Fatwa Ulama Tentang Berpartisipasi Dalam Pemerintahan Non Muslim

Syaikh Nashir Sulaiman Al ‘Umar mengatakan bahwa sistem pemerintahan di dunia hanya ada tiga saja:

1. Tatanan pemerintahan Islam yang adil
2. Tatahan pemerintahan Islam yang zalim
3. Tatanan pemerintahan dengan hukum kafir

Bagaimanakah hukum partisipasi seorang muslim yang shalih, aktifis, ke dalam sistem no 2 dan 3? Apakah terlarang ataukah mesti diperinci?

– Terlarang jika jutru memperkuat kezaliman dan kekafiran
– Terlarang jika hanya untuk memperkaya diri

Lalu bagaimana jika untuk mengimbangi dan melawan kebatilan dan kezaliman mereka? Atau, untuk menyelamatkan hak-hak kaum muslimin yang berpotensi hilang jika dikuasai orang kafir.

Berikut ini penjelasan para ulama Islam.

1⃣ Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam Rahimahullah

Beliau berkata:

وَلَوْ اسْتَوْلَى الْكُفَّارُ عَلَى إقْلِيمٍ عَظِيمٍ فَوَلَّوْا الْقَضَاءَ لِمَنْ يَقُومُ بِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ ، فَاَلَّذِي يَظْهَرُ إنْفَاذُ ذَلِكَ كُلِّهِ جَلْبًا لِلْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ وَدَفْعًا لِلْمَفَاسِدِ الشَّامِلَةِ ، إذْ يَبْعُدُ عَنْ رَحْمَةِ الشَّرْعِ وَرِعَايَتِهِ لِمَصَالِحِ عِبَادِهِ

“Seandainya orang-orang kafir memimpin suatu daerah yang luas, lalu mereka (orang-orang) kafir menyerahkan kekuasaan kepada orang yang bisa menunaikan maslahat secara umum bagi kaum muslimin, maka hal itu bisa dilaksanakan karena nampak jelas bisa mendatangkan maslahat umum dan menolak kerusakan secara sempurna, walaupun jauh dari rahmat syariat dan pemeliharaannya terhadap maslahat hambaNya…(Qawa’id al Ahkam fii Mashalih al Anam, Juz. 1, Hal. 128)

2⃣ Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau berkata:

وَفِي أَنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا وَأَنَّهَا تُرَجِّحُ خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ الشَّرَّيْنِ وَتَحْصِيلِ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا وَتَدْفَعُ أَعْظَمَ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا

“Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisirnya. Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan. Serta menghasilkan mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara keduanya.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hal. 241)

Lalu masih di halaman yang sama beliau berkata lagi:

وَمِنْ هَذَا الْبَابِ تَوَلِّي يُوسُفَ الصِّدِّيقَ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ لِمَلِكِ مِصْرَ بَلْ وَمَسْأَلَتُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ وَكَانَ هُوَ وَقَوْمُهُ كُفَّارًا كَمَا قَالَ تَعَالَى : { وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ } الْآيَةَ وَقَالَ تَعَالَى عَنْهُ : { يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ } { مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ } الْآيَةَ وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ مَعَ كُفْرِهِمْ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ لَهُمْ عَادَةٌ وَسُنَّةٌ فِي قَبْضِ الْأَمْوَالِ وَصَرْفِهَا عَلَى حَاشِيَةِ الْمَلِكِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَجُنْدِهِ وَرَعِيَّتِهِ وَلَا تَكُونُ تِلْكَ جَارِيَةً عَلَى سُنَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَعَدْلِهِمْ وَلَمْ يَكُنْ يُوسُفُ يُمْكِنُهُ أَنْ يَفْعَلَ كُلَّ مَا يُرِيدُ وَهُوَ مَا يَرَاهُ مِنْ دِينِ اللَّهِ فَإِنَّ الْقَوْمَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَكِنْ فَعَلَ الْمُمْكِنَ مِنْ الْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَنَالَ بِالسُّلْطَانِ مِنْ إكْرَامِ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ مَا لَمْ يَكُنْ يُمْكِنُ أَنْ يَنَالَهُ بِدُونِ ذَلِكَ وَهَذَا كُلُّهُ دَاخِلٌ فِي قَوْلِهِ : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ .

“Dari sisi inilah, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menjadi bendahara negeri Mesir, bahkan beliau memintanya kepada Raja agar beliau dijadikan bendahara negeri, padahal saat itu sang Raja dan kaumnya adalah kafir, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:

“Dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, ..” (QS. Al Mu’min (40): 34)

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah selain Allah tiada lain kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya ..” (QS. Yusuf (12): 39-40)

Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, maka itu mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya. Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi dan utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat tidak menghendaki hal itu. Akan tetapi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap melakukan apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman diantara keluarganya, suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Betaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …” (Ibid)

Demikianlah pandangan cerdas Imam Ibnu Taimiyah, lalu renungkanlah ….. dengan dalil yang lugas dan kaidah yang jelas, beliau merekomendasikan partisipasi dengan pemerintahan yang jelas-jelas rajanya adalah kafir yang menggunakan undang-undang kafir pula di mana mereka punya sistem sendiri yang tidak mungkin dihindari Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, lalu dengan partisipasi itu bertujuan menghasilkan maslahat dan mencegah mudharat.

3⃣ Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah

Beliau berkata :

ومنها أن الله يدفع عن المؤمنين بأسباب كثيرة قد يعلمون بعضها وقد لا يعلمون شيئا منها وربما دفع عنهم بسبب قبيلتهم أو أهل وطنهم الكفار كما دفع الله عن شعيب رجم قومه بسبب رهطه وأن هذه الروابط التي يحصل بها الدفع عن الإسلام والمسلمين لا بأس بالسعي فيها بل ربما تعين ذلك لأن الإصلاح مطلوب على حسب القدرة والإمكان
فعلى هذا لو ساعد المسلمون الذين تحت ولاية الكفار وعملوا على جعل الولاية جمهورية يتمكن فيها الأفراد والشعوب من حقوقهم الدينية والدنيوية لكان أولى من استسلامهم لدولة تقضي على حقوقهم الدينية والدنيوية وتحرص على إبادتها وجعلهم عمَلَةً وخَدَمًا له
نعم إن أمكن أن تكون الدولة للمسلمين وهم الحكام فهو المتعين ولكن لعدم إمكان هذه المرتبة فالمرتبة التي فيها دفع ووقاية للدين والدنيا مقدمة والله أعلم

“Dari ayat ini, Allah Ta’ala membela orang-orang beriman dengan sebab yang banyak, yang sebagiannya telah mereka ketahui atau sama sekali mereka tidak ketahui. Di antaranya Allah menolong mereka karena faktor kesamaan suku atau tanah air dengan mereka para kuffar sebagaimana yang dialami nabi Syu’aib. Allah Ta’ala menolongnya karena ikatan tersebut. Karena ikatan itu pula (yakni ikatan kesamaan suku dan tanah air) Allah Ta’ala akan menolong Islam dan kaum muslimin, ini tidak apa-apa dilakukan, bahkan hal itu bisa menjadi wajib karena melakukan Ishlah (perbaikan) adalah tuntutan yang harus dilakukan sejauh kemampuan dan kemungkinan.

Oleh karena itu, upaya kaum muslimun yang hidup dibawah naungan wilayah kuffar, dan mereka bekerja untuk merubah keadaan menjadi negeri yang demokratis bagi individu dan masyarakat agar mereka bisa menikmati hak-hak agama dan dunia mereka, itu semua lebih utama dibanding menyerahkan semua urusan mereka kepada orang kafir, baik urusan agama, dunia, urusan pengaturan ibadah dan semua kebutuhan mereka. Benar, jika mungkin kaum musliminlah sebagai pengendali Negara dan pemerintahnya, tetapi jika tidak bisa, maka yang bisa kita lakukan harus kita lakukan dalam rangka melindungi agama dan dunia.” (Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Manan, Juz. 1, Hal. 388)

