Shalat di Kendaraan, Bagaimana?

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Assalamu ‘Alaikum, Wr.Wb. Pak Ustadz, Kalau kita shalat di kendaraan (mobil dan kapal), kita ‘kan tidak tahu arah kiblat, gimana Shalatnya? (dari 081345412xxx)

📌 Jawaban:

Wa’alaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuh. Bismillah wal Hamdulillah ..

Pertanyaan di atas saya akan rinci menjadi dua.

1. Shalat di atas kendaraan, bolehkah?

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

تصح الصلاة في السفينة والقاطرة والطائرة بدون كراهية حسبما تيسر للمصلي
فعن ابن عمر قال: سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في السفينة؟ قال: (صل فيها قائما إلا أن تخاف الغرق) رواه الدار قطني والحاكم على شرط الشيخين، وعن عبد الله بن أبي عتبة قال: صحبت جابر بن عبد الله وأبا سعيد الخدري وأبا هريرة في سفينة فصلوا قياما في جماعة، أمهم بعضهم وهم يقدرون على الجد، رواه سعيد بن منصور

“Shalat di kapal laut, kereta, dan pesawat, adalah sah tanpa dimakruhkan sama sekali, jika memang itu yang mungkin dilakukan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang shalat di kapal laut. Dia menjawab: “Shalatlah di dalamnya dengan berdiri, kecuali jika engkau takut tenggelam.” Diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan Al Hakim sesuai syarat Bukhari-Muslim. [1]

Dan dari Abdullah bin Abi Utbah, dia berkata: “Aku pernah menemani Jabir bin Abdullah, Abu Said al Khudri, dan Abu Hurairah di dalam apal laut. Mereka shalat sambil berdiri secara berjamaah dengan diimamai salah seorang dari mereka, padahal mereka masih ada peluang shalat dipantai.” (HR. Said bin Manshur).” [2]

Kebolehan shalat di kendaraan ini dipertegas lagi oleh perbuatan para salaf, baik kalangan sahabat dan murid-murid mereka, baik duduk atau berdiri, seperti yang diriwayatkan sebagai berikut:

عن مجاهد قال كنا نغزو مع جنادة بن أبي أميه البحر فكنا نصلي في السفينة قعودا

Dari Mujahid, dia berkata: “Kami perang bersama Junadah bin Abu Umayyah di lautan, maka kami shalat di kapal laut sambil duduk.”

أن ابن سيرين قال خرجت مع أنس إلى بني سيرين في سفينة عظيمة قال فأمنا فصلى بنا فيها جلوسا ركعتين ثم صلى بنا ركعتين أخراوين

Bahwa Ibnu Sirin berkata: “Aku keluar bersama Anas menuju Bani Sirin dengan kapal besar, dia mengimami kami dan shalat dengan kami di dalamnya dengan cara duduk dua rakaat, kemudian shalat lagi dua raka’at lainnya.”

عن أبي قلابة أنه كان لا يرى بأسا بالصلاة في اسفينة جابسا. حدثنا وكيع عن أبي خزيمة وطاوس قال صل قاعدا

Dari Abu Qilabah bahwa dia memandang tidak masalah shalat di kapal sambil duduk. Telah bercerita kepada kami Waki’, dari Abu Khuzaimah dan Thawus, dia berkata: Shalatlah dengan cara duduk!

عن ابن سيرين أنه قال في الصلاة في السفينة إن شئت قائما وأن شئت قاعدا والقيام أفضل

Dari Ibnu Sirin, bahwa dia berkata tentang shalat di kapal laut: “Jika kau mau duduklah, namun berdiri lebih utama.” [3]

Sebenarnya masih sangat banyak keterangan dari sahabat dan tabi’in tentang shalat di dalam kendaraan, baik duduk atau berdiri. Jika dalam kondisi takut tenggelam (mungkin karena ombak yang besar), mereka memilih duduk, jika keadaan normal mereka memilih berdiri.

