Peran Politik Muslimah

 Mukadimah

Sebelum bicara lebih jauh, sebaiknya kita cari tahu dahulu apa itu As Siyasah Asy Syar’iyyah dalam Islam. Sebab, pemahaman terhadap suatu objek berdampak langsung  terhadap penyikapan apa pun yang terkait dengan objek tersebut. Pemahaman yang lurus dan utuh, akan membawa sikap yang lurus dan utuh pula. Pemahaman yang parsial (tidak utuh) dan bengkok, akan membawa sikap yang parsial dan bengkok pula. Sebab, bayangan hanya akan mengikuti benda aslinya.

Secara bahasa (lughatan), As Siyasah berasal dari kata سَاسَ yang artinya  mengatur, memimpin, dan memerintah. ساس القوم  (Saasa Al Qauma): mengatur, memimpin, dan mengatur kaum itu.  السائس (As Saa –is): pengatur, pemimpin, manajer, administrator.[1] Sedangkan السياسة (As Siyaasah) artinya: administrasi, manajemen.[2]

Dikatakan  سَاسَ الرَّعِيّة يَسُوسها سِيَاسَة (Saasa Ar Ra’iyyah yasuusuha siyasatan): mengatur  rakyat dengan siyasah (politik).[3] Dikatakan pula  ساسَ وسِيسَ عليه(Saasa wa siisa ‘alaih): mendidik dan dididik.[4]

Jadi, dari sisi bahasa, mana politik adalah berputar pada mengatur, mengurus, memerintah, memimpin, dan mendidik. Seluruhnya adalah makna positif dan mulia.

Makna secara syariat (syar’an), telah didefinisikan secara brilian oleh Imam Ibnu Aqil Al Hambali Rahimahullah[5], sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah sebagai berikut:

السِّيَاسَةُ مَا كَانَ مِنْ الْأَفْعَالِ بِحَيْثُ يَكُونُ النَّاسُ مَعَهُ أَقْرَبَ إلَى الصَّلَاحِ وَأَبْعَدَ عَنْ الْفَسَادِ ، وَإِنْ لَمْ يُشَرِّعْهُ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا نَزَلَ بِهِ وَحْيٌ ؛ فَإِنْ أَرَدْتَ بِقَوْلِكَ ” لَا سِيَاسَةَ إلَّا مَا وَافَقَ الشَّرْعَ ” أَيْ لَمْ يُخَالِفْ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَصَحِيحٌ ، وَإِنْ أَرَدْتَ مَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ فَغَلَطٌ وَتَغْلِيطٌ لِلصَّحَابَةِ ؛ فَقَدْ جَرَى مِنْ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ الْقَتْلِ وَالْمَثْلِ مَا لَا يَجْحَدُهُ عَالِمٌ بِالسِّيَرِ ، وَلَوْ لَمْ يَكُنْ إلَّا تَحْرِيقُ الْمَصَاحِفِ كَانَ رَأْيًا اعْتَمَدُوا فِيهِ عَلَى مَصْلَحَةٍ ، وَكَذَلِكَ تَحْرِيقُ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ الزَّنَادِقَةَ فِي الْأَخَادِيدِ ، وَنَفْيُ عُمَرُ نَصْرَ بْنَ حَجَّاجٍ .

                “As Siyaasah (politik) adalah aktifitas yang memang  melahirkan maslahat bagi manusia dan menjauhkannya dari kerusakan (Al fasad), walau pun belum diatur oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan wahyu Allah pun belum membicarakannya. Jika yang Anda maksud “politik harus sesuai syariat” adalah politik tidak boleh bertentangan dengan nash (teks) syariat, maka itu benar.  Tetapi jika yang dimaksud adalah politik harus selalu sesuai teks syariat, maka itu keliru dan bertentangan dengan yang dilakukan para sahabat. Para khulafa’ur rasyidin telah banyak  melakukan kebijaksanaan sendiri yang tidak ditentang oleh para sahabat nabi lainnya, baik kebijakan dalam peperangan atau penentuan jenis hukuman. Pembakaran mushhaf (kecuali mushhaf Utsmani, pen) yang dilakukan oleh Utsman semata-samata pertimbangan akal demi tercapainya maslahat. Demikian pula Ali bin Abi Thalib yang membakar orang zindiq di Akhadid. Umar bin Al Khathab juga pernah mengasingkan Nashr bin Hajjaj.”[6]

Lalu Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengomentari:

قُلْتُ : هَذَا مَوْضِعُ مَزَلَّةِ أَقْدَامٍ ، وَمَضَلَّةِ أَفْهَامٍ ، وَهُوَ مَقَامٌ ضَنْكٌ فِي مُعْتَرَكٍ صَعْبٍ

                “Aku (Ibnul Qayyim) berkata: Inilah tema yang membuat tergelincirnya langkah manusia, tersesatnya pemahaman, dan menghasilkan pemikiran sempit dan perdebatan yang sengit …”[7]

Dalam kitabnya yang lain, Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah juga berkata:

فَلَا يُقَالُ : إنَّ السِّيَاسَةَ الْعَادِلَةَ مُخَالِفَةٌ لِمَا نَطَقَ بِهِ الشَّرْعُ ، بَلْ هِيَ مُوَافِقَةٌ لِمَا جَاءَ بِهِ ، بَلْ هِيَ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَائِهِ ، وَنَحْنُ نُسَمِّيهَا سِيَاسَةً تَبَعًا لِمُصْطَلَحِهِمْ ، وَإِنَّمَا هِيَ عَدْلُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، ظَهَرَ بِهَذِهِ الْأَمَارَاتِ وَالْعَلَامَاتِ .

                “Maka, tidaklah dikatakan, sesungguhnya politik yang adil itu bertentangan dengan yang dibicarakan syariat, justru politik yang adil itu bersesuaian dengan syariat, bahkan dia adalah bagian dari elemen-elemen syariat itu sendiri. Kami menamakannya dengan politik karena mengikuti istilah yang mereka buat. Padahal itu adalah keadilan Allah dan RasulNya, yang ditampakkan tanda-tandanya melalui politik.”[8]

Apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim ini adalah benar, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ

                “Adalah Bani Israil, dahulu mereka di-siyasah-kan oleh para nabi.”[9]

Maka, politik yang adil merupakan perilaku para nabi terhadap umatnya terdahulu, dengan kata lain politik adalah salah satu warisan para nabi.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengomentari hadits ini, katanya:

أَيْ : يَتَوَلَّوْنَ أُمُورهمْ كَمَا تَفْعَل الْأُمَرَاء وَالْوُلَاة بِالرَّعِيَّةِ ، وَالسِّيَاسَة : الْقِيَام عَلَى الشَّيْء بِمَا يُصْلِحهُ .

                “Yaitu: mereka (para nabi) mengurus urusan mereka (Bani Israil) sebagaimana yang dilakukan para pemimpin (umara’) dan penguasa terhadap rakyat.  As Siyasah: adalah melaksanakan sesuatu dengan apa-apa yang membawa maslahat.”[10]

Al Hafizh[11] Ibnu Hajar Rahimahullah memberikan syarah (penjelasan) sebagai berikut:

وَفِيهِ إِشَارَة إِلَى أَنَّهُ لَا بُدّ لِلرَّعِيَّةِ مِنْ قَائِم بِأُمُورِهَا يَحْمِلهَا عَلَى الطَّرِيق الْحَسَنَة وَيُنْصِف الْمَظْلُوم مِنْ الظَّالِم .

                “Dalam hadits ini terdapat isyarat, bahwa adanya keharusan bagi rakyat untuk memiliki pemimpin yang akan mengurus urusan mereka dan membawa mereka kepada jalan kebaikan, dan menyelamatkan orang yang dizalimi dari pelaku kezaliman.”[12]

Demikianlah hakikat As Siyasah Asy Syar’iyyah yang dipaparkan oleh para ulama kredibel berdasarkan pemahamannya terhadap kesucian syariat Islam. Politik –pada dasarnya – adalah mulia, penuh keadilan, memiliki maslahat, mengurangi mafsadat, jauh dari kekotoran hawa nafsu dunia; intrik, menghalalkan segala cara, tipu menipu, dan saling sikut. Dengan kata lain, politik merupakan salah satu bentuk amal shalih bagi manusia, baik laki-laki atau perempuan. Namun, penyikapan dan penilaian manusia terhadap politik telah berubah seiring perubahan realita politik itu sendiri, setelah diracuni oleh pemikiran Nicolo Machiaveli, yakni tubarrirul wasilah (menghalalkan segala cara). Politik hari ini telah jauh dari dasar-dasar syariat, melainkan berkiblat kepada politik kezaliman yang dikembangkan oleh para tiran. Hingga akhirnya seorang reformis seperti Syaikh Muhammad Abduh pun berkata: aku berlindung kepada Allah dari politik, politikus, kajian politik, dan membicarakan politik.

