melangkah merapatkan shaf, atau mengelap ingus yang meler saat pilek, dsb.

Hal ini berdasarkan beberapa hadits sbb:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersbada:

(اقتلوا الاسودين   في الصلاة: الحية والعقرب ) رواه أحمد وأصحاب السنن. الحديث حسن صحيح

“Bunuhlah oleh kalian dua binatang hitam saat kalian shalat: ular dan kala jengking.” (HR. Ahmad No.  7379, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 7379)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

قتل الحية والعقرب والزنابير ونحو ذلك من كل ما يضر وإن أدى قتلها إلى عمل كثير

“(Dibolehkan) Membunuh ular, kalajengking kumbang dan yang semisalnya yang bisa mengganggu shalat, walau pun dengan gerakan yang banyak untuk membunuhnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/261)

Hadits lainnya:

عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فاستفتحت فمشى ففتح لي ثم رجع الى مصلاه. ووصفت أن الباب في القبلة. رواه أحمد وأبو داود والنسائي والترمذي وحسنه

Dari ‘Aisyah, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di rumah dan pintu di depannya tertutup, ketika saya datang saya minta dibukakan pintu. Maka beliau berjalan dan membukakan pintu kemudian kembali shalat.” ‘Aisyah mengatakan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat. (HR. Ahmad No. 24027, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. Tahqiq Musnad Ahmad No. 24027)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:

فدل على أن مثل هذا العمل لا بأس به في الصلاة؛ لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله وهو القدوة والأسوة صلوات الله وسلامه وبركاته عليه

Maka, hadits ini menunjukkan bahwasanya hal yang semisal perbuatan ini adalah tidak apa-apa dilakukan saat shalat, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, dan dia adalah teladan dan contoh. (Syarh Sunan Abi Daud, 117. Al Misykat)

Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

Batas Bacaan Tasyahud Bagi Makmum Yang Masbuk

 PERTANYAAN:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Ustadz…. Saya mau bertanya, jika kita masbuk, sampai mana bacaan tasyahud kita saat imam di rakaat terakhir?


 JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة

Jika makmum tersebut masih tasyahud awal -walau imam tasyahud akhir- maka bacaan makmum hanya sampai syahadat menurut mayoritas ulama, kecuali menurut Imam Syafi’i di pendapat Qaul Qadim (pendapat lama) yang mengatakan disunahkan juga membaca shalawat.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وَهَذَا قد اخْتلف فِيهِ فَقَالَ الشَّافِعِي رَحمَه الله فِي الْأُم يصلى على النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فِي التَّشَهُّد الأول هَذَا هُوَ الْمَشْهُور من مذْهبه وَهُوَ الْجَدِيد لكنه يسْتَحبّ وَلَيْسَ بِوَاجِب وَقَالَ فِي الْقَدِيم لَا يزِيد على التَّشَهُّد وَهَذِه رِوَايَة الْمُزنِيّ عَنهُ وَبِهَذَا قَالَ احْمَد أَبُو حنيفَة وَمَالك وَغَيرهم

Hal ini diperselisihkan para ulama. Imam asy Syafi’i dalam Al Umm, menyatakan hendaknya bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di tasyahud awal. Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhabnya yaitu qaul jadid. Namun ini SUNNAH bukan wajib.

Ada pun dalam qaul qadim, tidak ada tambahan apa pun dalam bacaan tasyahud (hanya baca tahiyat saja, pen), sebagaimana kata Al Muzani  dari Imam asy Syafi’i. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad, serta lainnya.