2. Shalat dalam kondisi tidak mengetahui kiblat secara pasti

Menghadap Kiblat adalah syarat sahnya  shalat. Namun, ada beberapa kondisi membuatnya bisa gugur, misal ketika di kendaraan atau dalam kondisi sama sekali tidak mengetahui arah kiblat, maka dia boleh menghadap ke arah yang dia yakini. Jika setelah shalat barulah dia tahu arah kiblat, maka shalatnya tetap sah, dia tidak wajib mengulang shalatnya. Inilah pendapat yang kuat.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

“Ijtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat menghadap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” [4]

Sedangkan jika mengetahui kiblatnya adalah ketika ‘pas’ shalat, maka dibolehkan mengubah arahnya saat itu juga, tanpa harus memutuskan shalatnya.

Hal ini berdasarkan  dalil  berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ
بَيْنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa dia berkata: “Ketika kaum muslimin berada di Quba, pada saat shalat shubuh, datanglah kepada mereka secara tiba-tiba dan berkata: ‘Sesungguhnya, semalam telah turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wahyu yang memerintahkan agar menghadap kiblat ke ka’bah.maka, menghadaplah kalian ke sana.’ Maka mereka menghadapkan wajah mereka ke Syam. Setelah itu mereka mereka pun berputar ke arah Ka’bah.”[5]

📌 Ke mana Arah Kiblatnya?

Sedangkan jika shalat di atas kendaraan, maka arah kiblatnya adalah mengikuti arah kendaraannya. Hal ini berdasarkan dalil berikut:

Dari Amir bin Rabi’ah dia berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di atas kendaraannya dan ia menghadap mengikuti arah kendaraannya.”[6]

Dalam hadits lain:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ مُقْبِلٌ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ قَالَ وَفِيهِ نَزَلَتْ{ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ }

Dari Ibnu Umar, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam penah shalat dari Mekkah menuju Madinah, dan dia menghadap mengikuti ke mana saja arah kendaraannya. Saat itu turunlah ayat: Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah … (QS. Al Baqarah (2): 115).”[7]

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

وعن إبراهيم النخعي قال: كانوا يصلون في رحالهم ودوابهم حيثما توجهت، وقال ابن حزم: وهذه حكاية عن الصحابة والتابعين، عموما في الحضر والسفر

Dari Ibrahim An Nakha’i, dia berkata: “Mereka shalat dikendaran mereka dan mengikuti arah kendaraan tersebut.” Berkata Ibnu Hazm: “Yang demikian ini diceritakan dari para sahabat dan tabi’in secara umum baik bermukim atau bepergian …”. [8]

Selesai.  Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Yang benar adalah sesuai syarat Muslim saja, lihat Mustadrak-nya Al Hakim Juz. 3, Hal. 25. No. 969. Ad Daruquthni, Juz. 4, Hal. 139, No. 1491.  Al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan,  Juz.4, hal. 495. No. 1667. pen
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz.1, Hal. 292.
[3] Lihat semua dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Juz. 2, Hal. 168.
[4] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa, Juz, 20, hal. 224
[5] HR. Muttafaq ‘Alaih
[6] HR. Muttafaq ‘Alaih
[7] HR. Muslim,  No. 1311.
[8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 130. Lihat juga Al Muhalla-nya Imam Ibnu Hazm, Juz. 3, Hal. 58.

🌸☘🌴🌺🌻🌾🍃🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

Shohibul Quran

TAUJIH QURANI
EDISI 0038/AA/MQ

==================

بسم الله الرحمن الرحيم

Rosulullah SAW bersabda:

يقال لصاحب القرآن اقرأ وارتق …
(رواه أبو داود)

“Akan dikatakan kepada Shohibul Quran, bacalah dan naikilah tingakatan syurga…”

Mereka yang aktif bersama Al-Quran selain disebut ahlul Quran juga disebut shohibul Quran, sebagaimana hadits di atas.

Kita harus iri setiap kali melihat hamba Allah yang menjadi shohibul Quran (sahabat Al-Quran). Mari kita pelajari kehidupan mereka.

Kita salut kepada mukmin yg shohibul Quran, karena ia memiliki energi yang tidak habis-habisnya untuk berinteraksi dengan Al-Quran. Pantaslah jika Allah selalu memulyakan shohibul Quran. Siapakah shohibul Quran itu?

