[Adab Pada Rambut] Menyemir Rambut

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن اليهود والنصارى لايصبغون فخالفوهم

“Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (rambut), maka berbedalah dengan mereka.” (HR. Abu Daud No. 4203, An Nasa’i No. 5069, Ibnu Majah No.3621. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)

Hadits ini menunjukkan; Pertama, anjuran berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dengan cara menyemir rambut, dan ini sunah. Kedua, secara mutlak dibolehkan menyemir rambut dengan warna apa saja, karena hadits ini tidak  mengkhususkan warna tertentu.

Tetapi dalam riwayat Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya menyebut dua warna:

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على مشيخة من الأنصار بيض لحاهم فقال: يا معشر الأنصار حمروا وصفروا وخالفوا أهل الكتاب

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersama seorang tua dari Anshar yang rambutnya putih merata. Maka dia bersabda: “Wahai orang Anshar, warnailah dengan merah dan kuning, dan berbedalah dengan ahli kitab.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari 10/354)

Bahkan, dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara khusus melarang warna hitam. Ketika datang Abu Quhafah (ayah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu) pada hari Fathul Makkah, yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

“غيروا هذا بشىءٍ، واجتنبوا السواد”.

“Rubahlah rambutnya ini dengan sesuatu, dan jauhilah warna hitam.”(HR. Abu Daud No. 4204, An Nasa’i No. 5076, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4204)

Dari hadits ini merupakan petunjuk yang jelas bolehnya menyemir rambut beruban dengan berbagai warna, tetapi  haram  menyemir dengan hitam sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah. Ada pun hadits sebelumnya masih bersifat umum (muthlaq), sedangkan hadits ini adalah muqayyad(spesisifik). Oleh karena itu, sesuai kaidah Hamlul Muthlaq Ilal Muqayyad, yang mutlak (umum) harus dibawa/dibatasi (taqyid) kepada yang muqayyad. Hadits ini menjadi pengecualian atas hadits sebelumnya. Ringkasnya, kita katakan: semua warna boleh kecuali hitam. Wallahu A’lam

Selanjutnya, apakah larangan ini menunjukkan makna haram –sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah dan sebagian Hambaliyah kontemporer, seperti Syaikh  ‘Utsaimin?

Jika kita lihat manath (objek hukum), maka kita paham bahwa larangan warna hitam itu berlaku buat kasus Abu Quhafah saja, lantaran usianya yang sudah sangat tua, sehingga tidak pantas lagi memiliki rambut berwarna hitam. Oleh karena itu pelarangan ini lebih tepat hanya sampai makruh, sebab kita menemukan data lain yang juga shahih bahwa para sahabat dan tabi’in menyemir dengan hitam.

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

ولهذا اختار النووي أن الصبغ بالسواد يكره كراهية تحريم. وعن الحليمي أن الكراهة خاصة بالرجال دون النساء فيجوز ذلك للمرأة لأجل زوجها. وقال مالك: الحناء والكتم واسع، والصبغ بغير السواد أحب إلي.

“Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh An Nawawi adalah bahwa menyemir dengan warna hitam adalah makruh, dengan makruh tahrim(mendekati haram). Dari Al Halimi, bahwa kemakruhannya khusus bagi laki-laki dan tidak bagi wanita, hal itu boleh bagi wanita demi membahagiakan suaminya. Malik berkata: diberikan keluasan bagi Inai dan Al Katam, dan menyemir dengan selain hitam lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 6/499. Darul Fikr)

Keterangan ini menunjukkan, bahwa dalam madzhab Syafi’i warna hitam adalah haram, paling tidak makruh tahrim (makruh mendekati haram), ini  bagi kaum laki-laki dan wanita. Tetapi, bagi Al Halimi wanita bersuami boleh memakai hitam untuk menyenangkan suaminya. Ada pun bagi Imam Malik, semua warna baginya tidak ada masalah, lapang-lapang saja, tetapi selain hitam dia lebih menyukainya.

Apa yang dikatakan oleh Al Halimi, bahwa makruh warna hitam hanya bagi laki-laki dan tidak bagi wanita demi membahagiakan suaminya, tentu membutuhkan dalil, dan masih bisa didiskusikan lagi. Sebab kita tidak temukan dalil itu melainkan bahwa larangan itu bersifat umum bagi laki-laki dan wanita.   Ada pun selain warna hitam, maka kebolehannya berlaku umum bagi semuanya.

📖 Sebagian Sahabat dan Tabi’in Ada yang Menyemir dan Ada Yang Tidak

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma menyemir rambutnya dengan inai. (HR. Muslim No. 2341)

Berkata Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah:

اختلف السلف من الصحابة والتابعين في الخضاب وفي جنسه فقال بعضهم ترك الخضاب أفضل وروى حديثًا عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم في النهي عن تغيير الشيب ولأنه صلى اللَّه عليه وآله وسلم لم يغير شيبه روي هذا عن عمر وعلي وأبي بكر وآخرين .

وقال آخرون الخضاب أفضل وخضب جماعة من الصحابة والتابعين ومن بعدهم للأحاديث الواردة في ذلك ثم اختلف هؤلاء فكان أكثرهم يخضب بالصفرة منهم ابن عمر وأبو هريرة وآخرون وروي ذلك عن علي .

وخضب جماعة منهم بالحناء والكتم وبعضهم بالزعفران وخضب جماعة بالسواد روي ذلك عن عثمان والحسن والحسين ابني علي وعقبة بن عامر وابن سيرين وأبي بردة وآخرين .

“Para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat tentang menyemir itu sendiri. Sebagian mereka mengatakan bahwa meninggalkannya adalah lebih utama. Dan diriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang larangannya   merubah uban, dan lantaran Beliau juga tidak merubah ubannya. Ini diriwayatkan dari Umar, Ali,  Abu Bakar, dan lainnya.

Ada pun yang lainnya mengatakan, menyemir adalah lebih utama. Segolongan sahabat dan tabi’in dan orang setelah mereka telah  melakukannya, lantaran adanya hadits-hadits tentang hal itu. Kemudian, mereka berbeda pula, kebanyakan mereka menyemir dengan warna kuning,  diantaranya Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan lainnya, dan juga diriwayatkan Ali melakukannya.

Di antara segolongan mereka ada yang menyemir dengan inai dan Al Katam (sejenis tumbuhan), dan sebagian lagi dengan za’faran, dan segolongan ada yang menggunakan warna hitam dan diriwayatkan hal itu dari Utsman, Al Hasan, Al Husein, Uqbah bin Amir, Ibnu Sirin, Abi Burdah, dan lainnya.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 1/118)

Maka, apa yang dilakukan sebagian sahabat dan tabi’in ini; mereka menggunakan warna hitam, lalu dikompromikan (taufiq) dengan dalil larangan menggunakan warna hitam, menunjukkan bahwa ia lebih tepat dihukum makruh. Seandainya itu haram, pastilah sahabat nabi menjadi generasi yang paling sigap menghindarinya apalagi cucu nabi seperti Al Hasan dan Al Husein juga menyemir dengan hitam.

