TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat 6)

MENYIKAPI SEBUAH BERITA

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat [49]:6)

Tinjauan Bahasa

فَاسِقٌ

Orang fasik

فَتَبَيَّنُوا

Telitilah kebenaran

والمراد من التبين التعرف والتفحص ومن التثبت الإفادة وعدم العجلة

Yang dimaksud denga tabayun adalah “tafahus” memeriksa dan ‘tatsabut’ berarti tidak tergesa-gesa.[1]

بِجَهَالَةٍ

Karena kebodohan (kecerobohan)

Kandungan Ayat

Ayat ini mengajarkan kepada orang-orang yang beriman untuk membiasakan diri mengklarifikasi tentang sebuah kabar atau berita yang diterima. Khususnya, jika yang membawa kabar tersebut adalah orang-orang fasik.

Sabab Nuzul

Ada banyak periwayatan tentang Asbab Nuzul ayat ini, satu diantaranya yang dikutip oleh Imam Ibnu Katsir:

وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَقَتَادَةُ: أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ الْوَلِيدَ بْنَ عُقْبَةَ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ ليُصدّقهم، فَتَلَقَّوْهُ بِالصَّدَقَةِ، فَرَجَعَ فَقَالَ: إِنَّ بَنِي الْمُصْطَلِقِ قَدْ جَمَعَتْ لَكَ لِتُقَاتِلَكَ -زَادَ قَتَادَةُ: وَإِنَّهُمْ قَدِ ارْتَدُّوا عَنِ الْإِسْلَامِ-فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ إِلَيْهِمْ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَتَثَبَّتَ وَلَا يَعْجَلَ. فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَاهُمْ لَيْلًا فَبَعَثَ عُيُونَهُ، فَلَمَّا جَاءُوا أَخْبَرُوا خَالِدًا أَنَّهُمْ مُسْتَمْسِكُونَ بِالْإِسْلَامِ، وَسَمِعُوا أَذَانَهُمْ وَصَلَاتَهُمْ، فَلَمَّا أَصْبَحُوا أَتَاهُمْ خَالِدٌ فَرَأَى الَّذِي يُعْجِبُهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ الْخَبَرَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ. قَالَ قَتَادَةُ: فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: “التَّبيُّن مِنَ اللَّهِ، والعَجَلَة مِنَ الشَّيْطَانِ”.

Berkata Mujahid dan Qatadah saat Rasulullah mengutus Al Walid bin ‘Uqbah ke kaum Bani al-Musthaliq untuk memungut zakat mereka. Maka mereka menemui secara beramai-ramai, kemudian Al Walid pulang dan berkata kepada Nabi,”Sesungguhnya Bani Musthaliq beramai-ramai berkumpul untuk membunuh Engkau,”- Qatadah menambahkan,”Sesungguhnya mereka telah murtad (keluar dari agama Islam). Kemudian Rasulullah mengutus Khalid bin Walid untuk mencari informasi yang kuat dan tidak tergesa-gesa. Lalu Khalid bin Walid pun berangkat dan sampai kepada mereka malam hari. Lalu ia mengutus mata-mata. Setelah selesai mata-mata tersebut mengabarkan bahwa Bani Musthaliq masih berpegang teguh dengan Agama Islam, terdengar azan dan shalat mereka,. Ketika pagi menjelang, Khalid mendatangi mereka dan melihat hal yang membuatnya kagum. Lalu Khalid bin Walid kembali kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam, dan mengabarkan kejadiannya. Maka Allah menurunkan ayat ini dan Rasulullahpun bersabda,”Tabayun (klarifikasi) dari Allah, dan tergesa-gesa dari syetan.”[2]

Hadits diatas menunjukkan, klarifikasi sebuah berita sebelum disebarkan kepada orang lain, karena berita yang salah akan mengakibatkan efek yang negative dalam persepsi maupun tindakan seseorang.