1⃣ Shohibul Quran adalah manusia yang memiliki kecintaan kepada Allah dan Rosulullah tanpa batas, sehingga ia tidak akan pernah berhenti atau terbersit untuk berhenti membaca  Al-Quran. Ia siap bersama Al-Quran sampai akhir hayatnya. Maka jangan smpai kehilangan cinta kepada Allah dan Rosul-Nya.

2⃣ Shohibul Quran adalah mereka yang memiliki keyakinan dgn hari akhirat seyakin terbitnya matahari pada pagi hari. Sehingga Al-Quran menjadi motivasi menyiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik. Puncaknya masuk surga selamat dari neraka. Hanya dengan keyakinan seperti ini, shohibul Quran tidak akan kehabisan energi dalam berinteraksi dgn Al-Quran.

3⃣ Shohibul Quran adalah manusia biasa yang punya hawa nafsu, terkadang malas, jenuh, futur, sedih, dan lain sebagainya. Namun ia tidak pernah tunduk kepada hawa nafsunya demi untuk bersama Al-Quran. Tekadnya adalah sebenarnya hari ini saya lagi malas, tapi saya harus baca Al-Quran, walaupun hanya 3 juz,  sehingga saat bersemangat bisa mencapai 5 juz bahkan lebih. Bagitulah manusia yang selalu dekat dengan Dzat Yang Maha Kuat dan Perkasa Allahu azza wajalla.

4⃣ Shohibul Quran bukannya tidak mendapat godaan syetan, namun ia selalu melawannya, enggan kompromi dengan bisikan-bisikannya.

5⃣ Shohibul Quran tidak lagi merasakan Al-Quran sebagai beban dalam berinteraksi dengannya, namun Al-Quran adalah kenikmatan, kebahagiaan, dan ketagihan, sehingga hanya dengan Al-Quran batinnya terpuaskan.

Allah ta’ala berfirman:

ألا بذكر الله تطمئن القلوب
(الرعد : ٢٨)

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(Ar-Ra’d : 28)

6⃣ Shohibul Quran selalu peduli kepada umat manusia. Hatinya tidak akan puas, sehingga melihat sebagian besar  manusia  beriman dan melaksankan Al-Quran sebagai pedoman hidupnya. Untuk itulah ia siap menyibukkan diri mengajak umat kembali kepada Al-Quran.

7⃣ Shohibul Quran marasakan malam hari adalah waktu-waktu yang istimewa, karena pada saat itulah waktu yang terindah bermunajat dengan Allah yang dicintainya.

8⃣ Shohibul Quran selalu mendapat energi Al-Quran yang memotivasinya banyak beramal salih, mengikuti semua yang disunnahkan Rosulullah.

9⃣ Shohibul Quran selalu tawadu di hadapan Allah dan orang-orang yang beriman. Tidak membanggakan dirinya dan menyepelekan orang lain. Tidak merasa dirinya paling salih, orang lain semua salah.

🔟 Shohibul Quran hatinya selalu merindukan rumah Allah (masjid), sehingga selalu menjadi manusia yang terdepan dalam memakmurkan masjid.

Allah ta’ala berfirman:

إنما يعمر مسجد اللّٰه من آمن بالله واليوم الآخر وأقام الصلاة وآتى الزكوة ولم يخش إلا اللّٰه فعسى أولئك أن يكونوا من المهتدين
(التوبة : ١٨)

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apapun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(At-Taubah: 18)

Alangkah beruntungnya shohibul Quran seperti ini. Karena kelak di akhirat akan mendapat naungan Allah swt.

MARKAZ ALQURAN
Kamis, 30 maret 2007

Bulan Rajab dan Keutamaannya (bag. 4/selesai)

☀💦☀💦☀💦

5⃣ Benarkah Isra Mi’raj Terjadi Tanggal 27 Rajab?

Ada pun tentang Isra’ Mi’raj, benarkah peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab? Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab: Wallahu A’lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi’ul Awal. (Lathaif Al Ma’arif, Hal. 95).