(Jalaa’ul Afhaam, Hal. 180)

Beliau berkata juga:

وَقَالَ الْآخرُونَ لَيْسَ التَّشَهُّد الأول بِمحل لذَلِك وَهُوَ الْقَدِيم من قولي الشَّافِعِي وَهُوَ الَّذِي صَححهُ كثير من أَصْحَابه لِأَن التَّشَهُّد الأول تخفيفه مَشْرُوع وَكَانَ النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا جلس فِيهِ كَأَنَّهُ على الرضف وَلم يثبت عَنهُ أَنه كَانَ يفعل ذَلِك فِيهِ وَلَا علمه للْأمة وَلَا يعرف أَن أحدا من الصَّحَابَة استحبه

Yang lainnya mengatakan, Tasyahud awal bukanlah tempat bershalawat sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i dalam qaul qadim. Inilah yang dibenarkan oleh banyak para sahabatnya (Syafi’iyah). Sebab, meringankan tasyahud awal itu hal yang disyariatkan. Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika duduk tasyahud awal begitu cepat seperti kepanasan. Tidak ada riwayat shahih dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang hal itu. Beliau juga tidak mengajarkannya kepada umat. Tidak diketahui pula seorang sahabat pun yang menyunnahkan hal itu. (Ibid, hal. 181)

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Wara’; Salah Satu Akhlak Asasi Pribadi Muslim

1⃣ Definisi Wara’

Imam Al Jurjani:

هو اجتناب الشبهات خوفًا من الوقوع في المحرمات، وقيل: هي ملازمة الأعمال الجميلة.

“Wara’ adalah menghindari hal-hal yang samar (syubhat) karena takut terjerumus ke dalam yang haram. Ada juga yang mengatakan: bahwa wara’ adalah terus-menerus menjalankan amalan-amalan yang baik.“ (At Ta’rifaat, hal. 124)

Imam Ash Shan’ani:

الورع في الأصل الكف عن المحارم والتحرج منها، ثم استعير للكف عن المباح والحلال

“Wara’ pada dasarnya adalah menahan diri dari hal-hal yang diharamkan dan bersikap hati-hati terhadapnya, kemudian makna ini digunakan untuk menahan diri dari hal-hal yang mubah dan halal.“ (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, jilid. 8, hal. 240)

2⃣ Implementasi Wara’

A. Wara’ Terhadap Perkara Syubhat dan Meragukan

Rasulullah ﷺ bersabda:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ

Barangsiapa yang menghindar dari yang samar (syubhat) maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke dalamnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ

“Tinggalkan apa-apa yang kamu ragu, kepada apa-apa yang kamu tidak ragu.” (HR. At Tirmidzi No. 2518. Dishahihkan oleh Imam Al Hakim dan Syaikh Syuaib al Arnauth)

‘Adi bin Hatim berkata:

“Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah ﷺ bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah ﷺ memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Dalam fatwa ini Rasulullah ﷺ menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas.

B. Wara’ Terhadap Perkara Yang Sia-Sia (Tidak Bermanfaat)

Allah Ta’ala berfirman:

وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ

“dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (QS. Al-Mu’minun: 3)

Rasulullah ﷺ bersabda:

من حسن إسلام المرء: تركُه ما لا يعنيه

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan yang tidak bermanfaat.” (HR. At Tirmidzi, hasan)

لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ

“Seorang hamba tidaklah sampai derajat taqwa sampai dia meninggalkan sesuatu yang boleh karena kehati-hatian terhadapnya menjadi sesuatu yang terlarang.” (HR. At Tirmidzi No. 2451, At Tirmidzi berkata: “hadits hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini.” Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7899, katanya: “isnadnya shahih.”)

Al Hasan Al Bashri Rahimahullah berkata:

من علامة إعراض الله عن العبد أن يجعل شغله فيما لا يعنيه

“Di antara tanda Allah Ta’ala telah berpaling dari seorang hamba adalah dijadikannya hamba itu sibuk pada hal-hal yang tidak manfaat.” (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 9/200)

Imam Ibnu Hajar al Haitami mengatakan:

وأقول: بل هو نصف الإسلام، بل هو الإسلام كله

“Aku katakan: bahkan itu adalah setengahnya Islam, bahkan itulah Islam keseluruhannya.” (Fathul Mubin, hal. 128)

3⃣ Wara’-nya Kaum Salaf

قال الحسن: ملاك الدين الورع

Hasan al Bashri berkata: Intinya agama adalah wara’ (Al Munawi, Faidhul Qadir, jilid. 5, hal. 52)

