Mengaji Ulang Tawakal Kita

Istilah tawakal sangat akrab di lisan masyarakat. Ia kerap diucapkan tatkala usaha seseorang sudah maksimal dan berharap hanya kepada Allah yang Maha Kuasa untuk menyukseskan usahanya. Namun terkadang sebagian besar orang mengucapkannya sebagai ekspresi ketidakberdayaannya semata ketika sudah berusaha namun gagal atau hampir gagal. Ia seakan tidak menjadi bagian tak terpisahkan dari penyikapan seorang mukmin terhadap berbagai persoalan hidupnya. Padahal tawakal seharusnya menyatu dalam diri seorang mukmin, baik sebelum, sedang atau sesudah berusaha dan bersikap. Lantas bagaimana makna tawakal sesungguhnya.

Tawakal berasal dari kata tawakkala; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT. Namun demikian, sejumlah ulama salaf definisi beragam dan saling melengkapi.

Imam Ahmad bin Hambal menyatakan, tawakal merupakan aktivitas hati bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh juga bukan kerja ilmiah.

Sementara Ibnu Qoyim Al-Jauziyah, tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, percaya kepada-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya. Itu semua berangkat dari keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala kecukupan baginya dengan tetap menjalankan hukum causalitas dan usaha keras memperolehnya.

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tawakal yang sebenarnya adalah penyandaran hati pada Allah ‘azza wa jalla untuk meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata.”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, meski tawakal adalah hanya aktivitas di hati, namun ia berhubungan antara hati dengan usaha manusia untuk mencapai sesuatu hasil. Di lain sisi, tawakal terkait erat dengan persepsi dan keyakinan seseorang terhadap usahanya dan siapa penentu keberhasilannya. Ia terkait dengan keyakinan dan persepsi seseorang terhadap rizki, jodoh, kematian dan lain-lain. Tawakal adalah bagian dari akidah di dalam Islam. Jika agama Islam secara umum meliputi dua aspek; al-isti’anah (meminta pertolongan Allah) dan al-inabah (kembali kepada Allah), maka tawakal merupakan setengahnya sebab tawakal merupakan refleksi dari al-isti’anah.

Al-Qur’an menyebutkan kata tawakal sebanyak 70 kali. Ini mengisyaratkan, tawakal adalah bagian terpenting ajaran Islam. Sebab, tawakal merupakan perintah Allah SWT.

“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 61)

Disamping itu tawakal adalah ciri dan syarat orang yang beriman kepada Allah.
“Dan hanya kepada Allahlah, hendaknya orang-orang mu’min bertawakal.” (122)
Dalam setiap aktivitas, seorang mukmin pasti ingin mendapatkan hasil. Untuk memperoleh hasilnya itu salah satu syaratnya adalah dia harus bertawakal kepada Allah.

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Para Rasul dan orang-orang yang beriman yang ditolong Allah karena mereka bertawakal kepada-Nya sebagai sebaik-baik penolong.

“Dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali Imran: 173)

Antara Tawakal dan Berusaha (al-akhdzu bil asbab)

Tawakal itu tidak menafikan usaha dan ikhtiyar atau lebih tepatnya al-akhdzu bil asbab (melakukan faktor-faktor causalitas). Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.

Hai orang-orang yang beriman, ambillah sikap waspada.” (An-Nisa: 71).

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (Al-Anfaal: 60).

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” (Al-Jumu’ah: 10).

Sahl At-Tusturi mengatakan, “Barang siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah tetapkan). Barangsiapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah) maka dia telah meninggalkan keimanan. Karena itu ketika membicarakan tawakal, Rasulullah menganalogikan dengan bangsa burung yang keluar dari sangkarnya mencari makan.”

Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits Umar di atas).

Al-Manawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta’ala. Hal ini menunjukkan bahwa tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki.”

Namun demikian setiap hamba tidak bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki, mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta’ala semata.

