Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

JAUHILAH PRASANGKA

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang mengunjing sebagian yang lain. Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudara yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang ( QS: Al Hujurat [49]:12

TINJAUAN BAHASA

الظَّنِّ

prasangka

وَلَا تَجَسَّسُوا

janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain

وَلَا يَغْتَبْ

Mengunjing

 

KANDUNGAN AYAT

Secara umum ayat ini berisi adab-adab berinteraksi dengan sesama manusia, seperti juga ayat-ayat sebelumnya. Diantara etika berinteraksi dengan sesama manusia dalam ayat ini adalah menjauhi prasangka. Hendaklah setiap kita berhati-hati dengan prasangka yang muncul, berfikir terhadap prasangka yang terbetik dalam hati, dari jenis manakah itu. Prasangka yang dibolehkan adalah berprasangka baik kepada Allah (huznuzhan) dan kepada sesama mukmin. Sedangkan prasangka yang diharamkan adalah berprasangka yang mengadung keburukan, baik kepada Allah maupun kepada sesama mukmin.[1]

Pengertian Dzan (الظن) menurut para ulama

  • Secara bahasa kata dzan menurut Ibnu Faris mengandung dua makna, yaitu yakin (al yaqin) dan ragu-ragu (as syak).juga bermakna tempat sesuatu (ma’lam syai), dugaan (tuhmah). Dzan merupakan lawan kata dari yakin.

Menurut Fairuz Abadi makna dzan adalah:

التردد الراجح بين طرفي الاعتقاد غير الجازم

Ketidakstabilan antara dua sisi yang paling kuat dengan keyakinan yang tidak kokoh.[2]

  • Sedangkan secara istilah, berikut ini pendapat para ulama:
  1. Menurut Jalaluddin Al Mahally

Makna dzan adalah

تجويز أمرين أحدهما أظهر من الآخر

Kebolehan dua perkara, yang satu lebih jelas dari yang lain.[3]

  1. Menurut Al Amidi

عبارة عن ترجح أحد الاحتمالين في النفس على الآخر من غير قطع

Ungkapan tentang kuatnya salah satu dari dua kemungkinan dalam diri, tanpa kepastian.[4]

  1. Menurut Ibnu Quddamah Al Maqdisi

Setiap jiwa yang memiliki sikap membenarkan sesuatu atau tidak, namun jika tidak maka tidak menafikan untuk diterima hal tersebut.[5]

  1. Menurut Az Zamakhsyari

Keyakinan terkuat dari dari dua sisi, dimana salah satu dari keduanya lebih ia dukung.[6]

Sedangkan menurut para alhi fikih, dhzan merupakan bagian dari keraguan (syak), karena mereka berada dintara dua kondisi, adanya sesuatu dan tidak adanya sesuatu. Meski sama atau menguatkan salah satu dari keduanya. Sehingga jika ada yang berkata,” Aku yakin seribu kali,”. Maka tidak dihukumi apapun karena makna intinya adalah keraguan.[7]

Menurut Syekh Shalih Utsaimin, tingkatan pengetahuan ada enam:[8]

  1. Ilmu (mengetahui sesuatu dengan data yang akurat)
  2. Jahl basith (tidak mengetahui secara umum)
  3. Jahl murakkab (mengetahui sesuatu yang bertolak belakang dengan yang sesungguhnya)
  4. Al Wahm (mengetahui sesuatu namun lawan dari pendapat yang kuat)
  5. Asy Syak (mengetahui sesuatu namun dengan pengetahuan buruk)
  6. Az Dzhan (mengetahui sesuatu namun dengan kemungkinan terburuk)

Dari data di atas ternyata dzan (prasangka) menduduki peringkat paling bawah dalam konteks pengetahuan. Oleh sebab itu menjauhi prasangka lebih berhati-hati dalam mengetahui sesuatu.