Kata “fasiq” berarti keluar dari koridor syariat, istilah tersebut lebih umum dari makna kafir. Mengandung pengertian sedikit dan banyak, kecil dan besar sesuai dengan efek yang ditimbulkannya. Yaitu untuk orang yang tidak mempercayai atau mengamalkan hukum syariat baik seluruhnya, atau sebagiannya. ( Tafsir Ar Razi, 2/147)

Sedangkan menurut Syekh Wabah Az Zuhaily kata ‘fasiq’ berarti:

خارج عن حدود الدين أو الشرع

Keluar dari batas-batas agama atau syariat[3]

{أَن تُصِيبُواْ قَوْمًا بِجَهَالَةٍ} أي لئلا تصيبوا قوماً وأنتم جاهلون حقيقة الامر

Agar suatu kaum tidak celaka sedang kalian tak mengetahui hakikat hal yang sebenarnya.[4]

Kemudian agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.

Fasiq, Fajir dan Maksiat

Syaikh Shalih Al Munajid ketika ditanya tentang perbedaan antara Fasiq, fasiq dan Maksiat beliau menjawab, “Kata al fisq sering digunakan untuk mengungkapkan dosa-dosa besar, seperti zina, riba, mencuri dan sejenisnya.sedangkan Fajir sering digunakan untuk mengungkapkan perbuatan yang lebih parah dari dosa-dosa besar, seperti liwath (sodomi) ,berzina dengan mahramnya, bersumpah palsu dan sejenisnya.[5] Sedangkan Ibnu Taimiyah menyebutkan tentang makna Fajir:

اسم جامع لكل متجاهر بمعصية ، أو كلام قبيح يدل السامع له

Nama umum untuk setiap yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, atau ucapan buruk yang terdengar orang. (Majmu’ Fatawa,15/286)

Kesimpulan

  • Tabayun (klarifikasi) atas berita yang diterima.
  • Hindari perilaku fasiq, fajir dan maksiat

والله أعلام

Fauzan Sugiono


[1] Muhammad Siddiq Khan, Fath al Bayan fi Maqashid Al Qur’an, ( Beirut: Maktabah Ashriyah, 1412H) J. 13 h. 136

[2] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azim, (Dar At Thayibah, 1420 H) J. 7 h. 327

[3] Wahbah Az Zuhaily, Tafsir Al Munir, (Damaskus: Dar Fikr Al Muashir, 1418 H J. 26 h. 225

[4] Muhammad Ali Ash Shabuni, Shafwah At Tafasir, ( Cairo: Dar Ash Shabuni, 1417H) J. 3 h. 216

[5] Mauqi’Al Islam Wa Al Jawab, Shalih AL Munajjid.

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Bersungguh-sungguhlah Dalam Meniti Hubungan Dengan Allah Agar Allah Memberikan Jalan-JalanNya

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Barangkali kita pernah mengalami kebuntuan dalam banyak hal. Berniaga, bisnis, akademik, karir, harmoni rumah tangga, dan sebagainya. Padahal sudah banyak yang kita lakukan dan korbankan.

Ada apa ini? Bisa jadi karena hubungan kita dengan Allah Ta’ala sedang hambar, pembelaan kita kepada agama juga nihil. Shalat hambar, sedekah terpaksa, ta’lim malas, shaum tersiksa, ….. dan dosa pun tidak lagi peka.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ (69)

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut (29): 69)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengutip dari beberapa ulama salaf:

وقال السدي وغيره: إن هذه الآية نزلت قبل فرض القتال. قال الحسن بن أبي الحسن: الآية في العباد. وقال ابن عباس وإبراهيم بن أدهم: هي في الذين يعملون بما يعلمون. وقال أبو سليمان الداراني: ليس الجهاد في الآية قتال الكفار فقط بل هو نصر الدين، والرد على المبطلين، وقمع الظالمين، وعظمه الامر بالمعروف والنهي عن المنكر، ومنه مجاهدة النفوس في طاعة الله وهو الجهاد الاكبر.

As Suddiy dan lainnya berkata: “Ayat ini turun sebelum ada kewajiban berperang.”

Al Hasan bin Abil Hasan berkata: “Ayat ini berkenaan para ahli ibadah.”

Ibnu Abbas dan Ibrahim bin Adham berkata: 8″Ini tentang orang-orang yang mengamalkan apa yang  diketahuinya.”

Abu Sulaiman Ad Darani berkata: “Dalam ayat ini, jihad bukan hanyan perang, tapi juga pembelaan kepada agama, membantah pengusung kebatilan, menghancurkan kezaliman, dan yang agung adalah amar ma’ruf nahi munkar, dan juga diantaranya adalah berjihad mengendalikan jiwa  dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, itulah jihad yang paling besar.” (Jaami’ Li Ahkamil Quran Lil Qurthubi)

Nah, mereka inilah yang akan mendapatkan jalan-jalan, solusi,  dari Allah Ta’ala.

