Riba dalam Utang Antar Negara

 PERTANYAAN:

Aswrwb ustadz afwan izin menanyakan. Terkait riba.

1. Untuk riba dalam hal hubungan per orangan dengan bank, maka ini sepemahaman saya sudah ada fatwa muinya dan ini haram. Mhn koreksi

2. Bagaimana riba/interest untuk hubungan negara dengan pendonor? Misal negara meminjam uang dari bank dunia/bank internasional donor lainnya untuk pembangunan. Nanti pinjaman tsb dibayar bersama bunga/interest nya. Apakah ini juga masuk riba? Dalam hubungan internasional relasi seperti ini sulit sekali dihindari

Terimakasih ustadz. JazakAllahu khayr


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Kerjasama muamalah antar individu, lembaga, atau negara, jika mengandung riba hukumnya sama.

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء

Rasulullah ﷺ melaknat pemakan riba, yang mewakilinya, pencatatnya, dan dua saksinya. Beliau berkata: semua sama. (HR. Muslim No. 1598)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

هذا تصريح بتحريم كتابة المبايعة بين المترابيين والشهادة عليهما وفيه تحريم الاعانة على الباطل والله أعلم

Ini merupakan penjelasan tentang keharaman penulisan transaksi antara para pelaku riba, juga menjadi saksinya, dan dalam hadits ini terdapat pengharaman pertolongan terhadap kebatilan. Wallahu A’lam. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/26)

Pembolehan melakukan akad riba hanya jika kondisinya darurat. Yang dimaksud darurat adalah jika kondisi mengancam eksistensi salah satu dari lima hal; agama, nyawa, harta, akal, dan keturunan.

Maka jika sebuah negeri melakukan pembiayaan dalam rangka menjaga keberadaan negerinya dari kebangkrutan, memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dan itu tidak ada cara lainnya kecuali dengan akad riba maka itu darurat baginya, atau bagi negeri tersebut. Boleh dimanfaatkan sesuai kaidah adh dharurah tubihul mahzhurah (keadaan darurat membuat yang terlarang menjadi boleh).

Tapi hal ini tidak boleh keterusan, sesuai kaidah: adh dharurah tuqadaru ‘ala qadariha (Darurat itu ditakar sesuai kadar daruratnya).

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Berjihad Membela Palestina Haruskah Minta Izin Ke Pemimpin Negeri Masing-masing Dahulu?

Host:

“Tentang jihad, apakah benar jihad harus bersama pemimpin sebuah negeri atau harus izin mereka dulu. Jika tidak, maka itu jihad tidak syar’i.”

Jawaban Al ‘Allamah Syaikh Muhammad Hasan Walad Ad Didu:

“Aku tidak tahu apa yang mereka katakan, dari mana ucapan ini. Ini tidak ada dalam Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan tidak pula ada dalam fiqihnya mazhab-mazhab.

Rasulullah ﷺ diperintahkan Allah Ta’ala untuk berjihad maka Beliau pun berjihad. Beliau memerintahkan kita berjihad dan menjelaskan bahwa jihad senantiasa ada sampai hari kiamat baik baik bersama orang yang Soleh dan orang jahat, perintah ini tidak gugur walau bersama orang jahat.

Ada pun yang dimaksud dengan amir (pemimpin) adalah pemimpin pada setiap pasukan perlawanan. Mereka yang melakukan perlawanan dan penjagaan memiliki pemimpin, bersama pemimpin inilah mereka melakukan perlawanan. Semua gerakan perlawanan ada pemimpinnya, kepada merekalah wajib mentaatinya dan berjihad di bawah benderanya.

Host: “Tetapi, siapa para pemimpin (auliya’ul umuur) di sini?”

Syaikh: “Pemimpin di sini adalah semua pemimpin kelompok perlawanan tersebut sampai-sampai jika ada tiga orang mrka wajib mentaati perintah pemimpinnya”

Host: “Jadi maksudnya bukan para pemimpin negara sekarang?”

Syaikh: “Tidak.”

Host: “Ok”

✍ Farid Nu’man Hasan

Hari Raya Dalam Islam Apa Saja?

Biasanya kita menganggap hari raya ada dua, yaitu Idul Ftri dan Idul Adha. Tentu ini tidak mutlak salah. Tapi, jika kita lihat ke banyak hadits kita akan dapati bahwa hari raya kita adalah:

1. Idul Fitri (1 Syawwal),

2. Idul Adha (istilah lainnya yaumun nahr yaitu 10 Dzulhijjah),

3. Hari Arafah (9 Dzulhijjah)

4 – 6. tiga hari tasyriq (11 sd 13 Dzulhijjah)

7. Hari Jumat

Tujuh hari raya Islam ini berdasarkan hadits-hadits shahih yang begitu banyak. Di antaranya:

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Hari ‘Arafah, hari penyembelihan qurban, hari-hari tasyriq, adalah HARI RAYA KITA para pemeluk islam, itu adalah hari-hari makan dan minum. (HR. At Tirmidzi No. 773, katanya: hasan shahih, Ad Darimi No. 1764, Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1586, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi mereka tidak meriwayatkannya.” )

Hadits di atas menyebutkan ada lima hari raya kita, yaitu 9 (hari Arafah), 10 (hari Idul Adha), dan tasyriq (11, 12, dan 13 Zulhijjah).

