Bid’ahkah Menghitung Dzikir Dengan Alat Tasbih?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum …, Ust. Sebenarnya bagaimana hukum berdzikir dengan tasbih, apakah ada dalilnya? (Ikhwan, Alumni LPDI, Kota Sambas)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Al Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Telah terjadi perselisihan ditengah masyarakat tentang berdzikir menggunakan biji tasbih (sub-hah). Sebagian mereka bersikap keras mengingkarinya dan membid’ahkannya. Sebagian lain membolehkan, bahkan menganggapnya sunah. Ini terjadi lantaran para ulama pun tidak ada kata sepakat, tetapi mayoritas mengatakan boleh; seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam As Suyuthi, Imam Asy Syaukani, Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ibnu Abidin, Imam Al Hashfaki, Imam Al Munawi, Imam Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Syaikh ‘Athiyah Shaqr, Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Ali Jum’ah, para ulama di Al Azhar, pakistan, dan lain sebagainya, bahkan Imam As Suyuthi mengatakan tak ada yang mengingkari kebolehannya baik kaum salaf maupun khalaf. Sedangkan, yang mengingkarinya dan menyatakan sebagai bid’ah adalah beberapa ulama sekarang, seperti Syaikh Al Albani,  Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syaikh Bakr Abu Zaid (Beliau telah menyusun kitab As Subhah Tarikhuha wa Hukmuha), dan lainnya. Tetapi semua sepakat bahwa berdzikir dengan jari tangan adalah lebih afdhal, sebab itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sebelum kami paparkan fatwa para ulama, ada baiknya kami sampaikan beberapa hadits tentang berdzikir menggunakan jari dan biji/kerikil.

📌 Pertama. Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertahlil, bertasbih, dan bertaqdis (mensucikan), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari, karena itu semua akan ditanya dan diajak  bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat.” (HR. At Tirmidzi No. 3583, Abu Daud No. 1501, Ahmad No. 27089, Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Kabir No. 180, lihat juga  Ad Du’a, No. 1662, Musnad Ishaq bin Rahawaih No. 2327, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 2006)

Al Hafizh Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan sanadnya Jayyid (baik). (Takhrij Ahadits Al Ihya No. 958). Imam An Nawawi menyatakan hasan. (Al Adzkar No. 27. Darul Fikr, Lihat juga Al Khulashah Al Ahkam, 1/472). Al Hafizh Ibnu Hajar juga menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul Muhadditsin No. 4969).  Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: muhtamal lit tahsin (dimungkinkan hasan). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 27089). Syaikh Abu Muhammad Syahatah juga mengatakan hasan. (Al Musyarikat Hal. 16)

Syaikh Al Albani juga menghasankan. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1501. Misykah Al Mashabih No 2316)

📌 Kedua. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ

“Bahwa dia (Sa’ad) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita, dan dihadapan wanita itu terdapat biji-bijian atau kerikil. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Maukah kau aku beritahu dengan yang lebih mudah bagimu dari ini atau lebih utama? (Lalu nabi menyebutkan macam-macam dzikir yang tertulis dalam teks di atas ..) (HR. Abu Daud No. 1500, At Tirmidzi No. 3568, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 837, Al Hakim No. 2009, Al Bazzar No. 1201)

Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam berbagai kitabnya. (Shahih wa Dhaif Sunan  Abi Daud No. 1500, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 3568, Misykah Al Mashabih No. 2311, Dhaif Al Jami’ Ash Shaghir No. 2155, As Silsilah Adh Dhaifah No.  83), juga didhaifkan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr. (Syarh Sunan Abi Daud, 8/228)

Namun segenap imam muhadditsin dan para huffazh menyatakan maqbul(diterima)-nya hadits ini. Imam An Nawawi  mengikuti penghasanan Imam At Tirmidzi. (Al Adzkar, Hal. 17 No. 26. Darul Fikr). Hadits ini dimasukkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya. Dishahihkan pula oleh Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya,  lalu oleh Imam As Suyuthi, dan Imam Asy Syaukani pun menyetujuinya. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah). Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul Muhadditsin, No. 4966), Al Hafizh Al Mundziri juga menyetujui penghasanan Imam At Tirmidzi. (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/322)

Hadits ini –jika shahih atau minimal hasan- menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari yang dilakukan wanita itu, beliau hanya memberikan cara yang lebih mudah atau lebih utama, dibanding apa yang dilakukannya dengan menghitung banyak biji atau kerikil. Dan, yang jelas penghasanan atau penshahihan yang dilakukan oleh sederetan imam seperti: Imam At Tirmidzi, Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar, Imam As Suyuthi, dan Imam Asy Syaukani, tidaklah serta merta gugur karena pendhaifan yang dilakukan oleh Syaikh Al Albani.

📌 Ketiga. Dari Shafiyah binti Huyai Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بها فقال لقد سبحت بهذه ألا أعلمك بأكثر مما سبحت به فقلت بلى علمني فقال قولي سبحان الله عدد خلقه

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui saya, dan dihadapan saya ada 4000 biji yang saya gunakan untuk bertasbih. Beliau bersabda: “Engkau bertasbih dengan ini, maukah kau aku ajarkan dengan sesuatu yang nilainya lebih banyak dari tasbihmu ini?” Aku menjawab: “Tentu, ajarkanlah aku.” Beliau bersabda: “Ucapkanlah, Subhanallah ‘Adada Khalqihi (Maha Suci Allah Sebanyak jumlah makhlukNya).” (HR. At Tirmidzi No. 3554, Al Hakim No. 2008, Abu Ya’la No. 7118)

Imam Al Hakim menshahihkannya, dan menurutnya hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits orang-orang Mesir, yang yang lebih shahih dari ini. (Al Mustadrak No. 2008), Imam Adz Dzahabi menyepakatinya. Imam As Suyuthi juga menshahihkannya.  (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul Muhadditsin No. 4967). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjadikan hadits ini sebagai dalil kebolehan  menghitung tasbih dengan subhah. (Lihat fatwanya  nanti).

Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan munkar. (Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmdizi No. 3554), Syaikh Husein Salim Asad mendhaifkan dalam ta’liqnya terhadap Musnad Abi Ya’la. (No. 7118)

Hadits ini –seandainya shahih- merupakan dalil bolehnya bertasbih  menggunakan biji bijian. Seandainya hal itu terlarang, pasti nabi mengingkarinya. Apa yang nabi lakukan hanyalah alternatif yang lebih mudah dibanding menghitung tasbih sebanyak 4000 kali.

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

✅ Pendapat Yang Tidak Menyetujui bahkan Membid’ahkan

Berikut ini beberapa ulama yang tidak membolehkan dzikir dengan menggunakan subhah.

1. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah

Beliau menjelaskan tentang hadits di atas:

فهذا هو السنة في عد الذكر المشروع عده ، إنما هو باليد ، و باليمنى فقط ، فالعد باليسرى أو باليدين معا ، أو بالحصى كل ذلك خلاف السنة ، و لم يصح في العد بالحصى فضلا عن السبحة شيء

“Inilah sunah dalam hal menghitung dzikir yang disyariatkan, yaitu hanyalah dengan tangan, bagian kanan saja. Sedangkan menghitung dengan kiri atau dua tangan bersamaan, atau dengan batu-batu kecil, maka semua itu bertentangan dengan sunah. Tidak ada yang shahih satu pun tentang menghitung dzikir dengan batu-batu kecil yang tersusun seperti biji tasbih.” (As Silsilah Adh Dhaifah 3/47, No. 1002)

Demikianlah menurut Syaikh Al Albani, sementara imam lainnya –Imam At Tirmidzi, Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban,  Imam As Suyuthi, Imam Asy Syaukani, Imam Al ‘Iraqi, Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi- mengatakan bahwa hadits-hadits tentang menghitung dzikir dengan kerikil atau biji-bijian adalah antara shahih  dan hasan. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits Shafiyah.

2. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah

Beliau mengomentari kisah Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu  yang sedang mengingkari halaqah dzikir yang menghitung dzikir menggunakan batu-batu kecil:

ولا يكون ذلك بالعد بالحصى، ولا بغير الحصى، وإنما الإنسان يعد ما ورد عده، مثل التسبيح بعد الصلاة ثلاثاً وثلاثين، والتحميد ثلاثاً وثلاثين، والتكبير ثلاثاً وثلاثين، ويقول عند تمام المائة: لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، وهو على كل شيء قدير، فهذا شيء جاءت به السنة، والإنسان يعد بأصابعه، ولكن كون الإنسان يسبح بحصى هذا شيء لم يأت به السنة عن رسول الله عليه الصلاة والسلام، ولهذا قال أبو عبد الرحمن ما قال، ونبه إلى أن الصحابة هم القدوة وهم الأسوة وهم السابقون إلى كل خير، ولو كان خيراً لسبقوا إليه.

“Tidaklah perhitungan dzikir itu menggunakan batu-batu kecil, tidak pula yang lain. Sesungguhnya manusia menghitungnya sebagaimana hitungan yang telah warid (datang) riwayatnya, seperti tasbih setelah shalat 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali, lalu  melengkapinya hingga seratus dengan membaca: Laa Ilaha Illallahu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Inilah dzikir yang ada pada sunah, dan manusia menghitungnya dengan jari jemarinya, tetapi perilaku menusia yang menghitungnya dengan batu-batu kecil, maka itu tidak ada dasarnya dari sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu berkatalah Abu Abdurrahman (Ibnu Mas’ud) sebagaimana yang telah dikatakannya. Seraya mengabarkan mereka bahwa sahabat nabi adalah teladan dan contoh, mereka adalah orang yang awal dalam setiap kebaikan, seandainya hal ini baik niscaya mereka sudah mendahuluinya.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 8/228)

Beliau juga menjelaskan di halaman lain, ketika mengomentari hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash:

والحديث ضعيف غير ثابت؛ لأن في إسناده مجهولاً لا يعرف وهو خزيمة المذكور في الإسناد، فالحديث غير صحيح، وعلى هذا فلا يجوز العد والتسبيح بالحصى ولا بالنوى، وكذلك ليس للإنسان التسبيح بالمسبحة، فأقل أحواله أن يكون خلاف الأولى، وبعض أهل العلم يقول: إنه بدعة، فالذي ينبغي أن يبتعد الإنسان عنه ولا يفعله، وإنما يسبح بالأصابع؛ لأنه كما جاء في الحديث: (فإنهن مسئولات مستنطقات) كما سيأتي، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يسبح بأصابعه، يعني: بأنامل يمينه كما سيأتي.

“Dan hadits ini dhaif, tidak kuat. Karena dalam sanadnya terdapat  rawi yang majhul, tidak dikenal, yakni bernama Khuzaimah yang tertera dalam sanadnya. Maka, hadits ini tidak shahih. Oleh karena itu tidak boleh manusia bertasbih dengan batu-batu kecil, bijji-bijian, demikian juga dengan subhah, minimal keadaan ini bertentangan dengan perbuatan yang pertama (yakni dengan jari jemari). Sebagian ulama mengatakan: itu adalah bid’ah. Maka hendaknya manusia dijauhkan darinya dan tidak melakukannya.

Sesungguhnya bertasbih itu hanyalah dengan jari jemari, sebagaimana hadits: (Sesungguhnya jari jemari akan ditanya dan diajak bicara), sebagaimana penjelasan yang akan datang. Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan jari-jemarinya, yaitu ujung jari bagian tangan kanan sebagaimana penjelasan  selanjutnya.” (Ibid, 8/228)

Saya sudah sebutkan di atas (lihat keterangan hadits kedua), bahwa hadits yang didhaifkan Syaikh Abdul Muhsin ini, adalah hadits yang dihasankan oleh Imam At Tirmidzi, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar, serta dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Al Hakim, Imam As Suyuthi, dan disetujui oleh Imam Asy Syaukani.

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

✅ Berikut ini fatwa para ulama –baik terdahulu atau modern- yang menyatakan kebolehan berdzikir dengan untaian biji tasbih.

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah

Beliau mengatakan bertasbih dengan biji, atau kerikil, atau yang semisalnya adalah perbuatan yang hasan (bagus/baik). Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:

وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ : { سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ } . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ .

 “Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari, karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara.”

Adapun menghitung tasbih dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dan, dahulu sebagian sahabat Radhiallahu ‘Anhumi ada yang memakainya, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil, dan beliau mentaqrirkannya (menyetujuinya), dan diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengannya.” (Majmu’ Fatawa, 5/225. Mawqi’ Al Islam)

Beliau juga mengatakan:

وَالتَّسْبِيحُ بِالْمَسَابِحِ مِنْ النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ لَكِنْ لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ : أَنَّ التَّسْبِيحَ بِهِ أَفْضَلُ مِنْ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ وَغَيْرِهَا وَإِذَا كَانَ هَذَا مُسْتَحَبًّا يَظْهَرُ فَقَصْدُ إظْهَارِ ذَلِكَ وَالتَّمَيُّزُ بِهِ عَلَى النَّاسِ مَذْمُومٌ

“Bertasbih dengan menggunakan alat tasbih, diantara manusia ada yang memakruhkannya, dan ada pula yang memberikan keringanan terhadapnya. Tetapi tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa bertasbih dengannya itu lebih afdhal dibanding tasbih dengan jari jemari dan selainnya. Dan, jika hal ini dianjurkan untuk menampakkan dengan maksud pamer dan berbeda dengan manusia, maka ini tercela.” (Ibid, 5/134)

2. Imam Asy Syaukani Rahimahullah

Beliau mengomentari ketiga hadits di atas dalam kitabnya, Nailul Authar, sebagai berikut:

 بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز

 “ … sesungguhnya ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum boleh.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

 Imam Asy Syaukani dalam kitabnya ini banyak membeberkan riwayat para sahabat yang bertasbih menggunakan biji, krikil, atau subhah. Silahkan merujuk.

3. Imam Jalaluddin As Suyuthi Asy Syafi’i Rahimahullah

Disebutkan oleh Imam Asy Syaukani sebagai berikut:

وقد ساق السيوطي آثارًا في الجزء الذي سماه المنحة في السبحة وهو من جملة كتابه المجموع في الفتاوى وقال في آخره : ولم ينقل عن أحد من السلف ولا من الخلف المنع من جواز عد الذكر بالسبحة بل كان أكثرهم يعدونه بها ولا يرون في ذلك مكروهًا انتهى .

Imam As Suyuthi telah mengemukakan berbagai atsar dalam juz yang dia namakan Al Minhah fi As Subhah, yang merupakan bagian dari kumpulan fatwa-fatwa, dia berkata pada bagian akhirnya: “Tidaklah ada nukilan   seorang pun dari kalangan salaf dan tidak pula khalaf yang melarang kebolehan menghitung dzikir dengan subhah, bahkan justru kebanyakan mereka menghitung dengannya, dan mereka tidak memandangnya sebagai perbuatan yang dibenci. Selesai” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Hal. 317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

4. Imam Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami Asy Syafi’i Rahimahullah

Dalam kitab Al Fatawa  Al Fiqhiyah Al Kubra tertulis demikian:

“وسئل” رضي الله عنه هل للسبحة أصل في السنة أو لا؟ “فأجاب” بقوله: نعم, وقد ألف في ذلك الحافظ السيوطي؛ فمن ذلك ما صح عن ابن عمر رضي الله عنهما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح بيده. وما صح عن صفية: رضي الله عنها دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بهن, فقال: ما هذا يا بنت حيي. قلت: أسبح بهن, قال: قد سبحت منذ قمت على رأسك أكثر من هذا, قلت: علمني يا رسول الله قال: قولي سبحان الله عدد ما خلق من شيء. وأخرج ابن أبي شيبة وأبو داود والترمذي: “عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس ولا تغفلن فتنسين التوحيد, واعقدن بالأنامل فإنهن مسئولات ومستنطقات”. وجاء التسبيح بالحصى والنوى والخيط المعقود فيه عقد عن جماعة من الصحابة ومن بعدهم وأخرج الديلمي مرفوعا: نعم المذكر السبحة. وعن بعض العلماء: عقد التسبيح بالأنامل أفضل من السبحة لحديث ابن عمر. وفصل بعضهم فقال: إن أمن المسبح الغلط كان عقده بالأنامل أفضل وإلا فالسبحة أفضل .