Demikianlah kabut yang telah menutupi wajah politik sejak berabad-abad lamanya hingga  hari ini. Tetapi, realita hari ini bukanlah hakikat politik itu sendiri, melainkan lebih tepat disebut sebuah kejahatan yang berdiri sendiri atau ‘penumpang gelap’ dalam dunia politik.

Ruang Lingkup Politik

                Politik hari ini telah mengalami penyempitan medan amalnya, yakni seputar pada kepemimpinan, kekuasaan, pemerintahan, kebijakan negara, dan perundang-undangan. Inilah gambaran politik yang langsung ada di kepala kita, baik kaum terpelajar atau orang awam. Bicara politik tidak akan jauh dari itu semua. Hal itu benar jika dikatakan sebagai bagian dari politik saja. Sebab As Siyasah Syar’iyyah –yang di dalamnya terdapat keadilan Allah dan RasulNya- tidak mungkin hanya dirasakan dan berada di ruang lingkup yang terbatas dan dilakoni oleh segelintir manusia. Tentu, hal itu jauh dari ruh ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin.

Politik –dengan segala makna dasarnya; mengatur, mendidik, menguasai, mengurus, dan memimpin- sangat jelas dia juga ada pada zona kehiduan manusia yang lain, bahkan yang sangat pribadi sekali pun. Politik ada dalam rumah tangga, politik ada dalam dunia pendidikan, politik ada dalam dunia ekonomi, politik ada dalam kehidupan bertetangga, dan tentunya ada pula dalam dunia dakwah. Bahkan esensi dakwah adalah juga politik, sebab keduanya sama-sama upaya untuk mengatur, mendidik, mengurus, dan menguasai manusia dengan aturan-aturan Allah Ta’ala.

Muslimah Berpolitik

Setelah kita mengetahui kedudukan politik dalam Islam, bahwa dia juga merupakan ladang untuk beramal shalih. Maka, ladang ini merupakan ladang  semua hamba Allah Ta’ala. Kewajiban beramal shalih tidaklah dibebankan untuk orang per orang saja tetapi semuanya. Tugas membenahi masyarakat, memperbaiki kehidupan, bukan hanya tugas laki-laki.

Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah (9): 71)

Pembebanan syariat atas laki-laki dan perempuan adalah sama, kecuali memang hal-hal tertentu yang dikhususkan bagi kaum perempuan (seperti haid, istihadhah, nifas, persalinan, penyusuan. Dan warisan). Keduanya adalah sama-sama hamba Allah Ta’ala yang dituntut untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala, amar ma’ruf nahi munkar, dan memakmurkan dunia. Keduanya pun dituntut untuk kerjasama sesuai firmanNya: “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.”

Kita melihat sendiri, tidaklah laki-laki munafiq menyerang Islam melainkan pasti di samping mereka ada perempuan munafiq yang mendukung mereka. Tidaklah laki-laki kafir menyerang Islam melainkan pasti di sampingnya perempuan kafir juga menyokong mereka. Tidaklah laki-laki sekuler menyerang agama, melainkan berdiri di sampingnya pula perempuan sekuler.  Hal ini dengan jelas disebutkan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala:

 الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya …”  (QS. At Taubah (9): 67)

Dalam ayat lainnya:

 وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al Anfal (8): 73)

Maka, tuntutan saling tolong menolong dalam kebaikan antara laki-laki dan perempuan, termasuk yang ada pada dunia politik, merupakan tuntutan syariat yang sangat jelas dan realistis.

Peran Muslimah Pada Masa Awal Islam

                Pada masa-masa terbaik Islam, justru menampakkan peran serta muslimah yang sangat  penting.

Suara pertama yang mendukung dan membenarkan kenabiannya adalah suara wanita yakni Khadijah binti Khuwailid.

Syuhada pertama dalam Islam adalah seorang wanita, yakni Sumayyah, ibu Ammar bin Yasir, yang dibunuh oleh Abu Jahal karena mempertahankan keislamannya.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu bersembunyi di goa (Jabal Tsur), Asma binti Abu Bakar-lah[13] yang bolak-balik membawakan makanan untuk mereka berdoa, padahal kondisinya sedang hamil.

Ketika perang Uhud, Ummu Salith adalah wanita yang paling sibuk membawakan tempat air untuk pasukan Islam, sebagaimana yang diceritakan Umar bin al Khathab.[14] Ummu Salith juga pernah berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Imam Al Bukhari dalam kitab Shahih-nya, membuat enam bab tentang peran muslimah dalam peperangan yang dilakukan kaum laki-laki.

  1. Bab Ghazwil Mar’ah fil Bahr (Peperangan kaum wanita di lautan)
  2. Bab Hamli Ar Rajuli Imra’atahu fil Ghazwi Duna Ba’dhi Nisa’ihi (Laki-laki membawa isteri dalam peperangan tanpa membawa isteri lainnya)
  3. Bab Ghazwin Nisa’ wa Qitalihinna ma’a Ar Rijal (Pertempuran wanita dan peperangan mereka bersama laki-laki)
  4. Bab Hamlin Nisa’ Al Qiraba Ilan Nas fil Ghazwi (Wanita membawa (tempat) minum kepada manusia dalam peperangan)
  5. Bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi (Pengobatan Wanita untuk yang terluka dalam peperangan)
  6. Bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah (Wanita Memulangkan Pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah)

Selain ummu Salith, kaum muslimah juga ikut berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti Ummu ‘Athiyah, Umaimah binti Ruqaiqah, dan kaum wanita Anshar. Sebagaimana yang diceritakan secara shahih oleh Imam An Nasa’i.[15]

Masih banyak lagi peran muslimah pada masa awal seperti peran ketika hijrah ke Habasyah, peran dalam pendidikan, dan lainnya. Semuanya menunjukkan bahwa Islam menempatkan keduanya seimbang saling mengisi dan bekerjasama secara normal.

Syubhat dan Jawabannya

                Ada beberapa syubhat (keraguan) yang dilontarkan oleh sebagian orang untuk mencegah wanita keluar rumah dan mengambil hak-haknya yang syar’i. Apalagi berpolitik dan berperan di parlemen, itu lebih haram lagi menurut mereka.

Syubhat Pertama: Wanita Diperintah Untuk Tinggal Dirumah

Mereka berdalil dengan ayat:

 وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu ..” (QS. Al Ahzab (33): 33)

Ayat ini dijadikan alasan agar para muslimah tidak ke mana-mana, hanya di rumah saja. Pemahaman tersebut tertolak, karena lima hal:

Pertama, ayat tersebut adalah khusus bagi para isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana tertera dalam ayat sebelumnya:  “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain ..” (QS. Al Ahzab 933): 32). Meneladani para isteri nabi adalah keharusan, tetapi tidak berarti mencegah para wanita selain mereka  untuk keluar  rumah dalam rangka mengambil hak-haknya yang syar’i seperti menuntut ilmu, mengajar kaum wanita lain, berobat, berdakwah, ke pasar, mengunjungi famili dan orang tua, menjenguk orang sakit, dan lainnya. Taruhlah, ayat ini juga berlaku bagi semua wanita beriman, tapi itu –sekali lagi- bukan alasan untuk mencegah mereka untuk melakukan aktifitas syar’i yang butuh mereka lakukan.

Kedua, para sahabiyah adalah kaum wanita yang paling bertaqwa kepada Allah Ta’ala, paling tahu adab, paling paham agama,  dan paling meneladani isteri nabi, dibanding wanita zaman ini. Namun demikian, mereka tetap ikut berjuang bersama laki-laki sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, mereka mendatangi majelis ilmu bahkan nabi punya pertemuan di hari tertentu untuk mengajarkan mereka, mereka ikut berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan aktifitas lainnya yang membutuhkan mereka harus keluar rumah bahkan berinteraksi dengan laki-laki. Para sahabiyah yang memiliki keahlian mengobati ketika berperang, tentu keahlian tersebut tidak datang sendirinya melainkan mereka harus mencari ilmunya. Untuk zaman ini, maka para wanita harus belajar di fakultas kedokteran, apalagi keberadaan dokter muslimah sangat dibutuhkan untuk mengobati atau mengurus  wanita muslimah yang ingin melahirkan.