Beliau juga berkata:

و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره

“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra’ Mi’raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.

6⃣ Adakah Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya’ban dan Ramadhan?

Tidak ditemukan riwayat yang shahih tentang ini. Ada pun doa yang tenar diucapkan manusia yakni: Allahumma Bariklana fi rajaba wa sya’ban, wa ballighna ramadhan, adalah hadits dhaif (lemah).

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.”
(Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban wa Berkahilah kami di bulan Ramadhan).

(HR. Ahmad, No. 2346. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3815. Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 659. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 6/269)

Dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.

Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)

Imam Abu Daud berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.” Abu Ahmad Al Hakim mengatakan: “haditsnya tidak kokoh.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 305)

Imam Al Haitsami berkata tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)

Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536)

Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah al Mashabih, Juz. 1, Hal. 306, No. 1369. Lihat juga Dhaiful jami’ No. 4395), begitu pula Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnaduhu dhaif (isnadnya dhaif). (Lihat Musnad Ahmad No. 2346. Muasasah Ar Risalah)

Walau hadits ini dhaif, tidak mengapa sekedar membaca doa seperti di atas dengan syarat seperti yang digariskan para ulama terhadap masalah fadhailul a’mal:

1. Tidak ada perawi yang tertuduh pendusta atau pemalsu hadits.
2. Isinya tidak bertentangan dengan tabiat umum agama Islam.
3. Tidak menganggapnya sebagai doa dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Sebab, berdoa dengan membuat redaksi sendiri juga dibolehkan selama isinya tidak bertentangan syariat.

Anggaplah ini doa bagus yang kita pinjam redaksinya. Lalu, sebaiknya jangan membiasakan doa ini tanpa menjelaskan kedudukannya sebagai doa yang tidak valid dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab, mentradisikan dan mengulang-ulangnya setiap tahun, akan terbuka peluang bagi pikiran sebagian manusia bahwa ini adalah sunah nabi, atau paket yang sudah menjadi pakem khusus ketika menjelang Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Tentunya ini keliru khawatir dusta atas nama Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka, kelemahannya mesti dijelaskan agar manusia tidak terkecoh.

Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Tulisan Tentang Bulan Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 2)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 4/Selesai)

Menjawab Kebingungan Tentang Shaum Rajab

Shalat Sunnah Hajat; Adakah?

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Apakah dalil shalat sunah hajat SHAHIH? Syukron (08129914xxx)

📌 Jawaban:

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Shalat Hajat adalah sunah sebagaimana penjelasan mayoritas ahli fiqih, di antaranya Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى أحمد بسند صحيح عن أبي الدرداء أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:  من توضأ فأسبغ الوضوء ثم صلى ركعتين يتمهما أعطاه الله ما سأل معجلا أو مؤخرا

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih, dari Abu Darda, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa yang berwudhu lalu dia sempurnakan wudhunya, kemudian dia shalat dua rakaat sampai sempuna, niscaya Allah ﷻ akan mengabulkan apa yang diinginkannya baik segera atau diakhirkan.” (Fiqhus Sunnah, 1/213)

Hadits yang disampaikan dan dishahihkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, didhaifkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Ta’liq Musnad AhmadNo. 27497)

Syaikh Husamuddin ‘Afanah  pernah ditanya tenang shalat hajat, berikut ini penjelasan Beliau:

يقول السائل: قرأت عن صلاة الحاجة في بعض كتب الأدعية، أرجو بيان حكمها وكيفيتها؟

الجواب: اتفق كثير من الفقهاء على أن صلاة الحاجة مستحبة وأنها تكون عندما تعرض للإنسان حاجة من حوائج الدنيا المشروعة فيستحب له أن يتوضأ ويصلي ركعتين لله تعالى، ويسأل الله جل وعلا حاجته، فإن فعل ذلك مؤمناً بقدرة الله عز وجل، فأرجو أن يحقق الله له ما أراد فقد ورد في الحديث عن عثمان بن حنيف – رضي الله عنه – (أن أعمى أتى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فقال: يا رسول الله، ادع الله أن يكشف لي عن بصري، قال: أوَ أدعك قال: يا رسول الله إنه قد شق علي ذهاب بصري، قال فاذهب فتوضأ، ثم صل ركعتين ثم قل: اللهم إني أسألك …..”….