Balasan Bagi Orang Yang Bertawakal

Karena agungnya ajaran tawakal, Allah menjanjikan berbagai macam kebaikan di baliknya sebagai balasan. Baik balasan kemaslahatan di dunia atau di akhirat, baik balasan materi atau non materi. Selain itu, tawakal juga mampu menolak balak, bencana dan musibah selama di dunia.

Dengan tawakal yang benar, Allah akan memberikan jalan keluar dan rizki tanpa disangka-sangka serta memberikannya kecukupan dan dijauhkan dari kemiskinan.

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaaq: 3).

Orang yang bertawakal juga akan mendapat perlindungan dari Allah.

“Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (8: 49)
Allah juga menjaminkan kebaikan dunia dan akhirat bagi orang yang bertawakal.

“Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja mereka bertawakkal.” (QS. 16: 42)

Orang yang bertawakal juga dijaga Allah dari pengaruh dan godaan setan.

“Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaan-Nya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.” (An-Nahl: 99)

Bahkan dalam sebuah hadits ditegaskan, orang yang bertawakal hanya kepada Allah, akan masuk ke dalam surga tanpa hisab. Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Mereka tidak pernah menjampi atau dijampikan dan tidak suka menebak nasib dengan perantaraan burung, dan hanya kepada Rab nya lah, mereka bertawakal.” Lalu bangunlah Ukasyah bin Mihshan dan berkata, “Ya Rasulullah SAW doakanlah aku supaya masuk dalam golongan mereka.” Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam menjawab, “Engkau termasuk golongan mereka. Kemudian berdiri pula orang lain, dan berkata, “doakan saja juga supaya Allah menjadikan saya salah satu dari mereka.” Rasulullah SAW menjawab, “Engkau telah didahului oleh Ukasyah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mereka yang bertawakal juga akan ditolong Allah. Dikisahkan pada saat perang Dzatur riqa’, ketika Rasulullah SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon, sedangkan pedang beliau tergantung di pohon. Ketika tiba-tiba datang seorang musyrikin yang mengambil pedang beliau sambil berkata, siapa yang dapat melindungimu dariku? Namun dengan sangat tenang Rasulullah SAW menjawab Allah. Setelah tiga kali bertanya, tiba-tiba pedang yang dipegangnya jatuh. Lalu Rasulullah SAW mengambil pedang tersebut seraya bertanya, “Sekarang siapakah yang dapat melindungimu dari ku?”

Tawakal Yang Sesungguhnya, Belajar dari Filosofi Burung

Untuk menggambarkan sikap tawakal yang ideal, dalam sebuah hadits Rasulullah memberikan analogi burung dalam menjalani siklus hidupnya.

Dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Seperti apa sebenarnya yang diisyaratkan dalam hadits itu? Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur keyakinan dan penyikapan yang menjadi satu. Ia belum bisa disebut tawakal sesungguhnya bila tidak terdapat unsur-unsur tersebut. Orang yang bertawakal harus ma’rifat Allah dengan segala sifat-sifat-Nya. Makrifat tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya. Makrifat segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dan seterusnya.

Orang yang bertawakal harus memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. (lihat; Antara Tawakal dan Berusaha)

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, ada seseorang berkata kepada Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, aku ikat kendaraanku lalu aku bertawakal, atau aku lepas ia dan aku bertawakal?” Rasulullah SAW menjawab, “Ikatlah kendaraanmu lalu bertawakallah.” (HR. Tirmidzi)

Orang yang bertawakal juga harus memiliki ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang dijadikan gantungan, yaitu Allah Sallallu Alaihi wa Sallam. Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah dan jauh dari ikatan kesyirikan-kesyirikan.

“Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): “Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku,” (Al-Isra’: 2)

Tawakal juga harus ada unsur menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah Sallallu Alaihi wa Sallam dan menciptakan suasana hati yang tenang ketika mengingat kepada-Nya. Tawakal juga harus dibarengi dengan husnudzan (berbaik sangka) terhadap Allah Ta’la. Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepada-Nya. Tawakal yang sesungguhnya hanya akan terbukti bila seseorang totalitas prasangka baiknya kepada Allah.

