Nikah Tanpa Wali

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Apa hukumnya menikah tanpa wali dari pihak wanita sesuai dengan kaca mata syar’i (Saddam)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillah wal Hamdulillah …

Dari Abu Musa Al Asy’ariy Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَانِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Tidak ada pernikahan tanpa adanya wali. (HR. Al Hakim No. 2711, Al Hakim berkata: semua sanadnya shahih)

Jumhur ulama mengatakan -Malikiyah, Syafi’iyah, Hambaliyah- bahwa pernikahan tanpa adanya wali bagi wanita adalah batal, tidak sah.

Hanafiyah membolehkan baik bagi gadis dan janda, nikah tanpa wali.

Daud Azh Zhahiri membolehkan janda tanpa wali, sementara bagi gadis tidak sah tanpa wali.

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي اشْتِرَاطِ الْوَلِيِّ فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ فَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ يُشْتَرَطُ وَلَا يَصِحُّ نِكَاحٌإِلَّا بِوَلِيٍّ وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ لَا يُشْتَرَطُ فِي الثَّيِّبِ وَلَا فِي الْبِكْرِ الْبَالِغَةِ بَلْ لَهَا أَنْ تُزَوِّجَ نَفْسَهَا بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا وَقَالَ أَبُو ثَوْرٍ يَجُوزُ أَنْ تُزَوِّجَ نَفْسَهَا بِإِذْنِ وَلِيِّهَا وَلَا يَجُوزُ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَقَالَ دَاوُدُ يُشْتَرَطُ الْوَلِيُّ فِي تَزْوِيجِ الْبِكْرِ دُونَ الثَّيِّبِ

Ulama berselisih pendapat tentang syarat sah nikah mesti adanya wali.

Malik dan Syafi’iy mengatakan wali adalah syarat sahnya nikah, dan tidak sah nikah tanpa wali.

Abu Hanifah mengatakan wali bukannya syarat sahnya pernikahan baik bagi janda atau gadis yang sudah baligh, dia boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa izin walinya.

Abu Tsaur mengatakan boleh dia menikahkan dirinya dengan seizin walinya, dan tidak boleh tanpa seizin walinya.

Daud mengatakan wali merupakan syarat bagi nikahnya gadis tapi bukan syarat bagi janda.

( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/305)

Pendapat jumhur, bahwa adanya wali sebagai syarat adalah lebih kuat, Insya Allah, sesuai hadits tersebut dan hadits lainnya yang serupa.

Wallahu A’lam

🍃🌷🌱🍄🌵🌴🌾🌹🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid (Bag. 3)

💢💢💢💢💢💢💢

Berikut ini adalah fatwa para ulama tentang legalitas bom syahid di negeri perang untuk membunuh musuh. Fatwa ini sudah dikeluarkan puluhan tahun lalu.
Sebagian orang mengingkari fatwa ini bahkan menjelek-jelekkannya, jelas itu adalah adab yang buruk. Sebagian orang lagi menyalahgunakan fatwa ini untuk membom di sembarang tempat, sehingga membunuh sesama muslim, ini juga sangat buruk dan konyol.

Yang benar adalah fatwa ini hanya terbatas di negeri-negeri perang dengan musuh yang pasti dan jelas, seperti penjajah Yahudi di Palestina.

3⃣ Fatwa Syaikh Abdullah bin Humaid Rahimahullah

Di suatu sore hari, pada tahun 1400 H, pada saat Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullahu Ta’ala –mantan Hakim Agung di Makkah Al-Mukarramah– sedang memberikan ceramah di samping pintu masuk ke sumur Zamzam di dekat Ka’bah Al-Musyarrafah, ada seseorang yang bertanya tentang hukum aksi bom syahid.

Orang tersebut berkata, “Wahai Syaikh yang mulia, apakah hukumnya dalam Islam jika ada seorang muslim yang mengenakan seperangkat peledak, kemudian dia menyusup ke dalam sekumpulan musuh kaum muslimin dan meledakkan dirinya dengan maksud untuk membunuh sebanyak mungkin dari musuh tersebut?”

Syaikh menjawab:

“Alhamdulillah, sesungguhnya aksi individu seorang muslim yang membawa seperangkat bahan peledak, kemudian dia menyusup ke dalam barisan musuh dan meledakkan dirinya dengan maksud untuk membunuh musuh sebanyak mungkin dan dia sadar bahwa dia adalah orang yang pertama kali terbunuh; saya katakan; bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah termasuk bentuk jihad yang disyariatkan. Dan, insya Allah orang tersebut mati syahid.”