Ketiga, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, wanita yang paling faqih pada zamannya, juga keluar rumah bahkan memimpin pasukan ketika konflik dengan  Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal (Unta). Beliau memimpin pasukan dari Madinah ke Bashrah, dan para sahabat nabi pun ada yang ikut dalam rombongannya, dua orang dia antaranya adalah sahabat yang tergolong dijamin masuk surga dan seorang lagi termasuk enam ahli syura yaitu Thalhah dan Az Zubeir Radhiallahu ‘Anhuma. Walau, akhirnya ‘Aisyah menyesali ijtihadnya untuk menuntut kematian Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib hingga terjadi pertumpahan darah sesama muslim. ‘Aisyah (bersama ayahnya) pun pernah menjenguk Bilal bin Rabbah ketika sakit (HR. Bukhari), oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bolehnya wanita menjenguk laki-laki sakit selama aman dari fitnah, dan beliau membuat bab tersendiri untuk masalah ini. ‘Aisyah juga pernah nonton pertunjukkan orang Habsyah ketika Idul Fithri bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kisah ini masyhur.

Empat, keluarnya para wanita kafir, munafiq, dan sekuler, menuntut keluar pula para muslimah untuk melawan mereka, menahan pemikiran jahat mereka, dan membendung akhlak kotor mereka. Tidak cukup melawan mereka di dalam rumah sambil mematikan acara  televisi yang buruk, atau menidurkan anak bercerita kisah sahabat nabi, itu semua baik dan penting, namun tidak cukup. Fenomena penolakan RUU APP yang dilakukan oleh kaum wanita kafir (yakni Kristen), munafiq, dan sekuler, semakin membuktikan betapa pentingnya kaum wanita muslimah mendampingi kaum  laki-laki untuk melawan mereka secara umum.

Kelima, melarang wanita keluar rumah adalah benar hanya pada kondisi tertentu, yakni ketika mereka dihukum karena kekejian (zina) yang mereka lakukan. Allah Ta’ala berfirman:

وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا

“Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.” (QS. An Nisa’ (4): 15)

Syubhat Kedua: Wanita Bukan Pemimpin Laki-Laki

Mereka menganggap wanita yang menjadi anggota parlemen telah menjadi pemimpin bagi laki-laki. Pernyataan ini tertolak karena dua hal:

Pertama, anggota dewan bukanlah pemimpin, bukan presiden, bukan perdana menteri, bukan pula kepala daerah, atau definisi apa pun yang bermakna pemimpin.  Anggota dewan, sesuai dengan namanya, adalah wakil rakyat dari masing-masing daerah. Oleh karena itu parlemen dikenal dengan istilah Majlis An Niyabah (majelis perwakilan) bukan Majlis Al Imamah (majelis kepemimpinan). Mereka adalah pengawas pemerintah dan legislator (perumus undang-undang).

Dalam Islam, fungsi pengawasan bisa diartikan dengan penegak amar ma’ru nahi munkar dan pemberi nasihat, maka di sinilah letak pentingnya keberadaan para da’i dan da’iyah di sana. Telah masyhur kisah seorang wanita yang menasihati Khalifah Umar dalam hal pemberian mahar, dan kisah ini sanadnya dikatakan bagus oleh Imam Ibnu Katsir. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pun pernah mendapat masukan dari Ummu Salamah pada saat perjanjian Al Hudaibiyah dan langsung diterapkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Intinya wanita berhak memberikan masukan, nasihat, amar ma’ruf nahi munkar, kepada pemimpin, baik dia sebagai rakyat biasa, apalagi sebagai anggota dewan yang memang itulah tugasnya.

Sebagai fungsi legislator, tugas mereka bukan mencipta hukum dan  undang-undang, sebab itu hanyalah hak Allah Ta’ala semata.    Namun, yang mereka lakukan adalah merumuskan hukum  dan undang-undang yang belum ada nashnya, atau masih nash umum yang masih membutuhkan perincian.  Tugas ini (ijtihad/legislasi) bukanlah kekhususan buat laki-laki, melainkan untuk setiap muslim yang memiliki kecakapan. Ummul Mu’minin, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha merupakan wanita mujtahid dan mufti di zamannya. Para sahabat nabi sering meminta pejelasan dalam berbagai hal kepadanya. Hal ini telah dihimpun oleh Imam Az Zarkasyi dalam kitab Al Ijabah Li Istidrakati Aisyah ‘Alash Shahabah, lalu diringkas oleh Imam As Suyuthi dalam Ainul Ishabah. Memang, dalam sejarah masa lalu amat jarang wanita yang menjadi ahli ijtihad, namun saat ini banyak muslimah yang memiliki kecakapan seperti laki-laki, bahkan melebihinya.

Syubhat Ketiga: Sad Adz Dzara’i (Pencegahan) Agar Wanita Terhindar dari Fitnah

Ini adalah alasan selanjutnya. Mencegah diri dari potensi fitnah adalah baik dan mulia. Namun, berlebihan dalam pencegahan adalah sama bahayanya dengan sikap tanpa pencegahan, yaitu sama-sama menghilangkan maslahat, lalu  lahirnya mudharat. Atau, bebas dari mudharat kecil dan pribadi, namun mengorbankan maslahat besar dan umum. Melarang wanita keluar rumah untuk ikut pemilu, atau kiprah  politik lainnya, dengan alasan khawatir terjadi fitnah, yang dengan pelarangan itu maka hilanglah setengah (bahkan lebih) kekuatan (suara) umat Islam, atau hilang potensi kebaikan, hingga akhirnya kekalahan dan kelemahan dialami umat Islam. Maka, itulah fitnah yang sesungguhnya! Takut dengan fitnah pribadi yang akan dialami seorang wanita (alasan ‘fitnah’ ini pun masih bisa diperdebatkan), akhirnya mengorbankan kemaslahatan yang lebih besar dan jelas.

Ini adalah penempatan sad adz dzari’i (pencegahan) yang tidak pas. Tindakan ini memang harus diterapkan jika memang benar-benar terjadi fitnah yang jelas, bisa menghilangkan kemudharatan dan mendapatkan maslahat.

Kita memiliki kaidah akhafu dharurain (memilih kerusakan yang lebih ringan di antara dua kerusakan). Inilah jalan yang kita tempuh jika berhadapan dengan kondisi seperti ini. Terjadinya fitnah karena keluarnya wanita adalah sebuah mudharat, namun kekalahan umat Islam atau kekalahan kekuatan kebaikan, karena suara wanita tidak diidzinkan keluar, maka itu mudharat yang lebih besar lagi dan berkepanjangan. Selanjutnya, ini semua membutuhkan kejelian dan analisa yang mendalam.

Peringatan

Kiprah muslimah dalam dunia sosial dan politik, bukanlah kiprah tanpa syarat dan catatan. Ada beberapa patokan syar’i yang tidak boleh ditinggalkannya. Semua ini demi kebaikan  muslimah itu sendiri, dan menjadikan apa yang dilakukannya adalah benar-benar amal shalih yang diterima di sisi Allah Ta’ala.

  1. Aktifitas politik, khususnya parlemen,  hanya untuk wanita yang benar-benar layak, pantas, punya waktu luang, dan sedang tidak ada tugas domestik (kerumahtanggaan) yang sangat sulit jika ditinggalkan, seperti: menyusui, dan memiliki anak-anak yang masih butuh perhatian kasih sayang, dan pendidikannya. Memaksakan kehendak dalam hal ini, sama juga mengorbankan masa depan mereka, bahkan masa depan sepenggal generasi manusia, dan khianat terhadap amanah (sebab anak adalah amanah). Maka, tidak semua wanita dibenarkan untuk menjadi anggota parlemen, namun mereka masih bisa berkiprah pada kehidupan sosial politik lainnya yang lebih mungkin.
  2. Tidak melupakan tugas asasinya sebagai isteri dari suaminya, dan ibu bagi anak-anaknya.
  3. Tetap teguh memegang prinsip-prinsip akhlak Islam: menutup aurat secara sempurna, tidak bersolek seperti wanita jahiliyah, tidak mendayu-dayu dalam bicara, tidak berduaan dengan laki-laki bukan mahram, dan menjauhi ikhtilat (campur baur) dengan laki-laki yang tidak diperlukan.
  4. Meluruskan niat, bahwa yang dilakukan adalah untuk mencari ridha Allah Ta’ala, dakwah Ilallah dan amar ma’ruf nahi munkar. Bukan karena kekayaan dan popularitas.

Demikian. Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

***********

[1] Ahmad Warson Munawir,  Al Munawwir, Hal. 677.

[2] Ibid, Hal. 678

[3] Zainuddin Ar Razi, Al Mukhtar Ash Shihah, Juz. 1, hal. 154

[4] Al Fairuzabadi, Al Qamus Al Muhith, Juz. 2, Hal. 89

[5] Imam Ibnu Taimiyah menyebutnya sebagai salah satu manusia paling cerdas di muka bumi.

[6] Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah, I’lamul Muwaqi’in, Juz. 6, Hal. 26.

[7] Ibid

[8] Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah, Ath Thuruq Al Hukmiyah, Hal. 17.