Tawakal yang sebenarnya juga harus diikuti dengan memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah Ta’la. Menyerahkan segala masalah, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah. “Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”. (Ghafir: 44)

Tawakal Masih Perlu Dibutuhkan Doa

Meski – sekali lagi – tawakal adalah pekerjaan hati, namun ia perlu dikuatkan dalam pernyataan lisan berupa doa. Doa di sini berfungsi sebagai penegasan, tekad, kesaksian dari keyakinan di dalam hati. Karena itu Rasulullah mengajar doa sebelum tidur sebagai berikut.  

اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِى إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِى إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِى إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِى أَنْزَلْتَ وَنَبِيِّكَ الَّذِى أَرْسَلْتَ

“Allahumma aslamtu wajhi ilaika, wa alja’tu dlahri ilaika, wa fawwadltu amri ilaika, ragbatan dan rahbatan ilaika, laa maljaa wala manja minka illa ilaika, aamantu bikitabikalladzi anzalta wanabiyyaka ladzi arsalta”

Rasulullah bersabda, “Jika engkau mendatangi tempat tidurmu maka ucapkannya “Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu, aku perlindungkan punggungku kepada-Mu, aku serahkan urusanku kepada-Mu karena berharap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat selamat dari-Mu kecuali kembali kepada-Mu. Aku beriman dengan kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada nabi-Mu yang Engkau utus.” Jika engkau meninggal di malam itu, maka engkau mati dalam keadaan fitrah. Dan jika engkau masuk di waktu subuh, maka engkau akan mendapatkan kebaikan yang banyak.” (HR. Bukhari)

Oleh: Ahmad Tarmudli LC. MHI

Membangun Greget dengan 5 Unsur Motivasi

Konon peradaban manusia ini tercipta karena motivasi. Karena motiv manusia ingin memenuhi kebutuhannya agar terus bisa melangsungkan kehidupannya, maka terciptalah peradaban manusia. Karena ingin survive, akhirnya manusia menemukan alat-alat dari pisau batu, tombak batu, kemudian peradaban beralih dari jaman batu ke jaman logam dan kini menjadi peradaban digital. Itulah peradaban materi yang dibangun manusia. Semuanya berawal dari sebuah motif dan kepentingan manusia untuk melangsungkan kehidupannya yang lebih survival.

Tak berbeda dengan peradaban materi yang berskala besar, dalam kehidupan spiritual, religius, ekonomi, politik, pendidikan, kesuksesan dunia dan akhirat ditentukan oleh sebuah motivasi. Maka jika ada pertanyaan, kenapa orang bisa konsisten istiqamah, shalat tahajud rutin, puasa sunnah Senin Kamis rutin? Jawaban terdepan adalah karena ada motivasi. Dengan kata lain, orang memiliki motiv dan kepentingan dalam setiap aktivitasnya. Kenapa Rasulullah dan sahabat-sahabarnya begitu gigih memperjuangkan Islam meski harus bersimbah darah dan keringat? Jawabannya karena beliau memiliki motivasi kuat dalam dirinya.

Seperti halnya dalam dunia kerja dan usaha; kegigihan, kedisiplinan, profesionalisme dan loyalitas kepada perusahaannya semuanya tumbuh karena ada kepentingan dan motiv dalam diri seseorang. Ia ingin hidup lebih layak, kaya, sukses dan seterusnya. Orang yang memiliki kebiasaan tertentu entah hobi atau olah raga tertentu karena motivasi ingin hidup sehat dan terhindar dari penyakit tertentu.

