Kode Menepuk Bahu Untuk Sholat Berjamaah

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz, ingin bertanya seputar makmum dalam shalat:
Apakah ada tuntunan sunnah bagi makmum masbuk yang ingin ikut shalat berjamaah dengan menepuk bahu kanan makmum yang juga masbuk?
Dari Abu Ibrahim, Kubu Raya

📬 JAWABAN

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah, langsung aja ya

Menepuk bahu orang yang sedang shalat sendiri, sebagai kode kita jadi makmum dia, tidak ada dalam Al Quran, As Sunnah, dan kitab-kitab para fuqaha. Maka, lebih aman cukup langsung saja menemaninya di sampingnya. Dahulu Abu Bakar Ash Shidiq pernah menemani seseorang yang sedang shalat sendiri tapi tidak ada keterangan menepuk itu.

Walau demikian masalah menepuk ini sangat situasional, biasa jadi dia terlarang jika justru mengganggu yang shalat, atau dibolehkan jika sekedar colek saja dan dia tidak merasa terganggu, dan dia tidak sadar jadi imam jika tanpa dicolek.

Namun, seperti yang awal saya sebutkan hal ini pada dasarnya tidak ada dalam tuntunan syariah.

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Orang Yang Paling Mulia Adalah Yang Paling Bertakwa

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia sesunggunya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling takwa, diantara kamu. Sesunggunnya Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat [49]:13)

Kebahasaan

خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى

Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Sebagian mufassirin mengartikan, Adam dan Hawa[1]

شُعُوبًا وَقَبَائِلَ

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling takwa

Sabab Nuzul Ayat

Imam Al Qurthubi mnyebutkan sebab turun ayat ini:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ فَتْحِ مَكَّةَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَالًا حَتَّى عَلَا عَلَى ظَهْرِ الْكَعْبَةِ فَأَذَّنَ، فَقَالَ عَتَّابُ بْنُ أَسِيدِ بْنِ أَبِي الْعِيصِ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي قَبَضَ أَبِي حَتَّى لا يرى هذا اليوم. وقال الْحَارِثُ بْنُ هِشَامٍ: مَا وَجَدَ مُحَمَّدٌ غَيْرَ هَذَا الْغُرَابِ الْأَسْوَدِ مُؤَذِّنًا. وَقَالَ سُهَيْلُ بْنُ عَمْرٍو: إِنْ يُرِدِ اللَّهُ شَيْئًا يُغَيِّرْهُ. وَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ: إِنِّي لَا أَقُولُ شَيْئًا أَخَافُ أَنْ يُخْبَرَ بِهِ رَبُّ السَّمَاءِ، فَأَتَى جِبْرِيلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخْبَرَهُ بِمَا قَالُوا، فَدَعَاهُمْ وَسَأَلَهُمْ عَمَّا قَالُوا فَأَقَرُّوا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى هَذِهِ الْآيَةَ زَجَرَهُمْ عَنِ التَّفَاخُرِ بِالْأَنْسَابِ، وَالتَّكَاثُرِ بِالْأَمْوَالِ، وَالِازْدِرَاءِ بِالْفُقَرَاءِ، فَإِنَّ الْمَدَارَ عَلَى التَّقْوَى

Ibnu Abbas mengatakan, saat Fathu Makkah, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam memerintahkan kepada Bilal bin Rabbah naik ke atas Ka’bah untuk azan. Lalu “Atab Bin Asid bin Abi Al’Ish berkata,” Segala puji bagi Allah, yang telah mewafatkan ayahku sehingga tak menyaksikan hari ini, Berkata al Haris bin Hisyam, “Apakah Nabi Muhammad tidak mendapati burung kecil hitam mengumandangkan Azan, lalu berkata Suhail bin Amru,”Jika Allah berkehendak Dia akan merubahnya”. Lalu berkata Abu Shufyan,”Aku tak mengatakan sesuatu yang aku khawatirkan sehingga Allah akan memberitahukannya dari langit. Lalu Jibril turun kepada Nabi Shalallahu Alaihi wasallam, dan mengabarkan apa yang dikatakan oleh mereka, lalu nabi bertanya kepada mereka akan hal tersebut, dan mereka mengakuinya. Lalu turunlah ayat ini. Dan melarang mereka berbangga –bangga dengan nasab, berlomba-lomba dalam hal harta dan merendahkan orang miskin, karena nilai seseorang ada pada takwanya.”[2]