[9] HR.   Bukhari No. 3268 dan  Muslim No. 1842

[10] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Juz. 6, Hal. 316. Mawqi’ Ruh Al Islam

[11] Gelar yang diberikan untuk orang yang telah hafal ratusan ribu hadits dan mengetahui seluk beluknya dan bisa membedakan antara yang shahih dan dhaif.

[12] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 6/497. Darul Fikr

[13] Asma binti Abu Bakar dijuluki Dzuniqathain (yang memiliki dua ikatan selendang), karena saat itu satu selendangnya dibuat untuk menahan perutnya yang hami, dan yang satu lagi untuk menyangga makanan.

[14] HR. Bukhari, Kitab Al Maghazi Bab Dzikri Ummi Salith No. 4071.

[15] HR. An Nasa’i, Kitab Al Bai’ah Bab Bai’atin NIsa,  No. 4179-4181. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, Juz. 9, hal. 251-253, no. 4179-4181.

Tanggungjawab Suami, Tiang Utama Jaminan Masa Depan Keluarga

❗Krisis Keluarga

Rumahku surgaku. Begitu kira-kira jargon keluarga sakinah untuk menggambarkan bahwa rumah dan keluarga adalah sumber kebahagiaan dan ketenangan. Namun sudahkah surga dunia itu terwujud di keluarga kita? Ataukah justru rumah kita bagaikan penjara dan neraka?

Miris bila melihat data resmi dari lembaga pemerintah, keluarga Indonesia berada dalam krisis rumah tangga. Pasalnya, angka perceraian ternyata cukup tinggi bahkan tertinggi di tingkat Asia Pasifik dimana rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian. Yang lebih memperihatikan, 70 persen perceraian terjadi karena gugat cerai dari pihak istri dengan alasan tidak harmonis.

Jika dikaji sedikit lebih jauh ditemukan sejumlah fakta bahwa perceraian lebih sering sering terjadi di usia perkawinan yang relatif muda, usia pasangan yang bercerai berkisar di bawah 45 tahun, umumnya suami tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya (istri dan anak-anak) sementara di sisi lain pasangan istri terlalu menuntut dan tidak bisa menghargai hasil usaha pasangannya (suami).

Meski untuk mengatasi maraknya kasus perceraain tentu membutuhkan kajian mendalam baik terkait psikologi, sosial, politik dan lain-lain, namun bisa ditarik benang merah bahwa perceraain lebih sering terjadi karena nilai-nilai ajaran Islam tentang rumah tangga sudah jauh dari keluarga. Jika membicarakan ajaran rumah tangga dalam Islam maka hal paling utama ditanamkan adalah kewajiban suami. Bahkan kewajiban suami itu ditambahkan dalam sighat ta’lik talak. Ini menandakan, suami menentukan masa depan sebuah rumah tangga. Rumah tangga akan utuh dan selamat jika sang suami mampu memiliki sifat-sifat suami yang baik dan mampu menunaikan tugasnya sebagai kepala keluarga. Sebaliknya, rumah tangga akan senantiasa terancam kegagalan jika sang si suami lalai akan kewajiban dan tugasnya.

Sebagian masyarakat beranggapan, kewajiban dan tugas suami hanya terkait nafkah lahir dan batin semata. Keberhasilan seorang suami diukur dari sisi kemampuan fisik dan finansialnya di dalam rumah tangga. Kewajiban suami itu yang terpenting dijelaskan oleh Al-Qur’an sebagai qawwam; pemimpin yang menegakkan dan mengendalikan serta meluruskan segala prilaku di dalam rumah tangga baik istri atau anaknya.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisaa: 34)

Ayat ini merupakan garis-garis besar haluan rumah tangga. Jika diperhatian seksama, maka kepemimpinan suami disebabkan oleh faktor kelebihannya, di antaranya kelebihan nafkah. Artinya, ada kelebihan lain yang harusnya dimiliki oleh suami. Ketika menyebut tentang kesalihan istri yang paling utama disebutkan ketataan kepada Allah. Artinya, ketataan istri hakikatnya kepada suami adalah taat kepada Allah.

Yang perlu diperhatikan, selain suami memiliki kewajiban, ia juga punya hak. Demikian pula istri disamping memiliki kewajiban juga memiliki hak. Antara hak dan kewajiban harus ditunaikan secara seimbang baik oleh suami atau istri sehingga keutuhan rumah tangga akan terjaga. Sebelum seorang suami menuntut hak, dia harus menunaikan kewajibannya.

📎 Tanggung Jawab Suami, Penentu Nasib Keluarga

Sedikitnya ada sembilan kewajiban suami kepada istrinya yang diajarkan oleh Islam. Jika ini ditunaikan dengan baik, keluarga akan dijamin mencapai sakinah, mawaddah dan rahmah.

1⃣ Membayar mahar atau maskawin

Memang hal ini bukanlah suatu syarat atau rukun dalam perkawinan, tetapi mahar ini merupakan suatu kewajiban yang harus diberikan oleh suami kepada istri. Karena itu, besaran mahar ini tidak mengikat, tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu mahal sehingga memberatkan suami. Mahar sifatnya pemberian suka rela sebagai bentuk penghargaan kepada wanita. Selain itu, mahar atau maskawin ini sebagai wujud simbolik kemampuan suami menafkahi istri dan keluarganya kelak.

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa : 4)

2⃣ Memberi nafkah

Pemberian nafkah ini bersifat wajib bagi suami terhadap istrinya, ayah terhadap anaknya, dan tuan terhadap budaknya yang meliputi keperluan hidup seperti makan, pakaian, dan tempat tinggal, obat-obatan, jaminan kesehatan. Kewajiban nafkah ini tidak gugur dari suami meskipun istrinya kaya.

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (Al-Baqara: 233)

Dalam banyak keterangan hadits, memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak memiliki keutamaan sangat besar, bahkan lebih utama di banding nafkah jihad di jalan Allah.

دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في على أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ

“Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu” (HR. Muslim, Ahmad dan Baihaqi)

3⃣ Menggauli istri dengan baik

Berbeda dengan era jahiliyah yang merendahkan perempuan, dalam Islam, seorang wanita harus dihormati sebagaimana manusia umumnya yang memiliki hak dan hasrat manusia. Ia harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang, romantis, pengertian, lemah lembut dan menjauhi sifat kasar dan zalim. Perlakuan di sini mencakup interaksi dalam rumah, komunikasi yang baik, memenuhi kebutuhan biologis istri secara baik.

“Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dgn cara sebaik-baiknya.” (An Nisa 19)

Rasulullah saw. bersabda, “Kewajiban seorang suami terhadap isterinya ialah suami harus memberi makan kepadanya jika ia makan & memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian dan tidak boleh memukul mukanya, tidka boleh memperolokkan dia, juga tidak boleh meninggalkannya kecuali dalam tempat tidur (ketika isteri membangkang).” (HR. Abu Daud)

Nabi bersabda, “Orang-orang yang terbaik dari kalian ialah mereka yang baik dalam mempergauli keluarganya dan aku adalah orang yang terbaik dari kamu sekalian dalam mempergauli keluargaku.” (Riwayat lbnu Asakir)

4⃣ Berlaku adil jika istri lebih dari satu

Istri lebih dari satu bukanlah hal mudah. Sebab tanggung jawab dan beban finansial akan lebih berat. Pertanggungjawabannya sampai di akhirat. Jika karena satu dan lain hal seorang suami beristri lebih dari satu, maka sikap adil dalam hal nafkah dan jatah adalah kewajiban tidak bisa ditawar.

Sayangnya, sebagian besar masyarakat tidak proporsional dalam memahami masalah poligami. Akibatnya, banyak kasus kekerasan, penelantaran istri ketika si suami melakukan poligami.

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barang siapa beristri dua, sedangkan dia lebih mementingkan salah seorang dari keduanya, maka ia akan datang nanti pada hari kiamat, sedangkan pinggangnya (rusuknya) dalam keadaan bungkuk.” (HR. Irwaa-ul Ghaliil (no. 2017)], Ibni Majah, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, an-Nasa-i)

5⃣ Memberikan sandang pangan seperti sandang pangan suami tanpa membedakan

Sejatinya istri dalam Islam adalah partner dalam membangun rumah tangga. Mereka memiliki peran besar bagi suami dan anaknya. Karena itu, apa yang dirasakan suami juga harus dirasakan oleh istri. Ini sebagai bukti Islam menganut kesetaraan dalam hak sekaligus sebagai penghormatan terhadap istri atas peran mereka sebagai sosok yang memiliki jasa dalam membangun rumah tangga.

