Memanfaatkan Masjid, Uang Kas, Areanya Untuk Kepentingan Qurban

  Untuk uang kas masjid yang sifatnya muqayyad alias terikat oleh peruntukkan khusus, maka memang tidak boleh buat operasional qurban. Dia mesti diperuntukkan untuk keperluan khususnya tersebut. Jika memang itu hanya utk Masjid dan kemakmurannya, maka hanya untuk itulah pemanfaatannya.

Syaikh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawiy Rahimullah mengatakan:

فما يجمعه الناس و يبذلونه لعمراتها بنحو نذر أو هبة و صدقة مقبوضين بيد الناظر أو وكيله كالساعى فى العمارة بإذن الناظر يملكه المسجد و يتولى الناظر العمارة بالهدم و البناء و شراء الآلة والاستئجار

Apa yang dikumpulkan oleh manusia dan mereka persembahkan untuk kemakmuran masjid baik dengan jalan nazar, hibah, sedekah, yang dikumpulkan di tangan DKM atau wakilnya, seperti usaha untuk kemakmuran masjid, maka itu milik masjid. DKM diberikan mandat utk memanfaatkannya untuk kemakmuran masjid baik berupa renovasi, membangun, membeli alat atau menyewa. (Bughyah Al Mustarsyidin, Hal. 65)

Halaman masjid, pada prinsipnya boleh-boleh saja, sebab itu bagian dari memakmurkan Masjid (‘imarah ma’nawiyah), maslahat umum umat Islam, yang dengan melakukan ibadah dan qurban termasuk makna memakmurkan di dalamnya. Sebab, itu utk maslahat kaum muslimin, qurban termasuk.

Di halaman masjid, markir motor dibolehkan, latihan pedang para sahabat nabi di halaman masjid dan di dalamnya.

Kecuali jika alasannya krn kebersihan tentu lain lagi ceritanya. Sebab, mengucurkan darah akan membawa dampak najis, sebagaimana pendapat mayoritas ulama tentang najisnya darah. Di sisi inilah kenapa qurban mesti terpisah dengan area Masjid.

Ada pun pemanfaatan aset Masjid utk kepentingan jama’ah dan ibadah, apa pun bentuknya maka itu boleh. Sebab itu bagian dari memakmurkan secara maknawi (‘imarah ma’nawiyah).

Syaikh Sayyid Abdurrahman Ba’alawiy berkata:

ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد في المسجد من قهوة و دخون و غيرهما مما يرغب نحو المصلين

Boleh, bahkan dianjurkan, sebagai bentuk penghargaan, dengan melakukan apa-apa yang menjadi kebiasan di masjid baik berupa kopi, dukhun (bukhur/aroma terapi), atau lainnya yang bisa menstimulus orang yang shalat.

(Bughyah Al Mustarsyidin, Hal. 65)

Ada pun qurban di dalam masjid memang tidak boleh, dan belum pernah ada panitia qurban melakukannya, bahkan tidak akan kepikiran sama sekali.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Mabit di Mina, Wajibkah?

 PERTANYAAN:

Mau tanya sehubungan dengan haji. Apakah mabit di Mina di hari tasyrik itu wajib?
Qadarullaah hotel kami jaraknya dekat ke jamarat Dan jauh ke tenda Mina. Jadi rencananya kami akan tinggal di hotel, ke jamaratnya di saat melempar jumrah saja. Pemerintah juga ada program tanazul Mina utk jamaah yg hotelnya dekat jamarat. Mohon penjelasannya Ustadz. (+62 816-963-xxx)


 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Para ulama sepakat bahwa mabit di Mina disyariatkan dalam rangkaian haji. Hanya saja mereka berbeda pendapat; apakah wajib atau tidak.

Mayoritas ulama (jumhur) dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa mabit di Mina adalah wajib dalam ibadah haji. Jika seseorang meninggalkannya tanpa uzur, maka dia wajib membayar dam (denda) berupa menyembelih seekor kambing.

Sdgk Mazhab Hanafi menyatakan bahwa mabit di Mina adalah sunnah muakkadah, dan bukan wajib. Ini juga pendapat Hasan al Bashri, Ibnu Abbas, dan lainnya. Namun tetap dianjurkan untuk tidak ditinggalkan tanpa alasan yang syar’i.

