Pajak Dalam Islam

💢💢💢💢💢💢💢

📌Pendapatan Negara Pada Masa Lalu:

Pada masa dahulu uang belanja negara didapatkan dari:

✔Ghanimah (harta rampasan perang)
✔ Fa’i (harta rampasan perang tanpa peperangan, musuh meninggalkan hartanya karena kabur/takut, seperti perang tabuk)
✔Jizyah dari  Kafir Dzimmi
✔ Zakat
✔ Hadiah dari negara sahabat

Tapi saat ini dan ada beberapa sumber yang belum bisa lagi dilaksanakan (seperti ghanimah, fa’i, dan jizyah), maka banyak neger-negeri muslim menambahkan melalui sumber lain, seperti: eksport impor, hutang,  dan pajak.

Pajak dibolehkan oleh empat madzhab, yaitu Adh Dharaaib Al ‘Adilah (pajak yang adil), sebagai biaya belanja negara, seperti penjelasan nanti. Namun, sebagian ulama ada yang mengharamkannya, dan menyamakannya dengab Al Maks (pungli), termasuk juga penulis Indonesia yang pengharaman itu disebarkan dalam BC-BC di grup medsos. Sayangnya hanya menggunakan satu perspektif saja, yaitu pihak yabg mengharamkan, tanpa mengungkap fakta bahwa bahwa justru jumhur ulama membolehkan dgn syarat adil.

Perselisihan ini diawali oleh apakah kewajiban harta itu hanya zakat? Ataukah ada kewajiban lain selain zakat?

Berikut ini perinciannya ..

📌Benarkah Tidak Ada Kewajiban lain bagi Rakyat terhadap negara selain Zakat?

Hal ini diperselisihkan ulama:

Kelompok pertama,

Pihak yang mengatakan TIDAK ADA, alias kewajiban rakyat kepada pemerintah hanya Zakat. Inilah pendapat Imam Adz Dzahabi, Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh Utsaimin, dan lainnya.

Alasan mereka:

1⃣   Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, sesungguhnya ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata:

“Tunjukan kepadaku amal yang jika aku kerjakan mengantarkan ke surga.” Rasulullah menjawab: “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, menegakkan shalat yang wajib, menunaikan wajibnya zakat, dan puasa Ramadhan.” Orang itu berkata, “Demi yang jiwaku ada di tanganNya, aku tidak akan menambahnya.” Ketika orang itu berlalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang ingin melihat laki-laki yang termasuk ahli surga, maka lihatlah orang itu.” (HR. Bukhari, Al Lu’lu’ wal Marjan, Kitab Al Iman, Bab Bayan Al Iman Alladzi yadkhulu bihi al Jannah, No. 8)

Dalam hadits shahih ini sangat jelas, bahwa kewajiban kita terhadap harta hanya satu yaitu zakat.

2⃣  Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhuma secara marfu’, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ أَذْهَبْتَ عَنْكَ شَرَّهُ

“Jika engkau tunaikan zakat hartamu berarti telah engkau  telah hilangkan keburukannya darimu.”  (HR.  Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1439, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7039, Ibnu Khuzaimah No. 2258, Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam No. 1389,  Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9923)

3⃣  Dari  Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا أَدَّيْتَ زَكَاةَ مَالِكَ فَقَدْ قَضَيْتَ مَا عَلَيْكَ

“Jika Engkau tunaikan zakat hartamu, maka Engkau telah memenuhi kewajibanmu.” (HR. At Tirmidzi No. 618, Ibnu Majah No. 1788, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3477, Ibnu Hibban No. 3216, Ibnu Khuzaimah No. 2471, Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 6/67)

4⃣  Mereka menyamakan pajak dengan maks (pelakunya disebut Al Maakis), yang telah dilaknat oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Tidak akan masuk surga pelaku maks. (HR. Abu Daud No. 2937, Ahmad No. 17294, Abu Ya’la No. 1756, Ad Darimi No. 1666, Ibnu Khuzaimah No. 2333)

Apa itu  Al Maakis ? Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri berkata:

وهو الذي يأخذ من التجار إذا مروا به مكساً

Dia adalah orang yang mengambil harta (istilah sekarang:pungli) dari para pedagang yang lewat. (Mir’ah Al Mafatih, 4/233)

Disebutkan dalam Mausu’ah Al Buhuts wal Maqalat Al ‘Ilmiyah:

يُحمل صاحب المكس على الموظف العامل الذي يجبي الزكاة فيظلم في عمله، ويتعدى على أرباب الأموال فيأخذ منهم ما ليس من حقه، أو يقل من المال الذي جمعه مما هو حق للفقراء وسائر المستحقين

Pelaku maks adalah  petugas yang mengumpulkan zakat dan menggelapkannya yaitu dengan memungut uang melebihi hak pembayar zakat;  atau dia mengurangi uang yang dikumpulkannya yang semestinya merupakan hak kalangan faqir dan miskin. (Bab Dharaib wa hukmu Tauzhifiha, Hal. 12)

Kelompok kedua

Pihak yang mengatakan ADA kewajiban selain zakat dari rakyat kepada pemerintah, dan faktanya pada zaman Nabi Shalalllahu ‘Alaihi wa Sallam sudah ada kharaj (pajak tanah). Ini adalah pendapat para sahabat nabi, mayoritas ulama, dan merupakan pendapat empat madzhab.

Menurut mereka hadits-hadits yang dijadikan alasan kelompok pertama, seandainya shahih, tidaklah menafikan kewajiban selain zakat. Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil lain dan fakta sejarah Islam generasi awal.

Dalil-Dalil Golongan ini:

1⃣ Surat Al Baqarah ayat 177

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Baqarah (2): 177)

Dalam ayat ini jelas sekali Allah Ta’ala memisahkan  perintah mengeluarkan harta untuk kerabat, anak yatim, miskin, musafir, dan peminta-minta, dengan  perintah mengeluarkan zakat. Artinya ada kewajiban lain terhadap harta kita selain zakat.

2⃣ Hadits Shahih Bukhari tentang hak Unta dan Kuda, yaitu memeras air susunya. Lalu air susunya wajib di sedekahkan sesuka hatinya.

Oleh karenanya Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:

وَفَرْضٌ عَلَى كُلِّ ذِي إبِلٍ, وَبَقَرٍ, وَغَنَمٍ أَنْ يَحْلِبَهَا يَوْمَ وِرْدِهَا عَلَى الْمَاءِ, وَيَتَصَدَّقُ مِنْ لَبَنِهَا بِمَا طَابَتْ بِهِ نَفْسُهُ

Wajib kepada setiap pemilik unta, sapi, dan kambing, untuk memerah susunya, dan menyedekahkan susunya itu menurut kerelaannya. (Al Muhalla, 6/50)

Beliau menambahkan:

وَمَنْ قَالَ: إنَّهُ لاَ حَقَّ فِي الْمَالِ غَيْرُ الزَّكَاةِ فَقَدْ قَالَ: الْبَاطِلَ, وَلاَ بُرْهَانَ عَلَى صِحَّةِ قَوْلِهِ, لاَ مِنْ نَصٍّ، وَلاَ إجْمَاعٍ, وَكُلُّ مَا أَوْجَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي الأَمْوَالِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Siapa yang mengatakan bahwa tidak ada hak harta selain zakat, maka dia telah mengatakan perkataan yang batil, dan tidak ada bukti kebenaran perkataannya, tidak dari nash, dan tidak pula dari ijma’, dan semua yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada harta adalah wajib. (Ibid)

3⃣ Hadits shahih tentang memuliakan tamu, dengan  memberikan jamuan.

4⃣ Hadits shahih tentang celaan terhadap orang yang enak tidur  padahal tetangganya  kelaparan.

Dan masih banyak lagi yang menunjukkan adanya kewajiban harta selain zakat.

Ini juga menjadi pendapat Imam An Nawawi, Imam Al Ghazali, Imam Asy Syatibi, dan lainnya, bahwa pajak boleh dipungut ketika negara membutuhkannya baik karena kekosongan Baitul Maal, atau kebutuhan besar yang mendesak.

Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah berkata:

وذهب آخرون منذ عهد الصحابة والتابعين إلى أن في المال حقًا سوى الزكاة
جاء ذلك عن عمر، وعليّ، وأبي ذر، وعائشة، وابن عمر، وأبي هريرة، والحسن بن عليّ، وفاطمة بنت قيس من الصحابة رضي الله عنهم. وصح ذلك عن الشعبي ومجاهد وطاوس وعطاء وغيرهم من التابعين

Ulama lain berpendapat, sejak zaman sahabat dan tabi’in bahwa dalam kekayaan ada hak selain zakat. Demikian itu adalah pendapat Umar, Ali, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Al Hasan bin Ali, Fathimah binti Qais, ini dari golongan sahabat Radhiallahu ‘Anhum. Telah shahih dari Asy Sya’bi, Mujahid, Thawus, ‘Atha, dan selain mereka dari kalangan tabi’in. (Fiqhuz Zakah, 2/428)