📜 Kesimpulan

Ada pernyataan bagus  yang disampaikan Imam Ibnu Jarir Ath Thabari, yang dikutip oleh  Imam Asy Syaukani, yaitu pembolehannya mesti dilihat dulu kondisi orangnya. Imam Asy Syaukani mengutip dari Imam Ath ThabariRahimahullah, katanya:

الصواب أن الأحاديث الواردة عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم بتغيير الشيب وبالنهي عنه كلها صحيحة وليس فيها تناقض بل الأمر بالتغيير لمن شيبه كشيب أبي قحافة والنهي لمن له شمط فقط

“Yang benar adalah hadits-hadits yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa perintah untuk merubah uban dan berupa larangannya, semuanya adalah shahih, satu sama lain tidak saling menganulir. Tetapi perintah merubah uban adalah bagi siapa yang ubannya sudah seperti Abu Qahafah dan larangannya bagi siapa yang ubannya masih bercampur.”  (Nailul Authar, 1/118)

Namun, pembedaan yang dikatakan oleh Imam Ath Thabari ini bahwa penyemiran uban baru boleh jika sudah seperti Abu Quhafah yang rambutnya memutih semua, tentu tidak sesuai fakta sejarah para sahabat nabi. Faktanya tidak sedikit para sahabat yang menyemir  rambutnya, walau mereka belum sampai seperti Abu Qahafah. Kesimpulannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili berikut:

والصواب جواز تغيير الشيب وجواز تركه، وجواز الخضاب بأي لون كان، مع كراهة الخضاب بالسواد

“Yang benar adalah boleh merubah uban dan boleh juga membiarkannya, dan dibolehkan menyemirnya dengan warna apa saja, namun makruh menggunakan warna hitam.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/228. Maktabah Al Misykah)

Inilah pendapat yang lebih memadukan semua dalil yang ada, baik bagi laki-laki dan wanita untuk menyenangkan suaminya. Ada pun bagi wanita yang belum bersuami, terlarang secara mutlak, dan itu sia-sia, buat menyenangkan siapa dia?  Wallahu A’lam

Catatan:

Saat ini menyemir rambut dengan berbagai warna telah dilakukan oleh anak-anak muda ‘gaul’, mereka melakukannya  bukan karena menghidupkan sunah tetapi untuk gaya-gayaan dan mengikuti mode tren  penyanyi kafir. Maka, untuk saat ini,  mewarnai rambut menjadi merah atau lainnya bagi aktifis Islam, bisa   membawa masalah tersendiri lantaran pandangan masyarakat telah berubah, walau niat mereka adalah untuk menghidupkan sunah. Oleh karena itu dituntut kearifan dan kejelian mereka ketika berniat untuk melakukannya.

Wallahu A’lam

☘🌺🌻🍃🌴🌷🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Adab Pada Rambut

Larangan Mencukur Rambut dengan Cara Qaza’

Memotong Rambut Bagi Muslimah Sesuai Syariat

Batasan Panjang Rambut Laki-Laki

Memakai Minyak Rambut Bagi Laki-Laki

Tarajjul (Menyisir Rambut)

Larangan Keras Menyambung Rambut (Wig, Konde, dan Semisalnya)

Menyemir Rambut

Larangan Mencabut Uban

Menutupi Rambut Bagi Wanita Karena Itu Adalah Salah Satu Aurat

Tafsir Surat Al Mulk (Bagian 4)

📂Allah Menciptakan Tujuh Langit Berlapis-lapis

📌 Nash Ayat

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ (4)

 

“Yang telah menciptakan tujuh lapis langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan letih. ( QS. Al Mulk:3-4)

📌 Tinjauan Bahasa

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا

“Yang telah menciptakan tujuh lapis langit berlapis-lapis”

Langit yang diciptakan Allah bertingkat, sebagian berada diatas sebagian yang lain ( At Thabari,23/506)

Tingkatan langit yang Allah ciptaka menunjukkan Maha Sempurnanya Allah, Dia menciptakanlangit tanpa penyangga, tanpa terpengaruh gaya gravitasi bumi, terpisah antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya, tanpa cela, sungguh Maha sempurna Allah. ( Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir,29/11)

Hakikat langit tiada yang mengetahui kecuali Allah, jaraknya dari bumi sekitar perjalanan 500 tahun dengan perkiraan klasik, pendapat lain mengatakan langit adalah angkasa raya sebagai tempat bagi benda-benda langit dalam tata surya, terdiri dari galaksi dan gugusan bintang-bintang dengan jarak berbeda-beda itupula gambaran tingkatan langit yang Allah ciptakan,”( Wahbah Zuhaily, Tafsir Al Munir,29/11)

Keberadaan langit merupakan kekuasaan Allah atas makhuknya, hal itu bisa dilihat dari tiga sisi: pertama, Langit tetap berada diangkasa menggantung tanpa tiang dan penghubung ikatan,

kedua, tiap-tiap langit memiliki kekhususan masing-masing dalam ukuran tertentu,

ketiga, tiap-tiap langit memiliki pergerakan tertentu dilihat dari cepat atau lambatnya ( Ar Razi, Mafatihul Ghaib,30/581)

✅ Ayat 4

ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ

Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan letih (QS. Al Mulk:4)

Ar Razi berkata dalam tafsirnya:

أُمِرَ بِتَكْرِيرِ الْبَصَرِ فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ عَلَى سَبِيلِ التَّصَفُّحِ وَالتَّتَبُّعِ، هَلْ يَجِدُ فِيهِ عَيْبًا وَخَلَلًا، يَعْنِي أَنَّكَ إِذَا كَرَّرْتَ نَظَرَكَ لَمْ يَرْجِعْ إِلَيْكَ بَصَرُكَ بِمَا طَلَبْتَهُ مِنْ وِجْدَانِ الْخَلَلِ وَالْعَيْبِ

Diperintahkan untuk mengulangi pandangan dalam ciptaan Allah adalah jalan untuk wawasan dan mengamati, apakah terdapat aib atau cacat dalam ciptaan Allah, artinya jika engkau pandang berulang-ulangpun, maka pandanganmu tak kan menemukan kekurangan dan aib dalam ciptaan Allah ( Ar Razi,30/582)

📌Ayat Al Qur’an lain yang mengungkapkan tentang tujuh lapisan langit

Surat Al Isra: 44

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِن

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada didalamnya bertasbih kepada Allah”

✅ Surat Al Mukminun: 86

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“Katakanlah,” Siapakah Rabb yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki Arsy Yang Agung,?

Surat Fushilat:12

فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا

“Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing…

Surat At Thalaq:12

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ

“Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari penciptaan bumi juga serupa”

Surat Nuh:15

أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا

Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis”

Surat An Naba:12

وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا

“ Dan Kami membangun diatasmu tujuh langit yang kokoh”

📌Hikmah Surat

🔹Allah Maha Kuasa untuk menciptkan makhluk dalam bentuk apapun sesuai dengan kehendak-Nya.

🔹Allah menciptakan langit bertingkat dalam tujuh lapisan, tiada penopang, masing-masing lapisan memiliki kekhususan tertentu, hanya Allah yang Maha Mengetahui-Nya.

🔹Jika kita mengulangi pandangan kita, berfikir atas kebesaran Allah niscaya dalam penciptaan langit, bumi dan seisinya, tiada cacat dalam penciptaan-Nya.

