BOLEHKAH TAWAF SUNNAH TIDAK SAMPAI 7 PUTARAN?

– Ya, boleh dan sah walau tidak 7 putaran, baik kurang atau lebih, kebolehan ini menurut mayoritas ulama, kecuali Mazhab Maliki yg tetap mewajibkan 7 putaran.

– Namun 7 putaran lebih utama.

– Bagi yang tidak 7 putaran dianjurkan ganjil, seperti 3, 5, dst.

Penjelasan dari Darul Ifta Al Mishriyyah:

يجوز شرعًا لمن أراد التطوع بالطواف أن يطوف أيَّ عددٍ شاء من الأشواط، ويستحب له أن يكون العدد وترًا؛ سواء زاد على السبعة أشواطٍ أو نقص عنها، ولا يشترط أن يتم طوافه سبعًا، وإن كان الأوْلى إتمام السبعة خروجًا من خلاف السادة المالكية الذين اشترطوا في صحة الطواف أن يكون سبعة أشواط تامة

“Diperbolehkan secara syar’i bagi siapa saja yang ingin melakukan tawaf sunnah untuk melakukan tawaf dengan jumlah putaran berapa pun yang diinginkan. Dianjurkan jumlah putaran dalam bilangan ganjil, baik lebih dari tujuh putaran atau kurang darinya. Tidak disyaratkan untuk menyempurnakan tujuh putaran. Namun, yang lebih utama adalah menyempurnakan tujuh putaran untuk keluar dari perbedaan pendapat ulama Mazhab Maliki yang mensyaratkan bahwa tawaf harus berjumlah tujuh putaran penuh agar sah.”

(Darul Ifta Al Mishriyah no. 4112)

Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

Apakah Mazhab Zhahiri Sama dengan Salafi?

 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaykum Ustadz, apakah madzhab zahiri sama dengan salafy? JazaakAllaahu khair


 JAWABAN

▪▫▪▫▪▫▪

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah

Mazhab Zhahiri adalah salah satu mazhab fiqih Ahlus Sunnah yang telah punah. Tokohnya adalah Imam Daud Azh Zhahiri, lalu dikembangkan oleh Imam Ibnu Hazm.

Sesuai namanya, Mazhab ini memahami Nash secara lahiriah (tekstual), apa adanya, sampai-sampai mereka memahami hadits “Diamnya anak Anak gadis saat dilamar adalah tanda setuju” jika anak itu menjawab “Ya, saya mau”, maka maknanya tidak setuju. Mereka memahami si gadis harus benar-benar diam untuk menunjukkan setuju.

Ada pun salafi, jika maksudnya adalah sebuah gerakan Islam yang berpusat di Arab Saudi lalu berkembang di dunia Islam, dengan tokoh-tokohnya Syaikh Bin Baaz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Muqbil, dll.. adalah gerakan yang pijakannya adalah mazhab Hambali, bahkan menjadi mazhab resmi pihak kerajaan Arab Saudi.

Mereka berbeda dengan Zhahiri walau beririsan dengannya. Sama-sama dianggap tekstual, tapi Zhahiri lebih kaku. Dalam sejarah, ada beberapa ulama yang bukan mazhab Zhahiri tapi punya kecenderungan Zhahiri seperti Imam Asy Syaukani, Imam Shiddiq Hasan Khan, juga Syaikh Al Albani.

Wallahu A’lam

Baca juga: Standard Kesalafian

✍ Farid Nu’man Hasan

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Benarkah Maksimal 4?

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz.

Ijin bertanya, berapa rakaat Sholat Dhuha yang paling Rojih. Saya biasa melaksanakan 8-12 rakaat. Tapi waktu ikut pengajian kami disampaikan bahwa yamg Shahih hanya 4 rakaat saja, sumber dari Aisyah RA. Jazakallah ustadz. (SA)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hukum Shalat Dhuha itu beragam pendapat para ulama sejak masa salaf, yaitu:

– Sunnah dilakukan secara rutin, ini pendapat mayoritas ulama sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Hajar.
– Sunnah jika ada sebab saja alias tidak rutin seperti pendapat Ibnu Abbas, Said bin Jubeir, dll.

– Sunnah jika sepulang dari perjalanan saja seperti pendapat Aisyah.

– Bid’ah, seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan Syu’bah. Imam Ibnul Qayyim mengatakan Abu Bakar, Umar, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, tidak pernah melakukan Shalat Dhuha.