Ini juga menjadi pendapat imam 4 madzhab. Syaikh Al Qaradhawi berkata:

فقهاء من المذاهب الأربعة يجيزون الضرائب العادلة:وبعد أن فندنا كل الشبهات التي يتمسك بها معارضو شرعية الضرائب العادلة، يحسن بنا -لتأكيد ما بيَّناه في هذا الفصل- أن نذكر أن الفقه الإسلامي قد عرف ضرائب غير الزكاة، أعني ضرائب عادلة أقرها جماعة من فقهاء المذاهب المتبوعة، كما عرفوا الضرائب غير العادلة، ورتبوا عليها أحكامًا.لكنهم لم يطلقوا على هذه وتلك اسم “الضرائب” بل سماها بعض الفقهاء من المالكية: “الوظائف” أو “الخراج”. وسماها بعض الحنفية: ” النوائب ” -جمع نائبة- وهى أسم لما ينوب الفرد من جهة السلطان، بحق أو باطل .وسماها بعض الحنابلة: “الكلف السلطانية” أي التكليفات المالية التي يُلزم بها السلطان رعيته أو طائفة منهم

Ahli Fiqih Madzhab Empat Membolehkan Pajak Yang Adil

Setelah kita bantah semua syubhat yang dijadikan pegangan pihak yang menentang digunakannya sistem pajak yang adil, ada baiknya untuk memperkuat keterangan kita dalam bagian ini, kita katakab bahwa fiqih Islam telah mengenal pajak-pajak selain zakat, yakni pajak yang adil yang telah ditetapkan jamaah ahli fiqih dari madzhab-madzhab yang dianut sebagaimana mereka juga telah mengatahui pajak-pajak yang tdk adil dan menetapkan hukum-hukumnya. Akan tetapi para ahli fiqih itu memang tidak mengistilahkannya dengan nama “pajak”, tetapi sebagian ahli fiqih Maliki menamakannya dengan wazha-if atau kharraj. Sebagaian Hanafi menyebut  nawa-ib, jamak dari naaibah, yaitu nama bagi sesuatu yang menggantikan seseorang dr pihak sultan dengan sesuatu yang hak atau batil. Sebagian pengikut Hambali menamakannya dgn Kalf as Sulthaniyah, yaitu beban harta yg diwajibkan sultan trhadap rakyatnya atau kepada sebagian dari mereka. (Ibid)

📌Samakah Pajak dengan Maks?

Jika diperhatikan definisinya, maka jelaslah muks lebih pas disebut dengan “pajak yang zalim”, tentunya hal itu memang terlarang. Sedangkan yang kita bahas adalah pajak yang adil (Adh Dhara-ib Al ‘Adilah), manusiawi, memiliki maslahat yang jelas, dan memang diambil dari sumber yang baik dan patut, dan disalurkan untuk kepentingan kebaikan pula; seperti belanja negara untuk pembangunan, biaya peperangan, pendidikan, gaji tentara dan guru, dan semisalnya.

Oleh karena itu Imam Adz Dzahabi  menjelaskan tentang muks:

المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم، فإنّه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق

Pemungut pajak  termasuk di antara pembela kezaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia memungut sesuatu yang bukan  semestinya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak. (Al Kabaair, Hal. 115)

Jadi, pendapat yg lebih kuat dan inshaf adalah pajak itu tidak apa-apa selama sesuai prinsip keadilan, inilah pendapat mayoritas ulama, baik klasik maupun kontemporer. Jika rakyat dizalimi karena pajak terlalu banyak dan besar, sehingga mereka merasa tercekik, maka ulama sepakat haramnya.

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah (dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 5811), juga mengatakan bahwa pajak yang adil itu boleh dan bekerja dikantor pajak juga boleh, selama untuk kemaslahatan umum seperti jalanan, rumah sakit, sekolah, dan semisalnya. Ada pun pajak yang haram adalah pajak yang zalim, jk biaya belanja negara dari sumber lain sudah memadai, maka menurutnya  tidak perlu pajak.

Masing-masing negara kondisinya tidak sama, di Indonesia, 70% biaya belanja  negara diperoleh dari pajak, jika diharamkan secara mutlak maka bisa terjadi kegoncangan. Seandainya kekayaan negeri ini dikelola dengan baik, kita percaya tanpa pajak Indonesia tetap mampu berjalan dan berlari, sebagaimana Arab Saudi.