“Beliau (Imam Ibnu Hajar Al Haitami), semoga Allah meridhainya, ditanya: “Apakah menggunakan sub-hah ada dasarnya dalam sunah atau tidak?”

Beliau menjawab: “Ya, Al Hafizh As Suyuthi telah menyebutkan hal itu, di antaranya yang shahih dari Ibnu Umar (yang benar adalah Ibnu Amr –pen) Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih menggunakan tangannya.” Juga riwayat shaihh dari Shafiyah (binti Huyay) Radhiallahu ‘Anha: “ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuinya, dan ditanganku  ada 4000 biji yang aku gunakan untuk bertasbih.  Beliau bertanya: “Apa ini wahai Binti Huyai?” Aku menjawab: “Aku bertasbih dengannya.” Beliau bersabda: “Aku telah bertasbih sejak  aku bersandar di kepalamu lebih banyak dari ini.” Aku berkata: “Ajarkanlah aku wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Katakanlah, Subhanallah ‘adada maa khalaqa min syai’ (Maha Suci Allah sesuatu yang Dia ciptakan).” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, dan At Tirmidzi: “Hendaknya kalian bertasbih, tahlil, dan taqdis (mensucikan). Janganlah kalian lalai hingga kalian lupa dengan tauhid. Dan, himpunlah (hitunglah) dengan jari-jari karena mereka akan ditanya dan  diajak bicara (menjadi saksi).”

Telah terdapat keterangan tentang bertasbih menggunakan kerikil, biji, dan benang yang diikat  menjadi beberapa  himpunan dari jamaah para sahabat dan manusia setelah mereka. Ad Dailami telah mengeluarkan secara marfu’:  “Ya, berdzikir dengan biji tasbih.” Dan, dari sebagian ulama: “Menghitung tasbih dengan ujung jari adalah lebih afdhal dibanding biji tasbih (sub-hah) karena hadits Ibnu Amr di atas. Sebagian mereka merinci: “Jika dia merasa aman dari kekeliruan, maka menggunakan ujung jari adalah lebih utama, jika tidak, maka dengan biji tasbih lebih utama.” (Imam Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami, Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra, 1/219. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut – Libanon)

5. Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah

Beliau mengatakan dalam Hasyiah-nya:

( قَوْلُهُ لَا بَأْسَ بِاِتِّخَاذِ الْمِسْبَحَةِ ) بِكَسْرِ الْمِيمِ : آلَةُ التَّسْبِيحِ ، وَاَلَّذِي فِي الْبَحْرِ وَالْحِلْيَةِ وَالْخَزَائِنِ بِدُونِ مِيمٍ . قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ : السُّبْحَةُ خَرَزَاتٌ مَنْظُومَةٌ ، وَهُوَ يُقْتَضَى كَوْنَهَا عَرَبِيَّةً . وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ : كَلِمَةٌ مُوَلَّدَةٌ ، وَجَمْعُهَا مِثْلُ غُرْفَةٍ وَغُرَفٍ . ا هـ . وَالْمَشْهُورُ شَرْعًا إطْلَاقُ السُّبْحَةِ بِالضَّمِّ عَلَى النَّافِلَةِ . قَالَ فِي الْمُغْرِبِ : لِأَنَّهُ يُسَبَّحُ فِيهَا . وَدَلِيلُ الْجَوَازِ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحَ الْإِسْنَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ { أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ : أُخْبِرُك بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْك مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ؛ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مِثْل ذَلِكَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ } : فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ . وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ وَأَفْضَلُ وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ ، وَلَا يَزِيدُ السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ النَّوَى فِي خَيْطٍ ، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ فِي الْمَنْعِ ، فَلَا جَرَمَ أَنْ نُقِلَ اتِّخَاذُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ الْأَخْيَارِ وَغَيْرِهِمْ ؛ اللَّهُمَّ إلَّا إذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ فَلَا كَلَامَ لَنَا فِيهِ ، وَهَذَا الْحَدِيثُ أَيْضًا يَشْهَدُ لِأَفْضَلِيَّةِ هَذَا الذِّكْرِ الْمَخْصُوصِ عَلَى ذِكْرٍ مُجَرَّدٍ عَنْ هَذِهِ الصِّيغَةِ وَلَوْ تَكَرَّرَ يَسِيرًا كَذَا فِي الْحِلْيَةِ وَالْبَحْرِ

(Ucapannya: tidak mengapa menggunakan misbahah) dengan huruf mim dikasrahkan adalah alat untuk bertasbih, ada pun yang tertulis dalam Al Bahr, Al Hilyah, dan Al Khazain adalah tanpa mim. Disebutkan dalam Al Mishbah: “Subhah adalah manik-manik yang terangkai, kata ini menuntut bahwa ia adalah asli Arab. Al Azhari berkata: “Itu kata yang muwalladah (tidak asli Arab), bentuk jamaknya seperti ghurfah dan ghuraf.

Yang masyhur secara syariat adalah penggunaaan subhah ini terdapat pada shalat sunah. Disebutkan dalam Al Maghrib: “karena dia bertasbih padanya.”

Ada pun dalil kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash: (Lalu disebutlah hadits sebagaimana  tertulis dalam  jawaban ini pada hadits kedua)

Lalu katanya: “Nabi tidak melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan kepada  cara yang lebih mudah dan utama, seandainya makruh tentu Beliau akan menjelaskan kepada wanita itu. Dari kandungan hadits ini, kita memahami bahwa subhah  hanyalah kumpulan bijian yang dirangkai benang. Masalah seperti ini tidak tampak pengaruhnya pada pelarangan. Maka, bukan pula kesalahan jika mengikuti penggunaannya itu sebagaimana sekelompok kaum sufi yang baik dan selain mereka. Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya dan sum’ah, tetapi kami tidak membahas hal ini.

Hadits ini juga menjadi saksi lebih utamanya dzikir khusus dibanding dzikir mutlak yang bebas dari bentuk ungkapan ini, walau pengucapannya banyak  berulang-ulang. Demikian dalam Al Hilyah dan Al Bahr. (Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 5/54. Mawqi’ Al Islam)

6. Imam Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah

Beliau menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir, ketika menerangkan hadits Yusairah:

وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث

“Hadits ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan, beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad Dailami: “Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi mu’allif (yakni Imam As Suyuthi) mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al Jalal Al Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai zhahir hadits.” (Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut – Libanon)

Catatan: riwayat Ad Dailami yang dikutip oleh Imam Al Munawi adalah maudhu’ (palsu). (As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/184, No. 83) 

7. Imam Abu Thayyib Abdul ‘Azhim Syamsul Haq Abad Rahimahullah

Beliau berkata ketika mengomentari hadits Sa’ad bin Abi Waqash Radhiallahu ‘Anhu, sebagai berikut:

الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى ، وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ لِعَدَمِ الْفَارِقِ ، لِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَرْأَةِ عَلَى ذَلِكَ وَعَدَمِ إِنْكَارِهِ ، وَالإْرْشَادُ إِلَى مَا هُوَ أَفْضَل مِنْهُ لاَ يُنَافِي الْجَوَازَ . قَال : وَقَدْ وَرَدَتْ فِي ذَلِكَ آثَارٌ ، وَلَمْ يُصِبْ مَنْ قَال إِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ

Hadits ini merupakan dalil bolehnya menghitung tasbih dengan biji-bijian dan kerikil, begitu juga dengan subhah karena tidak ada bedanya, hal ini karena setujunya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap wanita tersebut Beliau tidak mengingkarinya,  dan petunjuk Beliau kepada sesuatu yang lebih utama tidaklah menghilangkan kebolehannya. Dia (Abu Thayyib) berkata: telah banyak atsar tentang hal itu, dan sama sekali tidak benar bagi yang mengatakan itu adalah bid’ah. (‘Aunul Ma’bud, 4/367, sebagaimana dikutip dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 21/259)

8. Syaikh Abu Al ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Rahimahullah

Beliau menerangkan dalam Tuhfah Al Ahwadzi, ketika menjelaskan hadits Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut:

وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ ، فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اِمْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ الْحَدِيثَ ، وَحَدِيثُ صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا الْحَدِيثَ .