4⃣ Syaikh Nashir Sulaiman Al ‘Umar Hafizhahullah

Syaikh Nashir Sulaiman al Umar berkata dalam salah satu fatwanya tentang berpartisipasi dalam pemerintahan yang non islami, yang berjudul Dhawabith al Musyarakah fil Majalis an Niyabiyah (Patokan Berpartisipasi Dalam Majelis Perwakilan):

علماً أن الأصل في المشاركة هو الجواز، والمنع طارئ لأسباب وقرائن تحفّ بالأمر عند تطبيق القواعد المشار إليها آنفاً.
وما يستأنس به في هذا الباب هو مشروعية الجهاد مع كل بر وفاجر ، مادام القتال شرعياً.
علماً بأن الجهاد مع الفاجر لا يخلو من مفاسد معتبرة، لكنها تتضاءل عند مصلحة إقامة الجهاد، وترك الجهاد مع الفاجر أعظم مفسدة من المفاسد المترتبة على المشاركة فيه معه
.
“Ketahuilah, bahwa hukum asal dari musyarakah adalah jawwaz (boleh), Hal yang mendasarinya adalah disyariatkannya berjihad bersama imam baik dan yang fajir (jahat), selama berperang untuk hal-hal yang syar’i.
Ketahuilah, berjihad bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang jelas ada, Namun kerusakan ini menjadi kecil nilainya dihadapan besarnya kemaslahatan jihad, dan meninggalkan jihad bersama imam yang fajir akan membawa kerusakan yang lebih besar dibanding kerusakan jika ikut berjihad bersamanya.”

(bagi yang ingin melihat teks lengkap fatwa beliau (masih bebahasa Arab) lihat http://islamtoday.net/islamion/f05.html)

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

 

Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

☀💦☀💦☀💦

Sekedar ingin berpuasa di Bulan Rajab? Ya Boleh dan Tetap Sunah!

Walau demikian, tidak berarti kelemahan semua riwayat ini menunjukkan larangan ibadah-ibadah  secara global. Melakukan puasa, sedekah, memotong hewan untuk sedekah, dan amal shalih lainnya adalah perbuatan mulia dan dianjurkan, kapan pun dilaksanakannya termasuk bulan Rajab (kecuali puasa pada hari-hari terlarang puasa).

Tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa senin kamis dan ayyamul bidh (tanggal 13,14,15 bulan hijriah), sebab ini semua memiliki perintah secara umum dalam syariat.Tidak mengapa puasa di bulan Rajab karena mengikuti perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara umum untuk shaum di bulan-bulan haram. Tidak mengapa sekedar memotong hewan untuk disedekahkan, yang keliru adalah meyakini dan MENGKHUSUSKAN ibadah-ibadah ini dengan fadhilah tertentu yang hanya bisa diraih di bulan Rajab, dan tidak pada bulan lainnya. Jika seperti ini, maka membutuhkan dalil shahih yang khusus, baik Al Quran atau As Sunnah yang shahih.

📌 Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَلَمْ يَثْبُت فِي صَوْم رَجَب نَهْيٌ وَلَا نَدْبٌ لِعَيْنِهِ ، وَلَكِنَّ أَصْلَ الصَّوْمِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ ، وَفِي سُنَن أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْم مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم ، وَرَجَب أَحَدهَا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Tidak ada yang shahih tentang larangan berpuasa pada bulan Rajab, dan tidak shahih pula mengkhususkan puasa pada bulan tersebut, tetapi pada dasarnya berpuasa memang hal yang DISUNAHKAN. Terdapat dalam Sunan Abu Daud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammenganjurkan berpuasa pada asyhurul hurum (bulan-bulan haram), dan Rajab termasuk asyhurul hurum. Wallahu A’lam (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/39)