Wallahu A’lam

🌸☘🌺🌴🌻🌷🍃🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Keutamaan Menyambungkan Shaf Shalat

Orang yang mau mengisi dan merapatkan shaf yang kosong di antara barisan jamaah shalat. Menyempurnakan dan mengisi shaf awal sebelum yang kedua, menyempurnakan shaf yang kedua, sebelum yang ketiga, dan seterusnya.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ

Sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang menyambungkan shaf.

(HR. Ibnu Majah No. 995, Ahmad No. 23481, Ibnu Hibban No. 2163, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 4968, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 20554, dari Abu Hurairah)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 23481)

📌 Apakah yang dimaksud menyambungkan dan menyempurnakan shaf?

Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:

يكون الوصل بإتمام الصف الأول فالأول بحيث لا ينشأ الصف الثاني إلا إذا اكتمل الأول، ولا ينشأ الصف الثالث إلا إذا اكتمل الثاني، ولا ينشأ الصف الرابع إلا إذا اكتمل الثالث… وهكذا ويكون وصل الصفوف أيضاً بالتقارب والتراصّ في الصفوف وألا يكون فيها فُرَج، ويكون التراصّ والتقارب إلى جهة الإمام، ولا يكون إلى أحد طرفي الصف وإنما يتجه الناس إلى جهة الإمام، فإذا كانوا من جهة اليمين تراصّوا وتقاربوا إلى جهة اليسار، وإذا كانوا في يسار الصف فإنهم يتراصون إلى جهة اليمين، أي: إلى جهة الإمام. فوصل الصفوف يكون بملء الصفوف والتقارب وعدم وجود فُرَج، وكذلك يتحاذون بلا تقدم ولا تأخر.

Dimaksud “menyambung” adalah dengan menyempurnakan shaf yang awal dahulu, tidak membuat shaf kedua sebelum shaf pertama sempurna. Tidak membentuk shaf yang ketiga kecuali setelah shaf kedua sempurna, tidak membentuk shaf keempat, kecuali setelah shaf ketiga sempurna … begitu seterusnya. Demikian juga menyambungkan shaf adalah dengan mendekat dan merapatkan shaf, dengan tidak ada celah-celah di dalamnya. Mendekat dan merapatkan shaf adalah dengan mengikuti arah (posisi) imam, bukan ke salah satu ujung shaf. Sesungguhnya manusia mengarah pada arahnya imam, jika mereka berada di sebelah kanan hendaknya mereka merapat dan mendekat ke arah kiri, jika mereka di sebelah kiri imam maka mereka merapatkan ke kanan yaitu ke posisi imam. Lalu, menyambung shaf juga dengan cara memenuhi shaf dan merapatkannya, dan menghilangkan adanya celah, begitu pula membetulkan shaf agar tidak terlalu ke depan dan tidak terlalu ke belakang. (Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 12/456)

Demikian. Wallahu a’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Rambu Rambu Pembangunan Masjid

📨 PERTANYAAN:

Assalaamu’alaikum Ustadz, adakah dalil shohih sesuai as Sunnah dlm syarat2 membangun masjid?
Misalnya bentuk atap harus berbentuk kubah dsb….??

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam warahmatullah .. Bismillah wal Hamdulillah

Syarat utama membangun masjid adalah taqwa kepada Allah Ta’ala, maksudnya karena ketaatan, ketundukan, dan totalitas penghambaan kepadaNya.

Sebagaimana ayat:

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. (Qs. At Taubah: 108)

Ada pun masjid yang didirikan, dibangun, dibiayai, oleh kaum munafiq, dalam rangka memecah belah barisan umat Islam, dalam rangka mengambil hati kaum muslimin, maka Allah Ta’ala melarang kita shalat di dalamnya selamanya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا

Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu shalat di dalamnya selama-selamanya. (Qs. At Taubah: 107-108)

Kemudian, untuk masalah bentuk, tidak ada ketentuan khusus yang dijadikan patokan baku. Dalam As Sunnah, yang ada adalah anjuran dan stimulus bagi manusia untuk membangun masjid yang dengannya Allah Ta’ala akan membangunkan rumah di surga baginya.

Hanya saja bagaimana bentuk masjid, telah dikenal di masyarakat kaum muslimin di suatu daerah seperti apa. Maka kembalikan kepada kepatutan yang ada.

Pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, masjid belum memakai menara, tapi menara mulai ada pada masa para sahabatnya.

Di sebagian negeri muslim atau minoritas muslim, ada masjid yang mirip dengan rumah adat setempat, atau ada masjid yang dahulunya gereja, mereka tetap menjaga bentuknya namun dihilangkan semua simbol-simbol penyembahan selain Allah Ta’ala.

Ada pun mihrab, para ulama berbeda pendapat namun yang jelas masjid pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak memakai mihrab. Oleh karena itu sebagian salaf membencinya, dan ada pula yang membid’ahkannya, seperti Imam As Suyuthi dalam kitab: I’lami Al Arib bi Hudutsi Bid’ati Al Maharib.

Tidak ada kata sepakat ulama kapan mihrab mulai ada di masjid kaum muslimin. Ada yang mengatakan pada masa Khalifah Umar Radhiallahu ‘Anhu, oleh karena itu Beliau disebut _syahidul mihrab_ (orang yang mati syahid di Mihrab). Ada juga yang menyebut masa Umar bin Abdul ‘Aziz menjadi gubernur Madinah, dan ada juga yang menyebut pada masa abad ke-2 Hijriyah.

Para ulama di Lajnah Daimah, kerajaan Arab Saudi, seperti Syaikh Bin Baaz, mengatakan mihrab itu boleh, sebagai tanda tempat imam, dan memang ini sudah berlangsung sepanjang zaman kaum muslimin.

Para ulama mengatakan, bahwa mihrab yang terlarang adalah yang dijadikan tempat khusus untuk majelis ilmu, berdzikir, dan shalat. Ada pun sebagai tempat khusus imam tidak apa-apa, dan sudah berlangsung sepanjang zaman umat Islam. *(Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 1/144, Imam Ibnu Katsir, Al Bidayah wan Nihayah, 9/165)*

Begitu pula masalah kaligrafi di dinding masjid, para ulama berselisih pendapat antara yang memakruhkan seperti oandangan Imam Malik, dan juga yang membolehkan berdasarkan perbuatan Khalifah Utsman di masanya yang menghiasi masjid, dan tidak diingkari oleh lainnya. Tp, memang ini belum ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ada pun warna, Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu melarang warna merah dan kuning, dikhawatiri lahirnya fitnah. Seperti ketidakkhusyuan, kekaguman bukan kepada kebesaran Allah Ta’ala, tapi kekaguman kepada keindahan masjid semata, dan sebagainya.

Kemudian …

Hendaknya masjid dijaga kebersihan dan kerapiannya, dan jauhi dari aroma tidak sedap.

Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan:

أمر رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ببناء المساجد في الدور وأن تنظف وتطيب

“Rasulullah Shallallah ‘Alaih wa Sallam memerintahkan untuk membangun masjid-masjid di daerah tempat tinggal, dan membersihkannya, serta memberinya wewangian.” (Hr. Abu Dawud no. 455, shahih)

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🌺🌴☘🌸🌾🌻🍃

✍ Farid Nu’man Hasan

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17, dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Allah Yang Menunjukkan Seseorang Kepada Islam

قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (16)

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (17) إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (18)

Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?” (16)

Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (17)

Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (18)

  • Kebahasaan

أَتُعَلِّمُونَ

Kamu memberi tahu (mengajarkan)

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ

Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu

  • Pendapat para Ulama Mufassirin

At Thabari

Beliau menyebutkan, bahwa orang-orang yang mengatakan bahwa mereka teah beriman kepada Allah, sedang iman belum merasuk kedalam hati mereka, keinginan mereka memberitahu Allah, padahal Allah Maha Mengetahui segala hal baik yang tersembunyi maupun yang nyata. Bahkan kesaksian kalian akan Iman, Allah lah yang mengetahui kadar iman kalian.[1]

Syekh Wahbah Zuhaili

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya:

أتخبرون اللَّه بما في ضمائركم من الدين، ليعلم بذلك حيث قلتم: آمنا؟ واللَّه عالم لا يخفى عليه شيء، يعلم كل ما في السموات وما في الأرض من جمادات ونباتات وحيوانات وإنس وجن، فكيف يجهل حقيقة ما تدّعونه من الإيمان؟

Apakah kalian akan memberitahu Allah apa yang ada dihatimu, agar diketahui Allah, apa yang telah kamu katakana,”Kami telah beriman?”.Allah Maha Mengetahui, tak luput sedikitpun, Dia Mengetahui apa yang ada dilangit dan dibumi, benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Bagaimana mungkin Allah tidak mengetahui hakikat yang engkau klaim sebagai iman?.[2]