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.’’ (QS.At-Thalaq 6)

6⃣ Membimbing istrinya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya

Fungsi suami sebagai pemimpin terutama dalam hal agama sangat urgen dan menentukan masa depan sebuah rumah tangga. Karena itu dalam Al-Quran disebut sebagai qawwam; yang meluruskan dan menegakkan. Fungsi suami bukan sekadar memenuhi kebutuhan nafkah. Di sinilah, fungsi rumah tangga sebagai sekolah dimana ayah sebagai guru utama harus berjalan dengan baik yang saling asah asih dan asuh.

‘Hai orang-orang yg beriman! Jagalah dirimu & ahli keluargamu dari api Neraka.” (At Tahrim : 6)

“Perintahkanlah keluargamu agar melakukan sholat.” (Thaha:132)

Dan Ibnu Umar dari Nabi saw. beliau bersabda, ‘Seorang suami adalah pemimpin dalam mengurusi ahli keluarganya. Ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (Muttallaq ‘alaih)

7⃣ Tidak boleh membuka aib (kejelekan) istri kepada siapapun

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutup aibnya pada hari qiyamat.” (HR. Bukhori)

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata; Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya.” (HR. Muslim)

8⃣ Menjaga istrinya dengan baik

Suami harus menjaga dan memelihara isteri dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mencemarkan kehormatannya, yaitu dengan melarangnya dari bepergian jauh (kecuali dengan suami atau mahramnya). Melarangnya berhias (kecuali untuk suami) serta mencegahnya agar tidak berikhtilath (bercampur baur) dengan para lelaki yang bukan mahram, tidak membiarkan akhlak dan agama isteri rusak.

Kedelapan hal di atas adalah kewajiban utama seorang suami. Sebenarnya masih ada sejumlah kewajiban suami lainnya yang mesti diperhatikan. Seperti apabila istri durhaka kepada suami, maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. Suami juga harus bersabar jika menemukan kekurangan istrinya, tidak buru-buru menceraikan istrinya jika ada masalah.

🗝 Kunci Sukses Membangun Rumah Tangga; Cinta dan Ibadah

Keluarga diibaratkan seperti batu bata pertama dalam sebuah bangunan masyarakat. Apabila keluarga baik, maka masyarakat pun akan ikut menjadi baik dan sebaliknya jika keluarga rusak, maka masyarakat akan menjadi rusak pula. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian kepada urusan keluarga dengan perhatian yang sangat besar, sebagaimana Islam juga mengatur hal-hal yang dapat menjamin keselamatan dan kebahagiaan keluarga tersebut.

Untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga kunci utama adalah harus atas dasar cinta. Rasa cinta dan kasih sayang itu harus terus dipupuk setiap saat. Sebab godaan dan rayuan dunia di luar sana sangatlah besar. Sehingga menjadi keharusan kedua pihak; suami dan istri untuk memupuk cintanya.

Untuk menjaga dan menyuburkan cinta dan kasih sayang itu kedua pihak harus disatukan dalam satu tujuan yakni berkeluarga dalam rangka ibadah kepada Allah artinya cinta itu harus disatukan oleh ibadah. Sebab cinta sangat dipengaruhi oleh faktor tendensi dan motiv. Jika motiv itu duniawi maka sifatnya sementara dan akan pudar. Sementara ibadah sifatnya abadi. Sehingga apabila cinta karena ibadah maka akan langgeng dan abadi. (Ahmad Tarmudli, M.Ag)

Doa Keselamatan Keluarga dan Dunia Akhirat

«اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي، اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي، اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي، وَعَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي، وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي»

“Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat, Ya Allah aku memohon ampunan dan keselamatan dalam Agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah tutupilah auratku (aibku), dan tentramkanlah aku dari rasa takut. Ya Allah peliharalah aku dari depan, belakang, kanan, kiri, dan dari atasku. Aku berlindung dengan kebesaranMU agar aku tidak disambar dari bawahku (dibenamkan kedalam bumi)”
(HR. Bukhari no.1200, Abu Dawud no.5074)

RENUNGAN TENTANG WAKTU

RENUNGAN TENTANG WAKTU

 

Ikhwatiy A’azzakumulloh,…..

Betapa seringnya  manusia mencela tentang waktu, pekerjaan yang belum terseleseikan dan begitu sombongnya manusia ketika diminta untuk beramal sholih sembari mengatakan “ saya nggak ada waktu….”. Waktu adalah salah satu nikmat yang agung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia. Sudah sepantasnya manusia memanfaatkannya secara baik, efektif dan semaksimal mungkin untuk amal shalih.

Allah Ta’ala telah bersumpah dengan menyebut masa dalam firman-Nya:

وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr:1-3).

Di dalam surat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di dalam masa terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan kesusahan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang menyian-nyiakan umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan kemaksiatan belaka, kemudian ia bertaubat di akhir hayatnya, dengan taubat yang diterima, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sempurna sebagai balasannya, berada di dalam surga selama-lamanya. Dia betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang paling berharga adalah sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan anugerah Allah Ta’ala, tidak ada cela padanya, manusia-lah yang tercela ketika tidak memanfaatkannya.

Di dalam surat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di dalam masa terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan kesusahan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang menyian-nyiakan umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan kemaksiatan belaka, kemudian ia bertaubat di akhir hayatnya, dengan taubat yang diterima, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sempurna sebagai balasannya, berada di dalam surga selama-lamanya. Dia betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang paling berharga adalah sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan anugerah Allah Ta’ala, tidak ada cela padanya, manusia-lah yang tercela ketika tidak memanfaatkannya.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. (HR Bukhari).

Hadits yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang adalah nikmat yang besar dari Allah Ta’ala, tetapi banyak manusia tertipu dan mendapatkan kerugian terhadap nikmat ini.

Di antara bentuk kerugian ini adalah:

Pertama: Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna. Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang kurang utama, padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.

Kedua: Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.

Ketiga: Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah orang yang paling tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan memanfaatkan waktu dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia menyibukkan waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman Allah di dunia dan di akhirat.

Hendaknya bagi seorang muslim, harus bisa menjaga dan mengatur waktunya dengan sebaik – baiknya agar tidak berlalu begitu saja dengan kesia – siaan, karena setiap napas yang kita tarik dan kita hembuskan haruslah bernilai amal kebaikan. Urgensi waktu dan kewajiban menjaganya merupakan perkara yang disepakati oleh orang-orang yang berakal. Berikut adalah diantara point-point yang menunjukkan urgensi waktu.

Pertama: Waktu Adalah Modal Manusia.

Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

اِبْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

Wahai Ibnu Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan) hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya).

Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul-Aziz rahimahullah berkata:

إِنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيْكَ فَاعْمَلْ فِيْهِمَا

Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramalah pada malam dan siang itu.”

Kedua: Waktu Sangat Cepat Berlalu.

Seseorang berkata kepada ‘Amir bin Abdul-Qais rahimahullah, salah seorang tabi’i: “Berbicaralah kepadaku!” Dia menjawab: “Tahanlah jalannya matahari!”

Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak menyerupakan masa muda kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku, lalu jatuh”.

Abul-Walid al-Baji rahimahullah berkata: “Jika aku telah mengetahui dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di dunia ini seperti satu jam di akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil dengan waktu hidupku (untuk melakukan perkara yang sia-sia, Pen.), dan hanya kujadikan hidupku di dalam kebaikan dan ketaatan”.

Ketiga: Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali.

Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu berkata:

إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ

“ Sesungguhnya Allah memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allah juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).

Dengan demikian seharusnya seseorang bersegera melaksanakan tugasnya pada waktunya, dan tidak menumpuk tugas dan mengundurkannya sehingga akan memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu waktu di sisi Salaf lebih mahal dari pada uang. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دَرَاهِمِهِ وَدَنَانِيْرِهِ

Aku telah menemui orang-orang yang sangat bakhil terhadap umurnya (waktu) daripada terhadap dirham dan dinarnya.”

Keempat: Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang diberikan untuknya.

Oleh karena itu Allah Ta’ala banyak memerintahkan untuk bersegera dan berlomba dalam ketaatan. Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar bersegera melaksanakan amal-amal shalih. Para ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak menunda-nunda amalan. Al-Hasan berkata:

اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ

 “ Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini.”

 

Dan ingatlah ketika seorang penyair berkata :

وَالْوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عَنَيْتَ بِحِفْظِهِ … وَأَرَاهُ أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يُضَيَّعُ

“ Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk dijaga, tetapi aku melihatnya paling mudah engkau menyia-nyiakannya.”

