Syarah 10 Wasiat Imam Hasan Al Banna Rahimahullah (Bag. 2)

Wasiat 2:

اتل القران او طالع او استمع او اذكر الله و لا تصرف جزء من وقتك فى غير فائدة

Bacalah Al Quran, atau menelaahnya, atau mendengarkannya, atau berdzikirlah kepada Allah, dan jangan buang waktumu sedikit pun dengan hal yang tidak bermanfaat.

🍁🍄🌾🌻🌼🌸🌺

Dalam wasiat ini ada lima nasihat Imam Al Banna kepada murid-muridnya. Kelima nasihat itu adalah: Membaca Al Quran, Menelaahnya, Mendengarkannya, Berdzikir, dan Tidak membuang waktu dengan aktifitas yang sia-sia.

Kita bahas satu persatu ..

1⃣ Membaca Al Quran

Bagi seorang muslim membaca Al Quran adalah terminal ruhiyah dan jiwa. Hiburan hakiki bagi orang beriman dan senandung para mujahid. Kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia baik ketenangan, ketentraman, ketundukan, ikhlas, pasrah kepada ketetapanNya, semua bisa diraih dengan membaca Al Quran, serta merenungi kandungannya.
Seandainya hanya membaca, itu pun sudah membawa manfaat bagi jiwanya, baik dia paham atau tidak paham isinya. Dia akan mendapatkan banyak fadhilah, seperti yang diberitakan oleh Nabi ﷺ.

Di antaranya adalah (kami sebutkan dua hadits saja):

▶ Hadits pertama:

اقرأوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه

Bacalah Al Quran, karena dia akan datang pada hari kiamat nanti sebagai syafaat (penolong) bagi para sahabatnya. (HR. Muslim No. 804)

Kata Imam Al Munawi, para sahabat Al Quran maksudnya para pembacanya. (At Taysir bisyarh Al Jaami’ Ash Shaghir, 1/388)

▶ Hadits lainnya:

الماهر بالقرآن مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له أجران

Orang yang mahir membaca Al Quran dia akan hidup bersama Kiraamil Bararah, dan yang membaca Al Qurannya terbata-bata, dan dia kesulitan, maka baginya dua pahala. (HR. Muslim No. 798)

Al Qadhi ‘Iyadh menjelaskan makna “hidup bersama Kiraamil Bararah”, yaitu hidup bersama malaikat. Di akhirat nanti, dia memiliki kedekatan dengan para malaikat, lantaran mereka memiliki seperti sifat-sifat malaikat yaitu membawa Kitabullah. Ada juga yang mengatakan karena mereka beramal dengan amalnya para malaikat dan berjalan di atas jalan para malaikat. (Imam Badruddin Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 5/367)

Ada pun bagi yang membacanya terbata-bata, dua pahala yang dimaksud adalah pahala membacanya dan pahala kesulitan yang dia alami. (Ibid)

✅ Membacanya Secara Tartil

Hendaknya membaca Al Quran sesuai tuntunan tajwidnya, sebab seperti itulah Al Quran diturunkan.

Allah ﷻ berfirman:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

Dan bacalah Al Quran dengan tartil. (QS. Al Muzammil: 4)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan yaitu membacanya tidak cepat-cepat, jelas hurufnya, yang dengan itu dapat membantu memahaminya dan mentadabburinya. (At Tafsir Al Munir, 29/129)

Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, menjelaskan makna tartil:
الترتيل تجويد الحروف ومعرفة الوقوف

Tartil itu benar hurufnya dan mengetahui tempat berhentinya. (Imam As Suyuthi, Al Itqan, 2/541)

Maka, untuk sampai derajat ini tentu mesti belajar. Kita bersyukur saat ini bertaburan “Rumah-rumah Al Quran” hang menjadi lembaga tahsin dan tahfizh Al Quran. Dengan demikian tidak ada kata tidak bisa, sebab fasilitas begitu mudah didapatkan, tinggal kemauan saja dari kitanya.

✅ Adab Tilawah

Membaca Al Quran tidak sama dengan membaca koran, buku paket, bahkan hadits. Ada adab-adab yang mesti diperhatikan, dan ini sering dibahas para ulama.