Wallahu A’lam

🌷☘🌺🌴🌻🌾🌸🍃

Farid Nu’man Hasan

[Sunah Fitrah, Ringan Bernilai Ibadah] Mencabut Bulu Ketiak

Ini adalah sunah fitrah. Mencabut lebih utama dibanding mencukur. Sebab teks hadits menyebutkan demikian, sebagaimana riwayat Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الفِطْرَةُ خَمْسٌ: الخِتَانُ، وَالِاسْتِحْدَادُ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الآبَاطِ

Sunah fitrah ada lima: khitan, mencukur kemaluan, memotong kumis, memendekkan kuku, dan mencabut bulu ketiak. (HR. Bukhari No. 5891, Muslim No. 257)

Kenapa lebih utama dicabut dibanding dicukur? Imam Al Qasthalani Rahimahullah memberikan penjelasan:

والأفضل النتف لإضعاف المنبت فإن الإبط إذا قوي فيه الشعر وغلظ جرمه كان أفوح للرائحة الكريهة فناسب إضعافه بالنتف بخلاف العانة

Lebih utama adalah mencabut, karena itu bisa melemahkannya untuk numbuh lagi, dan ketiak jika banyak rambutnya akan sangat mengganggu tubuh, akan menyebar aroma yang tidak mengenakkan. Maka, dilemahkan aromanya itu dengan mencabutnya, berbeda dengan rambut kemaluan (yang lebih utama dicukur, pen). (Irsyadus Saari, 8/423)

Imam Al Munawi juga mengatakan:

وأما نتف الإبط فمتفق على ندبه وتحصل السنة بإزالته بحلق أو نورة لكن النتف أولى لأن الإبط محل الريح الكريه ونتفه يضعف أصوله ويرقق جرمه فيخف الاحتباس فتقل الرائحة المتعفنة

Ada pun mencabut rambut ketiak, telah disepakati sunahnya, yaitu dengan menghilangkannya dengan memotong atau mencukurnya, tetapi mencabut lebih utama, karena ketiak merupakan wilayah yang beraroma tidak sedap, dan mencabutnya akan melemahkan akarnya dan membaguskan tubuh, sehingga lebih bebas bergerak, dan mengurangi bau yang busuk. (Faidhul Qadir, 4/517)

Namun, dibolehkan dicukur, jika memang dicabut menyakitkan atau menyulitkan. Berkata Syaikh Faishal An Najdi Rahimahullah:

قوله: ((ونتف الآباط)) : إزالة ما نبت عليها من الشعر بالنتف وهو السنة، ويجوز إزالته بغير ذلك

Sabdanya: (mencabut bulu ketiak), maksudnya menghilangkan rambut yang tumbuh padanya, dengan cara mencabutnya, dan itu sunah, dan dibolehkan menghilangkannya dengan cara selain mencabut. (Khulashah Al Kalam Syarh ‘Umdah Al Ahkam, Hal. 32)

Dahulu, Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu pun mencukurnya, karena Beliau tidak kuat sakitnya dicabut rambut ketiaknya. Hal ini diceritakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah sebagai berikut:

أَمَّا ( نَتْف الْإِبْط ) فَسُنَّة بِالِاتِّفَاقِ ، وَالْأَفْضَل فِيهِ النَّتْف لِمَنْ قَوِيَ عَلَيْهِ ، وَيَحْصُل أَيْضًا بِالْحَلْقِ وَبِالنُّورَةِ ، وَحُكِيَ عَنْ يُونُس بْن عَبْد الْأَعْلَى قَالَ : دَخَلْت عَلَى الشَّافِعِيّ – رَحِمَهُ اللَّه – وَعِنْده الْمُزَيِّن يَحْلِق إِبْطه فَقَالَ الشَّافِعِيّ : عَلِمْت أَنَّ السُّنَّة النَّتْف ، وَلَكِنْ لَا أَقْوَى عَلَى الْوَجَع ، وَيُسْتَحَبّ أَنْ يَبْدَأ بِالْإِبِطِ الْأَيْمَن