 

زادك الله حرصا على ما ينفعك…

 

Ahmad Rosyid Ghufron

 

 

QUDWAH DI JALAN DA’WAH

Mukadimah

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:  “Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada dibumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Wahai orang-orang  yang beriman, kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau tidak lakukan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 1-3)

Dalam Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an disebutkan, “Kenapa engkau mengatakan perkataan yang kamu tidak benarkan (buktikan) dengan amalmu?” (Syaikh Khalid Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an al Karim, hal. 551)

Sebab turunya ayat ini adalah ada seorang sahabat, yakni Abdullah bin Salam Radhiallanu ‘Anhu yang berkata  “Seandainya kami mengetahui amal yang paling utama niscaya  kami akan mengamalkannya” maka Allah turunkan ayat ini, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membacanya hingga selesai. (HR. Tirmidzi dan  Hakim, ia menshahihkannya, Shafwatul Bayan , Ibid)

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah­- dalam tafsirnya  berkata tentang  لم تقولون ما لا تفعلون  (kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau tidak lakukan?) adalah pengingkaran terhadap orang yang berjanji dengan sebuah janji atau berkata dengan perkataan, tetapi ia tidak menepatinya. Berdalil dari ayat yang mulia ini, sebagian pendapat kaum salaf  mengatakan wajibnya  menepati janji secara mutlak, sama saja baik yang disertai tekad untuk berjanji atau tidak. Mereka juga berhujjah dari hadits yang mulia dalan shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tanda –tanda orang munafiq ada tiga, jika bicara ia dusta, jika berjanji ia ingkar, jika diberi amanah ia khianat.”  Juga hadits lain dalan Ash Shahih bahwa, “Ada empat hal yang barang siapa salah satunya telah ada pada diri seseorang maka ia adalah seorang munafiq tulen, sampai ia meninggalkannya.”  Salah satu yang disebutkan adalah orang yang tidak menepati janji.   Allah ‘Azza wa Jalla menguatkan lagi pengingkaran ini dengan ayat  كبر مقتا عندالله أن تقول ما لا تفعلون  (Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan) Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amir bin  ar Rabi’ah, ia berkata: Datang kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat itu saya masih anak-anak, lalu aku keluar untuk bermain. Maka ibuku berkata kepadaku, “Wahai Abdullah kemarilah, aku akan berikan sesuatu utnukmu.” Rasulullah berkata kepadanya (ibu), “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?”, ia menjawab: “Kurma.” Rasulullah bersabda: “Seandainya engkau tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka engkau tercatat sebagai pendusta.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, 4/357)

Dari uraian ini kita bisa fahami, bahwa ucapan seseorang adalah janji, baik yang ditegaskan dengan niat dan tekad untuk berjanji atau tidak. Islam mewajibkan untuk memenuhinya, jika tidak, maka  itu bagian dari ciri orang munafiq.  Seorang muslim wajib menyesuaikan perkataannya dengan perbuatannya, agar ia terhindar dari kebencian Allah ‘Azza wa Jalla yang teramat besar karena itu. Apalagi bagi para da’i, kesesuaian antara ucapan dan perbuatan bukan sekedar menghindar dari label munafiq, tetapi merupakan contoh yang berguna dan teladan yang baik bagi orang yang melihatnya. Keteladanan adalah salah satu ‘ibrah yang bisa kita petik dari ayat di atas.

Al Qudwah )   ( القُدْوَةjuga berarti Al Qadwah, Al Qidwah, dan Al Qidyah yang bermakna ‘apa-apa yang telah engkau ikuti dan engkau biasa dengannya.’  Al Qudwah juga bermakna Al Uswah (contoh), dikatakan  لى بك قدوة ‘Liy bika Qudwatun’ ( pada dirimu ada contoh untukku) maksudnya adalah Uswah. (Al Munjid fil Lughah wal A’lam, hal. 614)

Pada saat ini, dimana kerusakan dunia boleh dikatakan merata, maka amat wajar bila manusia membutuhkan figur yang bisa diteladani mereka untuk mengantarkan mereka menuju pintu-pintu perbaikan. Namun, manusia tidak kunjung mendapatkan figur yang diidam-idamkan, justru mereka mendapatkan  idola-idola tanpa keteladanan. Alih-alih ingin memperbaiki keadaan, kenyataannya para idola tersebutlah yang menjadi lokomotif kerusakan manusia dan kehidupannya.

Mereka mengidolakan orang-orang jahil dan fasiq, seperti sebagian artis dan seniman, pelawak dan atlit. Akhirnya, mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kesatnya hati, kotornya lisan, buntunya pikiran, serta nihilnya perbuatan. Jika mau silahkan katakan, bahwa sebagian besar artis telah memberikan kontribusi signifikan bagi kerusakan moral bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini. Melalui pakaian, gaya hidup, pergaulan, ditambah media massa yang mengekspos kehidupan ‘minim keteladanan’ yang mereka sengaja tontonkan, seakan akan mereka ingin meneriakan ‘Akulah Sang idola’.

Keteladanan, itulah yang hampa saat ini. Saya nasihatkan terutama untuk diri sendiri dan  ikhwah fillah sekalian untuk senantiasa menempa diri untuk menjadi hambaNya yang diridhai aqidahnya, niat, ilmu, amal, lisan dan akhlak secara umum.

Sebenarnya umat ini  telah memiliki apa-apa yang dimiliki generasi terbaik dahulu (salafus shalih). Jika mereka memiliki Al Qur’an dan As Sunnah, umat sekarang juga demikian. Lalu apa yang kurang? Padahal umat ini memiliki apa-apa yang tidak dimiliki umat terdahulu, yaitu pengikut (SDM) yang sangat banyak. Atau justru SDM yang sangat banyak adalah bagian dari masalah?

Saya tidak menyimpulkan, bahwa malapetaka yang dialami umat saat ini lantaran tidak adanya figur teladan seperti Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Salam sebagaimana para sahabat dahulu pernah dibimbingnya. Namun, bisa jadi memang karena ini penyebabnya. Wallahu a’lam

Syahidul Islam Sayyid Quthb –Rahimahullah– berkata: Sesungguhnya Al  Qur’an yang ada pada da’wah ini telah ada dalam genggaman kita, begitu juga hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dengannya kita beramal, dan sirah yang mulia. Semuanya ada ditangan kita. Sebagaimana pernah ada pada generasi awal, (generasi) yang tidak pernah lagi terulang dalam sejarah. Yang tidak ada pada kita hanyalah figur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah ini rahasianya?” (Syaikh Sayyid Quthb, Ma’alim fith Thariq, hal. 11. Darusy Syuruq)

Mustahil Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan lagi seorang Rasul pasca khatamun nabiyin (penutup para nabi), Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aqidah yang haq meyakini demikian. Paling kita hanya bisa berharap melalui ta’dib rabbani (bimbingan rabbani) akan lahir figur seperti Uwais Al Qarny, seorang tabi’i terbaik sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits shahih Imam Muslim, yang dengan kehadirannya bisa membawa umat ini kepada kehidupan yang lebih baik, atau seperti Umar bin Abdul Aziz, pemimpin adil, wara, zahid, mujtahid dan mujaddid abad satu hijriyah, atau topkoh teladan lainnya.

Peluang Bagi Para Da’i

Kita tahu, hari ini umat tengah mengalami semangat keberagamaan yang rendah dan lemah. Di sisi lain, cengkraman haimanah al gharbiyah (hegemoni Barat) dan segala bentuk kekufuran yang mereka bawa begitu menggurita, hingga banyak membuat mabuk pemuda  Islam dan termasuk orang tuanya. Bukan hanya mabuk, mereka juga mengekor kepada apa, siapa, dan bagaimanapun yang datang dari Barat, seraya melupakan dan menjauh dari apa, siapa, dan bagaimanapun yang datang dari Islam.

Hal ini sudah diisyaratkan Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Sallam:

يُوشِكُ أَحَدُكُمْ أَنْ يُكَذِّبَنِي

“Telah dekat masanya kalian akan mendustakanku. (HR. Ahmad No. 17233. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih)

Ya. Masa itu telah datang, umat Islam mendustakan agamanya sendiri, bahkan lebih dari itu, menistakan ajaran agamanya sendiri dengan membuat paham-paham baru yang tidak dikenal syariatNya dan asing di depan sejarah umatnya.

Dalam hadits lain, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

“Kalian akan benar-benar mengikuti jalan-jalan umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, walau mereka masuk ke lubang biyawak, niscaya kalian ikuti juga.” Sahabat bertanya: “Siapakah mereka? Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab: “Ya siapa lagi?”  (HR. Bukhari No. 3456, 7320, Muslim No. 2669)

Ya. Kita lihat banyak umat pemuda Islam yang mengidolakan orang-orang kafir bahkan sangat akrab menggeluti perikehidupan mereka melalui buku, majalah, televisi dan lain-lain. Sementara pengetahuan mereka terhadap nilai keislaman dan sejarah kegemilangannya, nol besar!