Para ulama zaman ini pun berbeda pendapat. Antara yang tetap mewajibkan seperti:

Mantan Mufti Arab Saudi, Syaikh Bin Baaz:

المبيت في منى فيه خلاف بين أهل العلم، من أهل العلم من قال: إنه واجب، وهو الأرجح والأصح؛ لأن النبي ﷺ بات في منى، وقال: خذوا عني مناسككم ورخص للعباس وللرعاة في ترك المبيت، العباس من أجل السقاية، والرعاة من أجل الرعي في الليل، فلما رخص لهم دون غيرهم دل على وجوبه على غيرهم، وهذا هو الأرجح، وقد ذهب بعض أهل العلم إلى أنه لا يجب يروى عن ابن عباس وفي صحته عن ابن عباس نظر، فالأولى والأرجح والأقرب إلى الصواب هو أنه يجب المبيت على الحجاج في منى

Mabit (bermalam) di Mina merupakan masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa mabit itu wajib, dan ini adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih benar, karena Nabi ﷺ bermalam di Mina dan beliau bersabda: “Ambillah dariku manasik (tata cara berhaji) kalian.” Beliau memberikan keringanan kepada Al-Abbas dan para penggembala untuk tidak mabit: Al-Abbas karena tugas memberi minum jamaah haji, dan para penggembala karena mereka harus menjaga ternak di malam hari. Maka, ketika beliau memberikan keringanan hanya kepada mereka dan bukan kepada yang lain, hal ini menunjukkan bahwa mabit itu wajib bagi selain mereka. Inilah pendapat yang lebih kuat.

Sebagian ulama memang berpendapat bahwa mabit tidak wajib, dan pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, namun kesahihan riwayat tersebut dari Ibnu Abbas masih perlu ditinjau.

Maka yang lebih utama, lebih kuat, dan lebih dekat kepada kebenaran adalah bahwa mabit di Mina itu wajib bagi para jamaah haji. (Fatawa Nuur ‘alad Darb)

Sedangkan yang mengatakan mabit di Mina adalah sunnah -bukan wajib- seperti Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi Rahimahullah, Beliau berkata dalam fatwanya di web resminya:

فمن لم يكن  له حاجة ولا مصلحة في ترك المبيت بمنى،فيسن له أن يبقى بها تأسّيا بالنبي صلى الله عليه وسلم. وهو تأس مطلوب طلب الاستحباب، وليس طلب الوجوب فيما أرى.
ومن كان يشق عليه المبيت بمنى، أو كانت له حاجة أو مصلحة في عدم المبيت بمنى، فلا حرج عليه في ذلك. إذ لا دليل يدل على الوجوب. وقوله صلى الله عليه وسلم:” خذوا عني مناسككم” لا يدل على أن كل أفعال الحج واجبة، ففيها الأركان والواجبات والمستحبات. والحديث أشبه بحديث ” صلوا كما رأيتموني أصلي” ومع هذا يوجد في الصلاة ما هو فرض، وما هو واجب، وما هو مستحب.

Maka barang siapa yang tidak memiliki kebutuhan atau kepentingan untuk meninggalkan mabit (bermalam) di Mina, maka disunnahkan baginya untuk tetap tinggal di sana, meneladani Nabi ﷺ. Menurut pendapatku, ini adalah bentuk peneladanan yang diperintahkan dalam rangka sunah, bukan kewajiban.

Adapun siapa yang merasa kesulitan untuk mabit di Mina, atau memiliki keperluan tertentu atau kepentingan untuk tidak mabit di sana, maka tidak mengapa baginya (untuk tidak mabit). Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mabit itu wajib. Adapun sabda Nabi ﷺ: ‘Ambillah dariku manasik kalian,’ tidak menunjukkan bahwa semua perbuatan dalam haji itu wajib, karena di dalamnya terdapat rukun, kewajiban, dan sunah.

Hadis ini mirip dengan hadis: ‘Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku salat,’ padahal dalam aktivitas shalat itu ada yang fardhu, yang wajib, dan yang sunnah. (selesai)

Bisa jadi program pemerintah untuk tanazul Mina bagi sebagian jamaah yang hotelnya dekat jamarat mengambil pandangan pihak yang menyunnahkan karena adanya hajat dan maslahat bagi mereka.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

Belum Aqiqah Apakah Boleh Qurban?

