Fikih Shalat Gerhana

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Kusuful Qamar (Gerhana Bulan) dan Khusufusy Syams (Gerhana Matahari) adalah dua tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala yang dikehendakiNya terjadi dalam kehidupan dunia. Keduanya tidak terkait dengan mitos dan khurafat tertentu. Keduanya –dan hal apa pun yang terjadi pada benda-benda langit- adalah terjadi sesuai dengan iradah dan   qudrahNya atas mereka.

Allah Ta’ala berfirman:

الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (5) وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ (6) وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8)

Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan Kedua-duanya tunduk kepada nya dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. (QS. Ar Rahman: 5-8)

Islam telah memberikan bimbingan bagi umatnya tentang apa yang mesti mereka perbuat jika datang peristiwa gerhana. Peristiwa ini bukan sekedar menjadi pengalaman alamiah semata, dan sekedar untuk bersenang-senang melihat gerhana, tetapi dikembalikan kepada upaya dan sarana pengabdian kepada yang menciptakan terjadinya gerhana.

Ta’rif (Definisi)

Apakah yang dimaksud dengan Kusuful Qamar dan Khusufusy Syams?

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

وجمهور أهل اللغة وغيرهم على أن الخسوف والكسوف يكون لذهاب ضوئهما كله و يكون لذهاب بعضه

Menurut mayoritas ahli bahasa dan selain mereka, bahwa khusuf dan kusuf  itu terjadi  karena hilangnya cahaya keduanya (matahari dan bulan) secara keseluruhan, dan karena juga hilangnya sebagiannya.   (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)

Masyru’nya Shalat Gerhana

Kesunahan shalat gerhana telah menjadi kesepakatan dari masa ke masa, sebab begitu banyak riwayat yang menyebutkannya, baik untuk dilakukan oleh kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah.

Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

اتفق العلماء على أن صلاة الكسوف سنة مؤكدة في حق الرجال والنساء، وأن الافضل أن تصلى في جماعة وإن كانت الجماعة ليست شرطا فيها

Para ulama telah sepakat, bahwasanya shalat gerhana adalah sunah muakadah (sunah yang ditekankan) bagi kaum laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah, hanya saja berjamaah itu bukan syarat sahnya shalat gerhana. (Fiqhus Sunnah, 1/213)

Imam An Nawawi Rahimahullah juga menjelaskan:

وأجمع العلماء على أنها سنة ومذهب مالك والشافعي وأحمد وجمهور العلماء أنه يسن فعلها جماعة وقال العراقيون فرادى

Ulama telah ijma’ bahwa shalat gerhana adalah sunah, dan madzhab Malik, Syafi’i, Ahmad, dan mayoritas ulama bahwa shalat tersebut disunahkan dilakukan dengan cara berjamaah. Sedangkan ‘Iraqiyin (para ulama Iraq, yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, pen) berpendapat dilakukan sendiri saja. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)

Artinya, tidak mengapa dilakukan sendiri, namun menghidupkan sunah –yakni berjamaah- adalah lebih utama, sebab begitulah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabatnya, dan ini menjadi pegangan umumnya fuqaha.

Dalil Pensyariatannya

Di sini akan di sebutkan satu saja dari sekian banyak dan model penceritaan shalat gerhana, yakni dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Sesungguhnya (gerhana)  matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044, 1046, Muslim No. 901)

Inilah cara Islam, yakni berdoa, berdzikir (takbir), shalat, dan bersedekah, bukan mengaitkannya dengan mitos, tahayul, dan khurafat tertentu. Sabda nabi ini, sekaligus mengoreksi keyakinan sebagian manusia pada zaman itu yang mengaitkan terjadinya gerhana dengan wafatnya anak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Ibrahim.

Waktu Pelaksanaannya

Waktunya adalah sejak awal gerhana sampai keadaan kembali seperti sedia kala.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

ووقتها من حين الكسوف إلى التجلي

Waktunya adalah dari sejak gerhana sampai kembali tampak (sinarnya). (Fiqhus Sunnah, 1/215)

Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:

تصلى هذه الصلاة وقت حدوث الكسوف والخسوف

Dilaksanakannya shalat ini adalah pada waktu terjadinya gerhana (Al Kusuf dan Al Khusuf). (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/552)

Sehingga, shalat gerhana belum boleh dilaksanakan jika belum mulai gerhana, dan sebaliknya  jika sudah nampak terang atau sinar lagi secara sempurna, selesailah waktu dibolehkannya  pelaksanaan shalat gerhana.

Bolehkah dilakukan pada waktu-waktu terlarang shalat? Yaitu setelah shalat subuh sampai saat awal terbit matahari, ketika matahari tegak di atas sampai tergelincirnya, lalu setelah shalat ashar sampai saat pas matahari terbenam.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, Jumhur (mayoritas) mengatakan  tidak boleh  yakni  makruh, inilah pandangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, kalangan Hanabilah mengatakan berdoa dan berdzikir  saja, tanpa shalat,  sebab larangan itu berlaku umum untuk jenis shalat sunah apa pun. Ada pun kalangan syafi’iyah membolehkannya. (Ibid, 2/553-554)

Yang lebih kuat – Wallahu A’lam– adalah yang menyatakan boleh. Dalilnya adalah:

Keumuman dalil:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044, Muslim No. 901)

Maka, hadits ini berlaku secara mutlak (umum) bahwa shalat gerhana dilakukan kapan saja, sebab itu adalah konsekuensi dari perkataan  “Jika kalian menyaksikannya.” Jadi, kapan saja menyaksikan gerhana, shalatlah . …

  • Larangan shalat pada waktu-waktu terlarang itu hanya berlaku bagi shalat-shalat yang dilakukan tanpa sebab (istilahnya shalat muthlaq). Ada pun jika dilakukan karena adanya sebab khusus, maka dibolehkan. Hal ini terlihat jelas ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkan seorang sahabatnya yang mengqadha shalat sunah fajar dilakukan setelah shalat subuh.[1] Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah mengqadha shalat sunah  ba’diyah  zhuhur di waktu setelah ashar.[2] Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan seseorang untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid ketika beliau sedang khutbah,  padahal itu adalah waktu yang terlarang melakukan aktifitas apa pun kecuali mendengarkan khutbah, ternyata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru memerintahkan sahabat itu, dengan mengatakan qum farka’ rak’atain (Bangunlah dan shalatlah dua rakaat).[3] Para sahabat juga pernah shalat jenazah pada waktu setelah ashar, sehingga menurut Imam An Nawawi[4] dan Imam Abul Hasan Al Mawardi[5] kebolehan shalat jenazah pada waktu terlarang adalah ijma’ , karena saat itu para sahabat tidak ada yang mengingkarinya. Begitu pula shalat gerhana di waktu-waktu terlarang ini, dia termasuk shalat yang memiliki sebab (yakni peristiwa gerhana), bukan termasuk shalat muthlaq. Sehingga tetap dibolehkan walau dilakukan saat waktu terlarang shalat.

Tata Cara Pelaksanaannya

Tata cara pelaksanaan shalat gerhana telah dijelaskan secara rinci dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebagai berikut:

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَكَبَّرَ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقَامَ وَلَمْ يَسْجُدْ وَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى ثُمَّ كَبَّرَ وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِثْلَ ذَلِكَ فَاسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَنْصَرِفَ

Terjadi gerhana matahari pada saat hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau keluar menuju masjid lalu dia berbaris bersama manusia di belakangnya, lalu Beliau bertakbir, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca surat dengan panjang (lama), lalu beliau bertakbir dan ruku dengan ruku yang lama, lalu bangun dan berkata: sami’allahu liman hamidah, lalu Beliau berdiri lagi tanpa sujud, lalu Beliau membaca lagi dengan panjang yang hampir mendekati panjangnya bacaan yang pertama, lalu Beliau takbir, lalu ruku dengan ruku yang lama yang hampir mendekati lamanya ruku yang pertama, lalu mengucapkan: sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu, kemudian Beliau sujud. Kemudian dia berkata: pada rakaat terakhir dilakukan seperti itu juga maka sempurnalah empat kali ruku pada empat kali sujud. Lalu, matahari terbit sebelum Beliau pulang. (HR. Bukhari   No. 1046, Muslim No. 901, 1, 3)

 Dalam hadits ini bisa dipahami:

  • Shalat gerhana dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam masjid
  • Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah
  • Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat
  • Rakaat pertama dua kali ruku, Rakaat kedua juga dua kali ruku, total empat kali ruku
  • Tertibnya: takbiratul ihram, membaca Al Fatihah,  membaca surat yang panjang, lalu ruku yang lama, bangun lagi, membaca Al Fatihah, membaca surat yang panjangnya hampir sama dengan yang pertama, lalu ruku’ yang lamanya hampir sama dengan ruku sebelumnya, setelah itu sujud seperti shalat biasa (lengkap dengan duduk di antara dua sujudnya), lalu bangun lagi dan melakukan hal yang sama dengan rakaat pertama, hingga salam.

Tambahan:

  • Ada pun dalam riwayat lain, diceritakan bahwa sujudnya juga panjang. (HR. Bukhari No. 3203)
  • Dianjurkan imam mengucapkan Ash Shalatu Jami’ah, boleh juga orang lain, untuk mengumpulkan manusia agar berkumpul di masjid, sebagaimana riwayat berikut:

Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ

Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diserukan bahwa sesungguhnya shalat ini berjamaah (Ash Shalatu Jaami’ah). (HR. Bukhari 1045, menurut lafaz Imam Muslim No. 910, 20: nudiya bish shalati jaami’ah – diserukan dengan kalimat: Ash Shalatu Jaami’ah.)

Oleh karenanya, Syaikh Sayyid Sabiq berkata:

وينادى لها: (الصلاة جامعة)

Dan diserukan untuk shalat gerhana: Ash Shalatu Jaami’ah!  (Fiqhus Sunnah, 1/213)

Demikian ini adalah tata cara shalat menurut jumhur ulama.

Apakah Ada Cara Lain?

Dalam pandangan Imam Abu Hanifah dan pengikutnya,  tatacara shalat gerhana adalah dua rakaat biasa dengan sekali ruku, sebagaimana shalat hari raya atau shalat Jumat.

Imam An Nawawi menyebutkan:

وقال الكوفيون هما ركعتان كسائر النوافل عملا بظاهر حديث جابر بن سمرة وأبي بكرة أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى ركعتين

Berkata Kufiyyin (Para ulama Kufah), shalat gerhana adalah dua rakaat sebagaimana shalat nafilah lainnya, berdasarkan zahir hadits Jabir bin Samurah dan Abu Bakrah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)

Dalilnya adalah bahwa:

1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فإذا رأيتم ذلك فصلوا كأحدث صلاة صليتموها من المكتوبة

Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan. (HR. Ahmad No. 20607, dari Qabishah, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1870, dari An Nu’man bin Basyir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra  No. 6128, Al Bazzar No. 1371, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 957, dalam Al Awsath No. 2805)

2. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

الشمس انخسفت فصلى نبي الله صلى الله عليه وسلم ركعتين ركعتين

Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua rakaat. (HR. An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 1872, Al Bazzar No. 3294)

Namun dua hadits ini dipermasalahkan para ulama. Kita bahas satu persatu.

Hadits pertama, yang berbunyi: “Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan.”

  • Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 20607, dengan sanad: Berkata kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, berkata kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Qabishah, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
  • Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra 1870, dengan sanad: Telah mengabarkan kami Muhammad bin Basyar, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahhab, dia berkata: Khalid dari Abu Qilabah dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebutkan  hadits diatas)
  • Dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra 6128, dengan sanad: Telah mengabarkan kami Abul Hasan Ali bin Muhammad Al Muqri’ Al Mihrajani, dengannya dia mengabarkan kepada Al Hasan bin Muhammad bin Ishaq, berkata kepada kami Yusuf bin Ya’qub Al Qadhi, berkata kepada kami Muhammad bin Abi Bakr, berkata kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, dari Khalid, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
  • Dikeluarkan oleh Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 1371, dengan sanad: bercerita kepada kami Nashr bin Ali, bercerita kepada kami Ziyad bin Abdullah, Yazid bin Abi Ziyad, Abdurrahman bin Abi Laila, dari Bilal, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
  • Imam Al Bazzar juga mengeluarkan pada No. 3294, dengan sanad: bercerita kepada kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan kami Muadz bin Hisyam, katanya: ayahku mengabarkan kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
  • Imam Ath Thabarani mengeluarkan dalam Al Mu’jam Al Awsath 2805, sanadnya: bercerita kepada kami Ibrahim, bercerita kepada kami Ruh bin Abdul Mu’min Al Bashri, bercerita kepada kami Muadz bin Hisyam, katanya: ayahku berkata kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
  • Imam Ath Thabarani juga mengelurkan dalam Al Mu’jam Al Awsath 957, sanadnya: bercerita kepada kami ’Abdan bin Ahmad, bercerita kapeada kami Muawiyah bin ‘Imran Al Jarmi, bercerita kepada kami Anis bin Siwar Al Jarmi, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Hilal bin Amru, bahwa Qabishah Al Hilali berkata kepadanya: (disebutkan hadits di atas)

Validitas hadits ini diperselisihkan para imam, sebab umumnya   jalur hadits ini  melalui Abu Qilabah (nama aslinya adalah Abdullah bin Zaid Al Jarmi), Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:

كان كثير الإرسال، ولم يصرِّح هنا بسماعه من قبيصة بن مخارق

Dia banyak memursalkan hadits, dan  pada hadits ini tidak ada kejelasan   bahwa dia  mendengar hadits tersebut dari Qabishah bin Mukhaariq. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 20607. Beliau pun mengatakan: isnaduhu dhaif  – isnadnya dhaif)

Imam Al Baihaqi juga mengisyaratkan kedhaifan riwayat ini, katanya:

هذا مرسل أبو قلابة لم يسمعه من النعمان بن بشير إنما رواه عن رجل عن النعمان

Hadits ini mursal,[6] Abu Qilabah belum pernah mendengarnya dari An Nu’man bin Basyir, sesungguhnya dia cuma mendengar dari seorang laki-laki, dari An Nu’man.  (Lihat As Sunan Al Kubra No. 6128)

Imam Yahya bin Al Qaththan juga menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat, yakni inqitha’ (terputus sanadnya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/215)

Imam Al Haitsami mengomentari:

رواه البزار والطبراني في الأوسط والكبير وعبد الرحمن بن أبي ليلى لم يدرك بلالا وبقية رجاله ثقات

Diriwayatkan oleh Al Bazzar, Ath Thabarani dalam Al Awsath, dan Al Kabir, dan Abdurrahman bin Abi Laila belum pernah berjumpa dengan Bilal, namun para perawi lainnya terpercaya. (Majma’ Az Zawaid, 2/446)

Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan:

قَالَ أَبِي: قَالَ يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ: أَبُو قِلَابَةَ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ مُرْسَلٌ، قَالَ أبي: قد أدرك أبي قِلَابَةَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ، وَلَا أَعْلَمُ أَسَمِعَ مِنْهُ، أَوْ لَا

Berkata Ayahku (Imam Abu Hatim): Berkata Yahya bin Ma’in: Abu Qilabah dari An Nu’man adalah mursal. Berkata ayahku: Abu Qilabah telah berjumpa dengan An Nu’man bin Basyir, tapi aku tidak tahu apakah dia mendengar darinya atau tidak. (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 2/228)

Jadi, permasalahan yang ada pada hadits ini adalah semua jalurnya terputus sanadnya baik Abu Qilabah  kepada  An Nu’man bin Basyir, atau Abu Qilabah kepada Qabishah, atau Abdurrahman bin Abi Laila kepada Bilal, walau periwat lainnya  adalah orang-orang terpercaya, sehingga dilemahkan oleh sebagian imam ahli hadits seperti yang kami sebutkan di atas.

Sedangkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menilai bahwa hadits ini mudhtharib (guncang), sehingga pendapat tentang tata cara shalat gerhana seperti shalat biasa adalah keliru. Beliau mengatakan:

قلت : هذا المذهب غير صحيح لأن الحديث ليس بصحيح فإنه مضطرب كما يأتي ومخالف للأحاديث الصحيحة الواردة في الباب

Aku berkata: madzhab ini tidak benar, karena hadits tersebut tidak shahih, karena dia hadits mudhtharib sebagaimana penjelasan nanti, dan bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih yang ada pada masalah ini. (Tamamul Minnah, Hal. 262)

Namun, sebagian imam menshahihkan hadits ini.  Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar. (At Talkhish Al Habir, 2/215)

Imam An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih, walaupun Imam Al Baihaqi mengatakan adanya rawi yang gugur (maksudnya tidak disebutkan orangnya) antara Abu Qilabah dan Qabishah, yaitu Hilal bin Amru, tidaklah menodai keshahihannya, sebab Hilal bin Amru adalah tsiqah. Imam Al Hakim telah menshahihkannya. (Imam An Nawawi,  Khulashah Al Ahkam, 2/863)

Demikian penjelasan hadits pertama.

Hadits kedua, yang berbunyi: Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua rakaat.

  • Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487, dengan sanad: mengabarkan kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan kami Muadz (dia adalah Ibnu Hisyam), ayahku bercerita kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari Qabishah Al Hilali, bahwasanya: (lalu disebutkan hadits di atas)

Hadits ini sama dengan sebelumnya yakni kemursalan Abu Qilabah terhadap Qabishah  Al Hilali. Sehingga Syaikh Al Albani mendhaifkannya. (Lihat Dhaif ul Jami’ No. 1474, Shahih  wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1487)

Jadi, setelah diketahui bahwa keshahihan hadits ini tidak pasti, bahkan kecenderungan adalah dhaif, maka tata cara shalat gerhana yang shahih adalah sebagaimana pendapat jumhur ulama, dengan masing-masing rakaat dua kali ruku’, sebab hal itu diriwayatkan oleh hadits-hadits yang lebih shahih   yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari para sahabat nabi yang lebih banyak dan lebih utama.

Oleh karenanya, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وحجة الجمهور حديث عائشة من رواية عروة وعمرة وحديث جابر وبن عباس وبن عمرو بن العاص أنها ركعتان في كل ركعة ركوعان وسجدتان قال بن عبدالبر وهذا أصح ما في هذا الباب

 Alasan jumhur adalah hadits ‘Aisyah dari riwayat, ‘Urwah, ‘Umrah, jabir, Ibnu Abbas, Ibnu Amr bin Al ‘Ash, bahwa shalat tersebut adalah dua kali ruku pada setiap rakaat, dan juga dua kali sujud. Ibnu Abdil Bar berkata: Ini adalah yang paling shahih tentang masalah ini. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)

Imam Ibnul Qayyim  Rahimahullah menjelaskan:

السنة الصحيحة الصريحة المحكمة في صلاة الكسوف تكرار الركوع في كل ركعة، لحديث عائشة وابن عباس وجابر وأبي بن كعب وعبد الله بن عمرو بن العاص وأبي موسى الاشعري.

كلهم روى عن النبي صلى الله عليه وسلم تكرار الركوع في الركعة الواحدة، والذين رووا تكرار الركوع أكثر عددا وأجل وأخص برسول الله صلى الله عليه وسلم من الذين لم يذكروه

 

Sunah yang shahih dan jelas, yang bisa dijadikan hukum tentang shalat kusuf adalah yang menunjukkan diulangnya ruku pada setiap rakaat, yang ditunjukkan oleh hadits ‘Asiyah, Ibnu ‘Abbas, jabir, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, dan Abu Musa Al Asy’ari.

Semuanya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ruku diulang dalam satu rakaat, orang-orang yang meriwayatkan berulangnya ruku lebih banyak jumlahnya, lebih berwibawa, lebih istimewa hubungannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibanding orang-orang yang tidak menyebutkan hal demikian.  (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/214. Lihat Raudhah An Nadiyah, 1/157)

Wallahu A’lam

Khutbah Shalat Gerhana

Imam tiga madzhab mengatakan bahwa tidak ada khutbah dalam masalah gerhana ini. Baik sebelum atau sesudah shalat. Apalagi bagi yang mengatakan bahwa shalat gerhana itu dilakukan secara munfarid (sendiri). Hal itu merupakan konsekuensi logis dari pendapat mereka bahwa shalat gerhana dilakukan secara sendiri, sebab mana mungkin ada khutbah jika shalatnya sendiri.

Tertulis dalam  berbagai kitab para ulama:

قَال أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ : لاَ خُطْبَةَ لِصَلاَةِ الْكُسُوفِ ، وَذَلِكَ لِخَبَرِ : فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ ، وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا  أَمَرَهُمْ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – بِالصَّلاَةِ ، وَالدُّعَاءِ ، وَالتَّكْبِيرِ ، وَالصَّدَقَةِ ، وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِخُطْبَةٍ ، وَلَوْ كَانَتِ الْخُطْبَةُ مَشْرُوعَةً فِيهَا لأَمَرَهُمْ بِهَا ؛ وَلأِ نَّهَا صَلاَةٌ يَفْعَلُهَا الْمُنْفَرِدُ فِي بَيْتِهِ ؛ فَلَمْ يُشْرَعْ لَهَا خُطْبَةٌ

Berkata Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad: tidak ada khutbah pada shalat gerhana, alasannya adalah karena hadits:  Jika kalian melihat hal itu (gerhana) maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka dengan shalat, doa, takbir, dan bersedekah, tidak memerintahkan mereka berkhutbah. Seandainya khutbah itu disyariatkan, tentunya mereka akan diperintahkan melakukannya, dan juga disebabkan bahwa shalatnya dilakukan sendiri dirumah, maka khutbah tentunya tidak disyariatkan. (Bada’i Ash Shana’i, 1/282, Mawahib Al Jalil, 2/202, Hasyiah Ad Dasuqi, 1/302, Al Mughni, 2/425, Tabyinul Haqaiq, 1/229)

Sementara Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya mengatakan bahwa khutbah pada shalat gerhana itu disyariatkan. Dilakukan setelah shalat dengan dua kali khutbah, diqiyaskan dengan shalat Id. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/52, Asnal Mathalib, 1/286)

Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang menceritakan tatacara shalat gerhana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kata ‘Aisyah:

 ….ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

“ … kemudian Beliau berbalik badan dan matahari mulai terang, lalu dia berkhutbah di hadapan manusia, beliau memuji Allah dengan berbagai pujian, kemudian bersabda: Sesungguhnya (gerhana)  matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah.” (HR. Bukhari No. 1044)

Hadits  ini tegas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan khutbah setelah shalat gerhana, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya dimulai dengan puji-pujian.

Maka, yang shahih adalah –wallahu a’lam– bahwa khutbah gerhana adalah sunah. Seandai pun nabi hanya melakukan sekali dalam hidupnya, itu tidaklah menghilangkan kesunahannya. Hanya saja tidak ada keterangan khutbah itu adalah dua kali khutbah sebagaimana shalat Id. Tidak dalam hadits, dan tidak pula dalam atsar para salaf.  Dengan kata lain, aturan dalam khutbah  setelah shalat gerhana tidak se-rigid (kaku) khutbah Jumat dan Id (Hari Raya). Ada pun pendapat kalangan Syafi’iyah bahwa khutbah adalah dua kali hanya berasal dari qiyas saja.

Ada ulasan yang bagus dan patut dijadikan renungan dari Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah  sebagai berikut:

ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة واتفاق مثل ذلك في خطبته صلى الله تعالى عليه وآله وسلم لا يدل على أنه مقصود متحتم وشرط لازم ولا يشك منصف أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة عليه صلى الله تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد أن يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا وأولاه, ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده ولو قال قائل أن من قام في محفل من المحافل خطيبا ليس له باعث على ذلك إلا أن يصدر منه الحمد والصلاة لما كان هذا مقبولا بل كل طبع سليم يمجه ويرده, إذا تقرر هذا عرفت أن الوعظ في خطبة الجمعة هو الذي يساق إليه الحديث فإذا فعله الخطيب فقد فعل الأمر المشروع إلا أنه إذا قدم الثناء على الله وعلى رسوله أو استطرد في وعظه القوارع القرآنية كان أتم وأحسن.

  Kemudian ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yaitu memberikan kabar gembira dan menakut-nakuti manusia. Inilah hakikat yang menjadi jiwa sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi disyariatkan. Adapun yang disyaratkan berupa membaca Alhamdulillah, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, membaca ayat Al Quran, maka semuanya itu adalah perkara di luar tujuan umum disyariatkannya khutbah. Telah disepakati bahwa hal-hal seperti ini (membaca hamdalah, shalawat, dan membaca ayat, pen) dalam khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah menunjukkan  bahwa hal itu menjadi syarat yang wajib dilakukan. Tidak ragu lagi bagi orang yang objektif (munshif), bahwa tujuan utama dari khutbah adalah nasihatnya, bukan apa yang dibaca sebelumnya baik itu Alhamdulillah dan  shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Telah menjadi tradisi orang Arab yang terus menerus, bahwa jika salah seorang di antara mereka berdiri untuk  pidato mereka akan memuji Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan memang betapa baik dan utama hal itu. Tetapi itu bukanlah tujuannya, tujuannya adalah apa yang diuraikan setelahnya. Jika ada yang mengatakan bahwa tujuan orang berpidato dalam sebuah acara adalah hanya mengutarakan Alhamdulillah dan Shalawat, maka hal ini tidak bisa diterima, dan setiap yang berpikiran sehat akan menolaknya.

Jadi, jika telah dipahami bahwa jika orang sudah menyampaikan nasihat dalam khutbah Jumat, dan itu sudah dilakukan oleh khatib, maka dia telah cukup disebut telah menjalankan perintah. Hanya saja jika dia mendahuluinya dengan membaca puji-pujian kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, serta mengaitkan  pembahasannya dengan membaca ayat-ayat Al Quran, maka itu lebih sempurna dan lebih baik. (Imam Shiddiq Hasan Khan, Ar Raudhah An Nadiyah, 1/137)

Demikian menurut Imam Shiddiq Hasan Khan. Sebenarnya di dalam sunah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka khutbah dengan bacaan berikut:

أَنْ الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا

{ اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا }

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ }

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا }

(Bacaan pembuka khutbah ini, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi No. 1105, Imam Abu Daud No.  2118, Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1360, Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5528, Imam Ath Thabarani Al Mu’jam Al Kabir No. 10079, Ahmad No. 4115)

Hadits ini dikatakan hasan oleh Imam At Tirmidzi. (Sunan At Tirmidzi No.  1105),  dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 4115),  Syaikh Al Albani juga menshahihkan hadits ini. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2118)

Kalimat pembuka ini dipakai ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam khutbah haji wada’, oleh karenanya dikenal dengan Khutbatul Hajjah. Tetapi, pembukaan seperti ini juga dianjurkan pada khutbah-khutbah lainnya, termasuk khutbah gerhana.

Imam Al Baihaqi menceritakan sebagai berikut:

قال شعبة قلت لأبي إسحاق هذه في خطبة النكاح أو في غيرها قال في كل حاجة

Berkata Syu’bah: Aku bertanya kepada Abu Ishaq, apakah bacaan ini pada khutbah nikah atau selainnya? Beliau menjawab: “Pada setiap hajat (kebutuhan).” (Lihat As Sunan Al Kubra No. 13604)

Ada pun tentang penutup khutbah, di dalam sunah pun ada petunjuknya, yaitu sebuah doa ampunan yang singkat untuk khathib dan pendengarnya.

عن ابن عمر ، رضي الله عنهما قال : إن النبي صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة قام على رجليه قائما ، وخطب فحمد الله تعالى وأثنى  عليه وخطب خطبة ، ذكرها ثم قال : « أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم »

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Fathul Makkah berdiri di atas kedua kakinya, dan dia berkhutbah, lalu memuji Allah Ta’ala, dan menyampaikan khutbahnya,  kemudian berkata: Aquulu qauliy hadza wa astaghfirullahu liy wa lakum – aku ucapkan perkataanku ini dan aku memohonkan ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian.  (HR. Al Fakihani dalam Al Akhbar Al Makkah No. 1731)

Ucapan ini juga diriwayatkan banyak imam dengan kisah yang berbeda-beda,  seperti oleh Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah, Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Imam Ad Darimi dalam Sunannya, Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, dan lainnya.