Kandungan Ayat

Setelah Allah menyebutkan larangan merendahkan manusia dalam berbagai bentuknya, mulai dari memanggil dengan panggilan buruk, ghibah, mencari-cari kesalahan orang lain, merendahkan manusia dan sombong, kemudian Allah menyebutkan tentang kedudukan manusia sebagai makhluk yang memiliki kedudukan sama secara fisik, yang membedakan kedudukan manusia disisi Allah adalah ketakwaan mereka kepada Allah.

الْمُرَادُ بِالشُّعُوبِ بُطُونُ العَجَم، وَبِالْقَبَائِلِ بُطُونُ الْعَرَبِ، كَمَا أَنَّ الْأَسْبَاطَ بُطُونُ بَنِي إِسْرَائِيلَ

Yang dimaksud dengan Syu’ub adalah asal muasal orang Ajam (non Arab), sedangkan kata al Qabail digunakan untuk asal muasal orang Arab, sedangkan al Asbat digunakan untuk asal muasal Bani Israil.[3]

As Sa’di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa maksud perintah Allah agar kita saling mengenal, mengetahui asal-usul keturunan dan nasab agar bisa saling menolong, membantu meringankan beban dan menunaikan hak-hak orang lain.[4]

Adapun istilah-istilah silsilah nasab dalam suku Arab dari terbesar hingga terkecil adalah adalah:[5]

  • الشعب (bangsa)
  • والقبيلة (marga)
  • والعمارة (Ras)
  • والبطن (nenek moyang)
  • والفخذ ( keturunan dibawah moyang )
  • والفصيلة (buyut)
  • والعشيرة(keluarga)
  • Mulia sesungguhnya adalah kemuliaan disisi Allah

Allah menciptakan manusia status sosial, bersuku dan berbangsa-bangsa, bermacam adat istiadat, bahasa, warna kulit dan kebiasaan. Bukanlah dengan hal tersebut menjadikan manusia saling berbangga dari sebagian yang lain Akan tetapi yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa.

«إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ»

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling takwa

Rasulullah bersabda dalam hadits, yang menyampaikan tentang tiada keutamaan antara Arab dan non Arab melainkan ketakwaannya:

حدثنا إسماعيل حدثنا سعيد الجريري عن أبي نضرة حدثني من سمع خطبة رسول الله صلى الله عليه وسلم في وسط أيام التشريق فقال يا أيها الناس ألا إن ربكم واحد وإن أباكم واحد ألا لا فضل لعربي على أعجمي ولا لعجمي على عربي ولا لأحمر على أسود ولا أسود على أحمر إلا بالتقوى أبلغت قالوا بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال أي يوم هذا قالوا يوم حرام ثم قال أي شهر هذا قالوا شهر حرام قال ثم قال أي بلد هذا قالوا بلد حرام قال فإن الله قد حرم بينكم دماءكم وأموالكم قال ولا أدري قال أو أعراضكم أم لا كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا أبلغت قالوا بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ليبلغ الشاهد الغائب

Telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Said al Jariri, dari Abi Nadhrah, telah menceritakan kepada kami orang yang mendengar khutbah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam pada pertengahan hari Tasyrik, beliau bersabda,”Wahai manusia, ketahuilah bahwa Rabb kalian satu, ayah kalian satu ketahuilah tidak ada kelebihan bagi Arab atas Ajam (non Arab) tidak juga Ajam atas orang Arab, tidak pula merah atas hitam, tidak pula hitam atas merah melainkan takwanya, bukankah sudah saya sampaikan?”, mereka berkata,” Rasulullah menyampaikan,”. Beliau bersabda,” Hari apakah ini? Mereka menjawab,” Hari Haram, lalu beliau bersabda,”Bulan apakah ini”, mereka menjawab,”Bulan Haram, beliau bertanya,”Negeri apakah ini?”, mereka menjawab,” Tanah Haram,”. Lalu beliau meneruskan,”Sesungguhnya Allah telah mengharamkan diantara kalian darah, harta dn kehormatan kalian, seperti kemuliaan hari ini, pada bulan ini, di tanah ini, sudah aku sampaikan, mereka berkata,”Rasulullah telah menyampaikan, hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Musnad Ahmad no. 22978).