📌 Hadits yang dimaksud Imam An Nawawi berbunyi:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Dari Mujibah Al Bahili, dari ayahnya, atau pamannya, bahwasanya dia memdatangi NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia pergi. Kemudian mendatangi lagi setelah satu tahun lamanya, dan dia telah mengalami perubahan baik keadaan dan penampilannya. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kau mengenali aku?” Nabi bertanya: “Siapa kamu?” Al Bahili menjawab: “Saya Al Bahili yang datang kepadamu setahun lalu.” Nabi bertanya:: “Apa yang membuatmu berubah, dahulu kamu terlihat baik-baik saja?” Al Bahili menjawab: “Sejak berpisah denganmu, saya tidak makan kecuali hanya malam.” Bersabda Rasulullah: “Kanapa kamu siksa dirimu?”, lalu bersabda lagi: “Puasalah pada bulan kesaabaran, dan    sehari pada tiap bulannya.” Al Bahili berkata: “Tambahkan, karena saya masih punya kekuatan.” Beliau bersabda: “Puasalah dua hari.” Beliau berakata: “Tambahkan.” Beliau bersabda: “Puasalah tiga hari.” Al Bahili berkata: “Tambahkan untukku.” Nabi bersabda: “Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya). Beliau berkata dengan tiga jari hemarinya, lalu menggenggamnya kemudian dilepaskannya.

(HR. Abu Daud No. 2428, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra  No. 8209, juga Syu’abul Iman No. 3738. Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: sanadnya jayyid. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/453.  Namun Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)

Kebolehannya semakin terlihat berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, sebagai berikut:

📌 Dari Utsman bin Hakim Al Anshari, beliau berkata:

سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ

Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubeir tentang shaum pada bulan Rajab, saat itu kami sedang berada pada bulan Rajab, Beliau menjawab: “Aku mendengar Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa (pada bulan Rajab) sampai-sampai kami mengatakan Beliau tidak meninggalkannya, dan Beliau pernah meninggalkannya sampai kami mengatakan dia tidak pernah berpuasa (Rajab). (HR. Muslim No. 1157)

Oleh karenanya, mayoritas para imam membolehkan berpuasa pada bulan Rajab secara umum, selama dia tidak mengkhususkan, mengistimewakan, dan menspesialkannya  melebihi bulan lainnya.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

الظاهر أن مراد سعيد بن جبير بهذا الاستدلال أنه لا نهى عنه ولا ندب فيه لعينه بل له حكم باقي الشهور

Secara lahiriah, maksud dari Sa’id bin Jubeir dengan pendalilan ini adalah bahwa tidak ada larangan dan tidak ada pula anjuran secara khusus puasa pada Rajab,  tetapi hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/38-39)

📌 Jumhur ulama – imam tiga madzhab- menyunnahkannya (mandub), sementara kalangan Hanabilah (Hambaliyah) memakruhkannya (Lihat  Al Fiqhu ‘alal Madzaahib Al Arba’ah, 1/895), sebagaimana itu juga  pendapat Umar bin Al Khathab  Radhiallahu ‘Anhu [1] dan anaknya, Abdullah bin UmarRadhiallahu ‘Anhu. [2]

Berkata Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:

ومن خلال هذه النقول يتضح لنا جلياً أن المسألة خلافية بين العلماء، ولا يجوز أن تكون من مسائل النزاع والشقاق بين المسلمين، بل من قال بقول الجمهور من العلماء لم يثرب عليه، ومن قال بقول الحنابلة لم يثرب عليه.وأما صيام بعض رجب، فمتفق على استحبابه عند أهل المذاهب الأربعة لما سبق، وليس بدعة.
ثم إن الراجح من الخلاف المتقدم مذهب الجمهور لا مذهب الحنابلة

Pada masalah ini, kami katakan bahwa telah jelas perkara ini telah diperselisihkan para ulama, dan tidak boleh masalah ini menjadi sebab pertentangan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Bahkan, siapa saja yang berpendapat seperti jumhur ulama dia tidak boleh dicela, dan siapa saja yang berpendapat seperti Hanabilah dia juga tidak boleh dicela. Ada pun berpuasa pada sebagian bulan Rajab, maka telah disepakati kesunahannya menurut para pengikut empat madzhab sebagaimana penjelasan lalu, itu bukan bid’ah

Kemudian, sesungguhnya PENDAPAT YANG LEBIH KUAT dari perbedaan pendapat sebelumnya adalah pendapat JUMHUR (Mayoritas), bukan pendapat Hanabilah. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 28322)

Banyak ulama yang mengatakan shaum Rajab adalah sunnah, baik dengan istilah mustahab (disukai) dan mandub (dianjurkan), seperti : Imam Asy Syaukani (Naulil Authar, 4/621), Imam Ibnu Hajar Al Haitami (Fatawa Ibni Hajar, 1/4), dan lainnya.