“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang diisyaratkan oleh At Tirmidzi menyebutkan bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah (untaian biji tasbih) dan kerikil.  Dalil yang menunjukkan kebolehannya  menghitung tasbih dengan kerikil dan biji-bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wnaita yang dihadapannya terdapat bijian atau kerikil yang digunakannya  untuk bertasbih (Al Hadits). Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku ada 4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. (Al Hadits).” (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/458. Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif)

9. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah

Beliau ditanya tentang seseorang yang berdzikir setelah shalat menggunakan subhah, bid’ahkah? Beliau menjawab:

المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة .

“Seharusnya tidak memakainya, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya seandainya bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan hal itu dirumahnya,  sampai-sampai manusia menggantungkannya dan dahulu para salaf melakukannya. Masalah ini  lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun memeganginya  pada tangannya di masjid sebagusnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.” (Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqallat,  29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam) 

10.  Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Al Hambali Rahimahullah

Beliau ditanya oleh seorang dari Jeddah bernama Ahmad Shalih, dia terbiasa berdzikir menggunakan biji tasbih baik pagi atau sore, sedangkan jika dengan jari seringkali melakukan kesalahan hitung, bolehkah ini, bid’ah atau tidak?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjawab:

السبحة ليست بدعة لأن النبي صلى الله عليه وسلم مر على نساء وهن يسبحن بالحصى فقال عليه الصلاة والسلام اعقدن بالأنامل فإنهن مستنطقات فقد بينت السنة حكم التسبيح بغير الأصابع وأن الأولى التسبيح بالأصابع فالأولى أن يسبح الإنسان بالأصابع وإن كان لا يستطيع الإحصاء بالأصابع فلا حرج أن يسبح بحصى أو بمسبحة لكن بشرط أن يبتعد في ذلك عن الرياء بأن لا يسبح بذلك أمام الناس في غير وقت التسبيح فيعجب الناس به ويخشى عليه من الرياء في هذه الحال

“As Sub-hah (untaian biji tasbih) bukanlah bid’ah, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melewati  para wanita, dan mereka sedang bertasbih menggunakan batu-batu kecil (semacam kerikil). Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hitunglah bilangannya dengan ujung-ujung jari, karena nanti itu akan diajak bicara (pada hari kiamat).” Saya telah menjelaskan tentang kesunnahan hukum bertasbih dengan selain jari jemari dan lebih utamanya  bertasbih  adalah dengan jari jemari. Lebih utama adalah dengan jari jemari, dan jika dia tidak bisa menghitung dengan jari jemari, maka tidak apa-apa bertasbih dengan kerikil atau misbahah (untaian biji tasbih), tetapi dengan syarat dia menjauhi riya’, tidak menggunakannya di depan manusia pada selain waktu bertasbih demi mencari decak kagum manusia. Dan,   hendaknya dalam keadaan ini dia takut terhadap riya’.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘alad Darb, Bab Mutafariqah, No. 708. Mawqi’ Ruh Al Islam)

11. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan Al Hambali Rahimahullah

Dalam Al Mulakhash Al Fiqhi, beliau berkata:

ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات، من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة، وكرهها بعض العلماء، وإن اعتقد أن لها فضيلة؛ فاتخاذها بدعة، وذلك مثل السبح التي يتخذها الصوفية، ويعلقونها في أعناقهم، أو يجعلونها كالأسورة في أيديهم، وهذا مع كونه بدعة؛ فإن فيه رياء وتكلفا.

Dibolehkan menggunakan untaian biji tasbih untuk menghitung dzikir dan tasbih, dengan tanpa meyakini adanya keutamaan khusus padanya. Sebagian ulama ada yang memakruhkan. Jika dibarengi keyakinan memiliki keutamaan, maka menggunakannya adalah bid’ah. Itulah bertasbihnya kaum sufi, mereka mengkalungkannya pada leher-leher mereka, atau  menjadikannya gelang pada tangan-tangan mereka, ini semua bid’ah, di dalamnya terdapat riya’ dan memaksakan diri.” (Syaikh Shalih Fauzan, Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/159. Mawqi’ Ruh Al Islam)

12. Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah

Beliau mengatakan, ketika ditanya bid’ahkah menghitung tasbih dengan  sub-hah? Katanya:

  أن الأمر بالعد بالأصابع ليس على سبيل الحصر بحيث يمنع العد بغيرها ، صحيح أن العد بالأصابع فيه اقتداء النبى صلى الله عليه وسلم لكنه هو نفسه لم يمنع العد بغيرها ، بل أقر ه ، وإقراره من أدلة المشروعية .

“Sesungguhnya perintah menghitung tasbih dengan jari tidaklah membatasi yang lainnya, yang membuat terlarang menghitung dengan selainnya. Benar bahwa menghitung dengan jari jemari merupakan upaya mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi hal itu sendiri tidaklah  melarang menggunakan selainnya. Bahkan Beliau menyetujuinya, dan persetujuannya itu merupakan dalil disyariatkannya.” (Lalu Beliau memaparkan berbagai riwayat tentang berdzikir menggunakan biji dan kerikil, baik pada masa Rasulullah, sahabat, dan tabi’in)

Beliau melanjutkan;

وبناء على ما سبق ذكره يكون التسبيح بغير عقد الأصابع مشروعا، لكن أيهما أفضل ؟ يقول السيوطى : رأيت فى كتاب “تحفه العباد ” ومصنفه متأخر عاصر الجلال البلقينى فصلا حسنا فى السبحة قال فيه ما نصه : قال بعض العلماء : عقد التسبيح بالأنامل أفضل من السبحة لحديث ابن عمرو، لكن يقال : إن المسبح إن أمن الغلط كان عقده بالأنامل أميل وإلا فالسبحة أولى . والسنة أن يكون باليمين كما فعل الرسول صلى الله عليه وسلم وجاء ذلك فى رواية لأبى داود وغيره .

“Penjelasan yang telah lalu menunjukkan bahwa bertasbih dengan selain jari jemari adalah masyru’ (disyariatkan), tetapi mana yang lebih utama? Berkata Imam As Suyuthi: “Aku melihat dalam kitab Tuhfah Al ‘Ibad, yang disusun oleh ulama belakangan Al Jalal Al Bulqini, dengan penjelasan yang bagus tentang Sub-hah, dia berkata: “Berkata sebagian ulama: “Menghimpun tasbih dengan ujung jari jemari adalah lebih utama dibanding biji tasbih, lantaran hadits Ibnu Amr. Tetapi disebutkan: “Jika merasa aman dari kesalahan menghitung tasbih dengan tangan, maka dengan tangan adalah lebih utama, jika tidak, maka dengan subhah adalah lebih utama.” Sunnahnya menggunakan jari kanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya.” (Fatawa Al Azhar, 9/11)

Demikianlah para ulama yang dengan tegas menyatakan kebolehan bertasbih dengan subhah atau yang semisalnya. Nama-nama mereka sudah menjadi garansi hal ini. Namun mereka sepakat, bahwa menggunakan jari jemari adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Bagi seorang muslim yang  wara’, tentu dia akan menempuh jalan yang lebih utama dan hati-hati itu. Apalagi bagi yang mudah terserang penyakit riya dan sum’ah maka menghindarinya adalah lebih utama lagi.

Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghimpun  tasbih.” Ibnu Qudamah mengatakan: “Dengan jari tangan kanannya.” (HR. Abu Daud No. 1502)

Imam An Nawawi mengatakan hasan. (Al Adzkar, Hal. 18, No. 28) Syaikh Al Albani mengatakan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1502)

Demikianlah masalah ini. Kami -walaupun cenderung mengikuti pendapat yang membolehkannya sebab dia hanyalah alat bantu hitung saja, bukan dzikir itu sendiri- tetap berharap agar kita tidak bersikap intoleran dan kasar terhadap saudara-saudara kita yang tidak sepaham. Sudah seharusnya seorang muslim bertoleransi dalam masalah furu’ (cabang) yang dijadikan ajang berdebatan para imam kaum muslimin, khususnya pada masa belakangan.

Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌻🌴🌺🌷☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Aqiqah Ketika Dewasa, Bolehkah?

Pertanyaan:

 

                Assalamu ‘Alaikum Ust, kalau anak atau kita yang belum aqiqah, apakah udah dewasa atau kita yang udah tua boleh aqiqah? (085245014xxx)

 

Jawaban:

 

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man  Waalah wa Ba’d:

Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal) untuk aqiqah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau  sudah dewasa.