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Fauzan Sugiono

Serial Tafsir Surat Al Mulk:

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 1) Gambaran Umum Surat Al Mulk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 2)

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 3) Amal Terbaik

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 4) Allah Menciptakan Tujuh Langit Berlapis-lapis

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 5) Bintang dilangit dijadikan Allah alat pelempar syetan

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 6) ILUSTRASI MURKA NERAKA KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 7) PENYESALAN ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 8) ALLAH MENGETAHUI YANG TERSEMBUYI DAN NYATA

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 9) ALLAH MAHA PEMBERI RASA AMAN

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 10) DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 11) ALLAH MAHA PENOLONG, ALLAH PEMBERI REZEKI

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 12) Perumpamaan Orang Yang Mendapat Petunjuk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 13) Nikmat Pendengaran, Penglihatan dan Hati Nurani

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 14) Hanya Allah Yang Maha Tahu Kapan Datangnya Hari Kiamat

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 15) Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 16) Allah Maha Mematikan dan Memberi Rahmat, Tawakal Hanya Kepada-Nya, serta Dia Maha Pemberi Nikmat air

Masalah Gambar, Lukisan, Patung, Boneka, Foto, dan TV

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum …,  Benarkah rumah yang ada lukisannya, malaikat tidak mau masuk ke rumah tersebut? Dan bagaimana dengan foto keluarga? (dari 085265893xxx)

📬 JAWABAN

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Ya, rumah yang terdapat lukisan, yakni lukisan makhluk bernyawa seperti manusia dan hewan, dapat mencegah masuknya malaikat rahmat ke rumah kita. Hal ini berdasarkan hadits berikut:

Dari Abu Thalhah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ

“Malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat anjing dan lukisan.”[1]

Dalam hadits lain, dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ وَلَا كَلْبٌ وَلَا جُنُبٌ

“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat lukisan (gambar), anjing, dan orang yang junub.”[2]

Malaikat apakah yang dimaksud di sini? Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

فَهُمْ مَلَائِكَة يَطُوفُونَ بِالرَّحْمَةِ وَالتَّبْرِيك وَالِاسْتِغْفَار ، وَأَمَّا الْحَفَظَة فَيَدْخُلُونَ فِي كُلّ بَيْت ، وَلَا يُفَارِقُونَ بَنِي آدَم فِي كُلّ حَال ، لِأَنَّهُمْ مَأْمُورُونَ بِإِحْصَاءِ أَعْمَالهمْ ، وَكِتَابَتهَا

“Mereka adalah malaikat yang berkeliling dengan membawa rahmat, berkah, dan pengampunan, sedangkan malaikat penjaga, maka mereka masuk ke setiap rumah, mereka tidak memisahkan diri dengan manusia dalam segala keadaan, karena mereka diperintahkan untuk menghitung amal manusia dan menuliskannya.”[3]

Berkata Imam Al Khathabi dalam Ma’alim As Sunan:

يُرِيد الْمَلَائِكَة الَّذِينَ يَنْزِلُونَ بِالْبَرَكَةِ وَالرَّحْمَة دُون الْمَلَائِكَة الَّذِينَ هُمْ الْحَفَظَة فَإِنَّهُمْ لَا يُفَارِقُونَ الْجُنُب وَغَيْر الْجُنُب

“Yang dimaksud malaikat di sini adalah malaikat yang turun bersama keberkahan dan rahmat, bukan malaikat penjaga, sebab mereka tidaklah menjauh baik kepada orang yang junub dan yang tidak junub.”[4]

Lukisan atau gambar apa yang dimaksud?  Beliau juga berkata:

وَأَمَّا الصُّورَة فَهِيَ كُلّ مُصَوَّر مِنْ ذَوَات الْأَرْوَاح كَانَتْ لَهُ أَشْخَاص مُنْتَصِبَة ، أَوْ كَانَتْ مَنْقُوشَة فِي سَقْف أَوْ جِدَار أَوْ مَصْنُوعَة فِي نَمَط أَوْ مَنْسُوجَة فِي ثَوْب أَوْ مَا كَانَ ، فَإِنَّ قَضِيَّة الْعُمُوم تَأْتِي عَلَيْهِ فَلْيُجْتَنَبْ .

“Ada pun lukisan yang dimaksud yaitu semua lukisan yang memiliki ruh, baik lukisan seseorang, atau ukiran pada atap rumah atau dinding, atau yang dibuat pada kain,  atau hasil tenunan pada pakaian, atau apa saja. Sesungguhnya dalam masalah ini dalil yang ada adalah umum, maka hendaknya dijauhi.”[5]

Dari keterangan ini maka lukisan bukan makhluk bernyawa, seperti lautan, pegunungan, kubus, dan lainnya dari benda-benda mati, tidaklah termasuk dalam hadits tersebut.

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

إِنْ كُنْتَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَاصْنَعْ الشَّجَرَ وَمَا لَا نَفْسَ لَهُ

“Jika kau ingin melakukannya, maka buatlah pohon, atau apa-apa yang tidak bernyawa.”[6]

Berikut adalah ulasan Syaikh Ali Ash Shabuni tentang patung dan lukisan yang diharamkan dan yang dibolehkan, dalam Kitab Rawa’i Al Bayan, Juz. 2, Hal. 334-335. Cet. 1, 2001M-1422H. Darul Kutub Al Islamiyah. Beliau menulis:

📌Patung dan Gambar seperti apa yang Diharamkan?

Patung dan gambar yang diharamkan adalah sebagai berikut:

1. Patung berbentuk tubuh yang memiliki ruh (nyawa) seperti patung manusia dan hewan. Ini haram menurut ijma’ (konsensus/kesepakatan). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:“Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke rumah yang di dalamnya ada anjing, gambar, patung, dan orang junub.” (HR. Imam Bukhari)[7]

2. Gambar yang dibuat oleh tangan (melukis), berupa bentuk yang memiliki ruh. Ini juga disepakati keharamannya.   Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya pembuat gambar ini akan diazab pada hari kiamat. Diperintahkan kepada mereka, ‘Hidupkan apa-apa yang kau ciptakan.’ ” (HR. As Sittah)[8], juga hadits: “Barangsiapa yang membuat gambar, Diperintahkan untuk meniupkan ruh pada gambar tersebut, dan dia tidaklah mampu meniupkannya.”[9]

3.Gambar yang bentuknya lengkap (sempurna), tidak ada yang kurang kecuali ruh saja, ini juga disepakati haramnya berdasarkan hadits-hadits sebelumnya, seperti: “Diperintahkan untuk meniupkan (memberikan) ruh pada gambar tersebut, dan tidaklah mampu untuk meniupkannya.” [10]

Juga hadits lain, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku, saat itu aku mengenakan kain lembut yang bergambar, maka raut mukanya berubah, kemudian ia mengambilnya dan merobeknya. Lalu berkata, ‘Sesungguhnya manusia yang paling keras azabnya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang membuat hal yang serupa dengan makhluk Allah.’ “ ‘Aisyah berkata: “Maka aku potong kain itu dan aku jadikan dua bantal, dan Rasulullah bersandar di atasnya.” [11]

“Kemudian ia mengambil dan merobeknya” menunjukkan keharaman gambar. Lalu, dipotong oleh ‘Aisyah menjadi dua bantal sehingga gambar menjadi terbagi dan tidak sempurna, ini menunjukkan kebolehannya jika tidak sempurna. Dari sinilah para ulama menyimpulkan, bahwa gambar jika tidak lengkap (sempurna) tidaklah haram.