Ada pun hari raya yang ke-6 dan 7 yaitu Idul Fitri dan hari Jum’at, tersebar dibanyak hadits di antaranya:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ: ” إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ النَّحْرِ

Anas bercerita: Saat Rasulullah  ﷺ sampai ke Madinah orang-orang Madinah punya dua hari (raya) yang biasa mereka bersenang-senang di masa Jahiliyah. Maka, Rasulullah bersabda: “Allah telah ganti untuk kalian dengan hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu hari Idul Fitri dan hari Penyembelihan (Idul Adha).”

(HR. Ahmad no. 12006, Syaikh Syu’aib al Arnauth: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad, 19/65)

Ada pun tentang hari Jumat, Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ جَعَلَهُ اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ، فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ، وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ

“Sesungguhnya hari ini (Jumat) adalah hari raya yang Allah jadikan bagi kaum Muslimin. Maka siapa yang datang untuk shalat Jumat, hendaklah mandi, jika memiliki wewangian, hendaklah ia memakainya, dan hendaklah kalian bersiwak.”

(HR. Ibnu Majah, no. 1098; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/279, dan Al Hakim menshahihkannya)

Semua ini menunjukkan kurang lengkapnya orang yang mengatakan hari raya Islam hanya dua.

Masing masing kaum, umat beragama, ada hari rayanya masing-masing maka cukuplah umat Islam dengan hari rayanya yang begitu banyak.

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا اليَوْمُ

Sesungguhnya setiap kaum ada hari rayanya, dan sesungguhnya hari raya kita adalah hari ini.

(HR. Bukhari no. 3931. Aisyah Radhiallahu Anha menceritakan bahwa ucapan nabi ini terjadi saat Idul Fitri atau Idul Adha)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Menunda Shaum Syawwal Karena Masih Keliling Mengunjungi Saudara

Bismillahirrahmanirrahim…

Hal itu tidak mengapa, shaum Syawwal adalah sunnah, sama sekali tidak masalah menundanya bahkan meninggalkannya. Adalah kemuliaan dan mendapatkan pahala bagi yang melakukannya namun tidak berdosa bagi yang meninggalkannya.

Di sisi lain, berkunjung ke rumah saudara, famili, kerabat, handai taulan, dan menikmati hidangan yang mereka sediakan juga sebuah kebaikan, apalagi tuan rumah sudah repot-repot masak untuk tamunya. Menghormati tuan rumah atas kebaikan yang mereka lakukan tentunya juga ibadah.

Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

صَنَعْتُ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَأَتَانِي هُوَ وَأَصْحَابُهُ فَلَمَّا وُضِعَ الطَّعَامُ , قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” دَعَاكُمْ أَخُوكُمْ وَتَكَلَّفَ لَكُمْ ” ثُمَّ قَالَ لَهُ: ” أَفْطِرْ وَصُمْ مَكَانَهُ يَوْمًا إِنْ شِئْتَ “

  Aku membuat makanan untuk Rasulullah ﷺ, Beliau dan sahabat-sahabatnya mengunjungiku, ketika makanan sudah dihidangkan ada seorang yang berkata:

“Saya sedang puasa.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Saudaramu sudah mengundang kamu dan sudah repot-repot untukmu.”

Lalu Beliau bersabda: “Berbukalah, dan puasalah satu hari di hari lain kalau kamu mau.”

(HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8362, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath, No. 3240. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: isnadnya hasan. Lihat Fathul Bari, 4/210)

Bahkan bagi yang sudah terlanjur sedang puasa sunah pun boleh membatalkannya, dan diganti di hari lain.

Dari Ummu Hani Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

الصائم المتطوع أمير نفسه إن شاء صام وإن شاء أفطر

Seorang yang sedang shaum sunnah adalah raja bagi dirinya sendiri, jika dia mau maka dia teruskan puasanya, jika dia mau silahkan dia batalkan. (HR. Ahmad No. 26893, Al Hakim No. 1599, 1600, katanya: shahih. Disepakati oleh Adz Dzahabi keshahihannya)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وقد ذهب أكثر أهل العلم إلى جواز الفطر، لمن صام متطوعا، واسحبوا له قضاء ذلك اليوم، استدلالا بهذه الاحاديث الصحيحة الصريحة.

Mayoritas ulama berpendapat bolehnya membatalkan puasa bagi yang sedang shaum sunnah, dan mereka dianjurkan mengqadha puasa hari tersebut, berdasarkan hadits-hadits ini yang begitu jelas. (Fiqhus Sunnah, 1/455)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top