Di antaranya:

📌 Dalam keadaan suci baik dari hadats besar dan kecil
📌 Menghadirkan hati dengan khusyu dan tenang
📌 Tempat yang bersih dan syahdu
📌 Duduk menghadap kiblat
📌 Dimulai dengan ta’awudz
📌 Kalau bisa menangis menangislah
📌 Jaga hati untuk tetap ikhlas

Wallahu A’lam

(Bersambung ..)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

 

Memperlama Sujud Terakhir, Adakah Dasarnya?

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Assalamu’alaikum ustadz.. saya yuli dari sambas. Mau tanya ni ustad, klo wanita yg nifas itu apakah mesti 40 hari ataw kah boleh lebih dari itu?? Klo boleh lebih dari 40 hari klo flek2 yg keluar mash tergolong darah nifas?? Terima kasih pak. Semoga berkenan menjawab ny. 🙂 (081350091xxx)

📌 Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmtullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Kepada Pak Jalaludin Pane yang dirahmati Allah Ta’ala. Jazakallah Khairan atas pertanyaannya. Insya Allah akan dijawab satu per satu.

1⃣ Pertama, apakah berdoa ketika sujud mesti pada sujud terakhir atau pada sujud mana pun?

Sebagaimana kita ketahui, sujud adalah momen terdekat antara hamba dengan Rabbnya, maka kita dianjurkan banyak-banyak berdoa. Ini ditegaskan oleh riwayat berikut:

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.” 1)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan contoh doa yang dibacanya ketika sujud, yakni sebagai berikut:

اللهم اغفر لي ذنبي كله. دقه وجله. وأوله وآخره. وعلانيته وسره

“Ya Allah ampunilah dosa-dosaku semua, baik yang halus atau yang jelas, yang awal dan yang akhir, dan yang terang-terangan dan yang tersembunyi.” 2)

Nah, jika membaca doa ini maka sangat bagus dan kita telah mengikuti sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi apakah dengan ini berarti membatasi doa-doa yang dibaca? Bolehkah membaca doa lain sesuai hajat kita? Imam Ahmad Rahimahullah lebih condong hanya membatasi pada doa-doa ma’tsur saja.

Sedangkan, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan bahwa doa-doa dalam sujud tersebut adalah mutlak dan tidaklah dibatasi. Doa apa saja yang termasuk maksud doa kebaikan dunia dan akhirat adalah boleh. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan berbagai doa yang berbeda diberbagai tempat. Ini menunjukkan bahwa hal itu tidak dilarang. Dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim), dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang doa akhir tasyahhud: “Kemudian hendaknya dia memilih doa yang disukai dan sesuai seleranya.” Dalam riwayat Imam Muslim, sebagaimana menjelasan bab yang lalu, dari Abu Hurairah: “kemudian dia berdoa untuk apa-apa yang nyata untuk dirinya.” Imam An Nasa’i meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca dalam qunutnya: “Ya Allah selamatkanlah Al Walid bin Al Walid, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, Salamah bin Hisyam, dan orang-orang lemah dari kalangan mu’minin ..dst.” Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, nabi pernah berdoa dalam qunutnya: “Ya Allah laknatlah Ra’la dan Dzakwan, dan orang-orang yang telah membangkang kepada Allah dan rasulNya.” Ini semua adalah kabilah-kabilah di Arab. Hadits-hadits seperti ini banyak. Jawabannya adalah, bahwa hadits-hadits mereka ini menunjukkan bahwa doa bukanlah termasuk kalamun nas (pembicaraan manusia), dan tentang tasymit (menjawab bersin) dan menjawab salam, telah ada hadits yang menyebutnya sebagai kalamun nas, karena keduanya adalah bentuk lawan bicara dari manusia, dan berbeda dengan doa. Wallahu A’lam. 3)

Demikian yang dikatakan Imam An Nawawi, dan itulah pandangan madzhab syafi’i, nampaknya inilah pendapat yang lebih kuat seperti dalil-dalil yang diterangkannya. Namun, bagi mereka pun membaca sesuai doa yang ma’tsur adalah lebih afdhal. 4)

Ini juga pendapat Malikiyah, dan juga menjadi pilihan bagi Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia, ketika mengomentari hadits: “Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.” Katanya:

ولم يخصص دعاء دون دعاء، والأحاديث في هذا المعنى كثيرة

“Tidaklah mengkhususkan doa tertentu saja dibanding doa lainnya, dan hadits-hadits dengan makna seperti ini banyak.” 5)

📒 Pada sujud kapankah?