4. Gambar-gambar yang diagungkan, digantung (pajang-pamer) agar dilihat-lihat, maka ini juga haram tanpa diperselisihkan. Hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa dahulu ia punya kain yang memiliki gambar burung, jika ada orang masuk pasti akan melihatnya, maka RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jauhkan ini dariku, sebab tiap aku melihatnya membuat aku ingat dengan dunia.” (HR. Imam Muslim, lihat juga Tafsir Al Qurthuby dan Ahkamul Qur’an-nya Ibnul ‘Araby)[12]

Hadits dari Abu Thalhah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa ‘Aisyah berkata: “Nabi keluar pada hari peperangan, lalu aku mengambil namath ,  aku tutupi pintu dengannya. Ketika ia pulang, ia melihatnya, dan aku mengetahui adanya ketidaksukaan pada wajahnya, ia menariknya hingga terkoyak, dan bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk  membungkus batu dan tanah!” ‘Aisyah berkata: “Maka aku potong kain itu, lalu aku jadikan dua bantal dan aku penuhi keduanya dengan sabut, aku tidak melihat ia mencelaku karena itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, lihat Jam’ul Fawaaid, juz 1, hal. 825)[13]

📌Patung dan Gambar Apa yang Dibolehkan?

1. Setiap Patung atau gambar yang tidak bernyawa, seperti bentuk bangunan, sungai, pepohonan, pemandangan alam. Dan seluruh yang tidak memiliki ruh (nyawa). Maka tidak haram menggambarkannya, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu  terdahulu ketika ia ditanya seseorang, “Sesungguhnya akulah yang menggambar ini, berikan fatwamu untukku tentang hal ini?…” lalu Ibnu Abbas memberitahukan hadits nabi, lalu ia berkata: “Jika engkau ingin menggambar, gambarlah pepohonan, dan apa-apa yang tidak memiliki ruh.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)[14]

2.  Setiap gambar yang tidak utuh, seperti salah satu tangan misalnya, atau mata, atau kaki, maka itu tidak haram karena itu bukanlah gambaran makhluk yang sempurna. Ini sesuai hadits dari ‘Aisyah, katanya: “Aku memotongnya, lalu aku jadikan dua bantal, aku tidak melihat ia mencelaku karena itu.”

3. Juga dikecualikan mainan (boneka) anak perempuan (la’ibul banaat). Telah ada berita yang pasti dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha  bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya saat usianya baru tujuh tahun, lalu ia membawa ‘Aisyah ke rumahnya saat ‘Aisyah berusia sembilan tahun, dan saat itu ia masih bersama bonekanya. Rasulullah wafat saat usianya baru delapan belas tahun. (HR. Muslim, lihat juga Jam’ul Fawaaid)[15]

Dari ‘Aisyah dia berkata, “Aku bermain bersama anak-anak perempuan di dekat Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat itu aku memiliki sahabat yang bermain bersamaku, jika beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke rumah, sahabat-sahabatku malu kepadanya dan pergi, lalu beliau memangil mereka dan mendatangkan mereka untukku agar  bermain bersamaku lagi.”

Berkata para ulama: Sesungguhnya dibolehkannya boneka anak-anak karena adanya kebutuhan terhadapnya, yaitu kebutuhan anak perempuan agar ia memiliki pengalaman dalam mengasuh anak-anak, namun tidak boleh terus menerus sebab dibolehkannya karena adanya kebutuhan tadi.[16] Serupa dengan ini adalah bentuk yang terbuat dari permen dan adonan kue. Ini adalah keringanan (dispensasi) dalam masalah ini.[17] Selesai kutipan dari Syaikh Ali Ash Shabuni.

📌Bagaimana Hukum Fotografi?

Tentang hukum fotografi (makhluk bernyawa) para ulama kita telah berselisih pendapat, ada yang mengharamkan karena itu termasuk keumuman hadits larangan untuk menggambar, kecuali untuk kebutuhan mendesak seperti KTP, Pasport, dan lainnya. Ada pula yang membolehkan selama isi fotonya adalah hal-hal yang baik, tidak diagungkan, bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan informasi. Namun, yang benar adalah kelompok kedua, sebab fotografi bukanlah menggambar atau melukis, melainkan bayangan manusia itu sendiri, sebagaimana bercermin. Jadi, sumber penyebab  perbedaan pendapat ini adalah perbedaan para ulama ini dalam mempersepsikan fotografi.

Berkata Fadhilatus Syaikh As Sayis: “Anda berharap mengetahui hukum fotografi, maka kami katakan, ‘Mungkin menurut anda hukumnya sama dengan hukum gambar di pakaian/kain, dan anda telah mengetahui ada nash yang mengecualikannya. Anda juga mengatakan, ‘Sesungguhnya fotografi bukanlah menggambar, tetapi menahan (merekam-pent) gambar, sebagaimana gambar di cermin, tidak mungkin anda mengatakan yang di cermin itu adalah gambar (lukisan), dan sesungguhnya itu satu bentuk (dengan aslinya).

Apa-apa yang dibuat oleh alatut tashwir (tustel)  adalah gambar sebagaimana di cermin, tujuan dari ini adalah bahwa alat tersebut menghasilkan dengan pasti bayangan nyata[18] yang terjadi padanya (negatif film – klise), sedangkan cermin tidak seperti itu. Kemudian klise itu diletakkan pada zat asam tertentu, maka tercetaklah sejumlah gambar/foto (proses ini disebut cuci cetak-pent). Jelas ini secara hakiki  bukanlah menggambar. Sebab ini sekadar upaya memperjelas dan menampakkan gambar yang sudah ada, supaya tertahan dari sinar matahari langsung (agar tidak terbakar –pent). Mereka berkata: “Sesungguhnya seluruh foto yang ada bukanlah hasil dari pemindahan (gambar)  dengan perbuatan  sinar  dan cahaya, selamanya tidak ada larangan dalam memindahkan dan mengasamkannya, dan selamanya di dalam syariat yang luas ini foto itu dibolehkan, sebagaimana pengecualian gambar pada pakaian/kain, tidak ada dalil secara khusus yang mengharamkannya. Telah tampak bahwa manusia menjadikannya sebagai barang kebutuhan yang sangat penting bagi mereka.” (Ayatul Ahkam lis Sayis, Juz. 4, hal. 61) [19]

Sementara Syaikh Ali Ash Shabuni sendiri cenderung mengharamkan fotografi, kecuali darurat kebutuhan. Beliau berkata:

Aku (Syaikh Ali Ash Shabuni) mengatakan, “Sesungguhnya fotografi tidaklah keluar dari prinsip larangan menggambar, tidak juga keluar dari apa-apa yang oleh ayat disebut  shurah(gambar/lukisan), dan orang yang membuatnya oleh bahasa dan tradisi disebut mushawwir(pelukis). Jika pun foto tidak termasuk yang dimaksud oleh ayat yang jelas ini -lantaran ia tidak dibuat langsung oleh tangan, dan tidak ada unsur penyerupaan terhadap ciptaan Allah- namun ia tidak keluar dari keumuman maksud dari pembuatan  gambar/lukisan (tashwiir). Maka hendaknya pembolehan foto dibatasi atas dasar kebutuhan mendesak (dharurah), dan karena jelas manfaatnya. Sebab, telah terjadi kerusakan besar yang dihasilkan oleh foto, sebagaimana keadaan majalah-majalah hari ini yang telah menyemburkan racunnya kepada pemuda-pemuda kita, sehingga lahirlah fitnah (bencana) dan kelalaian, di mana terpampang foto-foto bentuk tubuh wanita dan wajah-wajah mereka[20], dengan kepalsuan dan penampilan yang merusak agama dan akhlak.