Adakah amalan khusus selain shalat?

Seperti yang telah diketahui, kita diperintahkan untuk berdoa, shalat, bertakbir dan  bersedekah. Dari empat amalan ini hanya shalat yang memiliki keterangan khusus dan mendetail.

Ada pun doa, tidak ada keterangan doa khusus  gerhana; baik sebelum, ketika, dan sesudahnya; baik diawal khutbah, ketika, dan di akhirnya, dan sesudah gerhananya. Maka, kapan saja berdoa selama masih keadaan gerhana, dengan doa apa pun untuk kebaikan dunia, akhirat, pribadi, dan umat, adalah boleh, karena termasuk keumuman  perintah untuk berdoa.

Begitu pula bertakbir, tidak ada keterangan khusus bentuk takbir apa yang diucapkan. Oleh karenanya, takbir apa pun secara umum yang bermakna  membesarkan dan mengagungkan nama Allah Ta’ala tidaklah mengapa.

Tidak ada pula  keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah tentang   kadar dan jenis sedekah yang mesti dikeluarkan ketika gerhana. Maka, ini diserahkan atas kerelaan masing-masing.

Wallahu A’lam

___________________________________________________

[1] Yakni kisah Qais bin Umar bahwa beliau shalat subuh di mesjid bersama Rasulullah, sedangkan dia sendiri belum mengerjakan shalat sunah fajar. Setelah selesai shalat subuh dia berdiri lagi untuk shalat sunah dua rakaat. Nabi pun berjalan melewatinya dan bertanya:

مَا هَذِهِ الصَّلَاةُ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا

                “Shalat apa ini?, maka dia menceritakannya. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diam, dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.” (HR. Ahmad No. 23812, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hadits ini mursal, tapi para perawinya terpercaya. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 23812. Syaikh Sayyid Sabiq mengutip dari Imam Al ‘Iraqi: sanad hadits ini hasan. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/187)

[2] Dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

وَقَدْ أُتِيَ بِمَالٍ فَقَعَدَ يُقَسِّمُهُ حَتَّى أَتَاهُ مُؤَذِّنُ الْعَصْرِ فَآذَنَهُ بِالْعَصْرِ ، فَصَلَّى الْعَصْرَ ، ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَيَّ ، وَكَانَ يَوْمِي فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ، فَقُلْتُ : مَا هَاتَينِ الرَّكْعَتَينِ يَا رَسُولَ الله ؟! أَمَرْتَ بِهِمَا ؟ قَالَ : لاَ ، وَلَكِنَّهُمَا رَكْعَتَانِ كُنْتُ أَرْكَعُهُمَا بَعْدَ الظُّهْرِ ، فَشَغَلَنِي قَسْمُ هَذَا الْمَالِ حَتَّى أَتَانِيَ الْمُؤَذِّنُ بِالْعَصْرِ فَكَرِهْتُ أَنْ أَدَعَهُمَا

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat zuhur, lalu didatangkan kepadanya harta, beliau pun duduk-duduk membagikan harta itu, sampai terdengar suara muadzin untuk adzan ashar. Kemudian Beliau melaksanakan shalat ashar, dan setelah selesai shalat Beliau pulang dan menuju rumahku, karena hari itu adalah gilirannya di tempatku. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat dua rakaat yang ringan (sebentar), lalu saya pun bertanya: “Shalat apakah ini ya Rasulullah? Apakah kau diperintahkannya?” Beliau bersabda: “Tidak, ini hanyalah pengganti dua rakaat ba’da zhuhur yang biasa saya lakukan, tadi saya sibuk membagikan harta hingga datang waktu ashar. Maka saya tidak suka meninggalkan dua rakaat tadi.” (HR. Ahmad No. 26602, Syaikh Syua’ib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 26602)

[3] Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ

Datang seorang laki-laki dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah di hadapan manusia pada hari Jumat. Beliau bersabda: “Wahai fulan, apakah engkau sudah shalat?” orang itu menjawab: “Tidak.” Beliau bersabda: “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat.” (HR. Bukhari No. 930, dan Muslim No. 875)

[4] Imam An Nawawi berkata –ketika membahas shalat jenazah setelah ashar:

 لِأَنَّ صَلَاة الْجِنَازَة لَا تُكْرَه فِي هَذَا الْوَقْت بِالْإِجْمَاعِ

Karena shalat jenazah tidaklah makruh pada waktu-waktu tersebut menurut ijma’. (Al Minhaj, 6/144)

[5] Tertulis dalam Kitab Al Hawi Al Kabir: “Berkata Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu: “Shalat terhadap jenazah dilakukan pada setiap waktu.”

Berkata Al Mawardi: “Ini benar, shalat terhadap mayit tidaklah khusus pada waktu tertentu saja tanpa waktu lainnya, dan tidak dimakruhkan melakukannya di waktu tertentu tanpa waktu lainnya, dan dibolehkan pula melaksanakannya pada waktu-waktu terlarang. Tetapi Abu Hanifah memakruhkannya jika dilakukan pada waktu-waktu terlarang shalat, termasuk shalat-shalat yang pada dasarnya memiliki sebab untuk dilaksanakan, dalilnya adalah riwayat dari ‘Uqbah bin Amir, dia berkata:

“ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kami shalat pada tiga waktu dan juga melarang menguburkan mayit pada waktu-waktu tersebut, yakni: ketika  matahari benar-benar terbit  hingga meninggi, ketika matahari tegak di atas hingga bergeser, dan ketika matahari bergerak terbenam hingga dia benar-benar terbenam.”

Berkata Al Mawardi: “Inilah dalil hukum asal dalam masalah ini seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya. Kemudian dalil khusus untuk masalah ini adalah telah diriwayatkan bahwa   ‘Aqil bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu wafat, lalu dia dishalatkan oleh kaum muhajirin dan anshar ketika matahari menguning (bergerak terbenam, pen), dan tidak diketahui adanya seorang pun yang mengingkarinya, maka ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan), dan shalat tersebut menjadi sebab (dalil) dibolehkannya. Maka dibolehkan melakukan (shalat jenazah) di semua waktu seperti shalat-shalat wajib, dan hadits dari ‘Uqbah bin Amir bukanlah alasan untuk melarangnya, karena itu merupakan larangan menguburkan ayat pada waktu-waktu tersebut. Dan hal ini (shalat jenazah) tidaklah dilarang berdasarkan ijma’. “ (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Hawi Al Kabir, 3/95)

Klaim   adanya ijma’ dalam masalah ini tidaklah sesuai realita, walau saat ini kami cenderung pada pendapat Imam An Nawawi dan Imam Abul Hasan Al Mawardi, yakni bolehnya shalat sunah pada saat waktu-waktu terlarang jika ada sebab khusus.   Sebab, faktanya para imam kaum muslimin telah berbeda pendapat. Oleh karena itu Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri mengkritik klaim ijma’ ini, katanya:

قلت قوله صلاة الجنازة لا تكره في هذا الوقت بالإجماع فيه نظر ظاهر كما ستقف على ذلك في بيان المذاهب

Aku (Syaikh Al Mubarkafuri) katakan: ucapannya (Imam An Nawawi) bahwa: shalat jenazah tidak dimakruhkan pada waktu terlarang ini menurut ijma’, pada ucapan ini jelas-jelas mesti dipertimbangkan lagi, sebagaimana (perbedaan) masalah ini telah dijelaskan dalam keterangan madzhab-madzhab.   (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/100)

[6] Hadits mursal adalah hadits yang gugur pada akhir sanadnya, seorang setelah generasi tabi’in. Hadits mursal ada tiga macam.

Mursal Jaliy (jelas) yaitu pengguguran yang dilakukan oleh rawi (tabi’in) sangat jelas, yaitu jelas-jelas dia tidak hidup sezaman dengan sahabat nabi yang meriwayatkan hadits tersebut, tapi dia mengatakan bahwa sahabat nabi telah berkata, bahwa nabi bersabda begini dan begitu. Padahal dia tidak pernah hidup sezaman dengan sahabat tersebut. Status hadits mursal seperti ini adalah mardud (tertolak).

Mursal Khafiy  (tersembunyi) yaitu perawi pada masa tabi’in tersebut hidup sezaman dengan sahabat, tapi dia tidak pernah mendengarkan hadits darinya sekali pun, walau pernah berjumpa. Baik karena saat itu dia masih kecil. Atau, karena bisa juga tidak pernah berjumpa, walau hidup sezaman. Ini juga hadits dhaif. Nampaknya hadits Abu Qilabah ini termasuk Mursal Khafiy, sebab menurut Imam Abu Hatim, Abu Qilabah pernah berjumpa dengan An Nu’man bin Basyir, tetapi tidak diketahui dia mendengar hadits darinya atau tidak.

Mursal Shahabiy yaitu periwayatan  seorang sahabat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetapi dia tidak pernah mendengar atau melihat sendiri dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lantaran dia masih kecil, atau saat itu baru masuk Islam.  Ini termasuk shahih.

Jumhur ulama dan Imam Asy Syafi’i menyatakan hadits mursal adalah dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah, kecuali hadits mursalnya Said bin Al Musayyib, karena dia dimungkin meriwayatkannya dari mertuanya (Abu Hurairah), atau hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits yang musnad, atau hadits mursal yang kuatkan oleh qiyas, atau yang dikuatkan oleh hadits mursal lain yang banyak.

Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, menerima hadits mursal sebagai hujjah. menurut mereka seorang tabi’in yang dikenal tsiqah dan  adil tidak mungkin menipu dengan menggugurkan sanad secara sengaja, dan nabi telah memuji generasi tabi’in dengan hadits Shahih Bukhari: sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian setelahnya (tabi’in),kemudian setelahnya (tabiut tabi’in).

Imam Asy Syaukani mengatakan hadits mursal tertolak secara mutlak, tanpa kecuali. Sebab hadits mursal hanya menghasilkan keraguan, bukan kepastian. Pendapat ini didukung oleh mayoritas muhadditsin setelahnya. Wallahu A’lam

Bolehkah Wanita Haid Masuk atau Berdiam Masjid?

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum, Wr.Wb. Apa hukumnya akhawat (muslimah) yang sedang haid masuk atau berdiam di dalam masjid? Terimakasih atas jawabannya (Tri Noviantoro – Depok)

📬 JAWABAN

Wa’alaikum Salam Wr Wb. Bismillahirrahmanirrahim wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du:

Masalah ini adalah masalah khilafiyah, yang sudah lama menjadi bahan silang pendapat di antara ulama. Secara garis besar mereka terbagi menjadi dua kelompok, ada yang mengharamkan wanita haid berdiam di mesjid (kecuali sekedar lewat), ada pula yang mengatakan boleh dan tak ada larangan asalkan berwudhu. Namun demikian Allah Ta’ala berfirman:

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa (4): 59)

Kita akan lihat dalil masing-masing kelompok, sebagai berikut:

Alasan yang Mengharamkan kecuali sekedar lewat saja

Kelompok ini yakni madzhab Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i, memiliki beberapa dalil untuk menguatkan pendapat mereka. Yaitu:

Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula bagii yang sedang dalam keadaan junub, terkecuali sekedar lewat saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS.An Nisa (4): 43).

Tentang ayat di atas, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah[1] berkata:

ينهى تعالى عباده المؤمنين عن فعل الصلاة في حال السُّكْرِ، الذي لا يدري معه المصلي ما يقول، وعن قربان محلها -وهي المساجد-للجُنُب، إلا أن يكون مجتازا من باب إلى باب من غير مُكْثٍ وقد كان هذا قبل تحريم الخمر

 “Allah Ta’ala melarang hambanya orang-orang beriman melakukan shalat dalam keadaan mabuk, yang membuatnya selagi shalat tidak memahami apa yang sedang diucapkan, begitu pula dilarang mendekati tempat shalat –yakni mesjid- kecuali sekedar melintas saja, dari pintu menuju pintu, bukan untuk berdiam, ayat ini turun sebelum diharamkannya khamr.”[2]

Selanjutnya, katanya:

عن ابن عباس في قوله: { وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا } قال: لا تدخلوا المسجد وأنتم جنب إلا عابري سبيل، قال: تمر به مرًّا ولا تجلس. ثم قال: ورُوي عن عبد الله بن مسعود، وأنس، وأبي عُبَيْدَةَ، وسعيد بن المُسَيَّبِ، وأبي الضُّحَى، وعطاء، ومُجَاهد، ومسروق، وإبراهيم النَّخَعي، وزيد بن أسلم، وأبي مالك، وعَمْرو بن دينار، والحكم بن عُتَيْبَة  وعِكْرِمَة، والحسن البصري، ويَحْيَى بن سعيد الأنصاري، وابن شهاب، وقتادَة، نحوُ ذلك.

Berkata Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah Ta’ala ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ yaitu jangan kamu masuk ke mesjid dalam keadaan junub, kecuali hanya sekedar lewat saja. Dia berkata: sekali lewat saja tidak duduk. Ini juga diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, Anas, Abu Ubaidah, Said bin al Musayyab, Abu adh Dhuha, Atha’, Masruq. Mujahid, ‘Ikrimah, Ibrahim an Nakha’i, Ibnu Syihab, Zaid bin Aslam, Abu Malik, Amru bin Dinar, Al Hakam bin Utaibah, Yahya bin Said, Qatadah, dan lain-lain. [3]

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

ومن هذه الآية احتج كثير من الأئمة على أنه يحرم على الجنب اللبث في المسجد، ويجوز له المرور، وكذا الحائض والنفساء أيضًا في معناه

“Dari ayat ini, para imam berhujjah bahwa diharamkannya orang yang junub berdiam di mesjid, kecuali sekedar melewati, begitu pula bagi wanita haid dan nifas, pada dasarnya  sama.” (Ibid, Juz. 2, hal. 311)

Sebagian ulama salaf menafsiri bahwa maksud kalimat,‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ adalah kecuali sekedar lewat untuk keluar darinya (mesjid).

