Ada seorang jamaah mengirimkan video ceramah tiktok seorang “Ustadzah” yang mengatakan Khutbah ‘Id adalah rukun dan wajib, jika tidak, maka shalat ‘Id tidak sah.
Ini kekeliruan fatal. Semoga Allah Ta’ala luruskan jalannya.
Mendengarkan khutbah ‘Id bukanlah kewajiban apalagi rukun. Ini tidak ada khilafiyah para ulama sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Qudamah.
Berbeda dengan khutbah Jumat yang memang kewajiban dalam paket aktivitas shalat Jumat. Kami berbaik sangka mungkin Ustadzah tersebut terkecoh menganggap aturan dalam shalat ‘Id sama dengan khutbah Jumat.
Dari Abdullah bin As Saa’ib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Saya menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah ﷺ, ketika shalat sudah selesai, beliau bersabda:
“Kami akan berkhutbah, jadi siapa saja yang mau duduk mendengarkan khutbah maka duduklah, dan yang ingin pergi, pergilah!”
(HR. Abu Daud No. 1155, Shahih. Lihat Shahihul Jami’ No. 2289)
Hadits ini menunjukkan dengan tegas bahwa mendengarkan khutbah bukan kewajiban, tetapi sunah. Namun, muslim yang baik, yang mengakui cinta Rasulullah ﷺ tidak elok dia meninggalkan sunah nabi pada saat dia mampu menjalankannya.
Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan:
الخطبة بعد صلاة العيد سنة والاستماع إليها كذلك
Khutbah setelah shalat ‘Id adalah sunah, mendengarkannya juga begitu. (Fiqhus Sunnah, 1/321)
Kesunnahan khutbah shalat id adalah berdasarkan kesepakatan empat madzhab.
1. Hanafiyah (al Bahr ar Raiq, 2/174-175. Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/175)
2. Malikiyah (Hasyiyah ad Dasuqi, 1/400)
3. Syafi’iyah (al Majmu’, 5/21-22, Mughni Muhtaj, 1/311)
4. Hanabilah (Kasysyaf al Qinaa’, 2/56. al Inshaf, 2/302)
Walau ini sunnah tidak berarti kita meremehkan, tapi juga tidak dibenarkan mengubahnya dan menganggapnya sebagai rukun, sebab itu bertabrakan dengan sunah Nabi ﷺ dan kesepakatan para fuqaha Islam.
Demikian. Wallahul Musta’an wa ‘Alaihit Tuklan
✍ Farid Nu’man Hasan