Beberapa pendapat Al Mufassirin Terkait Ayat

Imam Ibnu Katsir menyebutkan, bahwa ayat ini berisi larangan kepada kaum muslimin untuk menjauhi banyak prasangka, yaitu tuduhan kepada sesama yang bukan pada tempatnya. Karena sebagian prasangka tersebut bisa menjadi dosa, jauhilah sebagai bentuk kehati-hatian.[9]

Ibnu Asyur menyebutkan dalam tafsirnya:

فَاعْلَمُوا أَنَّ بَعْضَ الظَّنِّ جُرْمٌ، وَهَذَا كِنَايَةٌ عَنْ وُجُوبِ التَّأَمُّلِ فِي آثَارِ الظُّنُونِ لِيَعْرِضُوا مَا تُفْضِي إِلَيْهِ الظُّنُونُ عَلَى مَا يَعْلَمُونَهُ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ، أَوْ لِيَسْأَلُوا أَهْلَ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ هَذَا الْبَيَانَ الِاسْتِئْنَافِيَّ يَقْتَصِرُ عَلَى التَّخْوِيفِ مِنَ الْوُقُوعِ فِي الْإِثْمِ

Ketahuilah sebagian prasangka adalah kejahatan, ini ungkapan wajibnya memikirkan afek prasangka, untuk mengungkap prasangka tersebut terkait dengan hukum syariat, atau hendaklah ia bertanya kepada ahli ilmu bahwa penjelasan ini merupakan dampak, khawatir terjerumus terhadap dosa.[10]

Umar bin Khattab berkata:

وَلَا تَظُنَنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيكَ الْمُسْلِمِ إِلَّا خَيْرًا، وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلًا

“Janganlah kamu berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudara muslim melainkan kebaikan, sedangkan kamu melihatnya secara umum dalam kebaikan”.[11]

عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ وَيَقُولُ: “مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ، مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ. وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ، مَالُهُ وَدَمُهُ، وَأَنْ يُظَنَّ بِهِ إِلَّا خَيْرٌ

“Dari Abdullah bin Amr berkata, “Aku melihat nabi Shaallahu alaihi wasallam tawaf di ka’bah dan berkata,”Betapa mulia dan semerbak dirimu ka’bah, betapa agung dan mulia kehormatanmu, demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh, kehormatan seorang mukmin disisi Allah, lebih mulia dari kehormatanmu, harta dan darahnya, dan hendaklah berprasangka kepada mukmin dengan sangkaan yang baik.[12]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَنَافَسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا”.

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu berkata,”Rasulullah Shalallah Alaihi wa sallam telah bersabda,”Juhilah prasangka, sesungguhnya prasangka itu sedusta-dustanya perkataan, janganlah kalian memata-matai, jangan mencari-cari dengar, jangan saling bersaing, jangan hasad, jangan iri, jangan saling membelakangi, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari no. 6066,dari Abdullah bin Yusuf, HR. Muslim, 2563, dari Yahya bin Yahya dan HR. Abu Daud dari al ‘Utab)

Dalam hadits lain bersumber dari Anas bin Malik Rasulullah melarang seorang muslim menjauhi saudaranya melebihi tiga hari seperti dalam sabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَا تَقَاطَعُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا، وَلَا يَحِلُّ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ“.

“Dari Anas bin Malik Radhiyallah Anhu Rasulullah bersabda,”Janganlah saling memutuskan silaturahim, jangan saling membelakangi, jangan hasad, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara, tidak halal seorang muslim menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. Muslim , 2559 dan At Tirmiz, 1935 dan ia mensahihkannya dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah)

Larangan Ghibah

{وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا}

Janganlah menggunjing sebagian kalian dengan lainnya

Menurut Imam Ibnu Katsir juga, ayat ini merupakan larangan terhadap ghibah, yaitu membicarakan orang lain. Seperti termaktub dalam hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الْغِيبَةُ؟ قَالَ: “ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ”. قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: “إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ”

