Seorang yang Shalat Meletakkan Sendal Di Depannya, Benarkah Terlarang?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Assalamu ‘alaikum .. Ust, Beberapa hari ini sy membaca broadcast di grup WA tentang larangan bagi orang yg shalat meletakkan Sendalnya di depannya.. Apakah sampai segitunya? Jazakallah..

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Adab bagi seseorang yang shalat saat meletakkan sendal ketika shalat adalah di antara kakinya, atau sebelah kiri (jika tidak ada orang), atau belakang. Namun tidak terlarang meletakkan di depan pemiliknya yang sedang shalat jika memang harus demikian selama tidak menggangu orang lain.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Daud berikut ini:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلَا يَضَعْ نَعْلَيْهِ عَنْ يَمِينِهِ وَلَا عَنْ يَسَارِهِ فَتَكُونَ عَنْ يَمِينِ غَيْرِهِ إِلَّا أَنْ لَا يَكُونَ عَنْ يَسَارِهِ أَحَدٌ وَلْيَضَعْهُمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ

“Apabila salah seorang di antara kalian melaksanakan salat, janganlah dia meletakkan sandalnya di sisi kanan atau kirinya sehingga menjadi di sisi kanan orang lain, kecuali di sisi kirinya tidak ada orang lain, dan hendaklah dia meletakkannya di antara kedua kakinya.” (HR. Abu Daud no. 654, hasan shahih)

Ini menunjukkan anjuran, bukan larangan bermakna haram. Oleh karena itu Syaikh Abdullah Al Faqih menjelaskan:

وعليه، فمكان وضع النعلين هو ما بين الرجلين أو عند اليسار إذا لم يكن المصلي عن يساره أحد أو خلف المصلي

Berdasarkan hadits ini, maka tempat meletakkan sendal adalah di antara dua kali, atau di sebelah kiri jika tidak ada orang di samping kiri, atau di belakangnya

فإن تعذر هذا، فلا مانع من وضعهما أمام المصلي أثناء الصلاة إذا لم تكن هناك أذية لغيره

Jika hal itu sulit, maka TIDAK TERLARANG meletakkan di depan orang shalat ketika shalat selama tidak menggangu orang lain. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 45240)

Dalam fatwa lainnya:

فلا مانع من وضع الحذاء أمام المصلي إذا لم يكن في ذلك أذىً لغيره، ولكن السنة أن يصلي المرء في حذاءيه إذا كانا طاهرين، وقد فعل ذلك رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمر به

Tidak ada larangan meletakkan sepatu di depan orang shalat selama hal itu tidak menggangu orang lain. Tetapi yg sunnah adalah hendaknya seseorang shalat memakai sepatunya jika suci sebab Rasulullah ﷺ melakukannya dan memerintahkannya. (Ibid, no. 34249)

Zaman ini krn semua masjid memakai ubin, atau karpet, tentu tidak memungkinkan memakai sepatu.

Jadi, adabnya adalah meletakkan sendal di antara kedua kaki, atau sampingnya atau belakangnya (jika tidak ada orang). Namun tidak ada larangan meletakkan di depan jika tidak mengganggu orang lain.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Tradisi Maaf-Maafan Idul Fitri Bukan Bid’ah

Meminta maaf dan memberikan maaf adalah perkara mutlak yang tidak terikat oleh waktu, kapan saja kita bisa melakukannya

Meminta maaf bukan berarti dan tidak mesti sebelumnya kita punya salah, tapi bisa juga sebagai kesantunan dalam komunikasi sosial.

Jika ada yg berkata, “Maaf Pak, tahu alamat ini?” Tidak mungkin dijawab, “Maaf? Lu salah apa ama gue?”

Ini hanyalah tradisi manusia, khususnya umat Islam di Indonesia, jika tradisi ini sejalan dengan prinsip Islam, tidak ada hal yang bertentangan, maka Islam menguatkannya, Bukan menghilangkannya.

Itulah mengapa para ulama Hanafi dan Syafi’i mengatakan:

الثابت بالعرف كالثابت بالنص

Ketetapan hukum karena tradisi itu seperti ketetapan hukum dengan Nash/dalil. (Syaikh Muhammad ‘Amim Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa’id Al Fiqhiyah, no. 101)

Maka, sungguh mengherankan atas pihak yang membid’ahkan kebiasaan maaf-maafan di hari raya. Mungkin mereka menyangka dan menyamakannya dengan ibadah ritual, padahal itu bukan ritual ibadah. Itu adat manusia yg hukum asalnya mubah.