Adapun foto-foto telanjang, pemandangan yang rendah dan hina, dan rupa-rupa yang membawa fitnah (kerusakan) yang terlihat pada majalah-majalah porno, di mana kebanyakan halamannya mengandung kegilaan, maka akal tidak ragu atas keharamannya, walau gambar tersebut bukan buatan tangan secara langsung, namun kerusakan dan bencana yang dihasilkannya lebih besar dibanding lukisan dengan tangan.

Kemudian, sesungguhnya ‘Ilat (alasan) pengharaman foto  bukan karena ia  menyerupai dan menyamai makhluk Allah, tetapi karena adanya titik persamaan dengan jenis gambar yang telah diberi peringatan, yaitu bahwa watsaniyah (paganisme – keberhalaan) yang merasuki umat-umat terdahulu terjadi karena melalui jalan ‘gambar’. Di mana jika orang shalih mereka wafat, mereka membuat gambarnya (patung) dan mengabadikannya untuk mengingatnya dan mengikutinya. Kemudian datang generasi setelah mereka, menyembah patung tersebut. Maka apa-apa yang dilakukan manusia, menggantung foto  besar yang diberi perhiasan di dinding rumah, walau sekadar untuk kenang-kenangan, dan tidak dibuat dengan tangan (bukan lukisan), ini termasuk yang tidak dibolehkan oleh syariat. Karena, nantinya  berpotensi  untuk mengagungkannya dan menyembahnya, sebagaimana yang dilakukan Ahli Kitab terhadap para nabi dan orang-orang shalih mereka.[21]

Maka pemutlakan kebolehan foto dengan alasan ia bukanlah melukis melainkan menahan (merekam) bayangan. Seharusnya pembolehannya terikat yaitu  karena dharurat kebutuhan seperti foto identitas pribadi, dan semua hal yang berkaitan dengan maslahat dunia yang dibutuhkan manusia. Wallahu A’lam[22] Demikian uraian Syaikh Ali Ash Shabuni.

Begitu pula pelarangan datang dari Fatwa Al Lajnah Ad Daimah yang diketuai saat itu oleh Al ‘Allamah Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah, kecuali untuk KTP, Pasport, Foto Penjahat, dan kebutuhan mendesak lainnya. Menurut mereka foto adalah sama saja dengan lukisan dan termasuk dalam keumuman larangan yang terdapat dalam hadits-hadits shahih. [23] Bahkan mereka menyebut termasuk dalam Al Kabaair (dosa besar).[24]

Sementara itu, Syaikh Wahbah Az Zuhaili mengatakan:

أما التصوير الشمسي أو الخيالي فهذا جائز، ولا مانع من تعليق الصور الخيالية في المنازل وغيرها، إذا لم تكن داعية للفتنة كصور النساء التي يظهر فيها شيء من جسدها غير الوجه والكفين، كالسواعد والسيقان والشعور، وهذا ينطبق أيضاً على صور التلفاز وما يعرض فيه من رقص وتمثيل وغناء مغنيات، كل ذلك حرام في رأيي.

“Ada pun fotografi maka itu boleh, dan tidak terlarang menggantungnya di rumah dan selainnya jika tidak mengundang fitnah, seperti foto wanita yang menampakkan bagian tubuhnya selain wajah dan telapak tangan, seperti bagian dada, betis, rambut, dan ini juga berlaku pada gambar televisi. Apa-apa yang terjadi di dalamnya seperti tarian, panggung, dan penyanyi wanita, semua ini adalah haram menurutku.”[25]

Syaikh Jaad Al Haq Ali Jaad Al Haq Rahimahullah –mufti Mesir-  berkata:

اختلف الفقهاء فى حكم الرسم الضوئى بين التحريم والكراهة، والذى تدل عليه الأحاديث النبوية الشريفة التى رواها البخارى وغيره من أصحاب السنن وترددت فى كتب الفقه، أن التصوير الضوئى للإنسان والحيوان المعروف الآن والرسم كذلك لا بأس به، إذا خلت الصور والرسوم من مظاهر التعظيم ومظنة التكريم والعبادة وخلت كلذلك عن دوافع تحريك غريزة الجنس وإشاعة الفحشاء والتحريض على ارتكاب المحرمات .

ومن هذا يعلم أن تعليق الصور فى المنازل لا بأس به متى خلت عن مظنة التعظيم والعبادة، ولم تكن من الصور أو الرسوم التى تحرض على الفسق والفجور وارتكاب المحرمات .

“Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukum foto,  antara yang mengharamkan dan memakruhkan, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits nabi yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya dari pengarang kitab As Sunan, dan dituangkan dalam kitab-kitab fiqih.  Sesungguhnya foto manusia dan hewan yang sekarang kita kenal adalah tidak  mengapa, jika tidak dicampur dengan sikap  pemandangan untuk diagungkan, dimuliakan, dan diibadahi, dan juga tidak dicampuri dengan hal-hal yang menggerakan syahwat, menyiarkan kekejian, dan segala hal yang diharamkan.

Dari sini, bisa diketahui bahwa menggantungkan foto tidaklah mengapa selama bersih dari pengagungan, peribadatan, dan bukan termasuk gambar yang mengundang kefasikan, dosa, dan hal-hal yang diharamkan lainnya.”[26] Demikian Syaikh Jaad Al Haq Rahimahullah.

Tetapi, tidak menggantungkannya adalah lebih utama sebagai pencegahan pengagungan tersebut, walau itu foto  yang sopan dan orang shalih. Ini pun merupakan upaya keluar dari khilafiyah, dan keluar dari khilafiyah adalah afdhal untuk dilakukan.

Asy Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan –setelah beliau membeberkan perbedaan pendapat para ulama tentang membawa tustel ke dalam Masjidil Haram:

والأولى للمسلم أن يخرج من الخلاف ويستبرئ لدينه وعرضه، ويدع ما لا تدعو إليه الضرورة أو الحاجة من الصور

Paling utama bagi seorang muslim adalah dia keluar dari perbedaan pendapat ini demi menjaga kehormatan agama dan kehormatan dirinya, dan hendaknya dia meninggalkan apa-apa yang tidak mendesak dibutuhkannya, termasuk gambar-gambar.[27]

📌Bagaimana dengan televisi?

Sebagian ulama ada yang tetap mengharamkan TVkarena menurut mereka gambar yang ada di dalamnya termasuk keumuman makna “gambar” yang dimaksud dalam hadits. Inilah pandangan Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i Rahimahullah, dan yang mengikutinya.