وقد رجع ابن المبارك من خراسان إلى الشام في رد قلم استعاره منها

Ibnu al-Mubarak kembali dari Khurasan ke Syam hanya untuk mengembalikan sebuah pena yang ia pinjam dari sana. (Ibid)

وأبو يزيد إلى همدان لرد نملة وجدها في قرطم اشتراه وقال: غريبة عن وطنها

Abu Yazid kembali ke Hamadan untuk mengembalikan seekor semut yang ia temukan di bunga yang ia beli, lalu dia berkata: “Ini (wara’) adalah hal yang aneh/asing di negerinya”. (Ibid)

وابن أدهم من القدس للبصرة لرد تمرة

Ibrahim bin Ad-ham berangkat dari Al Quds ke Bashrah untuk memulangkan satu butir kurma. (Ibid)

Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini mengatakan:

يعزى لبعض العلماء -ويقولون أنه الإمام أبو حنيفة رحمه الله- سرقت شاة في زمانه، فأتى قصاباً أو رجلاً راعياً وقال: كم عمر الشاة -أقصى شيء تعيشه الشاة- قال له: خمس سنوات، فامتنع من أكل لحوم الشياه لمدة خمس سنوات مخافة أن يشتري من نفس الشاة المسروقة

Dinisbatkan kepada sebagian ulama — dan mereka mengatakan bahwa itu adalah Imam Abu Hanifah rahimahullah — bahwa pada masanya pernah terjadi pencurian seekor kambing.

Maka beliau mendatangi seorang tukang jagal atau penggembala dan bertanya: ‘Berapa usia maksimal kambing bisa hidup?’ Orang itu menjawab: ‘Lima tahun.’

Maka beliau pun menahan diri dari memakan daging kambing selama lima tahun, karena khawatir daging kambing yang dimakannya berasal dari kambing yang dicuri tersebut. (Durus Lisyaikh Abi Ishaq Al Huwaini, jilid. 29, hal. 3)

4⃣ Beberapa Contoh Penerapan Wara’ Di Masa Kini

– Saat seorang muslim mengunjungi daerah minoritas muslim, di pasarnya bercampur pedagang muslim dan mayoritas non muslim. Maka, lebih baik menghindari membeli hewan potongan di sana, karena tidak tahu bagaimana mereka menyembelih, kondisi mereka yang rata-rata non muslim sudah menjadi qarinah untuk mengambil sikap wara’, agar tidak jatuh pada keharaman.

– Ketika seorang pegawai pelayanan publik, membuka laci di meja kerjanya ada setumpuk uang yang tidak jelas milik siapa. Maka, janganlah mengambilnya apalagi menganggapnya secara polos sebagai “rezeki nomplok dari arah yang tidak disangka-sangka” untuknya. Dunia yang penuh syubhat seperti saat ini, kepekaan wara’ mesti kuat lagi.

– Ketika pulang dari kantor, tidak sengaja terbawa barang-barang milik kantor seperti ATK, atau lainnya, maka janganlah dipakai untuk kepentingan pribadi, hendaknya dikembalikan ke kantor.

– Di swalayan dan pasar, membeli minuman/makanan kemasan yang tidak memiliki label halal, walau tidak pasti haramnya namun juga tidak pasti halalnya, maka menghindarinya lebih baik untuk meninggalkan yang meragukan dan syubhat.

– Bergurau berlebihan atau bermain game, walau kedua hal ini hukum dasarnya mubah selama kontennya memang tidak mengandung maksiat, tetapi jika bisa merusak muru’ah pelakunya maka hendaknya ditinggalkan.

5⃣Pelajaran dan Hikmah Wara’

Wara’ adalah bagian dari takwa, bahkan ciri orang yang benar-benar takut kepada Allah.

Sifat ini melatih seseorang untuk berhati-hati, menjaga diri, dan meninggalkan hal-hal yang syubhat demi keselamatan agama dan kehormatan.

Dalam kehidupan sehari-hari, wara’ bisa berarti menghindari:
– Harta yang tidak jelas asalnya,
– Pergaulan yang mendekati dosa,
– Perkataan yang tidak jelas kebaikan dan manfaatnya.

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top