Di sisi lain dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan keras dalam haditsnya:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia telah menjadi bagian kaum itu.” (HR. Ahmad no. 5115.  Abu Daud No. 4031, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1199, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal  No. 2468, Al Bazzar No. 2966, Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 1862, Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 390, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 33687, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 20986)[1]

Dalam kondisi masyarakat terhempas seperti sekarang ini, tidak saja dibutuhkan upaya tau’iyat (penyadaran) dan taujihat (pengarahan) untuk mereka, lebih dari itu adalah seorang figur qudwah hasanah yang bisa dijadikan cermin, pegangan, dan tempat bertanya. Bahkan keteladanan seorang da’i lebih didahulukan sebelum ia mengajak, memberikan contoh harus lebih dahulu sebelum memberi soal.    Inilah peluang bagi da’i untuk mengisi kekosongan itu, kekosongan teladan.

Dari Mana Kita Memulai?

Seorang da’i  harus  menampilkan citra diri yang positif dan mempesona, yang bisa dinikmati keindahannya dan dicium semerbaknya oleh umat di sekitarnya. Kita memahami, bahwa kekuatan argumen dan bagusnya retorika, tidak akan berpengaruh tanpa dibarengi figur keteladanan yang kokoh sang da’i. Kenyataannya, keteladanan dan aura ruhiyah seorang da’i seringkali lebih mengena dihati orang yang berinteraksi dengannya.

  1. Teladan dalam Aqidah dan Iman (keyakinan)

                Kebersihan dan kekuatan iman adalah awal dari segala keshalihan. Da’i teladan harus lebih dahulu membersihkan aqidahnya dari syirik, khurafat, dan bid’ah, serta menampakkan keyakinan yang tinggi terhadap kebenaran risalah yang dibawanya. Sebab kotornya aqidah dan lemahnya keyakinan adalah awal dari segala kekalahan perjuangan.

Dalam hal aqidah seoranmg da’i tidak boleh menampakkan sikap basa-basi apalagi lemah. Sikapnya tegas terhadap semua penyimpangan aqidah, baik paham-paham sesat sekte, atau syirik dan khurafat di masyarakat. Tentu ketegasan yang diekspresikan melalui ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan.

Ada contoh yang baik dalam hal ini, yaitu keteguhan aqidah Imam Ahmad bin Hambal  (w. 241H) ketika ia dipenjara dan disiksa selama tiga masa khalifah, lantaran ia menentang dengan keras paham yang menyebutkan bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah Al Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk sebagaimana paham Mu’tazilah. Sikap tegas Imam Ahmad ini berefek luar biasa setelah ia wafat, diriwayatkan bahwa ketika ia wafat, mayatnya diantar oleh delapan ratus ribu laki-laki dan enam puluh ribu wanita,  dan kurang lebih dua puluh ribu orang Nasrani, Yahudi, dan Majusi masuk Islam. (Drs. Fatchur Rahman, Ikhtshar Musthalahul Hadits,hal. 375) 

Begitu pula Said bin Jubair, tokoh ulama masa tabi’i, ia rela disembelih algojo gubernur tiran Al hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi. Pada saat disembelih, ia mengakhiri hayatnya dengan untaian kata yang indah: “Sedangkan aku, maka aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Muhammad  adalah hamba dan rasul Allah, ambil-lah persaksianku ini sampai engkau berjumpa denganku di hari kiamat. Allahumma ya Allah, jangan Engkau jadikan dia berkuasa kepada seseorang yang membunuhnya sesudahku.” (Wafayat Al A’yan, 2/371)

Ustadzah Zainab Al Ghazaly adalah contoh da’iyah mujahidah  tegar masa kini. Ketika ia divonis oleh pengadilan Mesir berupa hukuman lima puluh tahun penjara, ia justru teriak lantang, “Allahu Akbar lima puluh tahun fi sabilillah!”

  1. Teladan dalam Perilaku (Akhlak)

Tahukah anda, bahwa, manusia lebih banyak mengikuti dan percaya dari apa yang kita lakukan dibanding mengikuti apa yang kita ucapkan. Karena itu, hati-hatilah, perilaku seorang da’i adalah hujjah bagi umat yang melihatnya. Maka menjaga keteladan akhlak adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ اَلنَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ بَسْطُ اَلْوَجْهِ, وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ

“Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik (husnul khuluq)” (HR. Abu Ya’la No. 6550,  Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 428, beliau  menshahihkannya. Al Bazzar No. 8544. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8054. Imam Al Haitsami mengatakan: “Di dalamnya terdapat Abdullah bin Sa’id Al Maqbari, dia dhaif.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/22. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: dhaif jiddan – sangat lemah. Lihat Tahqiq Musnad Abi Ya’la No. 6550)

Akhlak yang baik merupakan salah satu tiket menuju surga. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab:   “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)

Imam Ibnul Qayyim –rahmatullah ‘alaih– berkata: “Digabungkan keduanya (taqwallah dan husnul khuluq), karena taqwallah memperbaiki apa-apa yang ada pada hamba kepada Tuhannya, sedangkan akhlak yang baik akan memperbaiki hubungan antara hamba dengan makhlukNya.” (Bulughul Maram, catatan kaki no. 3, hal. 287. Darul Kutub Al Islamiyah)

Kita tidak menuntut muluk-muluk, bahwa seorang da’i wajib memiliki khuluqun ‘azhim misalnya, sebab itu adalah minhah rabbaniyah (anugerah Allah) untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

“Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak agung.” (QS. Al Qalam: 4)

Dalam salah satu tafsir dikatakan:  “Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, benar-benar memiliki adab yang agung, yang dengannya Tuhanmu telah mendidikmu, yaitu adab Al Qur’an “ (Syaikh Khalid  Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 564. Darul Basya-ir Beirut)

Adapun al Aufi berkata dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki agama yang agung, yaitu Islam.” Seperti itu pula yang dikatakan Mujahid, Abu Malik, As Sudy, Ar Rabi’ bin Anas, Dhahak dan Ibnu Zaid. Berkata ‘Athiyah: “Benar-benar memiliki adab yang agung.”  Berkata Ma’mar dari Qatadah aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia bekata: “Adalah Rasulullah akhlaknya itu Al Qur’an.”  Ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan An Nasa’i. (Imam Ibnu  Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/403)

Paling tidak, da’i memiliki husnul khuluq secara standar yang seharusnya ada pada seorang muslim berakhlak.  Itu saja sudah cukup baginya menjadi ‘yang terindah’ di  tengah masyarakat yang kosong keteladanan. Tentunya hal itu dicapai dengan perjuangan yang tidak mudah. Akhlak standar itu sebagaimana yang terpampang dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah menjauhi akhlak tercela seperti  hasad, tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), su’uz zhan, ghibah, namimah (adu domba), riya’, sum’ah (beramal ingin didengar orang),  kibr (sombong), dusta, ingkar janji, khianat amanah, sengit dalam berdebat, mudah marah, mencaci sesama muslim, sumpah palsu, aniaya, memakan harta yang bukan haknya, menghardik anak yatim, dan lain-lain. Sebaliknya ia dekat dengan akhlak terpuji seperti menyebarkan salam, memberi makan, sedekah, pemaaf, murah senyum, penyantun, sabar, menjenguk yang sakit dan takziyah kematian, wara’ (hati-hati) terhadap hal yang diharamkan, makruh dan syubhat, tidak berlebihan dengan yang mubah, meninggalkan hal yang melalaikan,  menolong dalam hal kebaikan, menasehati dalam kebaikan dan kesabaran, adil, menyayangi yang kecil, menghormati yang tua, mengetahui hak ulama, menjaga penampilan, bersahabat dengan orang-orang shalih, memuliakan tamu dan tetangga, bicara yang baik atau diam jika tidak bisa, dan lain-lain.

  1. Teladan dalam Ilmu

Seorang da’i adalah seperti seorang guru bagi muridnya. Ia tempat manusia bertanya, meminta solusi, dan mencari masukan. Maka, seorang da’i yang bertanggung jawab dan menghormati mad’u adalah da’i yang selalu membekali dan memperkaya dirinya dengan ilmu. Sudah selayaknya –dan inilah yang dipahami secara umum- da’i harus lebih berwawasan lebih dibanding umat yang diserunya. Inilah salah satu kewibawaan baginya. Memang dengan ilmu Allah ‘Azza wa Jalla  mengangkat derajat manusia.

Betapa banyak pemuda berhasil ‘menguasai’ orang tua dan ulama karena ilmunya. Tahukah anda bahwa Hasan al Banna –rahmatullah ‘alaih– mendirikan Al Ikhwan Al Muslimun saat usianya baru 22 tahun? Saat itu, yang termasuk mengagumi gagasan perjuangannya  tidak sedikit orang-orang yang lebih tua darinya, bahkan jauh lebih tua dan mereka sudah dikenal sebagai ulama atau tokoh negara. Seperti Syaikh Muhibuddin Al Khathib, Hasan Al Hudhaibi, Umar At Tilmisani dan para ulama Al Azhar, dan  lain-lain. Kecerdasan beliau mendirikan sebuah bangunan pergerakan, seakan menjadi alasan kuat bagi mereka untuk bergabung dengan kafilah Ikhwan.