Yang shahih dan pendapat jumhur adalah boleh, dan boleh LEBIH dari 4 rakaat, dan justru itu berdasarkan hadits shahih dari Aisyah. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau  ditanya:

أ كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي الضحى؟ فقالت نعم أربع ركعات ويزيد ما شاء الله

“Apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha?” Beliau menjawab: “Ya, empat rakaat dan DITAMBAHNYA menurut kehendak Allah.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Sedangkan Ummu Hani’ Radhiallahu ‘Anha mengatakan:

أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى سبحة الضحى ثماني ركعات يسلم من كل ركعتين

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dhuha sebanyak delapan rakaat, dan dia salam setiap dua rakaat.” (HR. Abu Daud No. 1290, Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan sanad hadits ini shahih.  Fiqhus Sunnah, 1/211. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Penjelasan yang sangat bagus dari Imam Ibnul Qayyim di kitab Zaadul Ma’ad, Beliau mengutip analisa dr Imam Ibnu Jarir ath Thabari, bahwa jumlah rakaat shalat dhuha itu sangat beragam, dan semua riwayat beragamnya rakaat tersebut tidak ada yang tertolak alias kuat dan valid.

Dalam Zaadul Ma’ad tertulis:

وليس في هذه الأحاديث حديثّ يدفع صاحبه، وذلك أن من حكى أنه صلى الضحى أربعاً جائز أن يكون رآه في حال فعلِه ذلك، ورآه غيرُه في حالٍ أخرى صلى ركعتين، ورآه آخرُ في حال أخرى صلاها ثمانياً، وسمعه آخر يحثّ على أن يُصلي ستاً، وآخر يحثُّ على أن يُصلي ركعتين، وآخر على عشر، وآخر على ثنتي عشرة، فأخبر كلُّ واحد منهم عما رأى وسمع. قال: والدليل على صحة قولنا، ما روِيَ عن زيد بن أسلم قال. سمعتُ عبد اللّه بن عمر يقول لأبي ذر: أوصني يا عم، قال: سألتُ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم كما سألتني، فقال؟ “مَنْ صَلَّى الضّحَى رَكْعَتَيْنِ، لَمْ يكْتَبْ مِن الغَافِلِينَ، وَمَنْ صَلًى أربَعاً، كتِبَ مِنَ العَابِدين، ومَن صَلَّى سِتّاً، لَمْ يَلْحَقْةُ ذَلِكَ اليَوْمَ ذَنْبٌ، وَمَنْ صَلَّى ثَمانِياَ، كُتِبَ مِنَ القَانِتِينَ، ومَنْ صَلَّى عَشْراً بَنى اللَّه لَهُ بَيْتا في الجَنَّة”.

وقال مجاهد: صلَّى رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم يوماً الضحى ركعتين، ثم يوماً أربعاً، ثم يوماً سِتّاً، ثم يوماً ثمانياً ثم تركَ. فأبان هذا الخبر عن صحة
ما قلنا من احتمال خبر كل مُخْبِرٍ ممن تقدم أن يكون إخبارُه لِما أخبر عنه في صلاة الضُّحى على قدر ما شاهده وعاينه.
والصواب: إذا كان الأمر كذلك: أن يُصلّيها من أراد على ما شاء من العدد. وقد روِيَ هذا عن قوم من السلف حدثنا ابنُ حميد، حدثنا جرير، عن إبراهيم، سأل رجل الأسود، كم أصلي الضحى؟ قال: كم شئت.

Tentang hadits-hadits ini tidak ada yang mesti ditolak riwayatnya, begitu pula orang yang meriwayatkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat dhuha sebanyak empat rakaat yang memang bisa jadi dia melihatnya seperti itu. Orang lain melihatnya pada kesempatan yang lain bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakannya dua rakaat. Orang lain lagi juga melihat pada kesempaan yang lain pula bahwa Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Salam melakukannya dengan delapan rakaat. Sebagian pihak mendengar Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan dengan enam rakaat, pihak lain menganjurkan dua rakaat, yang lain sepuluh rakaat, dan yang lainnya menganjurkan dua belas rakaat. Semua itu berasal dari apa yang mereka lihat dan dengar.” Dia (Ibnu Jarir) melanjutkan: “Dalil dari kebenaran pendapat kami ini adalah sebuah hadits yang menyebutkan:

Dari Zaid bin Aslam, dia berkata, “Aku melihat Abdullah bin Umar berkata kepada Abu Dzar: “Berwasiatlah kepadaku wahai pamanku!” Abu Dzar menjawab, “Aku pernah meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti apa yang kamu minta kepadaku.” Lalu dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa yang menunaikan shalat dhuha sebanyak dua rakaat, dia tidak ditulis termasuk golongan orang-orang yang lalai. Barangsiapa yang menunaikan empat rakaat dia dicatat termasuk golongan ahli ibadah. Barangsiapa menunaikan enam rakaat, maka dia tidak menemukan dosa pada hari itu.