Semakin kuat motivasi, semakin kuat pula orang akan bertahan dalam beribadah, bekerja, belajar dan seterusnya. Karenanya, jika terkena penyakit malas, loyo, banyak keluh kesah, tidak sabaran, maka kembalilah ke motivasi. Pada saat spiritual mengalami dehidrasi, itulah saatnya memompa jiwa dengan motivasi-motivasi baru. Semua manusia tanpa kecuali pasti suatu waktu akan mengalami kelesuan dan menurunnya semangat dan gairah dalam ibadah atau bekerja. Itulah saatnya membangun jiwa dengan motivasi baru.

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (An-Nisa: 28)

Namun ini bukan pembenar untuk larut dalam kesalahan, kekurangan dan kelesuhan. Karenanya itulah ada ajaran taubat, istigfar dan muhasabah yang tujuannya agar orang berkaca diri dan introspeksi untuk kembali istiqamah. Muhasabah paling efektif adalah dengan menengok hati sejauh mana motivasi diri dalam setiap aktivitas. Inilah yang disebut niat.

Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam bersabda, “Hanya saja segala perbuatan itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan (pahala) karena apa yang dia niatkan” (HR. Ibnu Majah)

Sebagian besar ulama menempatkan hadits ini di awal bukunya. Ini untuk mengingatkan kepada para pembelajar ilmu dan pencari pencerahan sejati agar menengok hati dan memperbaiki motivasinya. Sebab motivasi itu menentukan baik buruknya (diterima atau ditolaknya) sebuah perbuatan oleh Allah. Hadits itu secara pasti menegaskan pentingnya ikhlas dalam setiap aktivitas.

Hanya saja, dalam sebagian pemahaman masyarakat tentang ikhlas kurang pas. Kata-kata “seikhlasnya” mengesankan  orang beramal ala kadar, kerja minimal, sedekah sedikit dan seterusnya.

Keikhlasan sesungguhnya adalah simpul dari berbagai unsur motivasi dalam diri manusia. Maksudnya, keikhlasan akan terbangun sempurna tatkala unsur-unsur motivasi dalam diri manusia. Ketika unsur-unsur itu melemah, sebagian atau seluruhnya maka akan berpengaruh kepada motivasi dan dorongan berbuat dan berkarya.

Motivasi Cinta dan Bertemu Allah

Masih ingat kisah Zulaikhah yang mati-matian ingin mendapatkan cinta Nabi Yusuf? Karena ada motiv cinta, segala cara dilakukan demi cintanya, meski cinta terlarang dan dengan cara yang tidak benar. Dengan dorongan cinta pula, di akhir kisahnya Zulaikha bertaubat dan mendapatkan Nabi Yusuf. Meski kisah ini berdasarkan riwayat israiliyat, namun jika benar ini membuktikan cinta memiliki kekuatan luar biasa yang bisa mengubah hidup seseorang.

Semakin besar kecintaan terhadap sesuatu, semakin kuat dorongan untuk mendapatkan dan meraihnya. Sebaliknya bila tidak ada suka dan cinta terhadap sesuatu, maka jangankan bertahan dan komitmen menjalankan sesuatu, bahkan greget pun tidak akan ada dalam diri seseorang. Karena itu, banyak true story kesuksesan yang berawal dari hobi.

Sudah hampir bisa dipastikan orang yang beribadah atau bekerja tanpa ada rasa cinta, maka akan terasa hambar dan kosong makna. Bahkan akan sulit bertahan lebih lama. Jika seseorang beribadah dan bekerja dilandasi rasa cinta, maka dia akan merasakan dan menikmati ibadahnya. Itulah lezatnya iman.

“dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ طَعْمَ الْإِيمَانِ – وَقَالَ بُنْدَارٌ: حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ – مَنْ كَانَ يُحِبُّ الْمَرْءَ، لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَمَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَمَنْ كَانَ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يَرْجِعَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ

Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga ha jika ada dalam diri seseorang maka dia akan merasakan rasanya (dalam riwayat lain; manisnya iman; mencintai seseorang hanya karena Allah, Allah dan Rasul-Nya dia lebih cintai dibanding selain keduanya, dan lebih cinta dilemparkan ke neraka daripada kembali kepada kekufuran. (HR. Ibnu Majah)

Dalam hadits ini jelas Nabi mengaitkan antara cinta dan kelezatan iman. Karenanya, siapapun yang merasa hambar beribadah, segeralah membangun rasa cinta dalam dirinya kepada Allah, sehingga semangat itu kembali lagi.

Kecintaan kepada Allah ini melahirkan kerinduan dalam diri seseorang untuk bertemu dengan-Nya di akhirat. Itulah puncak kenikmatan hamba di akhirat kelak, ketika melihat-Nya di surga. Lantas siapakah yang tidak termotivasi untuk bertemu dengan Allah?

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Al-Kahfi: 110)

Motivasi Kebutuhan

Hampir seluruh manusia rela peras keingat, banting tulang, pergi pagi pulang petang, bahkan rela lembur sekalipun demi mengejar kebutuhan hidupnya. Sebaliknya sebagian besar orang ketakutan jika ada desas-desus PHK karena dia akan terancam menjadi pengangguran dan akan terancam pula keluarganya. Ini memotivasi seseorang untuk lebih bersemangat dan meningkatkan kinerjanya karena bekerja sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidupnya.

Demikian halnya dengan ibadah. Tidak cukup seseorang beribadah hanya berniat menggugurkan kewajiban semata. Jika hanya untuk menggugurkan kewajiban, maka ia lebih banyak menjadi beban. Karena dianggap beban, lamabat laun akan dianggap membebani dan akan muncul rasa malas. Ibadha lebih tepat dianggap sebagai kebutuhan ruhani dan fitrah manusia, disamping pasti akan bermanfaat bagi kesehatan fisik dan mental.

Motivasi Ingin Hidup Terhormat

Tak seorangpun di dunia ini ingin hidup terhina. Semua manusia pasti ingin hidup terhormat, mungkin hanya dimata manusia semata namun juga ada yang ingin terhormat di mata Allah. Kehormatan di mata manusia akan terwujud secara otomatis tatkala manusia sudah terhormat di mata Allah.

“mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya.” Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)

Karena itu, Umar bin Khattab berkata, “Kami dulu kaum terhina, maka Allah memuliakan kami dengan Islam.”

Ketika manusia terhormat di hadapan Allah, maka itu sudah cukup. Mungkin tidak meski dia dihormati oleh seluruh manusia, namun dia pasti lebih terhormat di mata orang-orang mukmin.

Motivasi Ingin Bahagia dan Kepuasan Batin

Terkadang tidak habis pikir kenapa ada orang yang rela merogoh koceknya jutaan rupiah hanya untuk mengoleksi barang antik. Bahkan dia harus memburunya ke negeri seberang. Tapi itulah kepuasan batin yang baginya tidak bisa diganti dengan materi. Setiap manusia pasti membutuhkan ketenangan dan ketentraman serta kebahagiaan. Sebagian orang mencari kebahagiaan itu dengan mengoleksi barang-barang mewah, membangun properti mewah, mobil mewah, wisata dan lain-lain, atau bahkan mencari pelampiasan-pelampiasan ketenangan lain melalui jalan yang tidak benar.

Bagi seorang muslim, sumber ketenangan dan kebahagiaan batin adalah beribadah dan dzikir kepada Allah. Pada saat batin gersang, semangat kendur, spirit lunglai, pada saat itulah pelampiasan harus berlabuh kepada Allah. Karena hanya Dialah yang nanti akan mengispirasi dan memberikan semangat.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)