“Dari Abu Hurairah berkata, seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Apakah ghibah itu? Rasulullah menjawab,”Engkau menyebut saudaramu dengan apa-apa yang ia tidak sukai, lalu orang tersebut berkata,”Bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan ada padanya?”. Rasulullah bersabda,” Jika yang engkau bicarakan ada pada dirinya maka engkau sudah melakukan kebathilan. (Sunan Abu Daud 4874, Sunan Tirmizi, 1935)

{أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ}

“Apakah ada diantara kamu yang suka memakan daging saudara yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik”

“As Sa’di menyebutkan bahwa ayat ini mengumpamakan memakan bangkai, yang tidak disukai oleh siapapun, karena merupakan puncak rasa jijik. Maksudnya seperti kalian tidak suka memakan bangkai, maka kalian juga akan merasa jijik jika memakan daging mentah, itulah hakikat ghibah.[13]

Imam At Thabari menyebutkan dalam tafsirnya:

Jangan kalian mengatakan buruk terhadap sebagian yang lain saat mereka tidak hadir, karena pihak tersebut tidak menyukainya jika dikatakan saat hadir.[14]

Menurut Imam An Nawawi, hukum asal ghibah adalah haram, kecuali dalam enam sebab:[15]

  1. Kezaliman

Dibolehkan kepada orang yang dizalimi mengadukan kepada pemimpin atau hakim atas nasib yang menimpanya untuk melakukan tindakan perbaikan.

  1. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan kemaksiatan kepada taat
  2. Meminta fatwa, boleh mengadukan kepada mufti dan meminta fatwa atas hal yang menimpanya. Misalnya si Fulan telah menzalimi saya dan seterusnya.
  3. Warning (perhatian) kepada kaum muslimin terkait informasi yang membahayakan, namun harus melalui sumber-sumber yang bisa dipercaya.
  4. Pihak yang dibicarakan sudah jelas dan diketahui umum tentang sifat fasik dan sifat buruknya
  5. Gelar atau panggilan untuk mengenal, misalnya orang tersebut buta atau pincang

Hikmah

  • Kehormatan seorang muslim lebih mulia harus dijaga, melebihi kehormatan ka’bah.
  • Berhati-hati dalam berprasangka, karena khawatir terjerumus dosa.
  • Menjauhi ghibah dalam segala bentuk, kecuali yang sudah disebutkan diatas

 

والله أعلم

🖊 Fauzan Sugiono


[1] Muhammad An Nawawi Al Bantani Al Jawi, Marah Labid, (Beirut: Dar Kutub al Ilmiyah, 1417 H) J. 2/439

[2] Fairuz Abadi, Qamus Al Muhith, 1/1566

[3] Jalaludin Al Mahalli, Syarh Al Waraqat, h.6

[4] Al Amidi, Al Ihkam Fi Suhuli al Ihkam, 1/13

[5] Ibnu Quddamah, Raudhatun Nadzir,1/22

[6] Az Zamakhsyari, Al Bahrul Muhith Fi Ushulil Fikh,1/57

[7] At Thahawi, Hasyiyah Ala Maraqi Al Falah Nurul Idhah,1/446

[8] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, (Dar Tsuraya Lin Nasyr, 1424) 1/18

[9] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 7/377

[10] Ibnu Asyur, At Tahrir wa at Tanwir, 26/251

[11] HR Ahmad, 7/565

[12] HR. Ibnu Majah, No.3932

[13] Abdurrahman Nashir As Sa’di, Tafsir As Sa’di, 1/801

[14] Tafsir At Thabari, 22/305

[15] An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/143

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Pro – Kontra Ritual Nishfu Sya’ban

💢💢💢💢💢💢💢

Di beberapa negara Islam,  umat Islam memiliki tradisi berkumpul di masjid atau di surau pada tiap ba’da maghrib di malam nishfu sya’ban (malam ke lima belas). Mereka membaca surat Yasin, lalu shalat dua rakaat dengan tujuan agar panjang umur, lalu shalat dua rakaat lagi agar kaya selain itu mereka berdoa dengan doa-doa khusus untuk malam nishfu sya’ban. Apakah ini semua memiliki dalil dari Al Quran, As Sunnah, atau pernah diperbuat oleh sahabat, atau tabi’in, atau tabi’ut tabi’in, atau  para imam madzhab? Ataukah ini kekeliruan dan perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah) ? Ataukah perselisihan ulama yang mesti disikapi dengan lapang dada?