Tidak ada dalil khusus yang menunjukkan bahwa sujud terakhir adalah waktu untuk memperbanyak doa yang di maksud, sehingga dia lebih lama dibanding sujud lainnya. Oleh karenanya, ketiadaan dalilnya secara khusus mestilah membuat hal ini berlaku umum pada sujud mana pun. Justru jika kita perhatikan sunah, semua bagian gerakan yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan adalah sama panjangnya, baik ruku’, sujud, dan i’tidalnya.

Hal ini diterangkan oleh berita dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رُكُوعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ

Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pada ruku, sujud, dan jika bangun dari ruku’nya (i’tidal), serta duduk di antara dua sujud, lama (tuma’ninah)-nya kurang lebih sama. 6)

Maka, silahkan dia berdoa pada sujud mana pun dia mau, termasuk pada sujud terakhir, asalkan tidak sampai jauh melebihi lama sujud lainnya. Menyengaja memperlama sujud terakhir melebihi sujud lainnya, bukanlah termasuk sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

الإطالة في السجدة الأخيرة ليست من السنة لأن السنة أن تكون أفعال الصلاة متقاربة الركوع والرفع منه والسجود والجلوس بين السجدتين كما قال ذلك البراء بن عازب رضي الله عنه قال (رمقت الصلاة مع النبي صلى الله عليه وسلم فوجدت قيامه فركوعه فسجوده فجلسته ما بين التسليم والانصراف قريباً من السواء) هذا هو الأفضل ولكن هناك محلٌ للدعاء غير السجود وهو التشهد فإن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم لما علم عبد الله بن مسعود التشهد قال (ثم ليتخير من الدعاء ما شاء) فليجعل الدعاء قل أو كثر بعد التشهد الأخير قبل أن يسلم.

Memperpanjang sujud terakhir bukanlah bagian dari sunah, karena sunahnya adalah gerakan-gerakan dalam shalat itu hampir sama seperti ruku’, bangun dari ruku, sujud, dan duduk di antara dua sujud, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu : (Aku shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan aku dapatkan bahwa lamanya Beliau berdiri, ruku, sujud, dan duduknya antara salam dan selesainya, adalah mendekati sama). Inilah yang lebih utama, tetapi ada tempat lain untuk berdoa selain ketika sujud, yaitu pada saat tasyahud, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mengetahui Abdullah bin Mas’ud sedang tasyahud, Beliau berkata: (Kemudian hendaknya kamu pilih doa apa pun yang kamu kehendaki), maka hendaknya dia berdoa sedikit atau banyak setelah tasyahud akhir sebelum salam. 7)

Namun, jika ada memanjangkan sujud akhirnya, hal itu tidak merusak shalatnya, shalatnya tetap sah.

2⃣ Kedua, selain doa yang diajarkan nabi, apakah boleh berdoa sesuai hajat kita setelah membaca tasyahud akhir sebelum salam?

Sebagaimana hadits dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan bacaan yang mesti dibaca ketika duduk tasyahud hingga selesai, lalu bersabda:

ثُمَّ يَتَخَيَّرُ مِنْ الْمَسْأَلَةِ مَا شَاءَ

Kemudian dia boleh memilih doa apa pun yang dia kehendaki. 8)

Hadits ini, walau jelas menyebut memilih doa apa pun yang dia kehendaki, ternyata para imam tidak satu kata dalam memahaminya. Mayoritas ulama mengatakan ini merupakan petunjuk bolehnya berdoa apa pun yang kita mau dalam urusan agama dan dunia, selama memang itu doa yang baik. Sedangkan Imam Abu Hanifah, Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Syaikh ‘Athiyah bin Muhammad Salim, menyatakan tidak boleh sembarang doa kecuali dengan doa dari Al Quran dan As Sunnah.