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

            “Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377.  Hadits ini shahih. Lihat Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr. Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. )

 

Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:

فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ التَّسْمِيَةِ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَالرَّدُّ عَلَى مَنْ حَمْلِ التَّسْمِيَةَ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ السَّابِقِ عَلَى التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الذَّبْحِ .

وَفِيهِ أَيْضًا مَشْرُوعِيَّةُ وَضْعِ الْأَذَى وَذَبْحِ الْعَقِيقَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ .

 

“Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu.” (Nailul Authar , 5/135. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

 Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan) demikian:

 فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ ” ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ .

  “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya:

قال أبو داود في كتاب المسائل سمعت أبا عبد الله يقول العقيقة تذبح يوم السابع وقال صالح بن أحمد قال أبي في العقيقة تذبح يوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين وقال الميموني قلت لأبي عبد الله متى يعق عنه قال أما عائشة فتقول سبعة أيام وأربعة عشرة ولأحد وعشرين وقال أبو طالب قال أحمد تذبح العقيقة لأحد وعشرين يوما انتهى

 

“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: ‘Ada pun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21.’ Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Sa’ad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Sa’ad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara ‘Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh  dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafi’i, Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, ‘Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.

                 “Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika  dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma’ (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah dan  bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

وَنَقَلَ صَاحِبُ الْبَحْرِ عَنْ الْإِمَامِ يَحْيَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا بَعْدَهُ إجْمَاعًا وَدَعْوَى الْإِجْمَاعِ مُجَازَفَةٌ مَا عَرَفْت مِنْ الْخِلَافِ الْمَذْكُورِ .

“Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma’ aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma’ ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan.” (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

 

  • Bolehkah Aqiqah setelah Dewasa?

Para ulama berbeda pendapat, antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits tentang bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa adalah dhaif.

Dari Anas bin Malik, katanya:

 عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة  

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.” (HR. Abdurrazaq, No. 7960)

 

Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini?

Sanad hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.

Yahya bin Ma’in mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.

Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 5/176. Dar Ihya At Turats)

Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Ma’rifah)

Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhu’afa, 2/310. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Imam An Nasa’i mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasa’i, Adh Dhu’afa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengetahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zaila’i, Nashb Ar Rayyah, 1/297)

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 4/362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Ada pun ulama yang mendhaifkan hadits ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam An Nawawi menyebutnya sebagai hadits batil, sedangkan Imam Al Baihaqi menyebutnya hadits munkar. (Ibid)

Oleh karena itu, dengan dasar dhaifnya hadits ini,  ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa.

        Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan.  Sebab hadits di atas memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), sehingga terangkat menjadi shahih.

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883:

        Berkata kepada kami Al Hasan bin Abdullah bin Manshur Al Baalisi, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkatakepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:

أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة

        Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian).

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 994:

Berkata kepada kami Ahmad, berkata kepada kami Al Haitsam (bin Jamil), berkata kepada kami Abdullah (bin Mutsanna), dari Tsumamah, dari  Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا

        Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah diutus sebagai nabi

Ketiga, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla, 7/528, Darul Fikr:

 Kami meriwayatkan dari Ibnu Aiman, berkata kepada kami Ibrahim bin Ishaq As Siraaj, berkata kepada kami ‘Amru bin Muhammad An Naaqid, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Al Mutsanna bin Anas, berkata kepada kami Tsumamah bin Abdullah bin Anas, dari Anas, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَقَّ، عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah datang kepadanya masa kenabian.

Syaikh Al Albani memberikan komentar tentang semua riwayat penguat ini:

قلت : و هذا إسناد حسن رجاله ممن احتج بهم البخاري في ” صحيحه ” غير الهيثم ابن جميل ، و هو ثقة حافظ من شيوخ الإمام أحم

Aku berkata: Isnad hadits ini hasan, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad. (As Silsilah Ash Shahihah, 6/502)

 Sehingga, walau sanad hadits riwayat Imam Abdurrazzaq sebelumnya adalah dhaif –karena di dalamnya ada  Abdullah bin  Muharrar yang telah disepakati kedhaifannya-   namun hadits ini SHAHIH LI GHAIRIH karena beberapa riwayat di atas yang menguatkannya, sebagaimana dikatakan Syaikh Al Albani Rahimahullah. (Ibid)

        Ulama yang membolehkan aqiqah ketika sudah dewasa adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, sebagian Hambaliyah dan Syafi’iyah.

Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:

وقال أن فعله إنسان لم أكرهه

        “Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

        Imam Muhammad bin Sirrin berkata:

لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.

        Seandainya aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718)

        Imam Al Hasan Al Bashri berkata:

إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا

Jika dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322)

        Dan, inilah pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil-dalil ini, Insya Allah. Hanya saja di negeri kita umumnya, memang  tidak lazim aqiqah ketika sudah dewasa.

Aquulu qauliy haadza wa astaghfirullahu liy wa lakum …

Wallahu A’lam

Oleh: Farid Nu’man Hasan

 

Dandan sih Dandan, Tapi Bagaimana Berdandan yang Syar’i?

Bagi wanita, mempercantik diri adalah hal yang biasa bahkan menjadi kebutuhannya.  Islam memandang jika tujuannya untuk menyenangkan hati suami maka itu akan dinilai sebagai ibadah.  Mempercantik diri, selama dengan cara yang wajar dan tanpa merubah ciptaan Allah Ta’ala dalam diri kita, tidaklah mengapa. Namun, ketika sudah ada yang ditambah-tambahkan atau dikurang-kurangkan maka itu terlarang, sebab seakan dia tidak mensyukuri nikmat yang ada pada dirinya. Itulah yang oleh hadits disebut ‘Dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.’

Bagaimanakah bersolek yang terlarang? Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah memberikan panduannya untuk kita.

⚠Tegas Sekali Larangan Itu

Berikut ini adalah berbagai riwayat tentang bersolek yang bisa menurunkan laknat Allah Ta’ala atas pelakunya. Diriwayatkan oleh beberapa sahabat nabi seperti Abu Hurairah, Aisyah,  Asma, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah. Berikut ini adalah beberapa hadits tersebut.

🗒 Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

“Allah melaknat wanita   penyambung rambut dan  yang disambung rambutnya, wanita  pembuat tato dan yang bertato.” (HR. Bukhari [5589, 5602] )

🗒 Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

 أَنَّ جَارِيَةً مِنْ الْأَنْصَارِ تَزَوَّجَتْ وَأَنَّهَا مَرِضَتْ فَتَمَعَّطَ شَعَرُهَا فَأَرَادُوا أَنْ يَصِلُوهَا فَسَأَلُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

“Seorang wanita Anshar hendak menikah, dia dalam keadaan sakit dan rambutnya rontok, mereka hendak menyambungkan rambutnya (seperti wig, konde, dan sanggul), lalu mereka bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau menjawab: “Allah melaknat wanita  penyambung rambut dan  yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari [5590], Muslim [2123], Ibnu Hibban [5514] )

🗒 Dari Asma’ Radhiallahu ‘Anha dia berkata:

سَأَلَتْ امْرَأَةٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنَتِي أَصَابَتْهَا الْحَصْبَةُ فَامَّرَقَ شَعَرُهَا وَإِنِّي زَوَّجْتُهَا أَفَأَصِلُ فِيهِ فَقَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمَوْصُولَةَ

“Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, anak gadis saya terkena penyakit yang membuat rontok rambutnya dan saya hendak menikahkannya, apakah boleh saya sambung rambutnya?”  Beliau bersabda: “Allah melaknat wanita  penyambung rambut  dan  yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari [5597],  Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  [4025] )

🗒 Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

“Allah melaknat wanita  penyambung rambut  dan  yang disambung rambutnya, dan wanita pembuat tato dan  yang bertato.” (HR. Bukhari [5595, 5603, 5598, 5596], Muslim [2124], At Tirmidzi [1814] )

🗒 Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ تَعَالَى

“Allah melaknat wanita  pembuat tato dan  yang bertato, wanita yang dicukur alis, dan  dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari [4604, 5587], Muslim [2125], Ibnu Hibban [5504], Ad Darimi [2647], Abu Ya’la [5141]  )

Pada tahun haji, Muawiyah naik ke mimbar sambil membawa jalinan rambut, lalu dia berkata:

أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذِهِ وَيَقُولُ إِنَّمَا هَلَكَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ حِينَ اتَّخَذَ هَذِهِ نِسَاؤُهُمْ

“Di mana ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang semisal ini, dan  Beliau  bersabda: Sesungguhnya binasanya Bani Israel adalah ketika kaum wanita mereka menggunakan ini.” (HR. Bukhari [5588], Muslim [2127] )

Demikianlah di antara hadits-hadits tentang laknat Allah Ta’ala dan RasulNya, atas wanita yang menyambung rambut, bertato, mengkikir gigi, dan mencukur alis.