📌 Sementara itu, mengkhususkan menyembelih hewan (istilahnya Al ‘Atirah) pada bulan Rajab, telah terjadi perbedaan pendapat di dalam Islam. Imam Ibnu Sirin mengatakan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk Bashrah, juga Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang dikutip oleh Hambal. Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa hal itu adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapuskan oleh Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda dalam hadits shahih: “Tidak ada Al Fara’ dan Al ‘Atirah.” (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif Hal. 117)

Namun, jika sekedar ingin menyembelih hewan pada bulan Rajab, tanpa mengkhususkan dengan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa dilakukan. Karena Imam An Nasa’i meriwayatkan, bahwa para sahabat berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, dahulu ketika jahiliyah kami biasa menyembelih pada bulan Rajab?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

اذبحوا لله في أي شهر كان

“Menyembelihlah karena Allah, pada bulan apa saja.” (HR. An Nasa’i, hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/208)

(Bersambung …)

🍃🍃🍃🍃

Foot notes:

[1] Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu tidak menyukai puasa Rajab. Berikut ini riwayatnya:

–          Riwayat Imam Ath Thabarani, berkata kepada kami Muhammad bin Al Marziban,  berkata kepada kami   Al Hasan bin Jablah,  berkata kepada kami Sa’id bin Shalt, dari Al A’Masy, dari Barrah bin Abdirrahman, bahwa  Kharasyah bin Al Hurr berkata:

رَأَيْتُ عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ النَّاسِ فِي رَجَبٍ ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الْجِفَانِ وَيَقُولُ : كُلُوا فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُأَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ فلما جاء الإسلام ترك

Aku melihat Umar memukul telapak tangan manusia pada bulan Rajab, hingga dia mengantarkannya ke mangkuk besar, dan berkata: “Makanlah, ini adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang Jahiliyah, yang ketika Islam datang dia sudah ditinggalkan.” (Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 7636)

Imam Al Haitsami mengatakan tentang sanad Ath Thabarani: “Sanadnya terdapat Al Hasan bin Jablah, aku belum temukan orang yang menceritakannya, dan perawi lainnya terpercaya.” (Majma’ Az Zawaid,  3/439) Maka, sanad ini belum meyakinkan. Tetapi Syaikh Al Albani mengatakan: “Tidak apa-apa jika sebagai mutaba’ah (penguat).” (Irwa’ul Ghalil, 4/114)

Ternyata ada riwayat lain dari Imam Ibnu Abi Syaibah sebagai berikut:

Dari Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Barah bin Abdirrahman, dari Kharasyah bin Al Hurr, dia berkata:

رَأَيْتُ عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ النَّاسِ فِي رَجَبٍ ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الْجِفَانِ وَيَقُولُ : كُلُوا فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ

Aku melihat Umar memukul telapak tangan manusia pada bulan Rajab, hingga dia mengantarkannya ke mangkuk besar, dan berkata: “Makanlah, ini adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang Jahiliyah. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9851)

Syaikh Al Albani berkata: haadza sanadun shahihun – sanad hadits ini shahih. (Irwa’ul Ghalil, 4/114)

[2] Imam Ibnu Abi Syaibah menceritakan:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : كَانَ ابْنُ عُمَرَ إذَا رَأَى النَّاسَ ، وَمَا يُعِدّونَ لِرَجَبٍ ، كَرِهَ ذَلِكَ

Berkata kepada kami Waki;, dari ‘Ashim bin Muhamad, dari ayahnya, dia berkata: “Dahulu Ibnu Umar jika dia melihat manusia -dan betapa banyak yang melakukannya  pada Rajab- maka dia membencinya.” (Al Mushannaf No. 9854)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

Serial Tulisan Tentang Bulan Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 2)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 4/Selesai)