Sementara ulama lain menyatakan bahwa keharaman TV mesti dirinci, dengan kata lain TV bisa mubah, bahkan dianjurkan untuk dilihat, juga bisa haram, tergantung konten mata acara dan tampilan yang ada di dalamnya.  Selain itu,TV tidaklah sama dengan makna menggambar, melukis, dan mematung yang dimaksud dalam hadits. Sebab proses terjadinya TV dengan benda-benda tersebut juga berbeda.

Para ulama dalam Al Lajnah Ad Daimah menyebutkan:

اما التليفزيون، فيحرم ما فيه من غناء وموسيقى وتصوير وعرض صور ونحو ذلك من المنكرات، ويباح ما فيه من محاضرات إسلامية ونشرات تجارية أو سياسية ونحو ذلك مما لم يرد في الشرع منعه، وإذا غلب شره على خيره كان الحكم للغالب.

Ada pun TV, diharamkan jika di dalamnya terdapat nyanyian, musik, lukisan, dan semisalnya yang termasuk kategori kemungkaran. Dibolehkan jika didalamnya berisi tentang ceramah Islam, berita ekonomi, politik, dan semisalnya, yang memang tidak ada larangan dalam syariat. Jika keburukannya lebih banyak dibanding kebaikannya, maka hukumnya adalah hukum menurut yang paling dominan. [28]

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah juga berpendapat demikian. Berikut ini fatwa Beliau:

السؤال 36:ما حكم التلفزيون اليوم؟

الجواب: التلفزيون اليوم لا شك أنه حرام، لأن التلفزيون مثل الراديو والمسجل، هذه كغيرها من النعم التي أحاط الله بها عباده كما قال: {وإن تعدوا نعمة الله لا تحصوها} فالسمع نعمة والبصر نعمة والشفتان نعمة واللسان، ولكن كثيرا من هذه النعم تصبح نقما على أصحابها لأنهم لم يستعملوها فيما أحب الله أن يستعملوها؛ فالراديو والتلفزيون والمسجل أعتبرها من النعم ولكن متى تكون من النعم؟ حينما توجه الوجهة النافعة للأمة، التلفزيون اليوم بالمئة تسعة وتسعون فسق، خلاعة، فجور، أغاني محرمة، إلى آخره، بالمئة واحد يعرض أشياء قد يستفيد منه بعض الناس فالعبرة بالغالب، فحينما توجد دولة مسلمة حقا وتضع مناهج علمية مفيدة للأمة حينئذ لا أقول : التلفزيون جائز، بل أقول واجب.

Pertanyaan 36: Apa hukum Televisi?

Tidak ragu lagi, TV saat ini adalah haram. Sebab, TV adalah adalah sebagaimana radio dan alat perekam (recorder), hal ini sama dengan lainnya adalah di antara nikmat-nikmat dari Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya, sebagaiman firmanNya: (jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya tidak akan terhingga), maka mendengar adalah nikmat, melihat adalah nikmat, dua bibir dan lisan adalah nikmat, tetapi banyak nikmat-nikmat ini justru membawa malapetaka bagi yang memilikinya, karena mereka menggunakannya bukan pada sesuatu yang Allah sukai untuk dipergunakan. Maka, TV, radio, recorder, saya menyebutnya sebagai nikmat, tetapi kapan semua ini menjadi nikmat? Yaitu ketika semua ini ditempatkan pada arah yang membawa manfaat bagi umat, TV hari ini 99 persen adalah kefasikan, porno, nyanyian yang diharamkan, dan lainnya. Hanya satu persennya acara TV yang bisa diambil manfaatnya bagi sebagian manusia, dan hukum dinilai dari yang dominan.

Jadi, ketika negara Islam yang sebenarnya sudah ada, dan mereka membuat program acara ilmiah yang bermanfaat bagi umat, maka saat itu bukan saja aku katakan TV itu boleh, tetapi aku katakan wajib. [29] Demikian fatwa Asy Syaikh Al Albani Rahimahullah rahmatan wasi’ah.

Kami kira pandangan mereka tentang TV adalah pandangan yang lebih tepat, bahwa keharaman TV bukan pada zatnya, tetapi materi acaranya.  Jika baik dan bermanfaat bagi agama dan dunia, maka tidak apa-apa bahkan mesti dilihat, seperti materi ceramah agama, kajian para ulama, pendidikan anak, informasi dunia Islam, dan semisalnya, jika tidak demikian, bahkan isinya  membawa kerusakan, baik yang ada pada sinetron, infotainment, konser musik, dan sejenisnya,  maka mesti dijauhi. Dan, hari ini acara TV umumnya memang penuh kerusakan, maka lebih sering mematikannya adalah lebih baik.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🌻🌴🌺☘🌷🌸🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

 


🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Bukhari No. 3322, sedangkan dalam riwayat Ibnu Abbas (Shahih Bukhari No. 3225)  disebutkan: Shuuratu tamaatsil (gambar patung),  Muslim No. 2106

[2] HR. Abu Daud No. 227,  An Nasa’i No. 261,  Ahmad No. 1290, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4792, Al Hakim No. 611, Ibnu Hibban No. 1205.

Imam Al Hakim mengatakan shahih, dan Imam Adz Dzahabi menyepakatinya dalam At Talkhish. (Lihat Al Mustadrak No. 611).  Imam An Nawawi mengatakan jayyid (baik/bagus). (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/157)

Imam Al ;Iraqi mendhaifkannya. (Dhaif Abi Daud, 1/76).   Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No.227, Dhaiful Jami’ No. 6203, Dhaif At Targhib wat Tarhib No. 131), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkannya. (Ta’liq Musnad AhmadNo. 1290), tetapi  dalam sanad lain Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4281. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr mengatakan: “Penyebutan junub hanya ada pada hadits ini, dan ini tidak tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Syarh Sunan Abi Daud, 23/252). Bahkan Syaikh Al Albani menyebut tambahan tersebut adalahmunkar. (Lihat Dhaif Abi Daud, 1/76). Al Hafizh Ibnul Qaththan Al Fasi mengatakan: “Isnad riwayat Muslim dan Bukhari lebih shahih dan tinggi.” (Al Hafizh Ibnul Qaththan Al Fasi, Bayan Al Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, 2/138. Dar Thayyibah), yaitu yang tanpa menyebut “orang junub” seperti pada hadits pertama.