Namun, tidak bisa dipungkiri aktifitas ini memang pro kontra sejak masa lalu. Kedua belah pihak sama-sama sepakat bahwa ritual ini tidak pernah ada pada masa Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Ritual ini baru ada pada masa tabi’in, dan dilakukan sebagian ulama  pada masa itu, dan ditolak oleh lainnya.

📌I.  Pihak Yang Menolak

Pihak yang menolak, baik membid’ahkan atau memakruhkan, menganggap aktfitas ini tidak ada dasarnya dalam syariat. Dan merupakan salah satu ritual yang muhdats (baru), yang mesti dijauhi. Sebab, asal dari ibadah adalah ittiba’ (mengikuti), bukan ibtida’ (menginovasi).

Dalam kaidah disebutkan:

فَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى الْأَمْرِ

“Pada dasarnya semua bentuk  ibadah adalah batil (terlarang), sampai adanya dalil yang menunjukkan perintahnya.”  (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/344. Maktabah Al Kulliyat Al Azhariyah)

Dengan kaidah inilah para ulama sangat berhati-hati dalam urusan perkara ibadah yang pada masa-masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat tidak pernah ada. Sebab jika ibadah tersebut baik dan benar, pastilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  paling tahu tentang itu dan tidak akan lupa mencontohkan atau memerintahkan kepada umatnya.

Berikut ini ulama yang menolak ritual Nishfu Sya’ban:

1⃣ Sebagian tabi’in

Diriwayatkan dari sebagian tabi’in bahwa mereka membenci ritual Nishfu Sya’ban, bahkan ada yang membid’ahkan.

Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah menceritakan:

وقد أنكر ذلك أكثر العلماء من أهل الحجاز، منهم عطاء وابن أبى مليكة، ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة ، وهو قول أصحاب مالك وغيرهم ، وقالوا : ذلك كله بدعة

Perbuatan itu diingkari oleh mayoritas ulama di Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga menolaknya, yakni para sahabat Imam Malik dan selain mereka, lalu mereka mengatakan: “Semua itu bid’ah!” (Fatawa Al Azhar, 10/131)

Begitu pula sebagian ulama Syam masa itu, Syaikh ‘Athiyah melanjutkan:

أنه يكره الاجتماع فى المساجد للصلاة والقصص والدعاء ، ولا يكره أن يصلى الرجل فيها لخاصة نفسه ، وهذا قول الأوزاعى إمام أهل الشام وفقيههم وعالمهم .

Bahwasanya dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan berdoa pada malam itu, namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya sendiri saja. Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli fiqih)-nya mereka dan ulamanya mereka.”   (Ibid)

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ عَلَى كَرَاهَةِ الاِجْتِمَاعِ لإِِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ ، وَصَرَّحُوا بِأَنَّ الاِجْتِمَاعَ عَلَيْهَا بِدْعَةٌ وَعَلَى الأَْئِمَّةِ الْمَنْعُ مِنْهُ  . وَهُوَ قَوْل عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ . وَذَهَبَ الأَْوْزَاعِيُّ إِلَى كَرَاهَةِ الاِجْتِمَاعِ لَهَا فِي الْمَسَاجِدِ لِلصَّلاَةِ ؛ لأَِنَّ الاِجْتِمَاعَ عَلَى إِحْيَاءِ هَذِهِ اللَّيْلَةِ لَمْ يُنْقَل عَنِ الرَّسُول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ

Mayoritas ahli fiqih memakruhkan berkumpul di masjid untuk menghidupkan  malam Nishfu Sya’ban, itu dikatakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah. Mereka menerangkan bahwa berkumpul pada malam itu adalah bid’ah dan para imam melarangnya. Ini adalah pendapat ‘Atha bin Abi Rabah dan  Ibnu Mulaikah. Sedangkan Al Auza’i memakruhkan berkumpu

l di masjid untuk shalat, karena berkumpul untuk menghidupkan malam ini tidak pernah ada dikutip dari Rasulullah ﷺ dan tidak seorang pun para sahabatnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)

2⃣ Imam An Nawawi (bermadzhab syafi’i)

Beliau Rahimahullah memberikan komentar tentang mengkhususkan shalat pada malam nishfu sya’ban, sebagai berikut:

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل

“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub  dan Ihya Ulumuddin , dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.”    (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/56)

Demikian komentar Imam An Nawawi.

3⃣ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (madzhab Hambali)

Beliau Rahimahullahi memiliki dua pandangan  tentang ritual nishfu sya’ban, TIDAK BOLEH dan BOLEH, bagaimana yang tidak boleh?

وَأَمَّا الِاجْتِمَاعُ فِي الْمَسَاجِدِ عَلَى صَلَاةٍ مُقَدَّرَةٍ . كَالِاجْتِمَاعِ عَلَى مِائَةِ رَكْعَةٍ بِقِرَاءَةِ أَلْفٍ : { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ } دَائِمًا . فَهَذَا بِدْعَةٌ لَمْ يَسْتَحِبَّهَا أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .

“Ada pun berkumpul di masjid untuk melakukan shalat yang sudah ditentukan, seperti berjamaah sebanyak seratus rakaat dengan membaca seribu kali Qul Huwallahu Ahad, maka ini adalah bid’ah yang tidak pernah dianjurkan seorang pun kaum salaf (terdahulu). Wallahu A’lam.”   (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 2, Hal. 447)

4⃣ Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Kerajaan Arab Saudi

Mereka menjelaskan tentang hukum mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:

ومن البدع التي أحدثها بعض الناس: بدعة الاحتفال بليلة النصف من شعبان، وتخصيص يومها بالصيام، وليس على ذلك دليل يجوز الاعتماد عليه، وقد ورد في فضلها أحاديث ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها، أما ما ورد في فضل الصلاة فيها فكله موضوع، كما نبه على ذلك كثير من أهل العلم، وسيأتي ذكر بعض كلامهم إن شاء الله. وورد فيها أيضًا آثار عن بعض السلف من أهل الشام وغيرهم. والذي عليه جمهور العلماء: أن الاحتفال بها بدعة، وأن الأحاديث الواردة في فضلها كلها ضعيفة وبعضها موضوع، وممن نبه على ذلك الحافظ ابن رجب في كتابه [لطائف المعارف] وغيره، والأحاديث الضعيفة إنما يعمل بها في العبادات التي قد ثبت أصلها بأدلة صحيحة، أما الاحتفال بليلة النصف من شعبان فليس له أصل صحيح حتى يستأنس له بالأحاديث الضعيفة.

“Dan di antara bid’ah yang di ada-adakan manusia pada malam tersebut adalah: bid’ahnya mengadakan acara pada malam nishfu sya’ban, dan mengkhususkan siang harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada dasarnya  yang bisa dijadikan pegangan untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang keutamaannya adalah dha’if dan tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan, sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan shalat pada malam tersebut, semuanya adalah maudhu’ (palsu), sebagaimana yang diberitakan oleh kebanyakan ulama tentang itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian ucapan mereka, dan juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam dan selain mereka. Jumhur (mayoritas) ulama berkata: sesungguhnya acara pada malam itu adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita tentang keutamaannya adalah dha’if  dan sebagiannya adalah palsu. Di antara ulama yang memberitakan hal itu adalah Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya. Ada pun hadits-hadits dha’if  hanyalah bisa diamalkan dalam perkara ibadah, jika ibadah tersebut telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih,  sedangkan acara pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih, melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.”    (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, Juz. 4, Hal. 281) Sekian kutipan dari Al Lajnah Ad Daimah.

