TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

LARANGAN MENDAHULUI ALLAH DAN RASUL-NYA

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

 TINJAUAN BAHASA

لَا تُقَدِّمُوا

Janganlah kalian mendahului

KANDUNGAN AYAT

Ayat ini merupakan deskripsi adab kepada Allah dan Rasulullah, khususnya kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah memerintahkan manusia untuk tidak mengeraskan suara, baik dihadapan Rasulullah maupun dihadapan orang lain, karena mengeraskan suara bisa jadi membuat orang lain terganggu. Ayat ini juga merupakan anjuran untuk senantiasa menjaga adab dan memuliakan Rasulullah dibandingkan dengan orang lain, karena beliau adalah utusan Allah. Oleh karena ini adalah perintah Allah untuk memuliakan beliau, maka jika kaum muslimin tidak melaksanakan perintah itu maka, dikhawatirkan amal-amal mereka akan terhapus sedang kita tidak mengetahui.[1]

Sayid Qutub menyebutkan dalam tafsirnya;

فلا يسبق العبد المؤمن إلهه في أمر أو نهي، ولا يقترح عليه في قضاء أو حكم ولا يتجاوز ما يأمر به وما ينهى عنه ولا يجعل لنفسه إرادة أو رأيا مع خالقه.. تقوى منه وخشية، وحياء منه وأدبا

“Tidak boleh seorang hamba yang beriman mendahulukan Allah (illah) dalam hal perintah dan larangan, juga dilarang membuat usulan hukum atau putusan, tidak juga dibolehkan melebihi perintah dan larangan Allah, tidak pula mendahulukan kepentingan atau pendapat melewati Allah, karena seorang mukmin senantiasa mengedepankan ketakwaan , malu dan menjaga adab dengan Allah.[2]

PENDAPAT ULAMA TERKAIT AYAT

 Imam Ibnu Asyur menyebutkan:

أَنَّ اللَّهَ أَرْشَدَ الْمُؤْمِنِينَ إِلَى مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ، وَهِيَ إِمَّا فِي جَانِبِ اللَّهِ أَوْ جَانب رَسُوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ بِجَانِبِ الْفُسَّاقِ أَوْ بِجَانِبِ الْمُؤْمِنَ الْحَاضِرِ أَوْ بِجَانِبِ الْمُؤْمِنَ الْغَائِبِ

“Sesungguhnya Allah memberi petunjuk bagi orang mukmin kearah akhlak mulia, yaitu akhlak kepada Allah, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam, kepada orang fasik, atau kepada orang mukmin baik yang hadir (ada dihadapan) atau tidak. ( Tahrir Wa Tanwir,26/215)

  • Menurut Al Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan:[3]

لا تقولوا بخلاف الكتاب والسنة

Janganlah mengatakan yang tidak sesuai dengan al kitab dan As Sunnah

  • Mujahid mengatakan ( Tafsir Ibnu Katsir,7/365)

لَا تَفْتَاتُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَيْءٍ، حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ عَلَى لِسَانِهِ.

Janganlah memotong pembicaraan Rasulullah hingga Allah memutuskan atas lisan beliau”.

  • Menurut Ad Dhahaq ( Tafsir Ibnu Katsir,7/365)

لَا تَقْضُوا أَمْرًا دُونَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ مِنْ شَرَائِعِ دِينِكُمْ

“Janganlah memutuskan perkara dalam agama kalian tanpa Allah dan rasulnya”

  • Menurut Abdul Latif Khatib

لا تقدموا قولاً من الأقوال، أو عملاً من الأعمال؛ بغير موافقة ذلك لما أراده الله تعالى ورسوله

Janganlah mendahului perkataan atau perbuatan tanpa kesesuaian dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. [4]

Hikmah ayat:

  • Larangan mendahului Allah dan Rasulnya dalam hal perintah dan larangan Allah
  • Larangan mendahului Allah dan Rasulnya, bukan berarti menafikan ijtihad, karena ijtihad adalah berusaha keras dalam usaha mendapatkan hukum dalam perkara syariat, namun tetap dalam koridor Al Qur’an dan Sunnah sebagai pijakannya.
  • Seorang mukmin hendaklah menjaga adab-adab, baik kepada Allah, Rasul-Nya, Perintah-Nya, sesama muslim dan orang lain.
  • Menjaga suara, tidak berteriak-teriak, tidak membuat gaduh, merupakan bagian dari adab kepada sesama manusia.

والله أعلام

Bersambung….

 

🖍Fauzan Sugiono


[1] Abdurrahman Nashir As Sa’di, Taisir Al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Mannan, Muassasah Ar Risalah, Jilid 1 h. 799

[2] Sayid Qutub, Fi Zilal Al Qur’an, ( Dar As Syuruq,: Kairo, 1412) Jilid 6 h, 3336

[3] Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi ( Syarikah Maktabah Musthafa Al Halbi,1365, j 6 h. 119

[4]   Muhammad Abdul Lathif Al Khatib, Audhah Tafasir, Mathbaah Misriyah, 1383, jilid 1 h. 633

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Menjawab Kebingungan Tentang Shaum Rajab

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dua hari ini saya banyak ditanya tentang Shaum Rajab, detilnya sdh saya sampaikan di Channel Telegram, pada tulisan berseri sampai 4 bagian, tentang “Bulan Rajab dan Keutamaannya”.