Persilisihan ini karena pada semua jalur terdapat perawi bernama Abdullah bin Nujayyindan ayahnya, yakni Nujayyin Al Hadhrami.   Imam Al Bukhari berkata tentang Abdullah bin Nujayyin: “fiihi nazhar – Padanya  ada yang perlu dipertimbangkan.” (Tarikh Al Kabir No. 690). Seperti itu pula yang dikatakan Imam Ibnu ‘Adi. (Mukhtashar Al Kaamil fidh Dhuafa No. 1058). Imam Al Uqaili memasukkanya dalam Adh Dhu’afa (orang-orang yang dhaif). (Adh Dhuafa, 2/312). Imam Asy Syafi’i mengatakan: majhul (tidak diketahui), Imam Ad Daruquthni juga mendhaifkannya. (Dhaif Abi Daud, 1/77)

Sementara Imam Al ‘Ijli mengatakan: tsiqah (terpercaya), dan dia termasuk tabi’in pilihan.  (Ma’rifatuts Tsiqaat, 2/64). Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqaat (No. 3695). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: shaduuq (jujur). (Taqribut Tahdzib No. 3664). Imam An Nasa’i mengatakan: “tidak apa-apa.” (Maghani Al Akhyar No. 1395)

Sementara ayahnya, Nujayyin bin Salamah Al Hadhrami, para ulama juga berselisih tentangnya. Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Tidak membuatku senang berhujjah dengan riwayat darinya jika dia menyendiri dalam periwayatan.” (Ats Tsiqaat No. 5824). Imam Adz Dzahabi mengatakan: Layyin (lemah). (Al Kaasyif No. 5803). Dalam kitabnya yang lain, Imam Adz Dzahabi mengatakan: Laa yu’raf (tidak dikenal). (Al Mughni fi Adh Dhuafa No. 6601). Beliau juga berkata: Tidak diketahui siapa dia?” (Mizanul I’tidal No. 9019)

Imam Al ‘Ijli mengatakan: Kufi tabi’i tsiqah (orang kufah, generasi tabi’in, terpercaya). (Ma’rifatuts

Tsiqaat No. 1844). Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad mengatakan: dia maqbuul (bisa diterima), Abu Daud, An Nasa’i, dan Ibnu Majah telah mengambil hadits darinya. (Syarh Sunan Abi Daud, 2/172).

Demikianlah keadaan dua orang perawi yang membat berselisihnya para imam tentang kedudukan hadits ini. Wallahu A’lam

[3] Imam An Nawawi, Al Minhaj  Syarh Shahih Muslim, 14/84.  Imam Badruddin Al ‘Aini,Syarh Sunan Abi Daud, 1/506. Syaikh Abul A’la Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 8/72

[4] Imam Abu Ath Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 1/260. Juga Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 2/37

[5] Ibid

[6] HR. Muslim No. 2110, Ahmad No. 2810

[7] Demikian hadits yang tertera dalam kitab tersebut. Yang benar adalah dalam Shahih Bukhari tidak menyebutkan “orang junub” sebagaimana yang telah kami sebutkan pada bagian awal. Lalu, sebagian orang mengatakan, “Rasulullah mengharamkan patung, karena saat itu manusia imannya masih lemah, sehingga jika dihalalkan khawatir mereka kembali meyembah patung, tetapi setelah iman sudah kuat dan tak ada lagi yang menyembah patung dan kekhawatiran untuk menyembahnya,  maka tak ada alasan lagi patung diharamkan.”  Perkataan ini ada beberapa kesalahan. Pertama, 2,5 milyar manusia masih menyembah patung di India,  Cina, Thailand, Bali, dan lain-lain, baik itu pemeluk Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya. Kedua, patung diharamkan bukan karena alasan itu (faktor kuat atau lemahnya iman), tetapi karena patung (dan lukisan) adalah penyerupaan terhadap makhluk Allah ‘Azza wa Jalla, belum lagi alas an lain yakni tidak masuknya malaikat ke rumah yang ada patung, dan patung merupakan tempat bersemayamnya syetan –pent.

[8] Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

Sesungguhnya para pembuat lukisan ini akan diazab pad ahari kiamat nanti, dan dikatakan kepada mereka: “Hidupkan apa-apa yang telah kamu ciptakan!” (HR. Bukhari No. 5951, Muslim No. 2108, Ibnu Majah No. 2151, dari ‘Aisyah, Ahmad No. 4475,  An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5266, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 14331, dari ‘Aisyah. Ibnu Hibban No. 5845, dari ‘Aisyah, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 1489, dari ‘Aisyah, Abu Ya’la No. 4438, dari ‘Aisyah)

[9] Hadits tersebut dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فِي الدُّنْيَا كُلِّفَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ

Barangsiapa yang membuat sebuah gambar di dunia, maka akan dibebankan pada hari kiamat nanti untuk meniukan ruh pada gambaer tersebut, dan dia tidak bisa melakukannya. (HR. Bukhari No. 5963, Muslim No. 2110, At Tirmidzi No. 1751, Abu Daud No. 5024, Ahmad No. 1866,  6326, dari Ibnu Umar, No. 10549, dari Abu Hurairah. Lafaz ini milik Imam Al Bukhari)

[10] Lihat takhrijnya pada catatan kaki no. 9

[11]  ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مُتَسَتِّرَةٌ بِقِرَامٍ فِيهِ صُورَةٌ فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ ثُمَّ قَالَ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk menemuiku, saat itu aku mengenakan kain lembut yang bergambar, maka raut mukanya berubah, kemudian ia mengambilnya dan merobeknya.Lalu berkata, ‘Sesungguhnya manusia yang paling keras azabnya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang membuat hal yang serupa dengan makhluk Allah.’ (HR. Muslim No. 2107, 91)

Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata:

فَقَطَعْنَاهُ فَجَعَلْنَا مِنْهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ

Maka aku memotongnya dna menjadikannya sebuah atau dua buah bantal. (Muslim No. 2107, 92)

[12] ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كَانَ لَنَا سِتْرٌ فِيهِ تِمْثَالُ طَائِرٍ وَكَانَ الدَّاخِلُ إِذَا دَخَلَ اسْتَقْبَلَهُ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَوِّلِي هَذَا ف

َإِنِّي كُلَّمَا دَخَلْتُ فَرَأَيْتُهُ ذَكَرْتُ الدُّنْيَا

Kami memiliki kain tabir yang terdapat gambar patung burung. Dia terletak di dalam yang jika kami masuk maka kami akan menghadapnya. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadaku: “Jauhkan aku dari ini, sesungguhnya setiap kali saya masuk maka saya melihatnya, dan membuat saya teringat dnegan dunia.” (HR. Muslim No. 2107, 88, Ahmad No 24218, Ibnu Hibban No. 672, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6100, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 9775)

[13] ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

سَأُحَدِّثُكُمْ مَا رَأَيْتُهُ فَعَلَ رَأَيْتُهُ خَرَجَ فِي غَزَاتِهِ فَأَخَذْتُ نَمَطًا فَسَتَرْتُهُ عَلَى الْبَابِ فَلَمَّا قَدِمَ فَرَأَى النَّمَطَ عَرَفْتُ الْكَرَاهِيَةَ فِي وَجْهِهِ فَجَذَبَهُ حَتَّى هَتَكَهُ أَوْ قَطَعَهُ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَأْمُرْنَا أَنْ نَكْسُوَ الْحِجَارَةَ وَالطِّينَ قَالَتْ فَقَطَعْنَا مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ وَحَشَوْتُهُمَا لِيفًا فَلَمْ يَعِبْ ذَلِكَ عَلَيَّ

Aku akan sampaikan kepada kalian perbuatan apa yang aku lihat, aku melihatnya pergi pada hari peperangannya. Lalu aku mengambil namath (kain permadani bergambar dengan beragam warna) dan aku menutup pintu dengannya. Ketika Beliau pulang, Beliau melihat kain tersebut dan aku tahu ada ketidaksukaan pada wajahnya, lalu Beliau mencopotnya hingga merobeknya atau membelahnya. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita  untuk membungkus batu dan tanah.” ‘Aisyah berkata: “Aku memotongnya dan menjadikannya dua bantal, aku penuhi keduanya dengan sabut, dan Beliau tidak mencelaku berbuat demikian. (HR. Muslim No. 2107, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 14363)

[14] Lihat takhrijnya pada cat kaki no. 6

[15] Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya saat usianya baru tujuh tahun, lalu ia membawa ‘Aisyah ke rumahnya saat ‘Aisyah berusia sembilan tahun, dan saat itu ia masih bersama bonekanya. Rasulullah wafat saat usianya baru delapan belas tahun. (HR. Muslim No. 1422, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5570, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 20772, Abu ‘Uwanah No. 4271, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No.10349, Abu Nu’aim dalamMa’rifatush Shahabah No. 6745)

[16] Artinya ketika si anak perempuan  telah beranjak remaja dan seterusnya, ia tidak dibenarkanlagi memainkannya. Sebab ia telah keluar dari kategori al banaat (gadis cilik), pent.