Penanya: Saya membaca tentang shalat hajat pada sebagian buku-buku doa, saya harap penjelasan hukumnya dan cara pelaksanaannya?

Jawaban: Banyak ahli fiqih telah sepakat bahwa shalat hajat adalah mustahab (disukai/sunah), itu dilakukan ketika manusia menginginkan kebutuhan di antara hajat-hajat dunia yang dibenarkan syariat. Disunahkan baginya untuk berwudhu lalu shalat dua rakaat untuk Allah ﷻ, dan berdoa kepada Allah ﷻ, barang siapa yang melakukan itu karena keimanan terhadap qadar Allah ﷻ, maka Allah ﷻmengabulkan untuknya apa yang diinginkannya. Telah ada hadits dari ‘Utsman bin Hunaif Radhiallahu ‘Anhu, bahwa datang seorang buta kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar penglihatanku terbuka.” Nabi menjawab: “Ataukah aku mendoakanmu?” Laki-laki itu berkata: Waai Rasulullah, saya mengalami kesulitan karena telah lenyap penglihatan saya.” Nabi bersabda: “Pergilah, lalu berwudhu, dan shalat dua rakaat, lalau bacalah: “Ya Allah aku minta kepadamu …”  (Fatawa Yas’alunaka, 3/32)

Jadi pelaksanaannya sebagaimana shalat sunah biasa, sebanyak dua rakaat menurut jumhur ulama, sedangkan menurut Hanafiyah empat rakaat, sedangkan Al Ghazali mengatakan 12 rakaat. (Al Mausu’ah, 27/211-212), lalu berdoa sesuai hajat (kebutuhan). Bacaannya pun biasa saja sebagaimana shalat sunah dua rakaat, sesuai yang kita ketahui dan hapal.

Tertera dalam kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili, katanya:

صلاة الحاجة: وهي أربع ركعات بعد العشاء، وقيل: ركعتان. ورد         في الحديث المرفوع أنه يقرأ في الأولى الفاتحة مرة وآية الكرسي ثلاثاً، وفي كل من الثلاثة الباقية: يقرأ الفاتحة والإخلاص والمعوذتين مرة مرة، فإن قرأهن كن له مثلهن من ليلة القدر.

Shalat hajat: yaitu empat rakaat setelah ‘Isya, ada yang mengatakan dua rakaat. Terdapat dalam hadits marfu’ bahwa di rakaat pertama membaca Al Fatihah sekali dan ayat kursi tiga kali, lalu ditiap tiga rakaat sisanya membaca Al Fatihah, Al Ikhlas, dan Al Mu’awidzatain (Al Falaq dan An Naas), masing-masing sekali. Maka, jika jika surat-surat ini dibaca maka dia mendapatkan nilai seumpama pada Lailatul Qadr. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/1065-1066), sayangnya dalam kitab ini tidak disebutkan status riwayat tersebut.

Ada pun Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz dan muridnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, mereka berdoa menyatakan dalam Fatawa Nur ‘Alad Darb, bahwa tidak ada dan tidak dikenal shalat bernama “Shalat Hajat”, yang ada menurut mereka adalah shalat taubat dan shalat istikharah.

📚   Tetapi, dalam kenyataan sejarah fiqih Islam, istilah shalat hajat sudah ada sejak belasan abad yang lalu, tertera dalam Sunan At Tirmidzi dan Sunan Ibni Majah dalam judul yang sama,  Bab Maa Jaa’a fi Shalatil Haajah (Bab Tentang Shalat Hajat).  Oleh karena itu, kenyataan ini menunjukkan hal itu sudah dikenal sejak masa salaf.

Kemudian, pada kitab-kitab para ulama empat mazhab pun terkenal shalat hajat ini. Oleh karenanya disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلاَةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ

Para ahli fiqih telah sepakat bahwa shalat hajat adalah sunah. (Al Mausu’ah, 27/211)

Selesai. Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top