Jadi, ‘ilat (sebab) dilaknatnya perbuatan-perbuatan ini adalah karena demi kecantikan mereka telah merubah ciptaan Allah Ta’ala yang ada pada diri mereka. Maka perbuatan apa pun, bukan hanya yang disebut dalam riwayat-riwayat ini, jika sampai merubah ciptaan Allah Ta’ala demi tujuan kecantikan adalah terlarang, seperti menggunakan bulu mata palsu (sama halnya dengan menggunakan rambut palsu alias wig, konde dan sanggul), operasi plastik, operasi silikon payudara, dan semisalnya.

Namun, jika untuk tujuan kesehatan, pengobatan, dan maslahat kehidupan, seperti cangkok jantung, kaki palsu untuk berjalan, tangan palsu untuk memegang, gigi palsu untuk mengunyah, atau operasi pelastik untuk pengobatan akibat wajah terbakar atau kena air keras, itu semua bukan termasuk merubah ciptaan Allah Ta’ala. Itu semua merupakan upaya mengembalikan fungsi organ tubuh seperti semula, bukan merubah dari yang aslinya. Ini semua sesuai dengan hadits berikut:

🗒 Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

 لُعِنَتْ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ

“Dilaknat wanita yang menyambung rambut dan yang disambung rambutnya, wanita pembuat tato dan yang bertato,  kecuali karena berobat.” (HR. Abu Daud [4170], Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan, Fathul Bari,  10/376. Darul Fikr. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih, lihat Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 2101)

📝 Penjelasan Ulama Tentang Kosa Kata Penting

Tentang makna-makna penting pada hadits-hadits di atas telah jelaskan oleh  para ulama di berbagai kitab syarah, di antaranya yang cukup lengkap namun ringkas adalah  dari Imam Abu Daud berikut ini.

   وَتَفْسِيرُ الْوَاصِلَةِ الَّتِي تَصِلُ الشَّعْرَ بِشَعْرِ النِّسَاءِ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا وَالنَّامِصَةُ الَّتِي تَنْقُشُ الْحَاجِبَ حَتَّى تُرِقَّهُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا وَالْوَاشِمَةُ الَّتِي تَجْعَلُ الْخِيلَانَ فِي وَجْهِهَا بِكُحْلٍ أَوْ مِدَادٍ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا

“Tafsir dari Al Washilah adalah wanita penyambungkan rambut dengan rambut wanita lain, dan Al Mustawshilah adalah wanita yang menjadi objeknya (yang disambung rambutnya). An Namishah adalah wanita pencukur alis mata sampai tipis, dan Al Mutanammishah adalah wanita yang dicukur alisnya. Al Wasyimah adalah wanita yang pembuat gambar di wajahnya dengan celak atau tinta (yakni tato), dan Al Mustawsyimah adalah wanita yang dibuatkan tato.” (lihat Sunan Abu Daud, pada keterangan hadits no. 4170.    Juga lihat As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi [14611], Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)

Sedangkan makna Al Mutafalijat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafizh sebagai berikut:

والمتفلجات جمع متفلجة وهي التي تطلب الفلج أو تصنعه، والفلج بالفاء واللام والجيم انفراج ما بين الثنيتين والتفلج أن يفرج بين المتلاصقين بالمبرد ونحوه وهو مختص عادة بالثنايا والرباعيات

Al Mutafalijat adalah jamak dari mutafalijah artinya membuat atau menciptakan belahan (pembagian). Al Falju dengan fa, lam, dan jim adalah membuat jarak antara dua hal, At Tafalluj adalah membagi antara dua hal yang berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya, secara khusus biasanya pada gigi yang double dan bagian depan di antara taring. ” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/372. Darul Fikr)

Jadi, Al Mutafalijat adalah upaya merenggangkan gigi yang tadinya berdempetan, agar kelihatan lebih bagus.

📝 Penjelasan Ulama Tentang Hukumnya

Hadits-hadits di atas tidak hanya menggunakan kata-kata larangan tetapi laknat. Tentunya itu lebih keras dibanding sekedar larangan. Hal itu menunjukkan keharaman melakukan hal-hal di atas, sebab tidak ada laknat kecuali untuk hal-hal yang diharamkan.

1⃣ Menyambung Rambut (Al Washilat wal Mustawshi\at)

Menyambung rambut seperti memakai wig dan konde adalah haram secara mutlak. Hal ini ditegaskan oleh Al ‘Allamah Asy Syaukani Rahimahullah berikut ini:

والوصل حرام لأن اللعن لا يكون على أمر غير محرم

“Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah terjadi untuk perkara yang tidak diharamkan.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 6/191. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Bahkan Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Mawqi’ Ruh Al Islam. Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al Misykah)

Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَهَذِهِ الْأَحَادِيث صَرِيحَة فِي تَحْرِيم الْوَصْل ، وَلَعْن الْوَاصِلَة وَالْمُسْتَوْصِلَة مُطْلَقًا ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِر الْمُخْتَار

“Hadits-Hadits  ini dengan jelas mengharamkan secara mutlak menyambung rambut, dan terlaknatnya orang yang menjadi penyambungnya dan orang yang disambung rambutnya,  dan inilah yang benar  lagi  menjadi pendapat pilihan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236)

Beliau juga menyebutkan rincian yang dibuat oleh madzhabnya, Syafi’iyah, yakni jika rambut tersebut adalah rambut manusia maka sepakat keharamannya, baik itu rambut laki atau wanita, rambut mahramnya, suaminya, atau selain keduanya, maka haram sesuai keumuman haditsnya. Alasannya, karena diharamkannya  pemanfaatan rambut manusia baik keseluruhan atau bagian-bagiannya itu dalam rangka memuliakannya. Bahkan seharusnya  dikubur, baik rambut, kuku atau  bagian-bagian keseluruhannya. Jika rambut tersebut adalah bukan rambut manusia, rambut tersebut najis seperti rambut bangkai dan rambut hewan yang tidak dimakan, maka dia haram juga menurut hadits, sebab dengan demikian secara sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di luar shalat. Sama saja dua jenis ini, baik untuk dipakai pada orang yang sudah kawin atau belum, baik  laki-laki atau  wanita. Ada pun rambut suci selain rambut manusia, jika dia (pelakunya) belum kawin dan tidak punya tuan, maka haram juga. Jika dia sudah kawin atau punya tuan, maka ada tiga pendapat:  Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai zahir hadits tersebut. Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka –syafi’iyah- adalah jika melakukannya dengan izin dari  suaminya atau tuannya, maka boleh. Ketiga,  jika tidak diizinkan maka haram.  (Ibid)

Demikian rincian yang dipaparkan Imam An Nawawi. Namun, jika kita merujuk hadits yang ada maka rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah haram. Sebab, tak ada perincian ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka larangannya berlaku umum.

⁉ Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut

Bagaimana jika menyambung rambut dengan selain rambut seperti dengan benang sutera, wol, atau yang semisalnya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa, Imam Malik, Imam Ath Thabari, dan kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh menyambung rambut dengan apa pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau kain perca. Mereka berdalil dengan hadits Jabir yang  diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan bagi seorang wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu.

Sementara Imam Laits bin Sa’ad, dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari banyak fuqaha, mengatakan bahwa  larangan tersebut hanyalah khusus untuk menyambung dengan  rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain perca, dan semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah,  bahkan sebaliknya, diriwayatkan darinya  sebagaimana  pendapat mayoritas (yaitu terlarang). (Ibid. Lihat juga Tuhfah Al Ahwadzi, 8/66)

Syaikh Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa jika menyambung rambut dengan selain rambut manusia seperti benang sutera, wol, dan yang sejenisnya, maka Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits bin Sa’ad membolehkannya. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: al umuru bi maqashidiha (permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak menggunakan rambut, tetapi pemakaian wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan oleh pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian dari Al Washl – menyambung rambut. Kedua, keumuman makna hadits tersebut menunjukkan segala aktifitas menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis rambutnya, baik asli atau palsu, sama saja.