Dari Abu Ubaidah bin Abdullah, dari ayahnya (yakni Ibnu Mas’ud), dia berkata: “yaitu lewat di mesjid.”

Dari Qatadah, dari Sa’id, tentang orang junub: “yaitu sekedar lewat di masjid hanya berdiri, tidak duduk, dan bukan dengan berwudhu.”

Dari Ibnu Abbas: “Tidak mengapa bagi orang yang junub dan haid untuk melewati saja, selama dia tidak duduk di dalamnya (mesjid).”

Dari Abu Az Zubeir, dia berkata: “Salah seorang di antara kami ada yang junub lalu dia melewati mesjid.”

Dari Al Hasan, dia berkata: “Orang junub melewati mesjid, tanpa duduk di dalamnya.”

Dari Ibrahim, dia berkata: “Jika dia tidak menemukan jalan lain, kecuali mesjid, maka hendaknya dia sekedar lewat di dalamnya.” Dari dia juga, “Jika seorang junub, tidak mengapa dia melewati mesjid, jika memang tidak ada jalan lain.”

Dari Said bin Jubeir, dia berkata: “Orang junub hanya melewati mesjid, tidak boleh duduk di dalamnya.” Dan yang serupa juga diriwayatkan oleh Ikrimah, Ibnu Syihab Az Zuhri, dan lan-lain. [4]

Imam Ibnu Jarir dan Imam Ibnu Katsir juga mendukung pendapat ini. Dan Imam Ibnu Katsir berkata:

وقوله: { حَتَّى تَغْتَسِلُوا } دليل لما ذهب إليه الأئمة الثلاثة: أبو حنيفة ومالك والشافعي: أنه يحرم على الجنب المكث في المسجدِ حتى يغتسل أو يتيمم، إن عدم الماء، أو لم يقدر على استعماله بطريقة. وذهب الإمام أحمد إلى أنه متى توضأ الجنب جاز له المكث في المسجدِ، لما روى هو وسعيد بن منصور في سننه بإسناد صحيح: أن الصحابة كانوا يفعلون ذلك

FirmanNya: “hingga kalian mandi,” merupakan dalil bagi tiga Imam, yakni Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i bahwa haram bagi seorang yang junub berdiam di mesjid, sampi dia mandi atau tayamum, jika tidak ditemukan air. Jika tidak maka cukup untuk melewati saja. Sedangkan madzhab Imam Ahmad, baginya jika seorang junub berwudhu maka baginya boleh diam dimesjid, sebagaimana riwayat dari Said bin Manshur dalam Sunannya dengan sanad yang shahih bahwa para sahabat nabi melakukan hal tersebut. [5]

Hadits-Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Hadits pertama:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ

Dari ‘Aisyah, dia berkata: Berkata kepadaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Ambilkan untukku khumrah (kain penutup kepala) dari mesjid.” ‘Aisyah berkata, “Aku menjawab: “Sesungguhnya aku sedang haid.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu.” [6]

Hadits tersebut menunjukkan bahwa jika sekedar lewat, yakni mengambil barang saja tanpa duduk atau berdiam, tidaklah mengapa. Penegasan ‘Aisyah, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Merupakan dalil yang menunjukkan kelaziman saat itu bahwa wanita haid tidak boleh masuk mesjid. Jika boleh, tentu ‘Aisyah langsung mengambil khumrah tersebut, tanpa harus memberitahu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau sedang haid.

Hadits kedua:

Dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إني لا أحلّ المسجد لحائض ولا جنبٍ

“Sesungguhnya aku, tidak halalkan mesjid untuk wanita haid dan orang junub.” [7]

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah,[8]  dan  sangat tegas pelarangannya.

Hadits ketiga:

عن أبي سعيد الخُدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا علي، لا يحل لأحد أن يُجْنب في هذا المسجد غيري وغيرك

Dari Abu Said al Khudri, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai Ali, tidak dihalalkan bagi seseorang yang junub terhadap mesjid ini, selainku dan selainmu.”[9]

Demikianlah dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok imam madzhab yang mengharamkan wanita haid (juga nifas dan orang junub) berdiam di mesjid, kecuali sekedar lewat saja.

Alasan Kelompok yang membolehkannya (asalkan dia berwudhu)

Ini adalah pendapat dari Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ibnu Hazm,  Imam Al Khathabi, dan sebagian para sahabat nabi, dan ulama salaf. Mereka beralasan:

Firman Allah Ta’ala

Mereka beralasan dengan ayat yang sama dengan kelompok yang mengharamkan (QS.An Nisa (4): 43). Bagi mereka ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan mesjid, melainkan tentang orang yang safar (bepergian) yang sedang mengalami junub dan tidak mendapatkan air. Faktanya, secara lahiriyah, ayat tersebut memang tidak menyebut mesjid. Silahkan lihat ayat tersebut dan terjemahannya.

Dari Ali bin Abi Thalib dia berkata tentang ayat, ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ artinya janganlah dia mendekati shalat, kecuali jika dia musafir yang mengalami janabah, dia tidak menemukan air, maka shalatlah ketika sudah menemukan air (untuk mandi).” [10]

Imam Abu Ja’far bin Jarir ath Thabari telah memaparkan dalam tafsirnya, keterangan dari para salaf  bahwa maksud ayat itu adalah tentang safar dan musafir, yang tidak menemukan air, maka boleh baginya tayamum. Contohnya:

Dari Ibnu Abbas tentang firmanNya ‘Dan jangan pula bagi yang sedang dalam keadaan junub, kecuali sekedar lewat saja,’ dia berkata: “Musafir.” Ibnu Al Mutsanna berkata: “tentang safar.”

Dari Ali bin Abi Thalib: “Jika kalian musafir, dan tidak menemukan air, maka tayamumlah.”

Dari Said bin Jubair: “Musafir.”

Dari Mujahid: “Musafir, jika dia tidak menemukan air, maka dia bertayamum dan shalat ketika tiba waktunya.”

Dari Hasan bin Muslim: “Jika ia musafir, dan tidak menemukan air, maka tayamumlah.”

Dari Al Hakam: “Musafir yang mengalami junub, jika ia tidak menemukan air maka hendaknya dia tayamum.”

Dari Abdullah bin Katsir: “Dahulu kami mendengar bahwa ayat itu tentang safar.”

Dari Ibnu Zaid: “Itu adalah musafir yang tidak menemukan air, maka wajib baginya bertayamum dan shalat.” Dia berkata: “Ayahku juga berkata demikian.” [11]

Dalil dari Hadits-Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Kelompok yang membolehkan juga menggunakan dalil yang digunakan kelompok yang mengharamkan.

Hadits pertama:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاوِلِينِي الْخُمْرَةَ مِنْ الْمَسْجِدِ قَالَتْ فَقُلْتُ إِنِّي حَائِضٌ فَقَالَ إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِي يَدِكِ

Dari ‘Aisyah, dia berkata: Berkata kepadaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Ambilkan untukku khumrah (kain penutup kepala) dari mesjid.” ‘Aisyah berkata, “Aku menjawab: “Sesungguhnya aku sedang haid.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu.” [12]

Menurut kelompok ini, hadits ini jelas-jelas membolehkan seseorang yang haid untuk masuk ke mesjid, bahkan Rasulullah sendiri yang memerintahkan, sebagai bantahan bagi kekhawatiran ‘Aisyah yang terkesan enggan ke mesjid karena haid. Adapun, alasan kelompok yang mengharamkan, bahwa hadits ini hanya membolehkan sekedar lewat saja, adalah tidak benar. Sebab, saat itu memang keperluannya hanya untuk mengambil khumrah yang tidak membutuhkan waktu lama. Tidak berarti hal itu, bermakna jika lebih lama dari itu atau berdiam di dalamnya adalah haram. Sebab memang dilakukan sesuai keperluan saja. Wallahu A’lam

Hadits kedua:

Dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إني لا أحلّ المسجد لحائض ولا جنبٍ

“Sesungguhnya aku, tidak halalkan mesjid untuk wanita haid dan orang junub.” [13]

Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah. [14]

Menurut kelompok yang membolehkan, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif (lemah).

Imam Abu Muslim Al Khathabi berkata: “Jamaah (Ahli hadits) mendhaifkan hadits ini.” Mereka berkata: Aflat (salah seorang rawi) adalah majhul (tidak dikenal).” [15]

Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib disebutkan:

وقال ابن حزم افلت غير مشهور ولا معروف بالثقة وحديثه هذا باطل.

وقال البغوي في شرح السنة ضعيف أحمد هذا الحديث لان راويه افلت وهو مجهول.

“Berkata Ibnu Hazm, Aflat ini  tidaklah terkenal dan tidak diketahui ketsiqahannya (kredibelitasnya), dan haditsnya ini  batil. Al Baghawi[16] berkata dalam Syarhus Sunnah, bahwa Imam Ahmad mendhaifkan hadits ini karena  periwayatnya yang bernama Aflat, dan dia itu majhul (tidak dikenal identitasnya).” [17]

Hadits ketiga:

عن أبي سعيد الخُدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يا علي، لا يحل لأحد أن يُجْنب في هذا المسجد غيري وغيرك

Dari Abu Said al Khudri, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai Ali, tidak dihalalkan bagi seseorang yang junub terhadap mesjid ini, selainku dan selainmu.”[18]

Menurut kelompok yang membolehkan, hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil sebab kedhaifannya. Berkata Imam Ibnu Katsir: “Ini hadits dhaif, tidak kuat. Karena Salim (bin Abi Hafshah, perawi hadits ini) adalah seorang yang matruk (ditinggalkan haditsnya). Sedangkan gurunya, yakni ‘Athiyah, juga dhaif. Wallahu A’lam.[19]

Syaikh Al Albany mengatakan hadits tersebut dhaif (lemah). [20]

Hadits keempat:

Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat ketika masih muda, mereka tidur di mesjid, bahkan ada beberapa sahabat memang tinggal di pelataran  mesjid. Mereka disebut Ash habus Shuffah atau Ahlus Shuffah. Padahal jika mereka tidur di  mesjid, dan bertempat tinggal di sana , maka hari-hari junub mereka karena mimpi basah, pasti mereka alami di dalam mesjid. Jikalau memang haram, pasti mereka sudah diminta keluar atau kesadaran mereka sendiri. Namun, tidak ada riwayat tentang hal itu.

Dari Ibnu Umar, dia berkata: “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Kami tidur di mesjid. Saat itu kami masih muda.” [21]

Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Berkata Imam An Nawawi, “Dari sini jelaslah, bahwa Ash Habus Shufah, para sahabat yang tinggal di mesjid, Ali, Shafwan bin Umayyah, dan segolongan sahabat nabi yang lainnya, mereka pernah tidur di dalam mesjid. Bahkan Tsumamah sebelum masuk Islam juga pernah tidur di mesjid. Semua itu terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Dalam Al Umm, Imam Asy Syafi’i berkata: “Jika orang musyrik saja diperkenankan tidur di dalam mesjid, apa lagi seorang muslim.”

Di dalam kitab Al Muhktashar dijelaskan, “Tidak apa-apa orang musyrik tidur di mesjid manapun, kecuali Masjidil Haram.” [22]

Nah, orang musyrik, mereka tidak akan pernah mandi wajib, wudhu, atau tayamum, artinya mereka tidak pernah lepas dari junub. Ternyata mereka boleh masuk ke masjid, tentunya seorang muslim lebih boleh lagi ke mesjid walau haid atau junub.

Sementara Imam Ibnu Hazm Rahimahullah berkata:

وجائز للحائض والنفساء أن يتزوجا وأن يدخلا   المسجد وكذلك الجنب، لانه لم يأت نهى عن شئ من ذلك، وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (المؤمن لا ينجس) وقد كان أهل الصفة يبيتون في المسجد بحضرة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهم جماعة كثيرة ولا شك   في أن فيهم من يحتلم، فما نهوا قط عن ذلك

“Dan dibolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk nikah, dan masuk ke dalam mesjid, begitu pula bagi orang yang junub. Karena tidak ada satu pun dalil yang melarangnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Orang beriman tidaklah najis.” Para Ahlush Shufah bermalam di mesjid pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka adalah kelompok dalam jumlah yang banyak dan tidak diragukan lagi bahwa pada mereka ada yang mengalami mimpi basah namun tidak ada yang melarang mereka bermalam di sana.” [23]

Dalil Perilaku Para Sahabat dan Fakta Sejarah

لما روى  هو وسعيد بن منصور في سننه بإسناد صحيح: أن الصحابة كانوا يفعلون ذلك

Diriwayatkan oleh Said bin Manshur dalam Sunannya dengan sanad yang shahih, bahwa para sahabat berdiam mesjid walau junub, tetapi mereka berwudhu dulu. [24]

عن عطاء بن يَسَار قال: رأيت رجالا  من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يجلسون في المسجد وهم مجنبون  إذا توضؤوا وضوء الصلاة. وهذا إسناد صحيح على شرط مسلم

‘Atha bin Yasar berkata: “Aku melihat para laki-laki dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Jika mereka wudhu seperti wudhu shalat mereka duduk-duduk di mesjid padahal mereka sedang keadaan junub.” Sanadnya shahih sesuai syarat Imam Muslim. [25]

Imam Bukhari juga meriwayatkan tentang seorang wanita yang diberi tempat tinggal oleh Rasulullah berupa kemah di dalam mesjidnya, ia tinggal di sana hingga wafatnya. Tentunya wanita tersebut ketika haid, akan melewati hari-hari haidnya di dalam mesjid sebab ia tinggal di sana . Ini adalah dalil yang sangat kuat bagi mereka yang meyakini kebolehannya. Ibnu Ishaq dalam Sirahnya menceritakan bahwa utusan Bani Najran –beragama Nasrani- datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di mesjid setelah shalat Ashar. Maka tibalah waktu ibadah mereka, lantas mereka sembahyang di mesjid rasulullah. Manusia hendak menecegahnya, tetapi Rasulullah bersabda; “Biarkanlah mereka!” Lantas mereka menghadap Timur dan memulai ibadah mereka.