Motivasi Garansi Kebahagiaan Masa Depan

Hampir semua orang dari penguasaha, enterpreneur, pejabat hingga pegawai bawaan dan rakyat biasa ingin memiliki jaminan hidup di hari tua, asuransi kematian, dan jaminan-jaminan lainnya. Padahal kematian hanyalah garis batas dan transit sebentar sebelum ke alam abadi. Maka seharusnya orang berfikir jauh setelah alam kubur, apa yang sudah disiapkan. Sudahkah ia menyiapkan garansi kebahagiaan di akhirat kelak atau ia melupakan garansi akhirat dan lebih sibuk dengan garansi-garansi duniawi. Semua yang dimiliki manusia, dari fikiran, fisik, harta yang juga bisa menjadi aset menciptakan garansi duniawi, juga bisa dijadikan garansi akhirat. Tinggal kemana itu diinvestasikan.

Singkatnya, garansi masuk surga dan selamat dari neraka hanya bisa diperoleh dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Setiap umat akan masuk surga kecuali yang enggan.” Siapa yang enggan? “Barangsiapa yang taat kepadaku, dia masuk surga dan barangsiapa membangkangku dia enggan masuk surga.” (HR. Ahmad)

Motivasi seseorang untuk masuk surga dan selamat dari neraka bukanlah hal tabu dan mengurangi keikhlasan seseorang. Sebab Allah memang menyiapkan surga itu bagi mereka yang taat. Ibarat perlombaan, surga adalah hadiah yang disiapkan oleh Allah bagi mereka yang berprestasi.

“tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)

Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam sebagai manusia terbaik memberikan contoh agar umatnya meminta surga Allah.

Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya Allah aku meminta kepada-Mu surga dan perkataan perbuatan yang mendekatkan kepadanya, dan aku berlindung dengan-Mu dari neraka, dan dari perkataan perbuatan yang mendekatkan kepadanya” (HR. Ibnu Majah)

Tinggal bagaimana unsur-unsur motivasi itu dikembangkan dan diperkaya dengan pengalaman yang bisa menginspirasi seseorang untuk tetap melaju menuju kesuksesan dunia dan akhirat.

Oleh: Ahmad Tarmudli Lc. MHI.

10 Siasat Setan Menyesatkan Manusia

Untuk menjerumuskan manusia, setan tidak serta merta datang dan memerintahkannya melakukan kejahatan dan keburukan atau melarangnya berbuat kebaikan. Setan akan pelan-pelan dan bertahap menyeretnya keluar dari jalan Allah. Namun setan akan merayu dan menggodanya. Ini pun tergantung kekuatan imam seseorang. Semakin kuat iman seseorang, semakin licik setan menggodanya. Karena itu, cara setan itu sangat banyak dan beragam. Allah berfirman,

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ) ( النور : 21 ).

“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian ikut langkah-langkah setan.” (An-Nur: 21)

Ibnu Katsir menjelaskan maknanya “langkah-langkah” adalah jalan-jalan dan setiap maksiat adalah langkah setan.

Berikut adalah cara-cara licik setan menjerumuskan manusia:

1⃣ Menghiasi Sebuah Perbuatan

Setan akan menghiasi perbuatan baik sehingga tampak buruk dan perbuatan buruk tampak baik. Kemaksiatan akan ditampakkan oleh setan lebih kepada unsur menyenangkanya saja pada saat itu. Sementara perbuatan baik akan ditampakkan unsur-unsur yang memberatkan dan melelahkan. Pada saat subuh misalnya, setan akan menggoda dengan membisikkan dalam hati, “Badan masih lelah, teruslah tidur.”

2⃣ Menipu, mengelabui dan mencampuradukkan.

Setan berusaha mengelabui akal dan jiwa. Ia berusaha meyakinkan manusia bahwa yang haram itu sebenarnya halal. Ketika ingin membangun rumah dari pinjaman riba, maka setan akan meyakinkan bahwa pinjaman itu halal.

3⃣ Menunda-nunda perbuatan baik.