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

فيه استحباب الدعاء في آخر الصلاة قبل السلام وفيه أنه يجوز الدعاء بما شاء من أمور الآخرة والدنيا ما لم يكن إثما وهذا مذهبنا ومذهب الجمهور وقال أبو حنيفة رحمه الله تعالى لا يجوز إلا بالدعوات الواردة في القرآن والسنة

Pada hadits ini terdapat anjuran disukainya berdoa pada akhir shalat sebelum salam, dan pada hadits ini juga dibolehkan berdoa dengan apa saja yang dikehendaki berupa urusan akhirat dan dunia, selama bukan yang mengandung dosa. Inilah pendapat madzhab kami (syafi’iyah) dan madzhab jumhur. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat tidak boleh kecuali dengan doa-doa yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah. 9)

Imam Abul Faraj bin Al Jauzi Rahimahullah mengatakan:

وقوله ثم يتخير من المسألة ما شاء محمول عندنا على التخير من الأدعية المذكورة في القرآن وفي الحديث ومتى دعا بكلام من عنده مثل أن يقول اللهم ارزقني جارية أو طعاما فسدت صلاته وهو قول أبي حنيفة وعند مالك والشافعي يجوز أن يدعو بما شاء

Sabdanya (Kemudian dia boleh memilih doa apa pun yang dia kehendaki) pengertiannya menurut kami adalah memilih doa-doa yang disebutkan dalam Al Quran dan Al Hadits, dan ketika dia berdoa dengan ucapan yang dibuatnya sendiri semisal: “Ya Allah berikanlah aku seorang anak perempuan atau makanan.” Maka rusaklah shalatnya, inilah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan menurut Malik dan Asy Syafi’i boleh berdoa dengan apa pun yang dikehendaki. 10)

Secara zahir, hadits ini menunjukkan kebenaran pendapat mayoritas ulama, bahwa doa tersebut tidak dibatasi alias mutlak sesuai kehendak orangnya, selama doa tersebut tidak mengandung kemungkaran. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhamamdin wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi ajmian.

🍂🌱🌿☘🍀🎍🎋

[1] HR. Muslim No. 482
[2] HR. Muslim No. 483
[3] Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/472. Darul Fikr
[4] Imam Khathib Asy Syarbini, Mughni Al Muhtaj, 2/432. Mawqi’ Al Islam. Imam Syihabuddin Ar Ramli, Nihayatul Muhtaj, 4/393
[5] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’, No. 4210
[6] HR. Bukhari No. 792, Muslim No. 471, dan ini lafaznya Al Bukhari)
[7] Fatawa Nur ‘Alad Darb, 143/7
[8] HR. Muslim No. 402
[9] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/117
[10] Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Kasyful Musykil min Hadits Ash Shahihain, 1/191. Darul Wathan, Riyadh

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Mendamaikan Golongan Yang Bertikai

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9 (

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. ( QS Al Hujurat [49]: 8-9)

Tinjauan Bahasa

طَائِفَتَانِ

dua golongan

اقْتَتَلُوا

mereka yang beriman itu berperang

فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

hendaklah kamu damaikan antara keduanya

بَغَتْ

melanggar perjanjian

SEBAB NUZUL AYAT

Ibnu Asyur menyebutkan dalam tafsirnya bahwa:

أَنَّ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي قِصَّةِ مُرُورِ رَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَجْلِسٍ فِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ بْنُ سَلُولَ وَرَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ فَوَقَفَ رَسُول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَالَ الْحِمَارُ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ: خَلِّ سَبِيلَ حِمَارِكَ فَقَدْ آذَانَا نَتَنُهُ. فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ: وَاللَّهِ إِنَّ بَوْلَ حِمَارِهِ لَأَطْيَبُ مِنْ مِسْكِكَ فَاسْتَبَّا وَتَجَالَدَا وَجَاءَ قَوْمَاهُمَا الْأَوْسُ وَالْخَزْرَجُ، فَتَجَالَدُوا بِالنِّعَالِ وَالسَّعَفِ فَرَجَعَ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ ُ