Imam Ibnul Qayyim mengomentari dalam Zaadul Ma’ad-nya, bahwa dibolehkan Ahli kitab masuk ke masjid kaum muslimin …. Dan mereka bisa beribadah di dalamnya, jika terjadi tidak direncanakan dan bukan kebiasaan.”

Kita tahu bahwa Ahli Kitab tidak mungkin suci, karena mereka tidak pernah mandi junub. Penerimaan Rasulullah terhadap mereka di mesjid merupakan bukti kuat kebolehannya. Jika mereka saja dibolehkan, maka apalagi bagi umat Islam, walau sedang haid dan junub. Dilihat di sisi keadilan Islam pun, tidak adil jika seorang muslimah dilarang masuk ke mesjid hanya karena haid, sementara orang kafir boleh. Demikian argumen kelompok ini.

Dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah juga menyatakan kebolehannya, dengan sebab bara’atul ashliyah (kembali ke hukum asal segala sesuatu yakni boleh), lantaran tak satu pun dalil yang shahih dan sharih (jelas) yang menyatakan larangannya.

Demikianlah, dua kelompok ini dengan argumen masing-masing. Semoga bisa diambil pelajaran, dan pembaca bisa menyimpulkannya. Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan


[1] Dia adalah ‘Imaduddin Abul Fida  ‘Ismail bin ‘Amru Al Bashri. Lahir di Bashrah tahun 700H. Setelah ayahnya wafat, pindah ke Damaskus dengan saudaranya tahun 706H. Di sana dia berguru kepada Al Amidi, Ibnu Taimiyah, bahkan dia ikut disiksa lantaran kesertaannya dengan Ibnu Taimiyah. Dia adalah ulama tsiqat, mutqin (teliti), yang sangat pawai dalam tafsir, hadits, sejarah, dan fiqih. Karyanya yang terkenal adalah Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Bidayah wan Nihayah, dan lainnya. Wafat di Damaskus (Siria) tahun 774H.  

[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Juz. 2, Hal. 308. Darut Thayyibah linnasyr wa Tauzi’. Cet. 2, 1999M/1420H. tahqiq: Sami bin Muhamamd Salamah.

[3] Imam Ibnu Katsir, Ibid, Juz. 2, Hal. 311.

[4] Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 8, Hal. 382-384. Cet. 1, 2000M/1420H. Mu’asasah ar Risalah. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir.

[5] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz. 2, hal. 313. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’

[6] HR. Muslim, Juz. 2, Hal. 162, No hadits. 450, di hadits no 452, bukannya khumrah tetapi tsaub (baju). Sunan Abu Daud, Juz 1, Hal. 332, No hadits. 28. Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal. 227, No hadits. 124. Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 445, No hadits. 270, riwayat ini juga disebut tsaub. Sunan Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 293, No hadits. 624. Musnad Ahmad, Juz. 11, Hal. 162, No hadits. 5126. Al Maktabah Asy Syamilah

[7] HR. Abu Daud, Juz. 1, Hal. 294, No hadits. 201. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  Juz. 2, Hal. 442. Shahih Ibnu Khuzaimah, Juz. 5, Hal. 136, No hadits. 1263. Ma’rifatus Sunan wa Atsar Lil Baihaqi, Juz. 4, Hal. 126, No hadits. 1376. Al Maktabah Asy Syamilah

[8] Imam Ibnu Hajar al Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Hal. 29, Bab al Ghusli wa Hukmi al Junubi, No hadits 104. Cet.1, 2004M/1425H. Darul Kutub al Islamiyah. Tahqiq: Syaikh ‘Idrus bin Al ‘Idrus dan Syaikh ‘Ali bin Abi Bakar as Saqqaf

[9] HR. At Tirmidzi, Juz. 12, Hal. 190. No hadits. 3661. Kata Imam At Tirmidzi hadits ini hasan gharib, tidak dikenal jalurnya kecuali dari jalan ini. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  Juz. 7, Hal. 66. Al Maktabah Asy Syamilah

[10] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz. 2, Hal. 312. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’

[11] Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Juz. 8, hal. 380-382. Cet. 1, 2000M/1420H. Mu’assah Ar Risalah. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir.

[12] HR. Muslim, Juz. 2, Hal. 162, No hadits. 450, di hadits no 452, bukannya khumrah tetapi tsaub (baju). Sunan Abu Daud, Juz 1, Hal. 332, No hadits. 28. Sunan At Tirmidzi, Juz. 1, Hal. 227, No hadits. 124. Sunan An Nasa’i, Juz. 1, Hal. 445, No hadits. 270, riwayat ini juga disebukan tsaub. Sunan Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 293, No hadits. 624. Musnad Ahmad, Juz. 11, Hal. 162, No hadits. 5126. Al Maktabah Asy Syamilah

[13] HR. Abu Daud, Juz. 1, Hal. 294, No hadits. 201. As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz. 2, Hal. 442. Shahih Ibnu Khuzaimah, Juz. 5, Hal. 136, No hadits. 1263. Ma’rifatus Sunan wa Atsar Lil Baihaqi, Juz. 4, Hal. 126, No hadits. 1376. Al Maktabah Asy Syamilah

[14] Imam Ibnu Hajar, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Hal. 29, Bab al Ghusli wa Hukmi al Junubi, No hadits 104. Cet.1, 2004M/1425H. Darul Kutub al Islamiyah. Tahqiq: Syaikh ‘Idrus bin Al ‘Idrus dan ‘Ali bin Abi Bakar as Saqqaf

[15] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz. 2, Hal. 312. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’

[16] Dia adalah Al Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin Al Farra’ Al Baghawi Asy Syafi’i. Lahir di Khurasan 436H (1045M). Dia dijuluki ‘tiang agama’ dan ‘penghidup sunah’. Ia ahli dalam bidang hadits, tafsir, dan fiqih, bermadzhab Syafi’i, zuhud, qana’ah, imam pada zamannya. Berguru kepada Al Qadhi Husein bin Muhammad Asy Syafi’i,  Abu Umar Abdul Wahid Al Mahili, dan lainnya.   Kitabnya yang terkenal adalah Ma’alimut Tanzil, Al Mashabih, At Tahdzib fi Fiqhi Asy Syafi’iyah, dan lainnya. Wafat di Khurasan tahun 510H (1117M).

[17] Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 1, Hal. 320. Cet.1, 1984M/1404H. Darul Fikri. Libanon.

[18] .HR. At Tirmidzi, Juz. 12, Hal. 190. No hadits. 3661. Kata At Tirmidzi hadits ini hasan gharib, tidak dikenal jalurnya kecuali dari jalan ini. As Sunan Al Kubra Lil Baihaqi, Juz. 7, Hal. 66. Al Maktabah Asy Syamilah

[19] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anu Al Azhim, Juz. 2, Hal. 312. Al Maktabah Asy Syamilah

[20] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, Juz. 8, Hal. 227. Markaz Nur Al Islam Li Abhats Al Qur’an was Sunnah, Iskandariah. Al Maktabah Asy Syamilah

[21] HR. Ibnu Majah, Juz. 2, Hal. 461, No hadits. 743. Ahmad, Juz. 9, Hal. 414, No hadits. 4378. Al Maktabah Asy Syamilah

[22] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid. 1, Hal. 213. Cet.5, 1971M/1391H. Darul Fikr. Beirut

[23] Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 1, Hal. 184. Al Maktabah Asy Syamilah

[24] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Juz. 2, Hal. 313. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’

[25] Ibid

Tafsir Basmalah

Apakah Basmallah Termasuk Ayat Al Fatihah?

Para ulama bersepakat bahwa Basmallah adalah termasuk bagian surat An Naml yang berbunyi:

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

“Sesungguhnya ( surat ) itu dari Sulaiman dan sesungguhnya isinya”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.( QS. An Naml [27]:30)

Namun mereka berbeda pandapat tentang apakah Basmallah termasuk ayat dari surat Al Fatihah dalam beberapa pendapat diantaranya:

  1. Basmallah bukan ayat Al Qur’an secara mutlak.

Pendapat pertama mengatakan bahwa Basmallah bukan termasuk ayat Al Qur’an secara mutlak, adapun Basmallah diletakkan diawal surat fungsinya sebagai pembuka surat, wasilah tabaruk ( mencari keberkahan)  dan sebagai pemisah antar surat. Seperti dianut oleh Imam Malik, Abdullah bin Ma’bad, Al Auza’I, Sebagian Hanafiah, pendapat ini pula yang dipilih oleh Al Baqilani. ( Majmu fatawa,22/432) juga dinukil dalam kitab-kitab tafsir ( Maalim Fi Tanzil, 1/38,  Al Kasyaf,1/4, Tafsir An Nasafi.1/1)

Namun dalil dari pendapat ini bersifat umum dan tidak ada dalil  sharih ( jelas ) khusus tentang Basmallah bukan ayat Al Qur’an secara mutlak.  Seperti hadits Anas bin Malik dan Aisyah Radhiyallahu anhuma yang menyatakan bahwa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin memulai bacaan Al Fatihah dengan “ Alhamdulillahirabbil Alamin,” namun dalil tersebut mengisyaratkan Nabi dan para sahabat membaca Basmallah secara sir (pelan) bukan berarti tidak membacanya sama sekali, dan bukan berarti membaca pelan itu menjadikan  Basmallah tidak termasuk dari ayat Al Qur’an. ( Syarh Ma’anil Atsar,1/204-205)

Syaikh Ahmad Syakir menyatakan,”

القول الذي زعموا نسبته إلى مالك، ومن معه في أنها ليست آية أصلا قول لا يوافق قاعدة أصولية ثابتة، ولا قراءة صحيحة

Pendapat yang mengaitkan dengan pendapat Imam Malik dan lainya adalah pendapat yang tidak berdasar dan tidak sepaham dengan kaidah ushuliyah yang kokoh, juga tidak sesuai dengan ilmu qiraat yang benar. ( Ahmad Syakir, Ta’liq Sunan at Tirmidzi,2/22)

  1. Basmallah hanya ayat dari surat Al Fatihah sa

Pendapat kedua ini menyatakan bahwa Basmallah hanya ayat dari surat al Fatihah saja, pendapat ini bersumber dari riwayat sebagian salaf seperti  Said bin Zubair,sebagian besar fukaha Mekkah, Kuffah dan ini juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad, Ibnu Ishaq, Ibnu Ubaid, Az Zuhri, Atha dan lainnya.

(Tafsir At Thabari,1/109, Al Umm,1/107,  Al Majmu’3/332-333, Tafsir Ibnu Katsir,1/35Al Istidzkar,2/176, Al Mughni, 2/151)

Dalil pendapat ini diantaranya:

  1. Hadits Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersumber dari Ummu Salamah:

عن أم سلمة – رضي الله عنها – أنها سُئلت عن قراءة النبي – صلى الله عليه وسلم – فقالت: «كان يقطع قراءته آية آية، بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم»

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha, Ia ditanya tentang bacaan Nabi, lalu ia menjawab,” Nabi memutus bacaan ayat per ayat, Bismillahirahmanirrahim, Al Hamdulillahirabbil alamin, Ar Rahmanirrahim).

( HR.Abu Daud,no. 4002, Ahmad, 6/303,Daruquthni Bab Wujub Qiraat Basmallah Wal Jahr biha,no.37, disahihkan oleh Al Al Bani  dalam Sahih Sunan Abi Daud no. 2927)

  1. Hadits Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersumber dari Anas bin Malik:

عن أنس بن مالك – رضي الله عنه – أنه سئل عن قراءة النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال: «كانت مداً، ثم قرأ: بسم الله الرحمن الرحيم، يمد بسم الله، ويمد بالرحمن، ويمد بالرحيم»

Dari Anas bin Malik Radhiyallahuanhu, ia ditanya tentang bacaan Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan menjawab,” Bacaannya panjang, lalu membaca,” Bismillahirahmanirrahim dengan memanjangkan Bismillah, ar Rahman dan Ar Rahim”.

( HR. Bukhari, Bab Mad Al Qira’ah no.5047, Abu Daud, no.1465, An Nasa’i no. 970, Ibnu Majah, 1353, Ahmad,3/119 dan 192)

  1. Riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah:

ما رواه أبو هريرة عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: «إذا قرأتم الحمد، فاقرؤوا بسم الله الرحمن الرحيم، إنها أم القرآن، وأم الكتاب، والسبع المثاني، وبسم الله الرحمن الرحيم، أحد آياتها»

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shalallahu alihi wasallam, bersabda,” Jika kalian membaca Al Hamdu, maka bacalah Bismillahirrahmanirrahim, Karena ia adalah Ummul Qur’an dan Ummul Kitab dan Sab’ul Matsani. Dan Bismillahirahmanirhim adalah salah satu ayatnya.

( HR. Daruquthni,no 36, Al Baihaqi , 2/45 , hadits Ini di sahihkan oleh Al Albani)

  1. Basmallah merupakan ayat setiap surat di dalam Al Qur’an kecuali surat Al Bara’ah (At-Taubah)

Pendapat ini di dukung oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Az Zuhri, sebagian Hanafiyah dan Syafiiyah dan Sufyan As Tsauri. ( Maalim Tanzil, 1/39)

Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:

Hadits

ما رواه أنس بن مالك – رضي الله عنه – قال: «أغفى النبي – صلى الله عليه وسلم – إعفاءة – ثم تبسم ضاحكًا، فقال: أنزل علي آنفا سورة ثم قرأ بسم الله الرحمن الرحيم {إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ} إلى آخر السورة

Apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik berkata,” Rasulullah tertidur sebentar kemudian  terbangun sambil tersenyum dan bersabda,” Telah turun kepadaku barusan sebuah surat,” lalu Beliau membaca Bismillahirrahmanirrahim, Inna a’thainaka al kautsar, hingga akhir ayat. ( HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah membaca Basmallah pada awal surat Al Kautsar, namun tidak berarti menunjukkan bagian dari setiap surat ( Al Lubab fi Tafsir Al Istiadzah wal Basmallah, 1/113)

  1. Basmallah adalah ayat tersendiri, bukan termasuk ayat setiap surat

Pendapat ini dianut oleh Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad, Muhammad bin Husain As Syaibani, Daud Adz Dhahiri, Ibnu Quddamah, dan Syaikul Islam Ibnu Taymiyah.