Di sini setan menggunakan senjata “member harapan lebih banyak” sehingga akan memalingkan seseorang dari taubat. Setan akan membisikkan, “Tak apa jika mau taubat, tapi kenapa terburu-buru. Kamu masih muda. Selesaikan urusan ini dan itu dulu.”

4⃣ Meremehkan maksiat.

Setan akan membisikkan kepada orang yang hendak bertaubat, “Kenapa mesti bertaubat? Kamu masih orang baik-baik jika dibanding si anu. Taubat itu untuk orang-orang ahli maksiat dosa besar. Dosa yang kamu lakuka itu kecil.”

5⃣ Menyulitkan urusan setelah seseorang bertaubat.

Setan akan merayu, “Taubat itu berat, membutuhkan istiqamah, istiqamah itu berat. Kalo kau bertaubat, kau akan dimusuhi banyak orang. Kamu akan kehilangan banyak teman. Orang-orang juga tidak akan mudah percaya kepadamu karena masa lalumu yang kelam.” Demikian setan terus membisikkan dalam jiwa manusia.

6⃣ Menanamkan sikap pesimistis.

Jika seseorang ingin bertaubat, setan akan membisikkan dalam jiwanya, “Allah tidka menerima taubatmu karena dosamu sangat banyak, bagaimana Allah menerima taubatmu sementara kamu sudah melakukan dosa ini dan itu.”

7⃣ Menyulut marah.

Marah adalah pemberontakan setan atas logika orang yang berakal. Marah adalah keluar dari akal sehat. Sebuah riwayat menyebutkan, seorang Nabi berkata kepada Iblis, “Dengan apa engkau kalahkan anak Adam?” Iblis menjawab, “Ketika dia marah dan terbawa hawa nafsu.”

Suatu ketika seorang lelaki dari Quraisy berkata kasar kepada Umar bin Abdul Aziz. Sang Khalifah terdiam sejenak kemudian mengatakan, “Apakah engkau ingin agar setan menyeret saya dengan kemuliaan kekuasaan ini sehingga dia akan dapat memperdaya saya sekarang.”

8⃣ Memberikan khayalan dan memperdaya.

Ini senjata setan paling berbahaya.

{ يَعِدُهُمْ وَيُمَنّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمْ الشَّيْطَـانُ إِلاَّ غُرُوراً } [النساء:120].

“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.(An-Nisa’:120)

“Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya.  Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri.  Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang lalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 22)

“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu”. Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah”. Dan Allah sangat keras siksa-Nya. (Al-Anfal: 48)

Setan akan merayu dan memperdaya manusia sesuai dengan kecenderungan dan kesenanganannya. Setan akan menakuti orang kaya dengan kemiskinan jika ingin bersedekah atau berbuat baik. Pada saat yang sama, setan akan menghiasi orang kaya dengan kekayaan-kekayaan yang melimpah dengan berbagai cara yang busuk.

9⃣ Menghiasi aliran sesat dengan fanatisme dan mengejek orang berbeda dengan mereka.

🔟 Berlebih-lebihan

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Tidaklah Allah memerintahkan suatu perintah kecuali setan menggoda dengan dua sisi; sisi menyimpang dari perintah dan sisi berlebihan melaksanakan setan tidak lagi peduli seseorang mau berada di sisi yang mana.”

Ada sebagian kaum yang berlebihan menghormati para Nabi orang shalih hingga pada tingkat menuhankan. Ada sebagian kaum lainnya melanggarnya hingga pada tingkat membunuhnya.

Semoga kita terhindar sejauh-jauhnya dari tipu daya dan godaan setan.

Oleh: 🖋 Ahmad Tarmudli Lc. MHI.

Sudah Berkahkah Harta Kita?

Kata yang sering kita dengan dalam pengajian adalah berkah atau keberkahan. Tapi terkadang belum terlintas di kepala kita maksudnya dan kandungan maknanya. Apa lantas makna dan kandungannya? Berkah berasal dari bahasa Arab barakah (بركة) yang bermakna “berkembang”, “bertambah” dan “kebaikan yang banyak dan langgeng” dan “berkumpul dan berhimpunnya kebaikan” baik yang kasat mata atau yang abstrak. Allah memberkahinya, memberkahi di dalamnya, memberkahi atasnya dan memberkahi baginya.