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan, ada pun mengikatkan benang sutera berwarna warni di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak termasuk kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak ada maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau tangan dan kaki. (Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al Misykat)

Apa yang dikatakan oleh Al Qadhi ‘Iyadh ini, untuk makna zaman sekarang adalah seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut, bandana, bando, atau syal. Ini memang bukan termasuk menyambung rambut –berbeda  dengan wig dan konde- dan tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di depan suami atau mahramnya seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan, anak, dan mahram lainnya. Sedangkan di depan non mahram, maka hukumnya sama dengan hukum menutup aurat bagi wanita di depan non mahram, yakni tidak boleh terlihat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan, sebagaimana pendapat jumhur.

2⃣ Minta dibuatkan Tato dan Si Pembuat Tato (Al Wasyimat wal Mustawsyimat)

Sebagaimana hukum menyambung rambut, maka hukum membuat tato atau bagi si pembuatnya adalah sama haram dan termasuk maksiat kepada Allah Ta’ala. Lantaran keduanya diathafkan (dikaitkan) dalam satu hadits sebagaimana riwayat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

“Allah melaknat wanita  penyambung rambut  dan  yang disambung rambutnya, dan wanita pembuat tato dan  yang bertato.” (HR. Bukhari [5595, 5603, 5598, 5596], Muslim [2124], At Tirmidzi [1814] )

Imam Ibnu Baththal memberikan syarah terhadap hadits ini:

لأنهما تعاونا على تغيير خلق الله ، وفيه دليل أن من أعان على معصية ، فهو شريك فى الأثم

“Karena keduanya saling tolong menolong dalam merubah ciptaan Allah, dan hadits ini merupakan dalil bahwa siapa saja yang menolong perbuatan maksiat, maka dia ikut serta dalam dosanya.” (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 9/174. Maktabah Ar Rusyd)

Lalu, bagaimana jika seorang ingin menghilangkan tato, tetapi kesulitan karena dikhawatirkan kerusakan pada tubuhnya? Imam Al Khathib Asy Syarbini mengatakan:

وتجب إزالته مالم يخف ضرراً يبيح التيمم، فإن خاف ذلك لم تجب إزالته ولا إثم عليه بعد التوبة

“Wajib baginya menghilangkannya selama tidak ditakutkan adanya bahaya dan dibolehkan tayammum, jika dia takutkan hal itu, maka tidak wajib menghilangkannya dan tidak berdosa baginya setelah tobatnya.” (Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 1/191. Lihat juga Fathul Bari, 10/372)

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan dalam fatwanya:

فإنه يلزمه إزالته بعد علمه بالتحريم ، لكن إذا كان في إزالته مشقة أو مضرة فإنه يكفيه التوبة والاستغفار ، ولا يضره بقاؤه في جسمه .

“Maka, hendaknya dia menghilangkan tato tersebut setelah dia mengetahui keharamannya. Tetapi jika dalam penghapusannya itu mengalami kesulitan atau mudharat (bahaya), maka cukup baginya untuk bertobat dan istighfar, dan tidak mengapa sisa tato  yang ada pada tubuhnya.” (Majmu’ Fatawa wal Maqalat Ibnu Baz, Juz. 10, No. 218)

Menurut pendapat yang benar, tato tidaklah menghalangi wudhu atau mandi janabah, sebab tato tidak melapisi kulit, melainkan meresap ke dalamnya. Sehingga, tidak perlu ada kekhawatiran bagi orang yang memiliki tato lalu setelah dia tahu keharamannya dia bertobat ingin menjalankan shalat. Wallahu A’lam

3⃣ Mencukur Alis Mata (An Namishat wal Mutanamishat)

Sebagaimana yang lain, maka An Namishah (pencukur alis) dan Al Mutanamishah (orang yang alisnya dicukur) juga haram dan mendapatkan laknat Allah Ta’ala.

قال الطبري: لا يجوز للمرأة تغيير شيء من خلقتها التي خلقها الله عليها بزيادة أو نقص التماس الحسن لا للزوج ولا لغيره

“Berkata Imam Ath Thabari: Tidak boleh bagi wanita merubah sesuatu dari bentuk yang telah Allah ciptakan baginya, baik dengan tambahan atau pengurangan dengan tujuan kecantikan, tidak boleh walau untuk suami dan tidak juga untuk selain suami.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr. Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/67. Al Maktabah As Salafiyah)

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari ini tidak memberikan pengecualian, bahkan seandainya wanita memiliki kumis dan jenggot pun –menurutnya- tidak boleh dihilangkan sebab hal itu termasuk merubah ciptaan Allah Ta’ala.

Namun,  pandangan ini ditanggapi oleh Imam An Nawawi sebagai berikut:

وَهَذَا الْفِعْل حَرَام إِلَّا إِذَا نَبَتَتْ لِلْمَرْأَةِ لِحْيَة أَوْ شَوَارِب ، فَلَا تَحْرُم إِزَالَتهَا ، بَلْ يُسْتَحَبّ عِنْدنَا . وَقَالَ اِبْن جَرِير : لَا يَجُوز حَلْق لِحْيَتهَا وَلَا عَنْفَقَتهَا وَلَا شَارِبهَا ، وَلَا تَغْيِير شَيْء مِنْ خِلْقَتهَا بِزِيَادَةِ وَلَا نَقْص . وَمَذْهَبنَا مَا قَدَّمْنَاهُ مِنْ اِسْتِحْبَاب إِزَالَة اللِّحْيَة وَالشَّارِب وَالْعَنْفَقَة ، وَأَنَّ النَّهْي إِنَّمَا هُوَ فِي الْحَوَاجِب وَمَا فِي أَطْرَاف الْوَجْه

“Perbuatan ini (mencukur alis dan  tukang cukurnya)  adalah haram, kecuali jika tumbuh pada wanita itu jenggot atau kumis, maka tidak haram menghilangkannya, bahkan itu dianjurkan menurut kami. Ibnu Jarir mengatakan: “Tidak boleh mencukur jenggot, kumis dan rambut di bawah bibirnya, dan tidak boleh pula merubah bentuknya, baik dengan penambahan atau pengurangan.” Madzhab kami, sebagaimana yang telah kami kemukakan, menganjurkan menghilangkan jenggot, kumis, dan rambut di bawah bibir . Sesungguhnya  larangan hanya berlaku untuk alis dan bagian tepi dari wajah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/421. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Yang benar, jenggot dan kumis bagi wanita adalah suatu keadaan yang tidak lazim dan tidak normal.  Sebab, wanita diciptakan Allah Ta’ala secara umum tidaklah demikian. Oleh karena itu, mencukur keduanya bukanlah termasuk kategori merubah ciptaan Allah Ta’ala, melainkan menjadikannya sebagaimana wanita ciptaan Allah Ta’ala lainnya. Maka, pendapat yang menyatakan bolehnya mencukur kumis dan jenggot bagi wanita adalah pendapat yang lebih kuat.

Ada pun mencukur bagian alis yang tumbuhnya tidak kompak dibagian sudut-sudutnya saja. Maka para ulama berbeda pendapat. Imam Ahmad membolehkan dengan syarat itu bertujuan menyenangkan suami. Namun, yang benar adalah tidak boleh sebagaimana larangan tegas dalam hadits tersebut yang tidak membedakan antara mencukur sedikit atau banyak walau pun bertujuan menyenangkan hati suami. Hal ini juga dikuatkan oleh kaidah bahwa niat yang baik (seperti menyenangkan hati suami) tidaklah merubah sesuatu yang haram. Sebagaimana seorang penjudi  berniat menyumbang masjid, maka tidaklah merubah judinya menjadi halal.

 4⃣ Mengkikir Gigi (Al Mutafalijah)

Sebagaimana yang lain pula, hal ini juga diharamkan. Sebagaimana penjelasan para ulama. Hanya saja diberi keringanan bagi yang berpenyakit, atau jika mengganggu aktivitas mengunyah.