Dalil kalangan ini adalah:

Hadits:

 ما رواه عبد الله بن عباس – رضي الله عنهما – قال: «كان النبي – صلى الله عليه وسلم – لا يعرف فصل السورة، حتى تنزل عليه بسم الله الرحمن الرحيم» رواه أبو داود

Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahuanhuma, berkata,”  Dahulu Nabi Shalallahu alaihi wasallam tidak mengetahui pemisah antar surat dalam Al Qur’an hingga Allah menurunkan,”Bismillahirahmanirrahim.” ( HR. Abu Daud )

Ibnu Taimiyah berkata:

فكونها تنزل يدل على أنها آية من القرآن، وكونها للفصل بين السور يدل على أنها ليست من السور، وإنما هي آية مستقلة

Ungkapan bahwa Basmallah diturunkan menunjukkan ia adalah ayat Al Qur’an dan ungkapan “pemisah antar surat” menunjukkan ia bukan bagian dari surat tertentu melainkan Basmallah yang merupakan bagian yang berdiri sendiri. ( Majmu’ Fatawa, 22/276)

  • Hukum membaca Basmallah dalam Shalat
  • Wajib membaca Basmallah dalam setiap shalat dan setiap rekaat, bagi Imam disunnahkan membaca keras, demikian pendapat Imam as Syafi’i.

Dalinya:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأْتُمْ الْحَمْدُ للهِ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحمنِ الرَّحِيْمِ اِنَّهَا اُمُّ الْقُرآَنِ وَاُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْع الْمَثَانِيْ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اِحْدَى آَيَاتِهَا.

 

“Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama bersabda: “Apabila kamu membaca surat al-Hamdu lillah, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena sesungguhnya ia adalah induk al-Qur’an, induk al-Kitab dan tujuh ayat yang diulang-ulang. Sedangkan Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayatnya.”
(HR. ad-Daraquthni ,1/312) dan al-Baihaqi,as-Sunanul Kubra, 2/45)

 

عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقَالَ آمِينَ فَقَالَ النَّاسُ آمِينَ … قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

“Nu’aim al-Mujmir berkata: “Aku shalat di belakang Abu Hurairah, lalu ia membaca bismillahirrahmanirrahim, kemudian membaca Ummul Qur’an, sehingga setelah sampai pada ghairil maghdhubi ‘alaihim walad-dhallin, maka ia berkata, amin. Lalu orang-orang juga berkata, amin… Lalu Abu Hurairah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling menyerupai kamu shalatnya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh an-Nasa’i,1/134), dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, 1/251), Ibnu Hibban (V/100), ad-Daraquthni (I/309), al-Hakim (al-Mustadrak, I/232) dan al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra II/58). Hadits tersebut juga dishahihkan oleh al-Imam an-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, II/267)
 

  • Sunnah membaca Basmallah dalam shalat dan sunnah dibaca sir ( pelan). Demikan pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.

 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) لاَ يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِى أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِى آخِرِهَا.


“Anas bin Malik berkata: “Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim di awal bacaan dan di akhirnya”. (HR. Muslim ,no.918).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama, Abu Bakar, Umar dan Utsman memulai shalatnya dengan bacaan alhamdulillahi rabbil ‘alamin, tanpa membaca basmalah di awal dan di akhirnya.

 

  • Tidak wajib dan tidak disunnahkan ( tidak membaca ) dalam shalat fardhu, namun mubah dalam shalat sunnah, demikian pendapat Imam Malik, namun pendapat ini lemah berdasarkan hadits-hadits diatas.

 

Kesimpulan:

  • Pendapat Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam masalah ini:

والإِنصاف الذي يرتضيه العالم المنصف، أنه صلى الله عليه وسلم جهر، وأسر، وقنت، وترك، وكان إسرارُه أكثَر من جهره، وتركه القنوتَ أكثر من فعله

“Pendapat yang bijak yang dibenarkan oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca secara keras dan pelan, pernah berqunut dan pernah meninggalkannya. Namun membaca pelan lebih banyak dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih banyak dibanding melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272)

Oleh: Fauzan Lc. MA

Bid’ahkah Menghitung Dzikir Dengan Alat Tasbih?

Menghitung dzikir dengan alat tasbih hukumnya diperselisihkan oleh ulama. Penjelasan panjang lebarnya ada di tanya jawab berikut:


Pertanyaan

Assalamu ‘Alaikum …, Ust. Sebenarnya bagaimana hukum berdzikir (atau menghitung dzikir) dengan tasbih, apakah ada dalilnya? (Ikhwan, Alumni LPDI, Kota Sambas)


Jawaban Tentang Menghitung Dzikir dengan Tasbih

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Al Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Telah terjadi perselisihan ditengah masyarakat tentang berdzikir menggunakan biji tasbih (sub-hah). Sebagian mereka bersikap keras mengingkarinya dan membid’ahkannya. Sebagian lain membolehkan, bahkan menganggapnya sunah. Ini terjadi lantaran para ulama pun tidak ada kata sepakat, tetapi mayoritas mengatakan boleh; seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam As Suyuthi, Imam Asy Syaukani, Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ibnu Abidin, Imam Al Hashfaki, Imam Al Munawi, Imam Abul ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Syaikh ‘Athiyah Shaqr, Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Ali Jum’ah, para ulama di Al Azhar, pakistan, dan lain sebagainya, bahkan Imam As Suyuthi mengatakan tak ada yang mengingkari kebolehannya baik kaum salaf maupun khalaf. Sedangkan, yang mengingkarinya dan menyatakan sebagai bid’ah adalah beberapa ulama sekarang, seperti Syaikh Al Albani,  Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syaikh Bakr Abu Zaid (Beliau telah menyusun kitab As Subhah Tarikhuha wa Hukmuha), dan lainnya. Tetapi semua sepakat bahwa berdzikir dengan jari tangan adalah lebih afdhal, sebab itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sebelum kami paparkan fatwa para ulama, ada baiknya kami sampaikan beberapa hadits tentang berdzikir menggunakan jari dan biji/kerikil.

 Pertama. Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertahlil, bertasbih, dan bertaqdis (mensucikan), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari, karena itu semua akan ditanya dan diajak  bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat.” (HR. At Tirmidzi No. 3583, Abu Daud No. 1501, Ahmad No. 27089, Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Kabir No. 180, lihat juga  Ad Du’a, No. 1662, Musnad Ishaq bin Rahawaih No. 2327, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 2006)

Al Hafizh Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan sanadnya Jayyid (baik). (Takhrij Ahadits Al Ihya No. 958). Imam An Nawawi menyatakan hasan. (Al Adzkar No. 27. Darul Fikr, Lihat juga Al Khulashah Al Ahkam, 1/472). Al Hafizh Ibnu Hajar juga menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul Muhadditsin No. 4969).  Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: muhtamal lit tahsin (dimungkinkan hasan). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 27089). Syaikh Abu Muhammad Syahatah juga mengatakan hasan. (Al Musyarikat Hal. 16)

Syaikh Al Albani juga menghasankan. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1501. Misykah Al Mashabih No 2316)

 Kedua. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ

“Bahwa dia (Sa’ad) bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wanita, dan dihadapan wanita itu terdapat biji-bijian atau kerikil. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Maukah kau aku beritahu dengan yang lebih mudah bagimu dari ini atau lebih utama? (Lalu nabi menyebutkan macam-macam dzikir yang tertulis dalam teks di atas ..) (HR. Abu Daud No. 1500, At Tirmidzi No. 3568, katanya: hasan gharib. Ibnu Hibban No. 837, Al Hakim No. 2009, Al Bazzar No. 1201)

Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam berbagai kitabnya. (Shahih wa Dhaif Sunan  Abi Daud No. 1500, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 3568, Misykah Al Mashabih No. 2311, Dhaif Al Jami’ Ash Shaghir No. 2155, As Silsilah Adh Dhaifah No.  83), juga didhaifkan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr. (Syarh Sunan Abi Daud, 8/228)

Namun segenap imam muhadditsin dan para huffazh menyatakan maqbul(diterima)-nya hadits ini. Imam An Nawawi  mengikuti penghasanan Imam At Tirmidzi. (Al Adzkar, Hal. 17 No. 26. Darul Fikr). Hadits ini dimasukkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya. Dishahihkan pula oleh Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya,  lalu oleh Imam As Suyuthi, dan Imam Asy Syaukani pun menyetujuinya. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah). Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul Muhadditsin, No. 4966), Al Hafizh Al Mundziri juga menyetujui penghasanan Imam At Tirmidzi. (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/322)

Hadits ini –jika shahih atau minimal hasan- menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari yang dilakukan wanita itu, beliau hanya memberikan cara yang lebih mudah atau lebih utama, dibanding apa yang dilakukannya dengan menghitung dzikir atau tasbih menggunakan banyak biji atau kerikil. Dan, yang jelas penghasanan atau penshahihan yang dilakukan oleh sederetan imam seperti: Imam At Tirmidzi, Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar, Imam As Suyuthi, dan Imam Asy Syaukani, tidaklah serta merta gugur karena pendhaifan yang dilakukan oleh Syaikh Al Albani.

 Ketiga. Dari Shafiyah binti Huyai Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بها فقال لقد سبحت بهذه ألا أعلمك بأكثر مما سبحت به فقلت بلى علمني فقال قولي سبحان الله عدد خلقه

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui saya, dan dihadapan saya ada 4000 biji yang saya gunakan untuk bertasbih. Beliau bersabda: “Engkau bertasbih dengan ini, maukah kau aku ajarkan dengan sesuatu yang nilainya lebih banyak dari tasbihmu ini?” Aku menjawab: “Tentu, ajarkanlah aku.” Beliau bersabda: “Ucapkanlah, Subhanallah ‘Adada Khalqihi (Maha Suci Allah Sebanyak jumlah makhlukNya).” (HR. At Tirmidzi No. 3554, Al Hakim No. 2008, Abu Ya’la No. 7118)

Imam Al Hakim menshahihkannya, dan menurutnya hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits orang-orang Mesir, yang yang lebih shahih dari ini. (Al Mustadrak No. 2008), Imam Adz Dzahabi menyepakatinya. Imam As Suyuthi juga menshahihkannya.  (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar menghasankan dalam Nataij Al Afkar. (Raudhatul Muhadditsin No. 4967). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjadikan hadits ini sebagai dalil kebolehan  menghitung tasbih dengan subhah. (Lihat fatwanya  nanti).

Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan munkar. (Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmdizi No. 3554), Syaikh Husein Salim Asad mendhaifkan dalam ta’liqnya terhadap Musnad Abi Ya’la. (No. 7118)

Hadits ini –seandainya shahih- merupakan dalil bolehnya bertasbih  menggunakan biji bijian. Seandainya hal itu terlarang, pasti nabi mengingkarinya. Apa yang nabi lakukan hanyalah alternatif yang lebih mudah dibanding menghitung tasbih sebanyak 4000 kali.

✅ Pendapat Yang Tidak Menyetujui bahkan Membid’ahkan Menghitung Dzikir dengan Tasbih

Berikut ini beberapa ulama yang tidak membolehkan dzikir dengan menggunakan subhah.

1. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah

Beliau menjelaskan tentang hadits di atas:

فهذا هو السنة في عد الذكر المشروع عده ، إنما هو باليد ، و باليمنى فقط ، فالعد باليسرى أو باليدين معا ، أو بالحصى كل ذلك خلاف السنة ، و لم يصح في العد بالحصى فضلا عن السبحة شيء

“Inilah sunah dalam hal menghitung dzikir yang disyariatkan, yaitu hanyalah dengan tangan, bagian kanan saja. Sedangkan menghitung dengan kiri atau dua tangan bersamaan, atau dengan batu-batu kecil, maka semua itu bertentangan dengan sunah. Tidak ada yang shahih satu pun tentang menghitung dzikir dengan batu-batu kecil yang tersusun seperti biji tasbih.” (As Silsilah Adh Dhaifah 3/47, No. 1002)

Demikianlah menurut Syaikh Al Albani, sementara imam lainnya –Imam At Tirmidzi, Imam Al Hakim, Imam Ibnu Hibban,  Imam As Suyuthi, Imam Asy Syaukani, Imam Al ‘Iraqi, Imam Ibnu Hajar, Imam An Nawawi- mengatakan bahwa hadits-hadits tentang menghitung dzikir & tasbih dengan kerikil atau biji-bijian adalah antara shahih dan hasan. Bahkan Imam Ibnu Taimiyah berhujjah dengan hadits Shafiyah.

2. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah

Beliau mengomentari kisah Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu  yang sedang mengingkari halaqah dzikir yang menghitung dzikir (juga tasbih) menggunakan batu-batu kecil:

ولا يكون ذلك بالعد بالحصى، ولا بغير الحصى، وإنما الإنسان يعد ما ورد عده، مثل التسبيح بعد الصلاة ثلاثاً وثلاثين، والتحميد ثلاثاً وثلاثين، والتكبير ثلاثاً وثلاثين، ويقول عند تمام المائة: لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد، وهو على كل شيء قدير، فهذا شيء جاءت به السنة، والإنسان يعد بأصابعه، ولكن كون الإنسان يسبح بحصى هذا شيء لم يأت به السنة عن رسول الله عليه الصلاة والسلام، ولهذا قال أبو عبد الرحمن ما قال، ونبه إلى أن الصحابة هم القدوة وهم الأسوة وهم السابقون إلى كل خير، ولو كان خيراً لسبقوا إليه.