Ada pun “mencabut bulu ketiak” itu disunahkan menurut kesepakatan, dan ini lebih utama bagi orang kuat dicabut. Hal ini juga sudah mencukupi dengan mencukur dan memotongnya. Dikisahkan dari Yunus bin Abdil A’la, katanya: Aku masuk ke tempatnya Asy Syafi’i Rahimahullah, di sisinya terdapat alat pencukur yang memendekkan bulu ketiaknya. Asy Syafi’i berkata: “Aku tahu bahwa sunahnya adalah mencabut, tetapi aku tidak kuat rasa sakitnya.” Dan disunahkan memulai dari ketiak kanan. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/414)

Wallahu A’lam

☘🌷🌴🌸🌺🍃🌻🌿🍂

✏ Farid Nu’man Hasan

Shalat di Kendaraan, Bagaimana?

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Assalamu ‘Alaikum, Wr.Wb. Pak Ustadz, Kalau kita shalat di kendaraan (mobil dan kapal), kita ‘kan tidak tahu arah kiblat, gimana Shalatnya? (dari 081345412xxx)

📌 Jawaban:

Wa’alaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuh. Bismillah wal Hamdulillah ..

Pertanyaan di atas saya akan rinci menjadi dua.

1. Shalat di atas kendaraan, bolehkah?

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

تصح الصلاة في السفينة والقاطرة والطائرة بدون كراهية حسبما تيسر للمصلي
فعن ابن عمر قال: سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في السفينة؟ قال: (صل فيها قائما إلا أن تخاف الغرق) رواه الدار قطني والحاكم على شرط الشيخين، وعن عبد الله بن أبي عتبة قال: صحبت جابر بن عبد الله وأبا سعيد الخدري وأبا هريرة في سفينة فصلوا قياما في جماعة، أمهم بعضهم وهم يقدرون على الجد، رواه سعيد بن منصور

“Shalat di kapal laut, kereta, dan pesawat, adalah sah tanpa dimakruhkan sama sekali, jika memang itu yang mungkin dilakukan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang shalat di kapal laut. Dia menjawab: “Shalatlah di dalamnya dengan berdiri, kecuali jika engkau takut tenggelam.” Diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan Al Hakim sesuai syarat Bukhari-Muslim. [1]

Dan dari Abdullah bin Abi Utbah, dia berkata: “Aku pernah menemani Jabir bin Abdullah, Abu Said al Khudri, dan Abu Hurairah di dalam apal laut. Mereka shalat sambil berdiri secara berjamaah dengan diimamai salah seorang dari mereka, padahal mereka masih ada peluang shalat dipantai.” (HR. Said bin Manshur).” [2]

Kebolehan shalat di kendaraan ini dipertegas lagi oleh perbuatan para salaf, baik kalangan sahabat dan murid-murid mereka, baik duduk atau berdiri, seperti yang diriwayatkan sebagai berikut:

عن مجاهد قال كنا نغزو مع جنادة بن أبي أميه البحر فكنا نصلي في السفينة قعودا

Dari Mujahid, dia berkata: “Kami perang bersama Junadah bin Abu Umayyah di lautan, maka kami shalat di kapal laut sambil duduk.”

أن ابن سيرين قال خرجت مع أنس إلى بني سيرين في سفينة عظيمة قال فأمنا فصلى بنا فيها جلوسا ركعتين ثم صلى بنا ركعتين أخراوين

Bahwa Ibnu Sirin berkata: “Aku keluar bersama Anas menuju Bani Sirin dengan kapal besar, dia mengimami kami dan shalat dengan kami di dalamnya dengan cara duduk dua rakaat, kemudian shalat lagi dua raka’at lainnya.”

عن أبي قلابة أنه كان لا يرى بأسا بالصلاة في اسفينة جابسا. حدثنا وكيع عن أبي خزيمة وطاوس قال صل قاعدا

Dari Abu Qilabah bahwa dia memandang tidak masalah shalat di kapal sambil duduk. Telah bercerita kepada kami Waki’, dari Abu Khuzaimah dan Thawus, dia berkata: Shalatlah dengan cara duduk!