Syaikh Utsaimin pernah membahas tentang tradisi salam-salaman setelah shalat ‘Id:

هذه الأشياء لا بأس بها ؛ لأن الناس لا يتخذونها على سبيل التعبد والتقرب إلى الله عز وجل ، وإنما يتخذونها على سبيل العادة ، والإكرام والاحترام ، ومادامت عادة لم يرد الشرع بالنهي عنها فإن الأصل فيها الإباحة

Semua ini tidak apa-apa, karena manusia tidak menjadikannya sebagai ibadah ritual dan sarana taqarrub ilallah, mereka hanyalah menjadikan itu sebagai kebiasaan saja, pemuliaan dan penghormatan. Maka, selama sebuah kebiasaan tidak ada larangan dalam syariat maka itu diperbolehkan.

(Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin, 16/208-210)

Wallahu Waliyut Taufiq

✍️ Farid Nu’man Hasan

Kafarat Jima’ di Siang Ramadhan

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Jika dulu pernah berhubungan intim suami istri 2x di hari yang berbeda pada bulan puasa, perlu membayar kafarat 2x juga? apakah kafaratnya terpisah antara suami dan istri, yang berarti suami membayar 2x dan istri 2x, atau bisa dijadikan 1? Arrum, Yogyakarta

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Bismillahirrahmanirrahim

Jika hubungan suami istri dilakukan di hari yang berbeda maka kafarat yang dilakukannya adalah dua kali.

Imam Abu Ishaq asy Syirazi berkata:

وإن جامع في يومين أو في أيام لكل يوم كفارة لأن صوم كل يوم عبادة منفردة

Jika jima’ di lakukan dalam dua hari atau beberapa hari maka masing-masing hari itu kena kafarah, karena puasa pada tiap harinya itu adalah ibadah yang tersendiri.

(Al Muhadzdzab, 1/338)

Ada pun kewajiban qadha dan bayar kafarah, adalah kewajiban kedua-duanya baik suami dan istri, menurut mayoritas ulama. Khususnya jika keduanya melakukan secara sengaja, sadar, atas kemauan bersama. Tapi jika mereka lupa, atau dipaksa, maka tidak ada qadha dan kafarah. Sedangkan jika istrinya sedang ada uzur tidak puasa, lalu dipaksa suaminya untuk berhubungan maka wajib kafarah bagi suami saja, tidak bagi istri. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/468)

Sedangkan mazhab Syafi’i, secara mutlak tidak ada kafarah bagi istri baik dipaksa atau kemauannya. Ini juga pendapat Imam Ahmad bin Hambal ketika ditanya hal itu Beliau Menajwab:

ما سمعنا أن على امرأة كفارة

Kami belum pernah dengar adanya kewajiban kafarah buat wanita (istri). (Ibid)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Serial Syarah Ringkas Hadits-Hadits Ramadhan (hadits ke 6): 10 Hari Terakhir, Gaspool!

َAisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadan Rasulullah ﷺ lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR. Muslim no. 1175)

Fiqhul Hadits:

– Ini merupakan 1/3 akhir Ramadhan, dan menunjukkan keistimewaan waktu tersebut dibanding lainnya.

– Imam Al Munawi mengatakan:

أي يجتهد فيه من العبادة فوق العادة ويزيد فيها في العشر الأواخر من رمضان بإحياء لياليه

Yaitu Beliau bersungguh-sungguh pada malam itu dengan melakukan berbagai ibadah melebihi kebiasaan dan menambahkan lagi di 10 hari terakhir Ramadhan dengan menghidupkan malamnya (dgn ibadah). (Faidhul Qadir, 5/203)

Al ‘Allamah Mazhharuddin Az Zidani mengatakan:

يعني: يبالغ في طلب ليلة القدر في العشر الأواخر أكثر مما يبالغ في غيرهن من الليالي

Yakni begitu mendalam upayanya memburu Lailatul Qadar di 10 hari akhir melebihi keseriusannya di malam-malam lainnya.

(Al Mafatih fi Syarh Al Mashabih, 3/55)

– Hal ini dimungkinkan karena peluang terjadinya Lailatul Qadar adalah di 10 malam terakhir. Sebagaimana hadits:

وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ

“Sesungguhnya (Lailatul Qadar) pada sepuluh malam terakhir, pada malam ganjil.” (HR. Bukhari No. 813, 2036)

– Keseriusannya juga ditularkan kepada keluarganya, sebagaimana hadits:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Nabi ﷺ bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadan), Beliau mengencangkan sarung beliau, menghidupkan malamnya dengan beribadah, dan membangunkan keluarga Beliau”. (HR. Bukhari no. 2024)

– Maka, janganlah sia-siakan momen ini, jika kita tidak bisa melakukan banyak agenda ibadah, minimal jadikanlah satu agenda unggulan lalu istiqamahlah dgnnya.

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top