“Tidaklah perhitungan dzikir itu menggunakan batu-batu kecil, tidak pula yang lain. Sesungguhnya manusia menghitungnya sebagaimana hitungan yang telah warid (datang) riwayatnya, seperti tasbih setelah shalat 33 kali, tahmid 33 kali, takbir 33 kali, lalu  melengkapinya hingga seratus dengan membaca: Laa Ilaha Illallahu wahdahu laa syarika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadir. Inilah dzikir yang ada pada sunah, dan manusia menghitungnya dengan jari jemarinya, tetapi perilaku menusia yang menghitungnya dengan batu-batu kecil, maka itu tidak ada dasarnya dari sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Oleh karena itu berkatalah Abu Abdurrahman (Ibnu Mas’ud) sebagaimana yang telah dikatakannya. Seraya mengabarkan mereka bahwa sahabat nabi adalah teladan dan contoh, mereka adalah orang yang awal dalam setiap kebaikan, seandainya hal ini baik niscaya mereka sudah mendahuluinya.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, 8/228)

Beliau juga menjelaskan di halaman lain, ketika mengomentari hadits dari Sa’ad bin Abi Waqqash:

والحديث ضعيف غير ثابت؛ لأن في إسناده مجهولاً لا يعرف وهو خزيمة المذكور في الإسناد، فالحديث غير صحيح، وعلى هذا فلا يجوز العد والتسبيح بالحصى ولا بالنوى، وكذلك ليس للإنسان التسبيح بالمسبحة، فأقل أحواله أن يكون خلاف الأولى، وبعض أهل العلم يقول: إنه بدعة، فالذي ينبغي أن يبتعد الإنسان عنه ولا يفعله، وإنما يسبح بالأصابع؛ لأنه كما جاء في الحديث: (فإنهن مسئولات مستنطقات) كما سيأتي، والنبي صلى الله عليه وسلم كان يسبح بأصابعه، يعني: بأنامل يمينه كما سيأتي.

“Dan hadits ini dhaif, tidak kuat. Karena dalam sanadnya terdapat  rawi yang majhul, tidak dikenal, yakni bernama Khuzaimah yang tertera dalam sanadnya. Maka, hadits ini tidak shahih. Oleh karena itu tidak boleh manusia bertasbih dengan batu-batu kecil, bijji-bijian, demikian juga dengan subhah, minimal keadaan ini bertentangan dengan perbuatan yang pertama (yakni dengan jari jemari). Sebagian ulama mengatakan: itu adalah bid’ah. Maka hendaknya manusia dijauhkan darinya dan tidak melakukannya.

Sesungguhnya bertasbih itu hanyalah dengan jari jemari, sebagaimana hadits: (Sesungguhnya jari jemari akan ditanya dan diajak bicara), sebagaimana penjelasan yang akan datang. Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan jari-jemarinya, yaitu ujung jari bagian tangan kanan sebagaimana penjelasan  selanjutnya.” (Ibid, 8/228)

Saya sudah sebutkan di atas (lihat keterangan hadits kedua), bahwa hadits yang didhaifkan Syaikh Abdul Muhsin ini, adalah hadits yang dihasankan oleh Imam At Tirmidzi, Imam An Nawawi, dan Imam Ibnu Hajar, serta dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Al Hakim, Imam As Suyuthi, dan disetujui oleh Imam Asy Syaukani.

✅ Berikut ini fatwa para ulama –baik terdahulu atau modern- yang menyatakan kebolehan menghitung dzikir dengan untaian biji tasbih.

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah

Beliau mengatakan bertasbih dengan biji, atau kerikil, atau yang semisalnya adalah perbuatan yang hasan (bagus/baik). Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya:

وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ : { سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ } . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ .

 “Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah sunah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada kaum wanita: “Bertasbihlah dan menghitunglah dengan jari jemari, karena jari jemari itu akan ditanya dan diajak bicara.”

Adapun menghitung tasbih (dzikir) dengan biji-bijian dan batu-batu kecil (semacam kerikil) dan semisalnya, maka hal itu perbuatan baik (hasan). Dan, dahulu sebagian sahabat Radhiallahu ‘Anhumi ada yang memakainya, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melihat ummul mukminin bertasbih dengan batu-batu kecil, dan beliau mentaqrirkannya (menyetujuinya), dan diriwayatkan pula bahwa Abu Hurairah pernah bertasbih dengannya.” (Majmu’ Fatawa, 5/225. Mawqi’ Al Islam)

Beliau juga mengatakan:

وَالتَّسْبِيحُ بِالْمَسَابِحِ مِنْ النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ رَخَّصَ فِيهِ لَكِنْ لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ : أَنَّ التَّسْبِيحَ بِهِ أَفْضَلُ مِنْ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ وَغَيْرِهَا وَإِذَا كَانَ هَذَا مُسْتَحَبًّا يَظْهَرُ فَقَصْدُ إظْهَارِ ذَلِكَ وَالتَّمَيُّزُ بِهِ عَلَى النَّاسِ مَذْمُومٌ

“Bertasbih dengan menggunakan alat tasbih, diantara manusia ada yang memakruhkannya, dan ada pula yang memberikan keringanan terhadapnya. Tetapi tidak ada satu pun yang mengatakan bahwa bertasbih dengannya itu lebih afdhal dibanding tasbih dengan jari jemari dan selainnya. Dan, jika hal ini dianjurkan untuk menampakkan dengan maksud pamer dan berbeda dengan manusia, maka ini tercela.” (Ibid, 5/134)

2. Imam Asy Syaukani Rahimahullah

Beliau mengomentari ketiga hadits di atas dalam kitabnya, Nailul Authar, sebagai berikut:

 بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل لا ينافي الجواز

 “ … sesungguhnya ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum boleh.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/316-317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

 Imam Asy Syaukani dalam kitabnya ini banyak membeberkan riwayat para sahabat yang bertasbih menggunakan biji, krikil, atau subhah. Silahkan merujuk.

3. Imam Jalaluddin As Suyuthi Asy Syafi’i Rahimahullah

Disebutkan oleh Imam Asy Syaukani sebagai berikut:

وقد ساق السيوطي آثارًا في الجزء الذي سماه المنحة في السبحة وهو من جملة كتابه المجموع في الفتاوى وقال في آخره : ولم ينقل عن أحد من السلف ولا من الخلف المنع من جواز عد الذكر بالسبحة بل كان أكثرهم يعدونه بها ولا يرون في ذلك مكروهًا انتهى .

Imam As Suyuthi telah mengemukakan berbagai atsar dalam juz yang dia namakan Al Minhah fi As Subhah, yang merupakan bagian dari kumpulan fatwa-fatwa, dia berkata pada bagian akhirnya: “Tidaklah ada nukilan   seorang pun dari kalangan salaf dan tidak pula khalaf yang melarang kebolehan menghitung dzikir dengan subhah, bahkan justru kebanyakan mereka menghitung dengannya, dan mereka tidak memandangnya sebagai perbuatan yang dibenci. Selesai” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Hal. 317. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

4. Imam Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami Asy Syafi’i Rahimahullah

Dalam kitab Al Fatawa  Al Fiqhiyah Al Kubra tertulis demikian:

“وسئل” رضي الله عنه هل للسبحة أصل في السنة أو لا؟ “فأجاب” بقوله: نعم, وقد ألف في ذلك الحافظ السيوطي؛ فمن ذلك ما صح عن ابن عمر رضي الله عنهما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح بيده. وما صح عن صفية: رضي الله عنها دخل علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وبين يدي أربعة آلاف نواة أسبح بهن, فقال: ما هذا يا بنت حيي. قلت: أسبح بهن, قال: قد سبحت منذ قمت على رأسك أكثر من هذا, قلت: علمني يا رسول الله قال: قولي سبحان الله عدد ما خلق من شيء. وأخرج ابن أبي شيبة وأبو داود والترمذي: “عليكن بالتسبيح والتهليل والتقديس ولا تغفلن فتنسين التوحيد, واعقدن بالأنامل فإنهن مسئولات ومستنطقات”. وجاء التسبيح بالحصى والنوى والخيط المعقود فيه عقد عن جماعة من الصحابة ومن بعدهم وأخرج الديلمي مرفوعا: نعم المذكر السبحة. وعن بعض العلماء: عقد التسبيح بالأنامل أفضل من السبحة لحديث ابن عمر. وفصل بعضهم فقال: إن أمن المسبح الغلط كان عقده بالأنامل أفضل وإلا فالسبحة أفضل .

“Beliau (Imam Ibnu Hajar Al Haitami), semoga Allah meridhainya, ditanya: “Apakah menggunakan sub-hah ada dasarnya dalam sunah atau tidak?”

Beliau menjawab: “Ya, Al Hafizh As Suyuthi telah menyebutkan hal itu, di antaranya yang shahih dari Ibnu Umar (yang benar adalah Ibnu Amr –pen) Radhiallahu ‘Anhuma: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih menggunakan tangannya.” Juga riwayat shaihh dari Shafiyah (binti Huyay) Radhiallahu ‘Anha: “ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuinya, dan ditanganku  ada 4000 biji yang aku gunakan untuk bertasbih.  Beliau bertanya: “Apa ini wahai Binti Huyai?” Aku menjawab: “Aku bertasbih dengannya.” Beliau bersabda: “Aku telah bertasbih sejak  aku bersandar di kepalamu lebih banyak dari ini.” Aku berkata: “Ajarkanlah aku wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Katakanlah, Subhanallah ‘adada maa khalaqa min syai’ (Maha Suci Allah sesuatu yang Dia ciptakan).” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, dan At Tirmidzi: “Hendaknya kalian bertasbih, tahlil, dan taqdis (mensucikan). Janganlah kalian lalai hingga kalian lupa dengan tauhid. Dan, himpunlah (hitunglah) dengan jari-jari karena mereka akan ditanya dan  diajak bicara (menjadi saksi).”

Telah terdapat keterangan tentang bertasbih menggunakan kerikil, biji, dan benang yang diikat  menjadi beberapa  himpunan dari jamaah para sahabat dan manusia setelah mereka. Ad Dailami telah mengeluarkan secara marfu’:  “Ya, berdzikir dengan biji tasbih.” Dan, dari sebagian ulama: “Menghitung tasbih dengan ujung jari adalah lebih afdhal dibanding biji tasbih (sub-hah) karena hadits Ibnu Amr di atas. Sebagian mereka merinci: “Jika dia merasa aman dari kekeliruan, maka menggunakan ujung jari adalah lebih utama, jika tidak, maka dengan biji tasbih lebih utama.” (Imam Ibnu Hajar Al Makki Al Haitami, Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra, 1/219. Cet. 1. 1417H-1997M. Darul kutub Al ‘Ilmiyah. Beirut – Libanon)

5. Imam Ibnu ‘Abidin Al Hanafi Rahimahullah

Beliau mengatakan dalam Hasyiah-nya:

( قَوْلُهُ لَا بَأْسَ بِاِتِّخَاذِ الْمِسْبَحَةِ ) بِكَسْرِ الْمِيمِ : آلَةُ التَّسْبِيحِ ، وَاَلَّذِي فِي الْبَحْرِ وَالْحِلْيَةِ وَالْخَزَائِنِ بِدُونِ مِيمٍ . قَالَ فِي الْمِصْبَاحِ : السُّبْحَةُ خَرَزَاتٌ مَنْظُومَةٌ ، وَهُوَ يُقْتَضَى كَوْنَهَا عَرَبِيَّةً . وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ : كَلِمَةٌ مُوَلَّدَةٌ ، وَجَمْعُهَا مِثْلُ غُرْفَةٍ وَغُرَفٍ . ا هـ . وَالْمَشْهُورُ شَرْعًا إطْلَاقُ السُّبْحَةِ بِالضَّمِّ عَلَى النَّافِلَةِ . قَالَ فِي الْمُغْرِبِ : لِأَنَّهُ يُسَبَّحُ فِيهَا . وَدَلِيلُ الْجَوَازِ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ صَحِيحَ الْإِسْنَادِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ { أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ : أُخْبِرُك بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْك مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ : سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ ؛ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ مِثْل ذَلِكَ ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ } : فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ . وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ وَأَفْضَلُ وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ ، وَلَا يَزِيدُ السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ النَّوَى فِي خَيْطٍ ، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ فِي الْمَنْعِ ، فَلَا جَرَمَ أَنْ نُقِلَ اتِّخَاذُهَا وَالْعَمَلُ بِهَا عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ الْأَخْيَارِ وَغَيْرِهِمْ ؛ اللَّهُمَّ إلَّا إذَا تَرَتَّبَ عَلَيْهِ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ فَلَا كَلَامَ لَنَا فِيهِ ، وَهَذَا الْحَدِيثُ أَيْضًا يَشْهَدُ لِأَفْضَلِيَّةِ هَذَا الذِّكْرِ الْمَخْصُوصِ عَلَى ذِكْرٍ مُجَرَّدٍ عَنْ هَذِهِ الصِّيغَةِ وَلَوْ تَكَرَّرَ يَسِيرًا كَذَا فِي الْحِلْيَةِ وَالْبَحْرِ

(Ucapannya: tidak mengapa menggunakan misbahah) dengan huruf mim dikasrahkan adalah alat untuk bertasbih, ada pun yang tertulis dalam Al Bahr, Al Hilyah, dan Al Khazain adalah tanpa mim. Disebutkan dalam Al Mishbah: “Subhah adalah manik-manik yang terangkai, kata ini menuntut bahwa ia adalah asli Arab. Al Azhari berkata: “Itu kata yang muwalladah (tidak asli Arab), bentuk jamaknya seperti ghurfah dan ghuraf.

Yang masyhur secara syariat adalah penggunaaan subhah ini terdapat pada shalat sunah. Disebutkan dalam Al Maghrib: “karena dia bertasbih padanya.”