Ayat ini turun pada kisah lewatnya unta Rasulullah Shalallah alaihi wa sallam di sebuah majelis yang ada Abdullah bin Ubay bin Salul, sedang Rasulullah berada di atas keledainya, lalu beliau berdiri dan keledainya kencing. Abdullah bin Ubay berkata,” Minggir, keledai ini sudah mengganggu kita dengan bau busuknya,”. Lalu Abdullah bin Rawahah berkata,”Demi Allah kencing keledai Nabi lebih harum dari minyak kesturi,”. Lalu mereka bersitegang, berdebat hingga datanglah suku Aus dan Khazraj, merekapun nimbrung lalu saling melempar terompah dan biji-bijian, kemudian Rasulullah kembali lagi dan mendamaikan mereka. [1]

MAKNA BUGAT

📎 Secara bahasa

Menurut Ibnu Manzur dalam Lisan al ‘Arab kata البغات berarti التعدي  artinya melawan.[2]

Hal ini sesuai dengan firman Allah:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ …

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar… ( QS. Al-A’raf [7]:33)

Sedangkan menurut Az Zamakhsyari dalam kitab Asas al Balaghah beliau menyebutkan kata:

البغي  adalah طلب الشيء

Artinya meminta sesuatu

Dalam Kitab Taj al Arusy disebutkan makna bughat:[3]

وقالَ الأصْمَعيُّ: {بَغَى الرجلُ حاجَتَه أَو ضَالَّتَه

Menurut Asma’iy,” Bagha ar rajul hajatahu artinya Seseorang tersesat dalam keperluannya”.

Dalam Mu’jam Matn Al Lughah disebutkan makna kalimat Al Baghy adalah:[4]

الطلب و تجاوز الحد

Permintaan dan melampaui batas

Dan orang yang dzalim dan melampaui batas disebut Baghi[5]

📎 Secara istilah

Adapun secara istilah, Para ulama berbeda dalam mendefinisikan bughat, kadang mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghyu (pemberontakan).[6]

  • Menurut ulama Hanafiyah al-Baghyu adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa alas an

هُمْ الْخَارِجُونَ عَنْ الْإِمَامِ الْحَقِّ بِغَيْرِ حَقٍّ

Mereka adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq. [7]

  • Ulama Malikiyah menjelaskan al-Baghyu adalah mencegah diri untuk menaati imam (khalifah) yang sah dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) sekalipun karena alasan ta`wil (penafsiran agama). Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menurunkannya.[8]
  • Ulama Syafi’iyah mengartikan bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthâ’) dalam kelompok tersebut.[9]

Bughat juga diartikan sebagai orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati (Asna al-Mathalib, IV/111).

Kandungan Ayat

Ayat diatas mengandung pelajaran berupa langkah-langkah menghadapi golongan yang memberontak, dalam sebuah kepemimpinan (khalifah). Karena golongan yang memberontak pemerintahan bukanlah termasuk golongan Rasulullah, seperti dalam hadits Rasulullah dari Ibnu Umar Radhiyallah anhuma:[10]

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا

Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Muttafaqun ‘alaih)

PENDAPAT PARA MUFASSIRIN

  • Menurut imam At Thabari maksud dari ayat 9 diatas adalah:[11]

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

وإن طائفتان من أهل الإيمان اقتتلوا، فأصلحوا أيها المؤمنون بينهما بالدعاء إلى حكم كتاب الله، والرضا بما فيه لهما وعليهما، وذلك هو الإصلاح بينهما بالعدل

Jika ada dua golongan dari ahlul iman, saling berperang, maka damaikanlah keduanya, dengan menyeru mereka kepada berhukum kepada kitabullah, dan ridha atas apa yang terjadi dengan mereka, itulah perdamaian (islah) dengan dasar keadilan.

(فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى) يقول: فإن أبَت إحدى هاتين الطائفتين الإجابة إلى حكم كتاب الله له، وعليه وتعدّت ما جعل الله عدلا بين خلقه، وأجابت الأخرى منهما

(Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain)

Jika salah satu golongan enggan menerima keputusan berhukum dengan kitabullah (perdamaian) hendaklah ia bersiap dengan apa yang telah Allah jadikan adil diantara ciptaan-Nya, dan menerima golongan lain.

(فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي) يقول: فقاتلوا التي تعتدي، وتأبى الإجابة إلى حكم الله

(حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ) يقول: حتى ترجع إلى حكم الله الذي حكم في كتابه بين خلقه

(Hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah)

Hendaklah golongan yang melawan kalian perangi, hingga kembali kepada hukum Allah

(فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ) يقول: فإن رجعت الباغية بعد قتالكم إياهم إلى الرضا بحكم الله في كتابه، فأصلحوا بينها وبين الطائفة الأخرى التي قاتلتها بالعدل: يعني بالإنصاف بينهما، وذلك حكم الله في كتابه الذي جعله عدلا بين خلقه.

(Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil)

Jika golongan yang melawan tersebut mereka kembali dan ridha dengan hukum Allah, maka damaikan kembali dengan kelompok yang telah engkau perangi dengan adil, dengan adil diantara kedua kelompok tersebut, itulah hukum Allah yang telah berlaku adil bagi makhluk-Nya.

Ketika kita melakukan hal-hal tersebut diatas untuk mendamaikan kedua belah pihak yang salah satunya memberontak, maka kita sudah menolong mereka dari kezaliman. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW:

عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلم قَالَ: “انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا”. قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: “تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمَ، فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ”

“Dari Anas bin Malik, bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “ Tolonglah saudaramu yang zalim atau terzalimi, lalu aku bertanya,” Wahai Rasulullah, ini jika menolong orang yang terzolimi, bagaimana aku menolong orang zalim?” Rasulullah bersabda,” Engkau melarang ia berlaku zalim, maka itulah pertolonganmu kepadanya”. (HR. Bukhari, No. 2443)

Hikmah

  • Perintah mendamaikan dua golongan kaum muslimin yang berselisih (bertikai)
  • Bughat adalah pemberontak dalam sebuah system kekhalifahan
  • Hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai mereka kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah atau negara dan menghentikan pembangkangan mereka.
  • Perintah Allah untuk berlaku adil dan menjauhi kezaliman dalam segala bentuknya

والله أعلم

🖊 Fauzan Sugiono


[1] Ibnu Asyur, At Tahrir wa Tanwir, (Tunisia: Dar Tunis, 1984) j. 26/238

[2] Ibnu Manzur, Lisan Al ‘Arab J. 1/241

[3] Az Zubaidi, Taj al Arusy, Dar al Hidayah, 37/82

[4] Mu’jam Matn Al Lughah, 1/320

[5] Amanillah Muhammad Shadiq, Ahkam Bughat fi Syariah Islamiyah, Jamiah Muhammad Ibnu Suud, 1976, h. 37

[6] Abdul Qadir Audah, at-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islami, 1996 hal. 673-674

[7] Ibn ‘Abidin, Rad al Mukhtar ‘ala ad Dur al Mukhtar, Beirut: Dar al Fikr, 1412 H, j 4 h. 261

[8] (A-Zarqani, Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).

[9] Nihayatul Muhtaj, VIII/382; asy-Syayrazi, Al-Muhadzdzab, II/217; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197-198; Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, II/153).

[10] Subulus Salam, III/257. Kitab Qitâl Ahl Al-Baghi,  Imam Asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab, II/217).

[11] At Thabari, Tafsir At Thabari, Muassasah Ar Risalah, 1420 H, J. 22/ 292

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Akhlak Luhur Ulama Salaf Terhadap Perbedaan Pendapat Yang Mereka Alami

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Tema ini sering kami angkat bahkan sangat sering, baik lisan dan tulisan

📌 Karena kata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya,   “Laa yazaal al khulfu bainan naas fi adyaanihim …” ( Tafsir Ibnu Katsir, 4/361), artinya manusia senantiasa berselisih pada urusan agama mereka ..

📌 Oleh karena itu kami tidak bosan dan tidak boleh lelah mengingatkan manusia tentang hal ini

📌 Banyak manusia semangat dalam mempelajari fiqih atau menanyakan fiqih, tapi lupa adab-adab dalam berfiqih. Fiqihnya ulama salaf itu penting, tapi mempelajari bagaimana adab mereka lebih penting

📌 Maka, kita dapati para salaf lebih mendahulukan belajar adab dibanding fiqih

📌 Kaku, keras, galak, bengis, dan memonopoli kebenaran, adalah potensi yang mungkin terjadi jika hanya belajar fiqih – apalagi jika hanya dari satu model pemikiran tanpa open mind terhadap yang lain – tanpa mempelajari adab dan penerapan fiqihnya di masyarakat

📌 Kadang sikap memaksakan kehendak juga dilakukan oleh oknum ustadz, sehingga muridnya pun mengikutinya. Hampir-hampir dia terjatuh pada sikap Iblis, “Ana khairu minhu – Aku lebih baik darinya.”