II.  Pihak Yang Membolehkan

Pihak yang membolehkan menilai apa yang dilakukannya memiliki dasar dalam agama secara shahih, yaitu hadits berikut:

يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن

“Allah Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini   Diriwayatkan   oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat Syaikh Al Albani,  As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab beliau Shahih Al 6Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami. Namun, dalam kitab Tahqiq Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang lebih kuat   adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan. Dishahihkan pula oleh Dr. Abdul Malik bin Abdullah Ad Duhaisy, dalam Jami’ Al Masanid wa Sunan, No. 9697)

Hadits ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Oleh karena itu memanfaatkannya sebagai momentum beribadah adalah hal yang disyariatkan secara mutlak. Baik sendiri atau berjamaah, baik dengan membaca Al Quran, atau shalat sendiri atau berjamaah, seperti yang terjadi di sebagian masjid di negeri-negeri muslim. Manusia bebas memilihnya, atau menyatukan semuanya.

Berikut ini pihak yang membolehkan:

1.  Sebagian Tabi’in dan tabi’ut tabi’in

Dari kalangan tabi’in   seperti Makhul dan Khalid bin Ma’dan, dari kalangan tabi’ut tabi’in seperti Ishaq bin Rahuya (Rahawaih), yang memandangnya sebagai perbuatan bagus dan bukan bid’ah.

Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah mengatakan:

، والصورة التى يحتفل بها الناس اليوم لم تكن فى أيامه ولا فى أيام الصحابة ، ولكن حدثت فى عهد التابعين . يذكر القسطلانى فى كتابه “المواهب اللدنية”ج 2 ص 259 أن التابعين من أهل الشام كخالد بن معدان ومكحول كانوا يجتهدون ليلة النصف من شعبان فى العبادة ، وعنهم أخذ الناس تعظيمها ، ويقال أنهم بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية . فلما اشتهر ذلك عنهم اختلف الناس ، فمنهم من قبله منهم

Sedangkan aktifitas (ritual Nishfu Sya’ban) dengan gambaran yang dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada pada masa Rasulullah, tidak pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi pada masa tabi’in.
Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal. 259), bahwa tabi’in dari negeri Syam seperti Khalid bin Ma’dan, dan Mak-hul, mereka berijtihad untuk beribadah pada malam nishfu sya’ban.  Dari merekalah manusia beralasan untuk memuliakan malam nishfu sya’ban. Diceritakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat   tentang hal ini. Ketika hal tersebut tersiarkan, maka manusia pun berselisih pendapat, lalu di antara mereka ada yang mengikutinya. (Fatawa Al Azhar, 10/131)

Syaikh ‘Athiyah juga menyebutkan para imam tabi’in di Syam yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah di masjid secara berjamaah, dan mereka memandangnya bukan bid’ah. Berikut ini uraiannya:

أنه يستحب إحياؤها جماعة فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى مسائله

Dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid,  Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereke mengenakan pakain bagus, memakai wewangian, bercelak,  dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini. (Ibid)

Dalam Al Mausu’ah disebutkan:

وَذَهَبَ خَالِدُ بْنُ مَعْدَانَ وَلُقْمَانُ بْنُ عَامِرٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ إِلَى اسْتِحْبَابِ إِحْيَائِهَا فِي جَمَاعَةٍ

Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir, dan Ishaq bin Rahawaih mengatakan mustahab (disukai) menghi

dupkan malam tersebut dengan berjamaah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)

2. Amalam Penduduk Mekkah Generasi Salaf

Al Fakihi Rahimahullah (wafat 272 H) bercerita:

ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيهَا لِفَضْلِهَا وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّوْا، وَطَافُوا، وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحَ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، حَتَّى يَخْتِمُوا الْقُرْآنَ كُلَّهُ، وَيُصَلُّوا، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدُ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَأَخَذُوا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَشَرِبُوهُ، وَاغْتَسَلُوا بِهِ، وَخَبَّؤُوهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى، يَبْتَغُونَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ، وَيُرْوَى فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ

Amalan penduduk Mekkah pada malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka beribadah karena keutamaan malam tersebut. Penduduk Mekkah dari dulu sampai hari ini, jika datang malam Nishfu Sya’ban, maka mayoritas laki-laki dan perempuan keluar menuju Masjidil Haram, mereka shalat, thawaf, dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan membaca Al Quran di Masjidil Haram sampai mengkhatamkan semuanya, dan mereka shalat, di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas 10 kali, lalu mereka mengambil air zam zam malam itu, lalu meminumnya, mandi dengannya, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya, dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut. (Akhbar Makkah, 3/84)

3.  Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau berkata:

إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَن

Jika manusia shalat malam nishfu seorang diri atau jamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan beberapa golongan salaf, maka itu lebih baik. (Al Fatawa Al Kubra, 2/262)

Jadi, yang diingkari oleh Imam Inu Taimiyah adalah jika mengkhususkan bilangan  rakaatnya dan bilangan bacaannya, yang menurutnya bid’ah dan tidak dianjurkan para imam. ( Ibid)

Sebenarnya, sikap Imam Ibnu Taimiyah adalah sikap yang dianut mayoritas ulama yaitu  menganjurkan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah, tetapi secara umum saja tanpa ada aturan, cara, dan bilangan yang baku.

Tersebut dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى نَدْبِ إِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ …

Mayoritas ahli fiqih menganjurkan menghidupkan (dengan ibadah) malam Nishfu Sya’ban .. (Lalu disebutkan beberapa hadits tentang hal itu).

Lalu dilanjutkan:

وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الإِْحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لإِِحْيَائِهَا ، وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ 5وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً  ، وَقَال الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلاَةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ

Imam Al Ghazali menjelaskan tata cara menghidupkan malam itu secara khusus, namun tata cara itu diingkari oleh Syafi’iyah dan menyebutnya sebagai bid’ah yang buruk. Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat tersebut adalah bid’ah, palsu, buruk lagi munkar. (Al Mausu’ah, 2/236).

Sementara itu, dalam Madzhab Hambali terdahulu, mereka mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban, dan itu  meruoakan pendapat yang resmi dari Imam Ahmad dan pengikutnya.

Berikut ini keterangan Imam Ibnu Taimiyah:

ومن هذا الباب ليلة النصف من شعبان فقد روى في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي أنها ليلة مفضلة وأن من السلف من كان يخصها بالصلاة فيها وصوم شهر شعبان

Di antara pembahasan ini adalah tentang malam Nishfu Sya’ban. Telah diriwayatkan tentang keutamaannya baik dari hadits-hadits yang marfu’ dan atsar-atsarnya. Semua itu menunjukkan bahwa malam tersebut memang memiliki keutamaan.

Di antara generasi salaf ada yang mengkhususkan malam itu dengan shalat dan berpuasa pada bulan Sya’ban….. (lalu Beliau menyebutkan hadits-haditsnya di mana hadits tersebut didhaifkan oleh ulama)

Selanjutnya:

لكن الذي عليه كثير من أهل العلم أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم على تفضيلها وعليه يدل نص أحمد لتعدد الأحاديث الواردة فيها وما يصدق ذلك من الآثار السلفية وقد روى بعض فضائلها في المسانيد والسنن وإن كان قد وضع فيها أشياء أخر

Tetapi, yang dianut oleh mayoritas ulama atau mayoritas sahabat-sahabat kami (HAMBALIYAH), dan selain mereka, bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad. Hal ini berdasarkan banyak hadits dan atsar para salafush shalih. Diriwayatkan sebagian riwayat tentang keutamaan tersebut di kitab-kitab Musnad dan Sunan, walau adanya riwayat palsu pada riwayat tersebut merupakan hal yang lain. (Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 302)

Demikian peta perselisihan tentang Nishfu Sya’ban. Semoga bermanfaat, silahkan ambil hang menurut anda lebih kuat, namun jangan inkari saudara kita yang mengambil pendapat lain, dan tetaplah menjaga ukhuwah Islamiyah.