Ada pun dalil kebolehannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dia berkata: shahih sanadnya. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash: (Lalu disebutlah hadits sebagaimana  tertulis dalam  jawaban ini pada hadits kedua)

Lalu katanya: “Nabi tidak melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan kepada  cara yang lebih mudah dan utama, seandainya makruh tentu Beliau akan menjelaskan kepada wanita itu. Dari kandungan hadits ini, kita memahami bahwa subhah  hanyalah kumpulan bijian yang dirangkai benang. Masalah seperti ini tidak tampak pengaruhnya pada pelarangan. Maka, bukan pula kesalahan jika mengikuti penggunaannya itu sebagaimana sekelompok kaum sufi yang baik dan selain mereka. Kecuali jika didalamnya tercampur muatan riya dan sum’ah, tetapi kami tidak membahas hal ini.

Hadits ini juga menjadi saksi lebih utamanya dzikir khusus dibanding dzikir mutlak yang bebas dari bentuk ungkapan ini, walau pengucapannya banyak  berulang-ulang. Demikian dalam Al Hilyah dan Al Bahr. (Imam Ibnu ‘Abidin, Raddul Muhtar, 5/54. Mawqi’ Al Islam)

6. Imam Muhammad Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah

Beliau menjelaskan dalam kitab Faidhul Qadir, ketika menerangkan hadits Yusairah:

وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث

“Hadits ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan, beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad Dailami: “Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi mu’allif (yakni Imam As Suyuthi) mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al Jalal Al Bulqini, dari sebagian mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai zhahir hadits.” (Faidhul Qadir, 4/468. Cet. 1, 1415H-1994M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut – Libanon)

Catatan: riwayat Ad Dailami yang dikutip oleh Imam Al Munawi adalah maudhu’ (palsu). (As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/184, No. 83) 

7. Imam Abu Thayyib Abdul ‘Azhim Syamsul Haq Abad Rahimahullah

Beliau berkata ketika mengomentari hadits Sa’ad bin Abi Waqash Radhiallahu ‘Anhu, sebagai berikut:

الْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى ، وَكَذَا بِالسُّبْحَةِ لِعَدَمِ الْفَارِقِ ، لِتَقْرِيرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَرْأَةِ عَلَى ذَلِكَ وَعَدَمِ إِنْكَارِهِ ، وَالإْرْشَادُ إِلَى مَا هُوَ أَفْضَل مِنْهُ لاَ يُنَافِي الْجَوَازَ . قَال : وَقَدْ وَرَدَتْ فِي ذَلِكَ آثَارٌ ، وَلَمْ يُصِبْ مَنْ قَال إِنَّ ذَلِكَ بِدْعَةٌ

Hadits ini merupakan dalil bolehnya menghitung tasbih dengan biji-bijian dan kerikil, begitu juga dengan subhah karena tidak ada bedanya, hal ini karena setujunya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap wanita tersebut Beliau tidak mengingkarinya,  dan petunjuk Beliau kepada sesuatu yang lebih utama tidaklah menghilangkan kebolehannya. Dia (Abu Thayyib) berkata: telah banyak atsar tentang hal itu, dan sama sekali tidak benar bagi yang mengatakan itu adalah bid’ah. (‘Aunul Ma’bud, 4/367, sebagaimana dikutip dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 21/259)

8. Syaikh Abu Al ‘Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri Rahimahullah

Beliau menerangkan dalam Tuhfah Al Ahwadzi, ketika menjelaskan hadits Ibnu Amr dan Yusairah binti Yasir, sebagai berikut:

وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ عَقْدِ التَّسْبِيحِ بِالْأَنَامِلِ وَعَلَّلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَدِيثِ يَسِيرَةَ الَّذِي أَشَارَ إِلَيْهِ التِّرْمِذِيُّ بِأَنَّ الْأَنَامِلَ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ يَعْنِي أَنَّهُنَّ يَشْهَدْنَ بِذَلِكَ ، فَكَانَ عَقْدُهُنَّ بِالتَّسْبِيحِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ أَوْلَى مِنْ السُّبْحَةِ وَالْحَصَى ، وَيَدُلُّ عَلَى جَوَازِ عَدِّ التَّسْبِيحِ بِالنَّوَى وَالْحَصَى حَدِيثُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى اِمْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ الْحَدِيثَ ، وَحَدِيثُ صَفِيَّةَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آلَافِ نَوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهَا الْحَدِيثَ .

“Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bertasbih menggunakan ujung jari jemari, alasan hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Yusairah yang diisyaratkan oleh At Tirmidzi menyebutkan bahwa ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi saksi hal itu. Dalam hal ini, menghitung tasbih dengan menggunakan ujung jari adalah lebih utama dibanding dengan subhah (untaian biji tasbih) dan kerikil.  Dalil yang menunjukkan kebolehannya  menghitung tasbih dengan kerikil dan biji-bijian adalah hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa beliau bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemui seorang wnaita yang dihadapannya terdapat bijian atau kerikil yang digunakannya  untuk bertasbih (Al Hadits). Dan juga hadits Shafiyah bin Huyai, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku dan dihadapanku ada 4000 biji-bijian yang aku gunakan untuk bertasbih. (Al Hadits).” (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/458. Cet. 2, 1383H-1963M. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah. Tahqiq: Abdul Wahhab bin Abdul Lathif)

9. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Al Hambali Rahimahullah

Beliau ditanya tentang seseorang yang berdzikir (atau menghitung dzikir) dan tasbih setelah shalat menggunakan subhah, bid’ahkah? Beliau menjawab:

المسبحة لا ينبغي فعلها ، تركها أولى وأحوط ، والتسبيح بالأصابع أفضل ، لكن يجوز له لو سبح بشيء كالحصى أو المسبحة أو النوى ، وتركها ذلك في بيته ، حتى لا يقلده الناس فقد كان بعض السلف يعمله ، والأمر واسع لكن الأصابع أفضل في كل مكان ، والأفضل باليد اليمنى ، أما كونها في يده وفي المساجد فهذا لا ينبغي ، أقل الأحوال الكراهة .

“Seharusnya tidak memakainya, meninggalkannya adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Tetapi boleh baginya seandainya bertasbih menggunakan kerikil atau misbahah (alat tasbih) atau biji-bijian dan meninggalkan hal itu dirumahnya,  sampai-sampai manusia menggantungkannya dan dahulu para salaf melakukannya. Masalah ini  lapang, tetapi menggunakan jari adalah lebih utama pada setiap tempat, dan utamanya dengan tangan kanan. Ada pun memeganginya  pada tangannya di masjid sebagusnya jangan dilakukan, minimal hal itu makruh.” (Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqallat,  29/318. Mawqi’ Ruh Al Islam) 

Baca juga: Biji Tasbih Budaya Kafir?

10.  Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Al Hambali Rahimahullah

Beliau ditanya oleh seorang dari Jeddah bernama Ahmad Shalih, dia terbiasa berdzikir (dan menghitung dzikir) menggunakan biji tasbih baik pagi atau sore, sedangkan jika dengan jari seringkali melakukan kesalahan hitung, bolehkah ini, bid’ah atau tidak?

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjawab:

السبحة ليست بدعة لأن النبي صلى الله عليه وسلم مر على نساء وهن يسبحن بالحصى فقال عليه الصلاة والسلام اعقدن بالأنامل فإنهن مستنطقات فقد بينت السنة حكم التسبيح بغير الأصابع وأن الأولى التسبيح بالأصابع فالأولى أن يسبح الإنسان بالأصابع وإن كان لا يستطيع الإحصاء بالأصابع فلا حرج أن يسبح بحصى أو بمسبحة لكن بشرط أن يبتعد في ذلك عن الرياء بأن لا يسبح بذلك أمام الناس في غير وقت التسبيح فيعجب الناس به ويخشى عليه من الرياء في هذه الحال

“As Sub-hah (untaian biji tasbih) bukanlah bid’ah, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melewati  para wanita, dan mereka sedang bertasbih menggunakan batu-batu kecil (semacam kerikil). Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hitunglah bilangannya dengan ujung-ujung jari, karena nanti itu akan diajak bicara (pada hari kiamat).” Saya telah menjelaskan tentang kesunnahan hukum bertasbih dengan selain jari jemari dan lebih utamanya  bertasbih  adalah dengan jari jemari. Lebih utama adalah dengan jari jemari, dan jika dia tidak bisa menghitung dengan jari jemari, maka tidak apa-apa bertasbih dengan kerikil atau misbahah (untaian biji tasbih), tetapi dengan syarat dia menjauhi riya’, tidak menggunakannya di depan manusia pada selain waktu bertasbih demi mencari decak kagum manusia. Dan,   hendaknya dalam keadaan ini dia takut terhadap riya’.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘alad Darb, Bab Mutafariqah, No. 708. Mawqi’ Ruh Al Islam)

11. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Fauzan Al Hambali Rahimahullah

Dalam Al Mulakhash Al Fiqhi, beliau berkata:

ويباح استعمال السبحة ليعد بها الأذكار والتسبيحات، من غير اعتقاد أن فيها فضيلة خاصة، وكرهها بعض العلماء، وإن اعتقد أن لها فضيلة؛ فاتخاذها بدعة، وذلك مثل السبح التي يتخذها الصوفية، ويعلقونها في أعناقهم، أو يجعلونها كالأسورة في أيديهم، وهذا مع كونه بدعة؛ فإن فيه رياء وتكلفا.

Dibolehkan menggunakan untaian biji tasbih untuk menghitung dzikir dan tasbih, dengan tanpa meyakini adanya keutamaan khusus padanya. Sebagian ulama ada yang memakruhkan. Jika dibarengi keyakinan memiliki keutamaan, maka menggunakannya adalah bid’ah. Itulah bertasbihnya kaum sufi, mereka mengkalungkannya pada leher-leher mereka, atau  menjadikannya gelang pada tangan-tangan mereka, ini semua bid’ah, di dalamnya terdapat riya’ dan memaksakan diri.” (Syaikh Shalih Fauzan, Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/159. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Baca juga: Hukum Berdzikir dengan Ruas Jari Kiri

12. Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah

Beliau mengatakan, ketika ditanya bid’ahkah menghitung tasbih dan dziki dengan  sub-hah? Katanya:

  أن الأمر بالعد بالأصابع ليس على سبيل الحصر بحيث يمنع العد بغيرها ، صحيح أن العد بالأصابع فيه اقتداء النبى صلى الله عليه وسلم لكنه هو نفسه لم يمنع العد بغيرها ، بل أقر ه ، وإقراره من أدلة المشروعية .

“Sesungguhnya perintah menghitung tasbih dengan jari tidaklah membatasi yang lainnya, yang membuat terlarang menghitung dengan selainnya. Benar bahwa menghitung dengan jari jemari merupakan upaya mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi hal itu sendiri tidaklah  melarang menggunakan selainnya. Bahkan Beliau menyetujuinya, dan persetujuannya itu merupakan dalil disyariatkannya.” (Lalu Beliau memaparkan berbagai riwayat tentang berdzikir menggunakan biji dan kerikil, baik pada masa Rasulullah, sahabat, dan tabi’in)

Beliau melanjutkan;

وبناء على ما سبق ذكره يكون التسبيح بغير عقد الأصابع مشروعا، لكن أيهما أفضل ؟ يقول السيوطى : رأيت فى كتاب “تحفه العباد ” ومصنفه متأخر عاصر الجلال البلقينى فصلا حسنا فى السبحة قال فيه ما نصه : قال بعض العلماء : عقد التسبيح بالأنامل أفضل من السبحة لحديث ابن عمرو، لكن يقال : إن المسبح إن أمن الغلط كان عقده بالأنامل أميل وإلا فالسبحة أولى . والسنة أن يكون باليمين كما فعل الرسول صلى الله عليه وسلم وجاء ذلك فى رواية لأبى داود وغيره .

“Penjelasan yang telah lalu menunjukkan bahwa bertasbih dengan selain jari jemari adalah masyru’ (disyariatkan), tetapi mana yang lebih utama? Berkata Imam As Suyuthi: “Aku melihat dalam kitab Tuhfah Al ‘Ibad, yang disusun oleh ulama belakangan Al Jalal Al Bulqini, dengan penjelasan yang bagus tentang Sub-hah, dia berkata: “Berkata sebagian ulama: “Menghimpun tasbih dengan ujung jari jemari adalah lebih utama dibanding biji tasbih, lantaran hadits Ibnu Amr. Tetapi disebutkan: “Jika merasa aman dari kesalahan menghitung tasbih dengan tangan, maka dengan tangan adalah lebih utama, jika tidak, maka dengan subhah adalah lebih utama.” Sunnahnya menggunakan jari kanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya.” (Fatawa Al Azhar, 9/11)

Demikianlah para ulama yang dengan tegas menyatakan kebolehan bertasbih (atau menghitung dzikir & tasbih) dengan subhah atau yang semisalnya. Nama-nama mereka sudah menjadi garansi hal ini. Namun mereka sepakat, bahwa menggunakan jari jemari adalah lebih utama dan lebih hati-hati. Bagi seorang muslim yang  wara’, tentu dia akan menempuh jalan yang lebih utama dan hati-hati itu. Apalagi bagi yang mudah terserang penyakit riya dan sum’ah maka menghindarinya adalah lebih utama lagi.

Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ التَّسْبِيحَ قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ بِيَمِينِهِ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghimpun  tasbih.” Ibnu Qudamah mengatakan: “Dengan jari tangan kanannya.” (HR. Abu Daud No. 1502)

Imam An Nawawi mengatakan hasan. (Al Adzkar, Hal. 18, No. 28) Syaikh Al Albani mengatakan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1502)

Demikianlah masalah tentang menghitung dzikir dengan tasbih ini. Kami -walaupun cenderung mengikuti pendapat yang membolehkannya sebab dia hanyalah alat bantu hitung saja, bukan dzikir itu sendiri- tetap berharap agar kita tidak bersikap intoleran dan kasar terhadap saudara-saudara kita yang tidak sepaham. Sudah seharusnya seorang muslim bertoleransi dalam masalah furu’ (cabang) yang dijadikan ajang berdebatan para imam kaum muslimin, khususnya pada masa belakangan.

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan


Demikian penjelasan atas pendapata-pendapat yang pro dan kontra mengenai menghitung dzikir dengan biji tasbih.

Baca juga: Mintalah Pertolongan Allah Dengan Tasbih

scroll to top