Nampaknya perlu dibuat ringkasannya, apalagi tidak semua pembaca suka dan sabar dengan artikel panjang-panjang.

📚 Kesimpulannya:

📌 Bulan Rajab bulan Istimewa, dan salah satu dari empat Bulan-Bulan Haram  yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharam, dan Rajab. (Hr. Bukhari)

📌 Di antara keistimewaannya, adalah larangan berperang dan larangan berbuat aniaya di bulan-bulan Haram, Rajab termasuk di dalamnya.

📌 Tapi, khusus larangan berperang di bulan-bulan Haram hanya berlaku di awal Islam, dan telah mansukh (dihapus), sebagaimana dikuatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath Thabari, juga dikatakan oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali.

📌 Ada pun keutamaan dan keistimewaan secara spesifik tentang shaumnya, atau shalat malamnya, di hari-hari tertentu, memang telah dikoreksi validitas riwayatnya oleh para ulama, antara dhaif sampai palsu, seperti yang dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam Al Munawi, Imam Muhammad bin  Manshur As Sam’ani, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Rajab, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, dll.

📌 Namun, secara global shaum Rajab tetap sunah, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melakukannya dan pernah pula meninggalkannya,  sbgaimana hadits Shahih Muslim dari Ibnu Abbas, juga hadits Sunan Abi Daud dari Mujibah Al Bahili, yang memerintahkan Shaum di bulan-bulan Haram …, sanadnya Jayyid kata Syaikh Sayyid Sabiq, namun didhaifkan oleh Syaikh Al Albani.

📌 Juga pendapat mayoritas ulama baik Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, dan dipilih oleh Imam Asy Syaukani, yang menyatakan Shaum Rajab itu mandub (dianjurkan) dan mustahab (disukai),  dua istilah yang juga diartikan sunnah oleh para ulama.

📌 Pendapat mayoritas ulama yang menyatakan mandub (dianjurkan) lebih kuat menurut Syaikh Abdullah Al Faqih, dibanding pendapat yang memakruhkannya (yakni pendapat Hambaliyah, jg pendapat Umar bin Khathab dan putranya, Ibnu Umar).

📌 BC-BC yang beredar di medsos, khususnya tentang makruhnya shaum Rajab, biasanya memang dari ulama Hambaliyah kontemporer, seperti Syaikh Bin Baaz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, dan murid-muridnya di tanah air.

📌 Tapi, kesunnahan Shaum Rajab ini, sama dengan kesunahan shaum pada bulan-bulan lainnya, sebagaimana kata Syaikh Sayyid Sabiq, mengingat kekhususannya atau keistimewaannya secara spesifik tidak ditopang kuat oleh dalil-dalil yang ada, sbgmn penjelasan sebelumnya.

📌 Maksud “keistimewaan secara spesifik” seperti barang siapa yang shaum pd tanggal sekian Rajab, maka dia akan begini2 ..  barang siapa yang shaum Rajab, maka dia akan mendapatkan ini dan itu .. Nah, ini yg tidak kuat.

📌 Namun, dia tetap Sunnah secara umum, sebagaimana pandangan mayoritas imam kaum muslimin.

Demikian. Wallahu A’lam

🌷☘🌴🌺🌻🌾🌸🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Tulisan Tentang Bulan Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 2)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 4/Selesai)

Menjawab Kebingungan Tentang Shaum Rajab

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

1⃣ Rajab termasuk Ayshurul Hurum

Bulan Rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan haram (syahral haram) …” (QS. Al Maidah (95): 2)

Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalah dzul qa’dah, dzul hijjah, rajab, dan muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)

Namun sebagian ulama mengatakan, larangan berperang pada bulan-bulan haram ini telah mansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat wa qaatiluuhum haitsu tsaqiftumuuhum (dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka). Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah).

Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان

“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)

(Bersambung ….)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

Serial Tulisan Tentang Bulan Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 2)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 4/Selesai)

Menjawab Kebingungan Tentang Shaum Rajab

Wanita Berobat Ke Terapis/Dokter Laki-Laki dan Sebaliknya

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, ustadz, apa hukumnya seorang perempuan/ ibu yg berobat terapi Totok punggung pada terapis laki laki dengan pegang punggungnya tetapi dgn sarung tangan.

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah, wz ba’d:

Berobat adalah upaya masyru’ dan di dorong oleh syariat yang mulia. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” [1]

Berobat, sebisa mungkin dengan obat yang halal dan suci, serta dilakukan dengan cara yang benar, dan dilakukan oleh orang yang tepat, agar selamat secara medis dan syariat. Jika pasiennya laki-laki sebagusnya dokternya laki-laki, dan jika pasiennya wanita sebagusnya dokternya wanita. Kebutuhan ini menunjukkan kemestian membuka peluang bagi kaum wanita muslimah untuk menuntut ilmu kedokteran sebagaimana kaum laki-laki.