[17] Tidak hanya itu, tetapi juga bentuk manusia, hewan, atau robot-robotan  berukuran sangat kecil yang terbuat dari plastik atau karet yang biasa dimainkan juga oleh bocah laki-laki, atau gambar kartun, bahkan Syaikh Yusuf Al Qaradhawy memuji kartun-katun Islami untuk kepentingan da’wah Islam dalam rangka mengimbangi kartun-kartun jahili. Juga patung untuk keperluan ilmu pengetahuan, yang menggambarkan  anatomi tubuh. Ini semua juga diberi dispensasi (keringanan) sesuai kebutuhannya saja, pent.

[18] Dalam Ilmu Fisika kita ketahui bayangan ada dua, yaitu bayangan nyata dan maya, fotografi dan cermin adalah bayangan nyata, pent.

[19] Syaikh Ali Ash Shabuni, Rawa’i Al Bayan, Juz. 2, Hal. 337

[20] Syaikh Ali Ash Shabuni termasuk ulama yang berpandangan bahwa wajah wanita adalah aurat, wajib ditutup (cadar), itu juga pendapat para ulama di Saudi Arabia seperti  Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh Shalih Fauzan,  ulama Mesir seperti  Syaikh Said Ramadhan Al Buthi (ulama Suriah), atau para ulama di India seperti Syaikh Abul A’la Al Maududi.  Sedangkan sebagian ulama menyatakan bahwa wajah wanita bukan aurat seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawy, Syaikh Muhammad Al Ghazali,  Syaik Muhammad Nashiruddin Al Albani, dan para ulama di Al Azhar University.

[21] Orang Kristen biasa menggantung lukisan Yesus Kristus di tembok rumah mereka, maka wajib bagi seorang muslim untuk berbeda dengan mereka!

[22] Syaikh A

li Ah Shabuni, Rawa’i Al Bayan, Juz, 2 , Hal. 337

[23] Fatawa Al Islamiyah, 4/460

[24] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah No.  2151

[25] Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz. 4, Hal. 224.

[26] Fatawa Al Azhar, Juz. 7, Hal. 220

[27] Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 35983

[28] Fatawa Al Lajnah Ad Daimah No. 4513

[29] Fatawa Al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani No. 36

Hidup Tanpa Haters / Musuh? Mustahil!

💢💢💢💢💢💢

📌 Punya haters? Orang yang “menunjukkan cintanya” kepada Anda secara berbeda

📌 Putih kata Anda, hitam kata dia

📌 Siang kata Anda, malam bagi dia

📌 Anda tertawa bahagia, dia berharap murunglah!

📌 Anda bersedih, dia berkata sedihlah selamanya!

📌 Anda dipuji manusia, dia tetap memaki

📌 Anda dibela manusia, dia tetap menyerang

📌 Anda beribadah, dia membenci

📌 Anda berpolitik, dia membenci

📌 Anda membangun ekonomi syariah, dia tetap meradang

📌 Pernah Anda merasakan semua ini ? Atau semodel ini?

📌 Jangan bersedih .. Itulah jalan para Nabi ‘Alaihimussalam, mereka pun memiliki haters

📌 Allah Ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ

Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi musuh-musuh dari kalangan manusia dan syetan. (QS. Al An’am: 112)

📌 Bahkan Allah Ta’ala juga memiliki haters, ada yang menuduh Allah Ta’ala adalah satu di antara tiga, ada menuduh Allah Ta’ala memiliki anak yaitu Nabi Uzair, ada pula yang menyebut para Malaikat adalah anak-anak perempuan Allah Ta’ala.

📌 Jadi, haters dalam hidup kita adalah natural .. Jalani saja hidup dan serahkan mereka kepada Allah Ta’ala

📌 Anda benar dia membenci, Anda salah dia semakin membenci, capek kan?

📌 Tapi hidup harus tetap berjalan .. , maka tetap tersenyum dan semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada semua kita.

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Pernahkah Kita berfikir hidup tanpa musuh ? Sebaiknya lupakan angan-angan itu. Sebab di antara sunatullah kehidupan adalah sunnah tadaffu’ (sunah pertarungan).

📌 Sebaik apa pun diri kita, baik dalam perilaku, tutur kata, berpendapat, atau tulisan, selalu ada yang tidak menyukai walau satu atau dua orang.

📌 Bagaimana mungkin berharap hidup tanpa musuh, sedangkan Allah ﷻ saja dimusuhi manusia? Padahal mereka adalah hambaNya, dan Dia adalah pencipta dan pemberi rezki bagi mereka.

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ

Wahai orang-orang beriman, jangan kau jadikan musuhKu dan musuhmu sebagai auliya’ (pemimpin, penolong, pelindung, kawan dekat). (QS. Al Mumtahanah: 1)

📌 Dan seluruh Nabi ‘Alaihimussalam pun memiliki musuh, padahal mereka hidup putih bersih dari alif sampai ya’ kehidupannya.

Allah ﷻ berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ

Dan demikianlah Kami jadikan untuk setiap nabi, musuh dari goloangan syetannya manusia dan jin. (Qs. Al An’am: 112)

📌 Oleh karena itu, Benar apa yang dikatakan Imam Nashirus Sunnah, Asy Syafi’iy Rahimahullah:

رضا النّاس غاية لا تدرك فعليك بما فيه صلاح نفسك فالزمه

(Mencari) ridhanya manusia adalah tujuan yang tidak pernah tercapai, maka hendaknya kamu mencari sesuatu bermanfaat bagimu dan peganglah baik-baik itu. (Nadhratun Na’im, 3/630)

📌 Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah juga mengatakan:

رضا الناس غاية لا تدرك ، فأحمق الناس من طلب من لا يدرك

Ridha manusia adalah tujuan yang tidak bisa tercapai, dan majusia paling bodoh adalah orang yang mencari-cari sesuatu yang tidak pernah tercapai. (Qutul Qulub, 2/389)

📌 Maka, berjalanlah di atas sunah kehidupan, dan memohonlah kepada Allah ﷻ pertolongan dan perlindungan dari kezaliman musuh-musuh kita.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

Wallahu A’lam

🌱🌵🌴🌷🍄🌸🍃🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top