Berkata Imam Ath Thabari Rahimahullah:

ويستثنى من ذلك ما يحصل به الضرر والأذية كمن يكون لها سن زائدة أو طويلة تعيقها في الأكل

“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan (tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr)

Maka, aktifitas memperbaiki gigi seperti menambal, memasang kawat gigi dan gigi palsu,[1] tidaklah termasuk  mutafallijah.

Tetapi, jika dia memasangnya untuk bergaya-gaya, dan mempercantik diri semata, bukan untuk berobat, maka itu terlarang karena niatnya yang tidak benar dan termasuk pemborosan. Hal ini sesuai kaidah:

الأمور بمقاصدها

Permasalahan dinilai sesuai maksudnya. (Imam As Suyuthi, Al Asybah Wan Nazha-ir, kaidah ke 5)

Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

[1] Gigi palsu dari emas sebaiknya dihindari baik oleh pria dan wanita karena itu tabdzir, dan bukan fungsinya emas untuk perkakas sehari-hari. Emas adalah perhiasan, oleh karenanya di antara ‘illat (sebab) pengharaman wadah emas seperti mangkok, piring, sendok, dan semisalnya, adalah karena emas bukan alat sehari-hari, dan untuk menghindar kesan tabdzir dan sombong.  Wallahu A’lam

Rahasia Surat Al-Fatihah

Surat Al Fatihah tergolong Makiyyah adalah surat yang agung,  memiliki kedudukan yang mulia, sehingga disebut dengan induknya kitab ( ummul kitab ).  Di dalamnya berisi inti dari ajaran tauhid berupa penghambaan paripurna hanya kepada Allah, kesatuan paradigma islam, kesatuan syiar dan petunjuk Allah subhanahu wataala ( Sayid Qutub, Tafsir Fi Dzilalil Qur’an,1/21)

KANDUNGAN  UMUM SURAT AL FATIHAH

واشتملت على مقاصده الأساسية بالإجمال، فهي تتناول أصول الدين وفروعه، تتناول العقيدة، والعبادة، والتشريع، والاعتقاد باليوم الآخر، والإيمان بصفات الله الحسنى، وإفراده بالعبادة والاستعانة والدعاء، والتوجه إليه جلَّ وعلا بطلب الهداية إلى الدين الحق والصراط المستقيم، والتضرع إليه بالتثبيت على الإيمان ونهج سبيل الصالحين، وتجنب طريق المغضوب عليهم والضالين، وفيها الاخبار عن قصص الأمم السابقين، والاطلاع على معارج السعداء ومنازل الأشقياء، وفيها التعبد بأمر الله سبحانه ونهيه

Surat Al Fatihah mencakup dasar-dasar  tujuan agama secara global, pokok-pokok agama dan cabangnya seperti akidah, ibadah, syariat, keyakinan terhadap hari akhir, iman kepada sifat Allah yang Mulia, meng-Esakan Allah dalam memohon pertolongan dan berdoa, mengharap penuh petunjuk yang benar serta jalan yang lurus, tunduk kepada Allah dengan menguatkan iman dan meniti jalan orang-orang shalih, menjauhi jalan-jalan orang yang sesat dan dimurkai Allah, didalamnya ada berita tentang kisah umat terdahulu,  juga ada gambaran kedudukan orang-orang yang mulia dan orang-orang yang celaka, juga perintah untuk beribadah sepenuhnya kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya (Muhammad Ali As Shabuni, Shafwat at Tafasir, 1/18)

KEUTAMAAN SURAT AL FATIHAH

«قرأ على النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أم القرآن فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ:» والذي نفسي بيده ما أُنزل في التوراة ولا في الإنجيل ولا في الزبور ولا في الفرقان مثلها، وهي السبع المثاني والقرآن العظيمُ الذي أوتيتهُ «فهذا الحديث الشريف يشير إلى قوله تعالى في سورة الحجر {وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ المثاني والقرآن العظيم}

 

Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnadnya, bahwa Ubay bin Kaab berkata,” Rasulullah membacakan kepadaku Ummul Qur’an lalu bersabda,” Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya tidaklah diturunkan kepada Taurat, Injil dan Zabur  atau dalam kitab lain, yang serupa dengan tujuh ayat Al Qur’an yang agung yang diberikan kepadaku.”  Hadits ini sesuai dengan petunjuk firman Allah,” Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al Qur’an yang panjang ( QS. Al Hijr[15]:87) ( Hr.Ahmad )

Dalam Sahih Al Bukhari disebutkan:

أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قال لأبي سعيد بن المعلَّى:» لأعلمنَّك سورة هي أعظم السور في القرآن: الحمد لله رب العالمين، هي السبعُ المثاني والقُرآن العظيم الذي أوتيتُه

Bahwasanya Nabi Shalallahu Alaihi wasallam bersabda kepada Abi Said bin al Mu’alla, “ Aku akan mengajarkan kepadamu sebuah surat yang agung dari surat-surat yang terdapat didalam Al Qur’an: Alhamdulillahirabbil ‘alamin, ia adalah tujuh surat yang diulang-ulang dan Al Qur’an yang agung yang Allah turunkan kepadaku,” ( HR. Bukhari no.4474)

NAMA-NAMA SURAT AL FATIHAH

Al Qurthubi menyebutkan ada dua belas nama untuk surat Al Fatihah, diantarnya:

  1. Fatihatul Kitab ( Pembukaan Kitab ) karena Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah dan dibaca setiap shalat.
  2. As Shalah ( shalat) berdasarkan hadits:

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَي

“ Aku membagi shalat antara Aku dan Hamba-Ku menjadi dua bagian.

  1. Al Hamdu ( Pujian ) karena diawali dengan kalimat Al Hamdu
  2. Ummul Kitab ( Induknya Kitab ) sesuai dengan firman Allah

آياتٌ مُحْكَماتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتابِ وَأُخَرُ مُتَشابِهاتٌ”

Diantara isinya adalah ayat Muhkamat, itulah Ummul Kitab ( Induk Al Qur’an) ( QS. Ali Imran [3]:7)

Firman Allah:

وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتابِ

“Sesungguhnya Al Qur’an itu dalam induk al Kitab ( lauh Mahfudz) ( QS. Az Zukhruf[43]:4)

  1. Ummul Qur’an

رَوَى التِّرْمِذِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي) قَالَ: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح

At Tirmidzi meriwayatkan dari Abi Hurairah berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam, ( Alhamdulillah adalah Ummul Qur’an dan Ummul Kitab dan Sab’ul Matsani), ini adalah hadits hasan sahih. ( Aljami’ Liahkamil Qur’an, 1/112)

  1. AL Matsani, karena dibaca berulang-ulang didalam shalat
  2. Al Qur’an Al Adzhim.

سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِتَضَمُّنِهَا جَمِيعَ عُلُومِ الْقُرْآنِ، وَذَلِكَ أَنَّهَا تَشْتَمِلُ عَلَى الثَّنَاءِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِأَوْصَافِ كَمَالِهِ وَجَلَالِهِ، وَعَلَى الْأَمْرِ بِالْعِبَادَاتِ وَالْإِخْلَاصِ فِيهَا، وَالِاعْتِرَافِ بِالْعَجْزِ عَنِ الْقِيَامِ بِشَيْءٍ مِنْهَا إِلَّا بِإِعَانَتِهِ تَعَالَى.

Dinamakan Al Qur’an al Adzim karena meliputi mayoritas ulumul Qur’an, yaitu mencakup pujian kepada Allah, dengan sifat Sempurna nan Agung,  perintah beribadah dengan ikhlas, mengakui kelemahan dalam melakukan perbuatan kecuali dengan pertolongan Allah taala   ( Tafsir Al Qurthubi, 1/122)

  1. As Syifa ( obat ),

Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (فَاتِحَةُ الْكِتَابِ شفاء من كل سم

Dari  Abu Said Al Khudri berkata,” Bersabda Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam, “ Fatihatul Kitab adalah syifa ( obat ) dari segala racun.” ( HR. Ad Darimi)

  1. Ar Ruqyah ( ruqyah )
  2. Al Asas ( dasar )
  3. Al Wafiyah ( tidak terpisah)
  4. Al Kafiyah ( mencukupi)

Oleh: Fauzan Lc. MA

scroll to top