  • Makna Takwa

Secara bahasa takwa berarti al hadzr (berhati-hati)[6]. Menurut Ibnu Manzur

Takwa berasal dari kata:

التُّقاة، والتَّقيَّة، والتقوى، والاتِّقاء بمعنى وقاية: صانه

Kata at tuqa, wa taqiyah, wa taqwa, wal ittiqa, berarti mencegah atau melindungi[7]

Sedangkan secara istilah memiliki beragam pengertian diantaranya:

  • Menurut Ali bin Abi Thalib

هي الخوف من الجليل، والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل، والاستعداد ليوم الرحيل

Takwa adalah takut kepada Allah ( Al Jalil), beramal dengan sesuai Al Qur’an, Qana’ah dengan yang sedikit, dan mempersiapkan untuk hari kemudian (akherat).[8]

  • Menurut Ibnu Rajab al Hambali

التقوى أن تعمل بطاعة الله على نور من الله ترجو ثواب الله، وأن تترك معصية الله على نور من الله تخاف عقاب الله

Takwa adalah beramal menaati Allah atas cahaya Allah (petunjuk) dengan hanya mengharap balasan dari Allah, dan meninggalkan maksiat atas petunjuk Allah karena takut azab Allah.[9]

  • Menurut At Thabari

فتقوى العبد لربه: أن يجعل بينه وبين ما يخشاه من ربه: من غضبه وسخطه، وعقابه وقايةً من ذلك

Takwa seorang hamba kepada Rabbnya adalah menjadikan antara ia dan yang ia takuti perlindungan (amal-amal shalihnya) dari murka dan azab Allah.[10]

  • Menurut DR. Sulaiman Al Asyqar

فالتقوى تكون بعبادة الله تعالى بفعل الواجبات والمستحبات، وترك المحرمات والمكروهات الصادرة عن خوف الله وخشيته ومحبته

Takwa bisa dilakukan dengan menyembah Allah dengan melaksanakan kewajiban dan sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh, bersumber dari takut kepada Allah dan mengharap cinta-Nya.[11]

 

  • Hadits-hadits tentang makna takwa
  • Sahih Bukhari

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النَّاسِ أَكْرَمُ؟ قَالَ: “أَكْرَمُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاهُمْ” قَالُوا: لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ. قَالَ: “فَأَكْرَمُ النَّاسِ يُوسُفُ نَبِيُّ اللَّهِ، ابْنُ نَبِيِّ اللَّهِ، ابْنِ خَلِيلِ اللَّهِ”. قَالُوا: لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ. قَالَ: “فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونِي؟ ” قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: “فَخِيَارُكُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقِهُوا”

Telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Salam, telah menceritakan kepada kami Abdah dari Ubaidillah dari Said bin Abi Said dari Abi Hurairah, ia berkata,”Rasulullah Shalallah ditanya oleh seseorang,”Manusia manakah yang paling mulia?”. beliau menjawab,” Yang paling mulia disisi Allah adalah yang paling takwa diantara mereka,”. Mereka berkata,”Bukan itu yang kami maksud. Lalu Rasulullah bersabda,” Yang paling mulia adalah nabi Yusuf, ia anak nabi dan anak kekasih nabi. Mereka berkata,”Bukan itu yang kami maksud”. Nabi bersabda,”Apakah tentang orang Arab yang mulia?” mereka berkata,”Ya”. Nabi bersabda,” Yang terbaik diantara kalian saat masih jahiliyah, dia pula yang terbaik saat Islam, jika fakih (memahami)” [12]

 

  • Sahih Muslim

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shalallah alaihi wasallam bersabda,” Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi hati dan amal kalian”.[13]

  • At Thabrani

سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ حَبِيبِ بْنِ خِرَاش العَصَرِيّ، يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: الْمُسْلِمُونَ إِخْوَةٌ، لَا فَضْلَ لِأَحَدٍ عَلَى أَحَدٍ إِلَّا بِالتَّقْوَى

Aku mendengar Muhammad bin Habib bin Khirasy Al ‘Ashari menceritakan dari ayahnya, bahwa ia mendengar Rasulullah Shalallah alaihi wasallam bersabda,” setiap muslim adalah bersaudara, tiada keutamaan satu dengan yang lain melainkan dengan takwanya”.[14]

  • Hikmah

  1. Allah menciptakan manusia dalam berbagai ras, suku, warna kulit agar manusia saling mengenal sehingga tercipta interaksi sosial yang baik.
  2. Yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling takwa
  3. Takwa adalah beribadah kepada Allah dengan mempersembahkan penghambaan yang paling sempurna kepada-Nya, baik mencintai, membenci, taat dan tunduk kepada Allah.