Tahukah anda Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits? (tentu ada yang shahih dan ada juga yang dhaif, istilah hadits hasan baru ada pada masa Imam At Tirmidzi) Tahukah anda Imam asy Syafi’i (w. 204H) telah hafal Al Qur’an dan mengetahui seluk beluknya, seperti asbabun nuzul dan nasikh mansukh pada usia tujuh tahun? Dikisahkan dari Imam Ahmad bahwa Imam asy Syafi’i dalam satu malam  menyelesaikan tiga ratus pertanyaan. Tahukah anda Imam Sufyan bin Uyainah hafal Al Qur’an pada usia empat tahun? Tahukah anda bahwa Imam Ibnu Taimiyah dijuluki ‘lautannya dalil naqli (nash) dan aqli (akal)’. Sampai-sampai dikatakan jika ada hadits yang tidak diketahui Imam Ibnu Taimiyah pasti itu bukan hadits. Ia pernah membuat kitab yakni Al Aqidah Al Washitiyah, yang selesai dibuatnya hanya dalam sekali duduk setelah shalat ashar (Muqaddimah syarah al Aqidah al Washitiyah, hal. 5). Konon Imam Ibnul Qayyim menyusun kitab Zaadul Ma’ad ketika ia sedang musafir  (artinya tanpa referensi)

Tahukah anda bahwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawy –Hafizhahullah­– pertama kali ceramah ilmiah di depan orang banyak ketika ia kelas tiga  sekolah dasar, untuk menggantikan seorang Syaikh alim dan berpengaruh di daerahnya saat itu, yaitu Syaikh Abdul Muthalib Al Batah. Diceritakan bahwa jamaah sangat puas dengan apa yang disampaikannya. Beliau –hafizhahullah– ketika dalam penjara –tanpa pena dan secarik kertas- menyusun ontology (kumpulan puisi) yang diberi judul Malhamatul Ibtila Al Malhamah An Nuuniyah, semuanya cukup ia rekam dalam otaknya, yang baru sempat ia tulis setelah bebas, padahal syair itu berjumlah tiga ratus bait.

Tahukah Anda kekuatan Syaikh Al Albany dalam mempelajari, meneliti dan menelusuri hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Diceritakan dalam salah satu biografinya, ia sudah datang ke perpustakaan sebelum petugas datang dan baru pulang setelah malam sudah larut, sehingga tidak sedikit orang yang mengingatkannya. Jika orang bertanya kepadanya, ia akan jawab tanpa melepaskan kitab yang sedang dikajinya. Ustadz Muhammad Ash Shabagh berkata tentangnya, “Sebelah mata melihat kitab, sebelah lagi melihat si penanya.”

Subhanallah! Demikianlah keteladanan para ulama dalam kecintaan mereka terhadap ilmu. Maka para da’i seyogyanya menjadi orang yang tamak terhadap ilmu, dekat dengan mata airnya, menghormati ahlinya, bersungguh dalam menuntutnya, serta tidak lelah dalam memikulnya.  Sesungguhnya Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Salam telah berwasiat tentang ilmu.

Berkata ‘Amir bin Ibrahim:

كان أبو الدرداء إذا رأى طلبة العلم قال مرحبا بطلبة العلم وكان يقول ان رسول الله صلى الله عليه وسلم أوصى بكم

Bahwasanya Abu Darda’ jika melihat seorang thalibul ilmi beliau berujar:    Selamat datang wahai penuntut ilmu . Dan dia pernah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewasiatkan kamu sekalian (perkara menuntut ilmu). (Riwayat Ad Darimi dalam Sunannya No. 348. Syaikh  Al Albani mengatakan: isnad ini para perawinya terpecaya kecuali ‘Amir bin Ibrahim saya tidak mengetahuinya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah, 1/503)

  1. Teladan dalam Amal dan Ibadah

                Seorang da’i, ia teladan dalam ketepatan shalat pada waktunya, di mesjid, dan berjamaah. Ia amat keras usahanya untuk itu. Ia menjaga wudhunya dari apa yang membatalkannya dan amat memperhatikan adab-adab, seperti adab tilawah, adab doa, adab di mesjid, adab makan dan minum, adab safar dan di jalan,

Menjaga shaum sunah, shalat nawafil, sedekah sunah, dan dzikir, lalu ia menyembunyikan itu semua. Biar hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang tahu. Sebab hanya Dia yang memberikan ganjaran, selainnya tidak bisa memberikan apa-apa walau melihat amal-amal tersebut.

Selain itu yang terpenting adalah ia menjaga kualitas ibadahnya, yaitu keikhlasan. kesesuaian dengan syariat,  kekhusyuan, dan kontinyuitasnya. Tanpa pula meremehkan kuantitasnya.

Ini semua, jika kita lakukan dengan sungguh dan sebagaimanamestinya, niscaya memberikan pengaruh bukan hanya bagi si da’i tetapi bagi mereka yang melihatnya. Tanpa ia mengiklankan, masyarakat akan merasa malu jika tidak mengikutinya, walau tidak ikut, paling tidak mereka tidak memusuhinya.

  1. Teladan dalam Berkeluarga

                Seorang da’i harus bisa menampakkan citra keluarga da’wah dan harakah. Keluarga yang tegak amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Rumah mereka benar-benar tempat berteduh, suami tempat bercerita, isteri tempat melabuhkan hati, dan anak sebagai penyedap pandangan mata.  Potensi perselisihan tetaplah ada, namun mereka –selain menyerahkan semua kepada Allah- juga memiliki cara Islami untuk menyelesaikannya, seperti tidak boleh bermusuhan lebih tiga hari, mudah memaafkan, mengalah walau benar, tidak membandingkan isteri atau suami dengan yang lain, bersyukur atas pemberian dan pelayanan, dan seterusnya.

Keluarga da’i adalah keluarga yang rumahnya tidak ada kemungkaran seperti, musik-musik jahiliyah, majelis pergunjingan dan kebencian, patung dan lukisan makhluk bernyawa, dan dayyuts (yaitu orang yang tidak marah terhadap maksiat anggota keluarganya). Sebaliknya adalah semarak dengan tilawah Al Qur’an dan kajian tentangnya, nasihat-nasihat agama, majelis mahabbah, madrasah bagi anak-anak, dan nasyid-nasyid penyemangat hidup dan jihad, itupun seperlunya.

Keluarga da’i adalah keluarga yang anggota keluarganya mengerti dan menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, secara adil dan musyawarah.  Juga pandai bertetangga, baik dalam keadaan ridha atau marah. Sebab hidup bertetangga tidak lain adalah kumpulan kesabaran, pemakluman, dan lapang dada, sebab Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan manusia secara heterogen.

Keluarga da’i adalah contoh keseimbangan bagi masyarakat. Ia seimbang dalam urusan dunia dan akhirat, materi dan ruhi, kerja dan istirahat. Seimbang dalam berpakaian, tidak terlalu murah dan jelek sehingga menghinakan diri sendiri, atau terlalu mewah sehingga terkesan sombong. Keseimbangan ini amat diperlukan agar ia bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan dua kutub ekstrim manusia.

Wallahu A’lam wa lillahil ‘Izzah

 

  • Farid Nu’man Hasan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Para ulama berbeda pendapat dalam menilai hadits ini, sebagian mengatakan dhaif, seperti Syaikh Muhammad bin Darwisy bin Muhammad. (Asna Al Mathalib fi Ahadits Mukhtalifah Al Maratib, No. 1377), Imam Badruddin Az Zarkasyi  ( At Tadzkirah fil Ahaadits Al Musytahirah, Hal. 102, No. 33), Imam As Suyuthi (Ad Durar, Hal. 18),  Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Tahqiq Musnad Ahmad No. 5115), yang lain mengatakan shahih, seperti Imam Ibnu Hibban (Bulughul Maram, hal. 301), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 2831, 6149 ), Imam Al ‘Iraqi (Al Mughni ‘an Hamlil Asfar No. 851, juga dalam Takhrijul Ihya’ No.  843), Imam As Sakhawi (Al Maqashid Al Hasanah No. 1101, katanya: sanadnya dhaif tetapi memiliki banyak penguat, dari jalur Hudzaifah, Abu Hubairah, dan Anas), Imam Ibnu Hajar mengatakan hasan (Fathul Bari, 10/271).  Imam Al ‘Ajluni juga menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan oleh banyak jalur lainnya, sebagaimana yang dikuatkan oleh As Sakhawi dan  Al ‘Iraqi . (Kasyful Khafa, 2/240).

 

scroll to top