📌 Akhirnya, yang terjadi adalah fitnah dan keributan, bahkan khawatir sampai taraf “lakum diinukum waliyadin” terhadap saudaranya yang berbeda pendapat dengannya

📌 Sebagian orang ada yg standar ukhuwah Islamiyahnya dilihat dari kesamaan fiqih, sikap al Wala’ wal Bara’ dilihat dari kesamaan fiqih, menyikapi manhaj dilihat dari kesamaan fiqih ..

📌 Jika sama fiqihnya maka menjadi saudara, boleh menjadi ber-tawalli (dijadikan loyalitas), dan semanhaj … jelas ini salah faham dan salah penerapan

Berikut ini, akan kami tampilkan bagaimana mulianya para salafush shalih, terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka .. semoga kita semua bisa ambil pelajaran.

Selamat menikmati!

1⃣ Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menceritakan:

فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله
عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن
أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين

Diriwayatkan oleh  Imam Abu Daud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu shalat di Mina 4 rakaat.

Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengingkarinya seraya berkata:

“Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau:

“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in.

( As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)

2⃣ Imam Al Qasim bin Muhammad Rahimahullah

Beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu.

Beliau ditanya oleh seseorang:

سألت القاسم بن محمد عن القراءة خلف الإمام فيما لم يجهر فيه, فقال: إن قرأت فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة، وإذا لم تقرأ فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة

Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya.

Beliau menjawab: “Jika kamu membacanya maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

3⃣ Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”

(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Tentang merutinkan Qunut Subuh, Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.”

(Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

4⃣ Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan Rahimahullah

Beliau berkata:

ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه

Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

5⃣ Imam Asy Syafi’i Rahimahullah

Imam Asy Syafi’i (juga Imam Malik) berpendapat sunnahnya Qunut Subuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada Qunut Subuh.

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ

“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Perbuatannya itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.”

( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

Imam Adz Dzahabiy Rahimahullah menceritakan:

قال يونس الصدفي: ما رأيت أعقل من الشافعي، ناظرته يوما في مسألة، ثم افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثم قال: يا أبا موسى، ألا يستقيم أن نكون إخوانا وإن لم نتفق في مسألة

قُلْتُ: هَذَا يَدُلُّ عَلَى كَمَالِ عَقْلِ هَذَا الإِمَامِ وَفقهِ نَفْسِهِ فَمَا زَالَ النُّظَرَاءُ يَخْتَلِفُوْنَ

Yunus Ash Shadafiy berkata: “Aku belum pernah melihat orang yang paling cerdas dibandingkan Asy Syafi’iy.

Suatu hari aku pernah berdebat dengannya dalam sebuah masalah kemudian kami berpisah. Lalu, Beliau menjumpaiku dan memegang tanganku dan berkata: ‘Wahai Abu Musa, kita tetap erat bersaudara walau kita tidak sepakat dalam suatu permasalahan.”

Aku (Adz Dzahabiy) berkata: “Ini menunjukkan kesempurnaan akal dan taufiq pada diri imam ini, sebab biasanya orang berdebat itu senantiasa berselisih.”

📚 Siyar A’lamin Nubala, 10/16

6⃣ Imam Ahmad bin Hambal  Rahimahullah

Beliau mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.

( Al Mughni, 2/87,  Syarhul Kabir, 1/802)

Tentang Qunut Subuh,  diceritakan tentang Imam Ahmad Rahimahullah :

فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض

“Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah.

Namun Beliau mengatakan:

“Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”

(Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sebenarnya masih banyak lagi. Tapi, contoh-contoh sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.

Mampukah kita meneladaninya?

Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌻🌴🌺☘🌷

Farid Nu’man Hasan

scroll to top