والله أعلم

Fauzan Sugiono


[1] Muhammad Sayid At Thantawi, Tafsir At Thantawi, 13/318

[2] Tafsir Al Qurthubi, 16/341

[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Mesir: Dar Taybah lin Nasyr, 1420, 7/385

[4] Abdurahman Nashir Sa’di, Taisir al Kari mar Rahman, 1/802

[5] Syekh An Nawawi Al Bantani, Marah Labid, 2/440

[6] Said Wahf al Qahthani, Nur At Taqwa,1/6

[7] Ibnu Mazue, Lisanul Arab, 3/971-973

[8] As Shalilhi, Subul Hadi wa Rasyad, 1/421

[9] Ibnu Rajab, Jami’ Ulum wal Hikam, 1/400

[10] Tafsir At Thabari,2/181

[11] Umar Sulaian Al Asyqar, Taqwa, Ta’rifuha wa Fadluha,1/10

[12] Sahih Bukhari, No. 4689

[13] Sahih Muslim, No. 2564

[14] At Thabrani, Mu’jam al Kabir,4/25

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Semua Urusan Dunia Adalah Mubah Selama Tidak Ada Dalil Yang Melarangnya

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Bunyi kaidahnya:

والأصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم دليل على البطلان والتحريم

Hukum asal dalam berbagai perjanjian dan muamalat adalah sah sampai adanya dalil yang menunjukkan kebatilan dan keharamannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344)

Atau yang serupa dengan itu:

أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل

Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalil kaidah ini adalah:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)

Dalil As Sunnah:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )

Kaidah ini memiliki makna yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Mereka dibebaskan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya baik dalam perdagangan, politik, pendidikan, militer, keluarga, dan semisalnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, melarang, dan mencelanya, maka selama itu pula boleh-boleh saja untuk dilakukan. Ini berlaku untuk urusan duniawi mereka. Tak seorang pun berhak melarang dan mencegah tanpa dalil syara’ yang menerangkan larangan tersebut.

Oleh karena itu, Imam Muhammad At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه

“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. (I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

✅ Contoh penerapan kaidah ini

🌸 Misalnya, seorang wanita ingin mengendalikan haidnya agar bisa full berpuasa Ramadhan. Lalu dia minum pil tertentu setelah konsultasi dengan dokter yang merekomendasikannya. Terbukti memang tidak ada efek samping apa pun bagi dirinya. Hal ini, sama sekali tidak ada dalil khusus dan dalil umum yang melarangnya, dan yang dia lakukan bukanlah menghilangkan haid sama sekali, tetapi hanya mengaturnya saat itu saja, sehingga dia pun tidak dikatakan telah mengubah ciptaan Allah Ta’ala. Ditambah lagi, tidak ada dampak buruk apa pun bagi kesehatannya, sehingga tidak pula dikatakan bahwa dia sedang mencip

takan dharar (kerusakan) bagi dirinya. Namun, jika terbukti berpotensi membawa dharar bagi dirinya, maka tidak boleh melakukannya, walau tidak ada dalil khusus dan umum yang melarangnya. Sebab, mencegah mudharat lebih diutamakan dibanding meraih maslahat.

🌸 Seseorang memakan hewan yang memang sama sekali tidak ada dalil yang menyatakannya haram. Dan, tidak ada juga korelasi apa pun yang menyebabkannya masuk dalam kategori hewan yang diharamkan. Hewan itu pun tidak membahayakan bagi kesehatan, bukan hewan yang dilarang untuk dibunuh, bukan hewan buas bercakar dan bertaring, bukan hewan yang mengganggu dan menakutkan manusia, dan bukan pula kotor. Maka, hewan tersebut tetap halal dikonsumsi walau hewan tersebut secara penampilan ‘tidak enak’ dilihat.