Menjawab Kebingungan Tentang Shaum Rajab

Puasa Ayyamul Bidh Tidak Tuntas

Pertanyaan

Assalamualikum ustadz,ustadzah..
Ana mw nanya,tentang puasa yaumul bidh. Puasa yaumul bidh dilksanakan stiap tgl 13,14,15 hijriah. Bagaimana hukumnya jika kita cuma mlksanakan 2 hr sja. Meninggalkan satu hari bkn karena kesengajaan. Syukron (Unhy)

Jawaban:

Wa ‘Alaikumussalam wa rahmatullah .., Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Bisa jadi memang ada keadaan seseorang tidak tuntas melaksanakan tiga hari ayymul bidh, baik karena sakit, haid, atau dia melakukan aktifitas yang lebih utama atau wajib seperti wanita ketika suaminya di rumah. Yang jelas semua itu bukan kesengajaan untuk menghentikannya. Ini tidak mengapa, dia tidak berdosa, sebab Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertaqwa-lah kepada Allah semampu kalian .. (QS. At Taghabun: 16)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Dan apa-apa yang aku perintahkan kepadamu maka lakukanlah semampu kalian. (HR. Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Hurairah Radhaillahu ‘Anhu)

Apalagi jika kekurangan itu dilakukan bukan karena kemauan kita, baik karena keadaan atau ketidaksengajaan, jelas itu bukan kesalahan.

Allah ﷻ berfirman:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Wahai Tuhan kami jangan salahkan kami jika kami lupa dan melakukan kesalahan (tidak sengaja) .. (QS. Al Baqarah: 286)

Dalam hadits lain, dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah membiarkan dari umatku, 1. Kesalahan (tidak sengaja), 2. Lupa, 3. Kesalahan yang terpaksa. (HR. Ibnu Majah No. 2043, hadits juga diriwayatkan banyak imam dari banyak jalur seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al Hasan bin Ali, Tsauban, ‘Uqbah bin ‘Amir. Imam Ibnul Mulaqin dalam Al Badrul Munir-nya menyebutkan bahwa hadits seperti ini memiliki delapan jalur. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya, seperti Al Irwa, Misykah Al Mashabih, Shahih Ibni Majah, dan Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah)

Wallahu a’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

LARANGAN MENINGGIKAN SUARA

  1. NASH AYAT

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu meninggikan suaramu, melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedang kamu tidak menyadarinya. (QS. Al Hujurat [49]:2)

  1. TINJAUAN BAHASA

لا تَرْفَعُوا

Janganlah kalian meninggikan

أَصْوَاتَكُمْ

Suara kalian

وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ

Berkata keras

Menut Ibnu Asyur menyebutkan kerasnya kata-kata melebihi biasanya yang didengar, sehingga mengganggu. Seperti suara yang terdengar dari tempat yang tinggi.[1]

  1. KANDUNGAN AYAT

Ayat ini berkaitan dengan sabab nuzul dalam mukaddimah seri yang lalu, diperkuat juga dengan Imam Al Bukhari menyebutkan dalam kitab Sahihnya, hadits bersumber dari Ali Bin Abdillah:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ سَعْدٍ، أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ، أَنْبَأَنِي مُوسَى بْنِ أَنَسٍ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَقَدَ ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا أَعْلَمُ لَكَ عِلْمَهُ. فَأَتَاهُ فَوَجَدَهُ فِي بَيْتِهِ مُنَكِّسًا رَأْسَهُ، فَقَالَ لَهُ: مَا شَأْنُكَ؟ فَقَالَ: شَرٌّ، كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ. فَأَتَى الرَّجُلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ كَذَا وَكَذَا، قَالَ مُوسَى: فَرَجَعَ إِلَيْهِ الْمَرَّةَ الْآخِرَةَ بِبِشَارَةٍ عَظِيمَةٍ فَقَالَ: “اذْهَبْ إِلَيْهِ فَقُلْ لَهُ: إِنَّكَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَلَكِنَّكَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ[2]