Barangsiapa yang menunaikan delapan rakaat, dia ditulis sebagai orang-orang yang tunduk kepada Allah. Dan, barangsiapa yang menunaikannya sepuluh rakaat, maka Allah akan membangunkan sebuah rumah baginya di surga.

Mujahid berkata: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha dua rakaat, di hari lain empat rakaat, hari berikutnya enam rakaat. Hari berikutnya lagi delapan rakaat, kemudian tidak melakukannya.” Riwayat ini menjadi bukti kebenaran pendapat kami, bahwa setiap perawi menceritakan sesuai apa yang dilihatnya.

YANG BENAR, jika persoalannya seperti itu, maka setiap orang boleh melaksanakan shalat dhuha dengan jumlah rakaat yang dikehendakinya. Hal ini  pernah diriwayatkan  dari suatu kelompok ulama salaf. Diceritakan kepada kami dari Ibnu Humaid, diceritakan oleh kami dari Jarir, dari Ibrahim, bahwa Al Aswad bertanya kepadanya: “Berapa rakaat yang aku lakukan dalam shalat dhuha?” Dia menjawab: “Terserah kamu.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/352. Muasasah Ar Risalah)

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

Dihantui Penyakit WAS-WAS

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum. Saya punya masalah was was dalam ibadah dan taharah. Tadi pagi saya mandi junub,2 jam kemudian menemukan nanah seukuran kurang dari 5 mm di bagian bekas luka. Saya tidak tahu nanah itu muncul sesudah atau sebelum mandi ,tapi saya yakin telah menyiram bagian tersebut.

Kemudian karena ragu telah sah atau tidak mandi saya, saya mandi lagi kemudian shalat Jumat, setelah pulang saya mendapati kerikil kecil (mungkin kurang dari 1 mm) tersangkut di pecahan telapak kaki saya. Saya gak tahu kerikil tersebut ada sebelum atau sesudah mandi , apakah saya harus mengulangi mandi junub lagi? Abi, Jawa Timur


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Semoga Allah Ta’ala angkat penyakit was was yang Saudara alami. Aamiin.

Apa yang sudah dilakukan, yaitu mandi junub dan sudah yakin telah meratakan air ke seluruh bagian tubuh, itu sudah cukup. Seperti yang diceritakan dalam pertanyaan bahwa telah yakin sudah menyiram bagian bekas luka yang bernanah tersebut.

Kaidahnya adalah:

اليقين لا يزال بالشك

Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan

Kaidah ini berasal dari hadits yg cukup terkenal:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

Tinggalkan apa-apa yang membuatmu ragu, kepada apa-apa yang tidak membuatmu ragu.

(HR. At Tirmidzi no. 2442, shahih)

Maka, jika bertemu keyakinan dan keraguan, tanggalkanlah yang ragu. Jika Saudara sudah yakin meratakan air saat mandi junub, maka ambillah sikap berdasarkan keyakinan itu, dan itu tidak bisa dikalahkan oleh keraguan.

Pertanyaan ini tidak akan muncul seandainya penyakit was wasnya bisa dihilangkan. Maka, fokuslah untuk menghilangkan penyakit itu. Mintalah kekuatan kepada Allah Ta’ala , agar tidak diombang ambing syetan dengan was was dan tidak mengambil sikap berdasarkan asumsi dan bayang-bayang saja.

Imam Ath Thibiy Rahimahullah memberikan nasihat:

إذا وجدت نفسك ترتاب في الشيء ، فاتركه ، فإن نفس المؤمن تطمئن إلى الصدق ، وترتاب من الكذب ، فارتيابك من الشيء منبيء عن كونه مظنة للباطل ، فاحذره ، وطمأنينتك للشيء مشعر بحقيقته ، فتمسك به

Jika Anda dapatkan keraguan dalam diri Anda tentang sesuatu maka tinggalkanlah, sebab jiwa seorang mukmin itu akan tenang terhadap sesuatu yang benar, dan ragu terhadap kedustaan. Keragu-raguan Anda terhadap sesuatu itu muncul karena adanya dugaan yang batil maka waspadalah, dan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan kepekaan atas kebenaran sesuatu, maka berpegang teguhlah padanya.

(Dikutip oleh Imam al Munawi, Faidhul Qadir, jilid. 3, hal. 529)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top