Wallahu a’lam

🌸☘🌺🌴🌻🌾🌷🍃

Farid Nu’man Hasan

Sholat Jum’at Bagi Musafir

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Assalamualaikum, tanya ustadz. Bagaimana status shalat jumat bagi seorang musafir? Kalau dia tetap ikut shalat jumat apakah setelah nya shalat qasar asar, atau dia ikut shalat jumat tapi niat qasar zuhur asar, jazakallah khair atas jawabannya? Syabar, Landak Kalbar

📌 Jawaban:

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Ada dua pertanyaan ya ..

1⃣ Status Shalat Jumat bagi yang safar

Sesungguhnya shalat jumat TIDAK WAJIB bagi yang safar, cukup baginya zhuhur dan ashar di jamak secara taqdim. Itulah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ jika safar dihari Jumat, dan inilah yang sesuai petunjuk sunah.

Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan tentang orang-orang yang tidak wajib shalat Jumat, di antaranya:

المسافر وإذا كان نازلا وقت إقامتها فإن أكثر أهل العلم يرون أنه لا جمعة عليه: لان النبي صلى الله عليه وسلم كان يسافر فلا يصلي الجمعة فصلى الظهر والعصر جمع تقديم ولم يصل جمعته، وكذلك فعل الخلفاء وغيرهم.

Seorang yang safar, jika walau pun dia berhenti untuk sementara mukim, sesungguhnya mayoritas ulama mengatakan bahwa seorang yang safar tidak wajib shalat Jumat, karena Nabi ﷺ jika sedang safar tidak shalat Jumat tapi dia shalat zhuhur dan ashar secara jamak taqdim, dna dia tidak melaksanakan shalat Jumatnya, itu juga dilakukan para khalifah dan selain mereka. (Fiqhus Sunnah, 1/303)

2⃣ Jikalau ikut Jumatan, apakah bisa dijamak dan qashar dengan ashar?

Dalam hal ini khilafiyah para ulama. Hambaliyah mengatakan itu menyelisihi sunah, bahkan mereka membid’ahkan. Sementara Syafi’iyah membolehkan dengan jalan mengqiyaskannya dengan jamak “zhuhur dan ashar.”

Jalan keluarnya adalah ikuti saja apa yang nabi ﷺ lakukan. Wallahu A’lam

CATATAN TAMBAHAN:

📌 Berapa lamakah interval waktu dibolehkannya jamak dan qashar?

Hal ini tergantung keadaan safarnya. Seseorang safar tidak lepas dari tiga keadaan.

1⃣ Safar dengan tujuan menetap di suatu daerah atau negeri. Menetap maksudnya menjadi penduduk tetap dengan dibuktikan kepemilikan ID card negeri tersebut, baik KTP atau KK. Maka, kebolehannya hanya ketika safar saja. Sesampainya di tempat tujuan maka sudah tidak ada rukhshah/keringanan tersebut, kecuali kembali dia menjalani safar di waktu lain atau dia mengalami berbagai masyaqqat (kesulitan) di sana, maka kembali berlaku hukum jamak, seperti hujan lebat, sakit, takut kepada musuh, bencana alam, dan semisalnya.

2⃣ Safar dengan niat untuk singgah, maka ini ada dua macam:

⏹ Singgah dengan waktu yang belum jelas, seperti peperangan, berobat, dan semisalnya, yang waktu selesainya tidak bisa dipastikan. Maka, selama itu pula dia boleh menjamak dan qashar. Sebab statusnya tetap seorang yang safar. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar 20 hari ketika perang Tabuk. Para sahabat ada yang mengqashar dua tahun, setahun, enam bulan, karena mereka tidak berniat menjadi penduduk tetap dan tidak jelas kapan pulangnya, seperti yang dikatakan Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnahnya.

⏹ Singgahnya sudah diketahui lamanya dan kapan pulangnya, seperti dinas kantor, ziarah ke rumah saudara, dan semisalnya. Maka, ini dibatasi. Secara ringkas, dalam madzhab Hanafi durasinya adalah 14 hari, selebihnya tidak boleh. Madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah tiga hari selebihnya tidak boleh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) adalah empat hari, selebihnya tidak boleh.

Demikian. Wallahu a’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

 

scroll to top