As Sa’di

Ayat ini menceritakan tentang orang-orang yang memberitahukan iman mereka kepada Allah padahal mereka belum beriman dengan sebenarnya. Ini merupakan celaan kepada Rasulullah, dan memperindah ucapan yang tak semestinya dilakukan, berbangga-bangga dengan hal yang tak patut dibanggakan. Karena semua nikmat berasal dari Allah, baik nikmat lahir maupun bathin (keimanan).[3]

Abu Thayib Siddik Khan

Meyebutkan dalam tafsirnya:

(قل لا تمنوا عليّ إسلامكم) أي لا تعدوه منة علي، فإن الإسلام هو المنة التي لا يطلب موليها ثواباً لمن أنعم بها عليه

Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu,

Maksudnya: Janganlah kamu menghitung nikmat yang telah diberikan kepadaku, karena Islam merupakan pemberian dari Allah yang pemberinya tidak meminta balasan terhadap pihak yang diberi.[4]

Belaiu juga menyebutkan menghitung-hitung pemberian kepada orang lain tidaklah pantas bagi makhluk, hanya Allah yang memiliki hak-Nya.

Fakhruddin Ar Razi

Beliau menyebutkan beberapa hal terkait dengan ayat diatas, diataranya:

  • Iman memiliki dua kemuliaan, dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi kemuliaan Allah, yaitu dengan memurnikan tauhid dan keyakinan kepada Allah. Sedangkan yang kedua dilihat dari sisi mukmin, dengan mensucikan diri dari sifat-sifat tercela dan menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia.
  • Allah telah memberikan rezeki dengan keimanan kalian, mengutus nabi dan rasul dan menyelamatkan kalian dari siksa neraka, maka, tidak berguna kalian menyebutkan keimanan yang tidak disertai dengan hati.[5]

Al Mawardi

Beliau menyebutkan dalam tafsirnya:

{قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُم} الآية. هؤلاء أعراب حول المدينة أظهروا الإسلام خوفاً , وأبطنوا الشرك اعتقاداً فأظهر الله ما أبطنوه وكشف ما كتموه، ودلهم بعلمه بما في السموات والأرض علم علمه بما اعتقدوه

(Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu). Mereka Arab Badui yang bermukim disekitar Madinah, menampakkan Islam, dan menyembunyikan syirik secara keyakinan, lalu Allah tampakkan apa yang mereka sembunyikan , dan menunjukkan apa yang ada dilangit dan di bumi semua diketahui Allah.[6]

As’ad Hamud

إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

وَإِنَّ اللهَ تَعَالى يَعْلَمُ مَا غَابَ في السَّماواتِ وَالأرْضِ، وَلاَ يَخْفَى عَلَيهِ شَيءٌ، وَلِذَلِكَ فإنّهُ يَعْلَمُ مَا في صُدورِ هَؤلاءِ الأعرابِ وَمَا يُكِنُّونَهُ في ضَمَائِرِهِمْ.

Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan

Dan Allah Maha Mengetahui apa yang tak terlihat baik di langit dan dibumi, tak kan luput sedikitpun, Allah Maha mengetahui apa yang tersembunyi dihati mereka.[7]

 

  • Kesimpulan

  • Orang-orang Arab Badui ingin menampakkan iman (mengajarkan) kepada Allah, padahal Allah yang Maha Mengetahui segala yang dilangit dan di bumi, serta apa-apa yang sebenarnya tersembunyi di hati mereka.
  • Allah Maha memberi nikmat, termasuk nikmat iman, Islam dan hidayah, oleh karenanya bersyukurnya dengan nikmat-nikmat tersebut

 

والله أعلم

Fauzan Sugiono

 


[1] At Thabari, Tafsir At Thabari, 22/319

[2] Wahbah Zuhaili, Tafsir Al Munir, (Damaskus: Dar Fikr Al Muashir,1418H) 2/271

[3] As Sa’di, Tafsir As Sa’di, 1/802

[4] Abu Thayib Siddik Khan, Fathul Bayan Fi Maqashidil Qur’an, 13/156

[5] Ar Razi, Mafatih Al Ghaib, 28/118

[6] Al Mawardi, Tafsir Al Mawardi, 5/338

[7] As’ad Hamud, Aisar at Tafasir, 1/4509

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

scroll to top