“Telah menceritakan kepadaku Azhar bin Said telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, telah memberitahuku Musa bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu, Nabi mencari Tsabit bin Qais, lalu seseorang berkata,” Aku tahu, aku akan beritahukan kepadamu ya Rasulullah,. Lalu orang tersebut mencari Tsabit bin Anas, dan akhirnya mendapati dirumahnya sedang menengadahkan kepalanya. Orang tersebut berkata,”Apa yang terjadi denganmu ?”. Tsabit bin Qais berkata,” Buruk”. Lalu Tsabit menceritakan, ia mengangkat suara di hadapan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, ia khawatir amalnya akan terhapus, dan termasuk penghuni neraka”. Lalu orang tersebut menemui Rasulullah dan memberitahu beliau apa yang terjadi dengan Tsabit bin Qais. Lalu Musa bin Anas berkata,” Lalu laki-laki itu kembali lagi yang terakhir kepada nabi dengan membawa kabar gembira besar. Lalu nabi berkata,”Pergilah, temui Tsabit Bin Qais katakana kepadanya,”Engkau bukan penghuni neraka, akan tetapi engkau adalah penghuni syurga”.

Menurut Ibnu Asyur, perumpamaan dalam ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya, beliau berkomentar:

لِيَكُونَ كُلُّ مِثَالٍ مِنْهَا دَالًّا عَلَى بَقِيَّةِ نَوْعِهِ وَمُرْشِدًا إِلَى حُكْمِ أَمْثَالِهِ دُونَ كُلْفَةٍ[3]

Agar setiap permisalan tersebut menjadi petunjuk pada sebagian ayat ayat sejenisnya tanpa kesulitan dalam memahami.

Ayat ini juga masih terkait dengan bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Karena Al Qur’an diturunkan untuk sebuah interaksi yang baik, tidak menghendaki hubungan yang buruk. Sehingga mencegah sebuah keburukan dalam syariat islam lebih di dahulukan dari pada mengambil manfaat.

دَرْء الْمَفَاسِد مقدم على من جلب الْمصَالح[4]

“Mencegah kerusakan lebih diprioritaskan daripada mengambil manfaat”.

Karena syariat lebih mengedepankan pencegahan terhadap kerusakan daripada mengambil maslahat terlebih. Larangan meninggikan suara dihadapan nabi semasa hidupnya, juga berlaku meski nabi sudah wafat. Hal ini seperti disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir, saat menyebutkan riwayat bahwa Umar bin Khattab mendengar dua orang yang meninggikan suara di Masjid Nabawi, lalu Umar menegur mereka seraya berkata,” .Tahukan dimana kalian sekarang?”. Dari mana kalian?.Mereka menjawab,” Kami dari Tha’if:. Umar bin Khattab berkata,”Jika saja berasal dari Madinah, akan aku pukul kalian hingga pingsan”.[5]

Menurut Ibnu Abbas ayat ini terkait larangan bagi muslim memanggil nama nabi secara langsung, seperti “Ya Muhammad, akan tetapi panggil dengan sebutan,” Ya Rasulullah, Ya Nabiyallah, Ya Abal Qashim, agar amal-amal kalian tidak terhapus karena kalian hilang adab terhadap Rasulullah. [6]

  1. KESIMPULAN

  • Larangan meninggikan suara, baik terhadap Rasulullah maupun orang lain, karena meninggikan suara mengganggu orang lain.
  • Menjaga adab dengan Rasulullah, memanggil dengan panggilan pemuliaan dan penghormatan.
  • Adab terhadap Rasulullah tetaplah berlak, meski beliau sudah tiada.

Fauzan Sugiono


[1] Muhammad Thahir bin Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, Tunis:Dar Tunisia Li An Nasyr, 1984) J. 26 h.219

[2]Imam Al Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Shahih Al Bukhari, (Mesir, Dar Tuq An Najat, 1422) J.6 h. 137 No 4846

[3] Muhammad Thahir bin Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, h.219

[4] Muhammad Musthafa Az Zuhaily, Ushul Fikh wa Qawaid Fikhiyah, (Damaskus: Dar Fikr, 1427H) j. 1 h. 238

[5] Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azim, (Dar Taybah li An Nasyr, 1420) Tahqiq: Sami Bin Muhammad Salamah j. 7 h. 368

[6] Majduddin Abu Tahir Al Fairuz Abadi,Tanwir Miqbas Fi Tafsir Ibni Abbas, (Libanon:Dar Al Kutub, tt) 1/435

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

scroll to top