📌 Jika Keadaan Tidak Ideal

Dalam keadaan masyarakat yang normal dan wajar, saya rasa tidak sulit mencari dokter laki-laki dan wanita dengan spesialisasinya masing-masing. Sehingga kita relatif tidak sulit berobat dengan mekanisme yang dibenarkan syariat. Tapi, keadaan seperti itu tidak selalau sama di masing-masing daerah. Ada daerah minus dokter kandungan muslimah, bidan muslimah, atau semisalnya, yang ada adalah dokter laki-laki. Padahal pasien itu bisa laki-laki bisa juga perempuan, dan kesehatan serta kehidupan mereka mesti sama-sama dijaga.

Dalam keadaan seperti itu tidak mengapa seorang wanita berobat ke dokter laki-laki (atau sebaliknya jika memang dokter laki-laki yang minim), selama adab-adabnya terjaga. Di sisi lain, dalam dunia pengobatan, di dalamnya sangat memungkinkan terjadi persentuhan langsung antara dokter dan pasiennya, karena itulah cara untuk mendeteksi dan mendiagnosa penyakit.

Pembolehan ini mengingat beberapa fakta sejarah dan kaidah berikut:

1.       Dalam kitab Shahih Al Bukhari terdapat sebuah bab:  Bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi (Pengobatan Wanita untuk yang terluka dalam peperangan), juga bab: Bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah(Wanita Memulangkan Pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah)

2.       Beberapa kaidah fiqih:

الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

Kesulitan membawa pada kemudahan.[2]

Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki:

المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع

Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan.[3]

Kaidah ini berdasarkan firman Allah ﷻ :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Ayat lainnya:

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS.  An Nisa’: 28)

Ada pun dalam hadits:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ   bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا

Permudahlah dan jangan persulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari. [4]

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْه

“Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa, jika ternyata mengandung dosa maka dia adalah orang yang paling jauh darinya.” [5]

Maka, keadaan jika sulit, sempit, payah, termasuk dalam berobat mencari yang  “seharusnya” maka tidak mengapa, dan membuatnya lapang untuk berobat dengan dokte

r yang ada, walau dia lawan jenis. Sebab, jika tidak demikian maka itu membuatnya jatuh dalam dharar (kerusakan yang lebih besar), dan itu justru terlarang.

Sebagaimana kaidah lain:

الضَّرَرُ يُزَالُ

Adh Dhararu Yuzaal – kerusakan mesti dihilangkan.[6]

Dalil kaidah ini  adalah:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah (2): 195)

Dan hadits Nabi ﷺ :

لا ضرر ولا ضرار

Jangan membuat kerusakan dan jangan menjadi rusak. [7]

Hanya saja ada beberapa adab yang mesti dijaga:

1.        Hendaknya memakai pakaian yang sesuai syariat.

2.        Jika hendak membuka bagian tubuh yang sakit, dan itu ternyata aurat, maka bukalah sesuai kebutuhan pemeriksaan, sesuai kaidah:

الضرورة تقدر بقدرها

Kondisi darurat ditakar sesuai kadar kebutuhannya. [8]

3.        Jika mungkin, dokternya menggunakan sarung tangan.

4.        Hendaknya ditemani oleh orang lain, baik mahram, atau ajnabi yang terpercaya.

Demikian. Wallahu A’lam wa Ilahil Musytaka

✏ Farid Nu’man Hasan


🌿🌿🌿🌿:

[1] HR. Abu Daud No. 3876, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20173. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. (Tuhfatul Muhtaj, 2/9). Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. (Majma’uz Zawaid, 5/86)

[2] Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah

[3]  Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[4] HR. Al Bukhari No. 69, Muslim No. 1732

[5] HR. Al Bukhari 3560, 6126, 6786, Muslim No. 2327

[6] Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Al Kitabul Awwal, Kaidah keempat, Hal. 83. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kedua,  1/51. Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kelima, Hal. 85. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Min Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, Hal. 190

[7] HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 268, 1033, 3777, 5193, juga dalam Al Kabir No. 1387, 11576, 11806, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 11166, 11167, 11657, 11658, 20230, 20231. Malik dalam Al Muwaththa’ biriwayah Yahya Al Laitsi No. 1429, Ibnu Majah No. 2340, 2341, Ad Daruquthni No. 83, 288, Ahmad No. 2867, Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 1096, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1300, dll

Imam Al Hakim mengatakan: “Shahih, sesuai syarat Imam Muslim.” (Al Mustadrak No. 2354) dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya.

[8] Syaikh Shalih bin Muhammad bin Hasan Al Asmary, Majmu’ah Al Qawaid Al Bahiyyah, Hal. 60. Cet.1, 1420H-2000M. Darush Shami’iy

scroll to top