عن ابن سيرين أنه قال في الصلاة في السفينة إن شئت قائما وأن شئت قاعدا والقيام أفضل

Dari Ibnu Sirin, bahwa dia berkata tentang shalat di kapal laut: “Jika kau mau duduklah, namun berdiri lebih utama.” [3]

Sebenarnya masih sangat banyak keterangan dari sahabat dan tabi’in tentang shalat di dalam kendaraan, baik duduk atau berdiri. Jika dalam kondisi takut tenggelam (mungkin karena ombak yang besar), mereka memilih duduk, jika keadaan normal mereka memilih berdiri.

2. Shalat dalam kondisi tidak mengetahui kiblat secara pasti

Menghadap Kiblat adalah syarat sahnya  shalat. Namun, ada beberapa kondisi membuatnya bisa gugur, misal ketika di kendaraan atau dalam kondisi sama sekali tidak mengetahui arah kiblat, maka dia boleh menghadap ke arah yang dia yakini. Jika setelah shalat barulah dia tahu arah kiblat, maka shalatnya tetap sah, dia tidak wajib mengulang shalatnya. Inilah pendapat yang kuat.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

“Ijtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang menentukan arah kiblat. Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda dengan lainnya dan masing-masing meyakini bahwa kiblat ada di arah mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya, sedangkan shalat yang tepat menghadap kiblat, dialah yang mendapat dua pahala.” [4]

Sedangkan jika mengetahui kiblatnya adalah ketika ‘pas’ shalat, maka dibolehkan mengubah arahnya saat itu juga, tanpa harus memutuskan shalatnya.

Hal ini berdasarkan  dalil  berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ
بَيْنَمَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْكَعْبَةَ فَاسْتَقْبَلُوهَا وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّامِ فَاسْتَدَارُوا إِلَى الْكَعْبَةِ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa dia berkata: “Ketika kaum muslimin berada di Quba, pada saat shalat shubuh, datanglah kepada mereka secara tiba-tiba dan berkata: ‘Sesungguhnya, semalam telah turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wahyu yang memerintahkan agar menghadap kiblat ke ka’bah.maka, menghadaplah kalian ke sana.’ Maka mereka menghadapkan wajah mereka ke Syam. Setelah itu mereka mereka pun berputar ke arah Ka’bah.”[5]

📌 Ke mana Arah Kiblatnya?

Sedangkan jika shalat di atas kendaraan, maka arah kiblatnya adalah mengikuti arah kendaraannya. Hal ini berdasarkan dalil berikut:

Dari Amir bin Rabi’ah dia berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di atas kendaraannya dan ia menghadap mengikuti arah kendaraannya.”[6]

Dalam hadits lain:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ مُقْبِلٌ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ قَالَ وَفِيهِ نَزَلَتْ{ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ }

Dari Ibnu Umar, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam penah shalat dari Mekkah menuju Madinah, dan dia menghadap mengikuti ke mana saja arah kendaraannya. Saat itu turunlah ayat: Ke mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah … (QS. Al Baqarah (2): 115).”[7]

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

وعن إبراهيم النخعي قال: كانوا يصلون في رحالهم ودوابهم حيثما توجهت، وقال ابن حزم: وهذه حكاية عن الصحابة والتابعين، عموما في الحضر والسفر

Dari Ibrahim An Nakha’i, dia berkata: “Mereka shalat dikendaran mereka dan mengikuti arah kendaraan tersebut.” Berkata Ibnu Hazm: “Yang demikian ini diceritakan dari para sahabat dan tabi’in secara umum baik bermukim atau bepergian …”. [8]

Selesai.  Wallahu A’lam

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Yang benar adalah sesuai syarat Muslim saja, lihat Mustadrak-nya Al Hakim Juz. 3, Hal. 25. No. 969. Ad Daruquthni, Juz. 4, Hal. 139, No. 1491.  Al Baihaqi, Ma’rifatus Sunan,  Juz.4, hal. 495. No. 1667. pen
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz.1, Hal. 292.
[3] Lihat semua dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Juz. 2, Hal. 168.
[4] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’  Fatawa, Juz, 20, hal. 224
[5] HR. Muttafaq ‘Alaih
[6] HR. Muttafaq ‘Alaih
[7] HR. Muslim,  No. 1311.
[8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 130. Lihat juga Al Muhalla-nya Imam Ibnu Hazm, Juz. 3, Hal. 58.

🌸☘🌴🌺🌻🌾🍃🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top