Wallahu A’lam

🌿🌸🌱💐🌴☘🍃🌺

✍  Farid Nu’man Hasan

Mengetahui Apakah Suatu Hadits Berderajat Shahih Atau Tidak

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Assalamua’alaikum… ustadz mau bertanya :

Bagaimana cara kita mengetahui kenapa hadist itu dikatakan sahih atau tidak?

Jazakallah khoir ustadz.

📌 Jawaban:

Wa ‘Alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Secara ringkas, hadits diteliti untuk mengetahui autentitasnya dari Nabi ﷺ atau tidak ada dua tinjauan:

1. Tinjauan Sanad, yaitu penelitian terhadap jalur periwayatan.

Ini pun terbagi lagi:

– Apakah sanadnya bersambung antara satu perawi ke perawi selanjutnya, baik mereka pernah berjumpa, hidup sezaman, atau antara murid dan guru, atau antara ayah dan anak, atau kawan. Jika semua ini tidak pernuhi, maka haditsnya maqthu’ (terputus) sanadnya, atau nama lainnya munqathi’, ini membuatnya dhaif. Kecuali ada jalur sanad lain yang berisikan hadits semisal yang lebih kuat kuat sanadnya, maka bisa menaikan statusnya. Ada pun jika sanadnya bersambung maka itu hadits yang maushul atau muttashil, maka telah memenuhi salah satu syarat hadits shahih.

– Bagaimana kondisi perawinya, atau rijalul haditsnya, untuk ini sudah ada ilmu khusus yaitu jarh wa ta’dil (semacam fit and proper test) untuk para perawi hadits. Para pakar meneliti biografi mereka, lalu menelusuri seditil mungkin sampai aqidah, akhlak, nasab, guru-gurunya, kekuatan hapalannya, kejujurannya, sehingga dia layak di sebut tsiqah atau tidak.

Inilah dua aspek tinjauan sanad yang paling umum, yaitu ketersambungannya dan kualitas perawi haditsnya.

2. Tinjauan matan, yaitu kalimat atau redaksi yang sampai kepada Rasulullah ﷺ .

Apakah matannya bertentangan dengan Al Quran, atau bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih, ataukah bertentangan dengan akal sehat? Dan seterusnya. Dalam hal ini tentu ada kajian khusus, dengan contoh-contoh yang spesifik dengan konklusi yang berbeda pada masing-masing kasus atau hadits.

Semua ini sudah ada yang menangani, yaitu para huffaazh dan muhadditsin, dalam kitab-kitab mereka. Saat ini kita tinggal mereguk ilmu mereka dan memindahkannya ke kajian-kajian kita. Ibaratnya, mereka sudah menyediakan “sayur mayur” yang segar, manusia saat ini tinggal meracik dan memasaknya.

Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

Muslimah Ikut Aksi Demonstrasi, Bagaimanakah?

Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjawab:

فإذا كانت المظاهرة مما يجوز، فلا بأس في مشاركة المرأة فيها، بشرط انضباطها بالضوابط الشرعية من الستر والحجاب وعدم الاختلاط بالرجال على وضع تمكن معه المماسّة، وغض البصر، وغير ذلك من الضوابط الشرعية المتعلقة بالمرأة عند خروجها.

Jika aksi demonstrasi adalah hal yang diperbolehkan, maka tidak apa-apa partisipasi wanita di dalamnya, dengan syarat yang diperkenankan ketetapannya oleh syariat berupa menutup diri dengan hijab, tidak ikhtilat dengan kaum laki-laki, menundukkan pandangan, dan rambu-rambu syariat lainnya yang terkait kaum wanita saat mereka keluar dari rumah.

📒 Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 42698

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top