Istilah “ngalap berkah” (jawa) berarti mencari dan meminta keberkahan dari sesuatu. Atau lebih ditepat di dalam istilah syariat tabarruk. Pada prinsipnya Allah-lah pemegang kebaikan, manfaat dan mara bahaya. Allah lah yang menciptakan berkah dan memberkahi dalam berbagai urusan. Maka ngalap berkah tidak lepas dari dua hal:

Pertama, meminta dan mencari berkah dengan hal-hal yang disyariatkan. Seperti meminta dan mencari berka dengan Al-Quran. Hal ini disyariatkan karena memang Al-Quran itu diberkahi dan juga kepada orang yang membaca dan mengamalkannya serta mengajarkannya.

{وَهَذَا كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ}(92) 

“Dan kitab ini kami turunkan, ia kitab yang diberkahi.” (Al-An’am: 92)

Artinya meminta berkah dengan Al-Quran adalah menjadikannya sebagai petunjuk hati, pengobat hati dan perbaikan jiwa serta pendidik akhlak dan lain-lain.

Kedua, tabarruk dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat. Seperti meminta dan mencari berkah dari pohon, batu, akik, cincin, kuburan, dan tempat atau barang-barang lain yang tidak ada keterangan dalam syariat bahwa tempat dan sesuati itu mengandung keberkahan. Hal ini termasuk dari kesyirikan.

Sebab Allah yang menciptakan keberkahan dalam segala hal. Keberkahan yang disandarkan kepada Allah itu adalah dua macam; Ibnu Qayyim berkata dalam Badaiul fawaid, “Berkah yang bersumber dari perbuatan Allah dimana Allah menjadikannya diberkahi-Nya. Kedua, keberkahan yang bermakna rahmat dan kemuliaan.

Keberkahan Tempat, Waktu dan Sosok

Allah memberikan kekhususan keberkahan kepada tempat, waktu dan sosok (seseorang). Allah memberikan keberkahan kepada beberapa tempat seperti Allah memberkahi Masjid Al-Aqsha dan sekitarnya.

{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ}(1) سورة الإسراء،

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidilharam ke Al Masjidilaksa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al Isra’: 1)

At-Thabari mengatakan, “Yang Kami jadikan di sekelilingnya keberkahan bagi penduduknya dalam hidup, mencari makan, beternak, dan bercocok tanam.”

Allah juga memberikan keberkahan kepada sebagian manusia seperti para Nabi dan utusan Allah.

{قِيلَ يَا نُوحُ اهْبِطْ بِسَلاَمٍ مِّنَّا وَبَركَاتٍ عَلَيْكَ وَعَلَى أُمَمٍ مِّمَّن مَّعَكَ}(48) سورة هود.

“Difirmankan: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.”

Juga Allah memberkahi Nabi Isa alaihissalam. (Maryam: 31) Demikian juga Nabi Muhammad dan seluruh nabi Allah diberkahi jasad dan fisiknya.

Allah juga memberkahi pohon zaitun.

{يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ}(35) سورة النــور،

“yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.” (An-Nur: 35)

Artinya pohon yang banyak manfaat.

Allah juga memberikan berkah kepada air hujan dari langit (Qaaf: 9).

Allah juga memberikan keberkahan kepada waktu-waktu tertentu seperti waktu sahur dan waktu berjamaah serta waktu pagi hari, ucapan salam dan lain-lain.

Lantas apa saja yang membuat sebuah pekerjaan dan rizki menjadi diberkahi Allah? Kita bahas dalam tulisan berikutnya insyaAllah. wallahu a’lam

Oleh: Ahmad Tarmuli LC. MHI

scroll to top