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz Farid. Ijin bertanya , ini ada orang tua blm bs mengaqiqahi anak² nya. kl ada rezeki, lbh baik aqiqah dulu atau qurban dulu tadz?
Jazakallahu khoiron. (+62 813-9347-xxxx)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Sebagian ulama mengatakan aqiqah didahulukan dibanding qurban, seperti Qatadah Rahimahullah, melarang berqurban bagi yang belum aqiqah. Beliau berkata:

لَا تُجْزِئُ عَنْهُ حَتَّى يُعَقَّ عَنْهُ

Tidak sah qurban sampai dia aqiqah dulu. (Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf no. 24269)

Hanya saja pendapat ini menyendiri. Umumnya para ulama menilai keduanya sebagai ibadah Sunnah yang berdiri sendiri dgn sebab yang berbeda, dan tidak saling menganulir. Alias, tidak ada larangan sama sekali berqurban dulu walau belum aqiqah.

Jika rezeki lapang maka lakukan saja kedua-duanya diwaktu yang bersamaan, dgn kata lain hewannya masing-masing untuk qurban dan aqiqah, inilah pendapat mayoritas ulama. Tetapi jika dalam keadaan susah dan sempit dananya, silahkan ambil pendapat yg membolehkan qurban dan aqiqah bisa digabungkan niatnya pada satu kambing. Inilah pendapat Hasan al Bashri, Ibnu Sirin, Imam Ahmad, dan lainnya.

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فهذه المسألة اختلف فيها أهل العلم على قولين منهم من أجازها كما هو مذهب أحمد رحمه الله ومن وافقه . ومنهم من منعها لأن المقصود مختلف، فالمقصود بالأضحية الفداء عن النفس ومن العقيقة الفداء عن الطفل وعليه فلا يتداخلان. ولاشك أن الأخذ بهذا القول أولى لمن كانت عنده سعة وقدرة عليه فمن لم تكن له سعة فالأخذ بمذهب أحمد أولى له

Masalah menyatukan niat (qurban dan aqiqah) adalah diperselisihkan ulama, ada yang membolehkan seperti Imam Ahmad dan pihak yang sepakat dengannya.

Di antara mereka ada yang melarangnya, karena keduanya memiliki maksud yang berbeda. Qurban itu merupakan tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah tebusan untuk kelahiran anak, oleh karena itu keduanya tidak saling mencakup.

Maka, tidak ragu lagi inilah (pendapat yang melarang) adalah pendapat yang lebih utama untuk diikuti bagi yang sedang lapang rezekinya. Ada pun bagi yg sempit rezekinya maka pendapat Imam Ahmad lebih utama baginya.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 885)

Demikian. Wallahu a’lam

✍ Farid Numan Hasan

Makna “Kelapangan Rizki” dalam Berkurban

 PERTANYAAN:

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

ustadz izin bertanya,

“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah no. 3123.)

maksud kelapangan rizki dalam hadits diatas seperti apa ustadz? apakah ada batasan atau nisab seperti zakat?

Jazakallah atas perhatiannya ustadz..(+62 817-6077-xxx)


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Menurut mayoritas ulama tidak ada ukuran khusus tentang itu karena tidak ada penjelasan dalam hadits. Yang penting dia mampu beli hewan qurban, sedangkan Abu Hanifah mengatakan jika harta mencapai nishab, itulah yang wajib berqurban. Ada pun mayoritas mengatakan Sunnah.

Imam Ash Shan’ani mengatakan tentang makna ‘lapang (sa’ah)” :

Tidak ada penjelasan tentang ukurannya, sepertinya maksudnya adalah siapa yang memiliki harta secara penuh untuk membeli hewan qurban, ada pun Hanafiyah mengatakan: memiliki harta mencapai nishab. (At Tanwir Syarh Al Jami’ Al Shaghir, jilid. 10, hal. 371)

Imam Abul Hasan as Sindi mengatakan:

(سعة) أي في المآل والحال. قيل هي أن يكون صاحب نصاب الزكاة

(Lapang) yaitu lapang hartanya dan kondisinya. Dikatakan pula dia telah memiliki harta yg mencapai nishab.

(Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, jilid. 2, hal. 271)

Wallahu A’lam

✍ Farid Numan Hasan

scroll to top