(Dikutip dari Al-‘Amaliyyat Al-Istiyhadiyyah fi Al-Mizan Al-Fiqhiy/DR. Nawaf Hail Takruri/hlm 101-102/penerbit Dar Al-Fikr, Beirut/Cetakan kedua edisi revisi/1997 M –1417 H. http://salafiharoki.wordpress.com/2008/01/26/fatwa-syaikh-abdullah-bin-humaid-tentang-bomb-syahid-2/)

Bersambung …

🌸🍃🌷🌱🌵🌹🌴🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid (Bag. 1)

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid (Bag. 2)

Serial Fatwa Ulama Tentang Bom Syahid (Bag. 3)

Sujud Tilawah, Wajib atau Sunnah?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Afwan! Ketika kita mendengar atao membaca surah sajadah ,apakah kita diwajibkan utk bersujud?
Terimakasih! (Ulfa)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh …

Bismillah wal Hamdulillah ..

Sujud tilawah saat membaca atau mendengar ayat sajadah adalah SUNNAH bukan kewajiban, menurut pendapat mayoritas ulama, kecuali Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu yang mewajibkannya.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

قَوْلُهُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَقْرَأُ سُورَةً فِيهَا سَجْدَةٌ فَيَسْجُدُ وَنَسْجُدُ مَعَهُ حَتَّى مَا يَجِدُ بَعْضُنَا مَوْضِعًا لِمَكَانِ جَبْهَتِهِ وَفِي رِوَايَةٍ فَيَمُرُّ بِالسَّجْدَةِ فَيَسْجُدُ بِنَا فِي غَيْرِ صَلَاةٍ فِيهِ إِثْبَاتُ سُجُودِالتِّلَاوَةِ وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِ وَهُوَ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْجُمْهُورِ سُنَّةٌ لَيْسَ بِوَاجِبٍ وَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَاجِبٌ لَيْسَ بِفَرْضٍ عَلَى اصْطِلَاحِهِ فِي الْفَرْقِ بَيْنَ الْوَاجِبِ وَالْفَرْضِ وَهُوَ سُنَّةٌ لِلْقَارِئِ وَالْمُسْتَمِعِ لَهُ

Perkataannya: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca Al Quran yang di dalamnya ada ayat sajadah lalu Beliau sujud maka kami pun sujud bersamanya, sampai-sampai jidat sebagian kami tidak mendapatkan tempat untuk sujud.”

Dalam riwayat lain: “Beliau melewati ayat sajadah lalu sujud dengan kami di luar shalat.”

Dalam hadits ini terdapat ketetapan adanya sujud tilawah dan para ulama telah ijma’ atas hal itu. Bagi kami (Syafi’iyah) dan mayoritas ulama adalah SUNNAH, bukan wajib. Ada pun bagi Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu itu adalah wajib, bukan fardhu, dalam istilah Beliau wajib dan fardhu itu berbeda. Kesunahan ini berlaku bagi pembaca dan pendengarnya.
( Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/74)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🍀🌸☘🌷🌹💐🍃
✍ Farid Nu’man Hasan

Adakah Zakat Barang Tidak Produktif?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📋 Lampiran Fatwa Ulama:

💥 Tidak Ada Zakat Pada Tanah dan Bangunan Yang Tidak Produktif

Berikut ini kumpulan fatwa para imam zaman ini, tentang tidak adanya zakat tanah dan bangunan  yang tidak dimanfaatkan, baik dijual, disewakan, ditanami, dan semua bentuk bisnis lainnya. Ini adalah pendapat terkenal dari zaman ke zaman, bahkan boleh dikatakan telah ijma’ (konsensus) para ulama Islam.

1.  Fatwa Syaikh Abdul Karim bin Abdullah Al Khudhair

السؤال: اشترى رجل أرضاً يريد أن يبني عليها استثماراً بعد سنة من شرائها فهل يجب عليه فيها الزكاة في هذه السنة وما بعدها؟
الجواب:
أرض الاستثمار لا تجب الزكاة في عينها، اللهم إلا إذا اشتريت هذه الأرض بنية التجارة ليبيع هذه الأرض، أي: يُتاجر فيها، أما أن يقيم عليها مشروعاً يستغل فإن الزكاة في نتاجه، في أجرته، فيما يخرجه من غلة وما أشبه ذلك، أما أصل الأرض ليس عليها زكاة، هذا يريد أن يقيم عليها مشروعاً، فإذا أقام المشروع وأخذ المشروع في الإنتاج فالزكاة معروفة، فإذا أقام عليها مشروعاً سكنياً مثلاً وأجّر هذا المشروع فإن الزكاة في الأجرة وليست في الأرض، ولا في العمارة، إنما الزكاة في الأجرة، لو أقام عليها زراعة فالزكاة في ثمرتها، وهكذا، لكن لو أقام عليها محلاً تجارياً وملأه بالبضائع المعدة للتجارة فالزكاة

على البضائع، والمبنى لا زكاة عليه، الزكاة على البضائع تُقَوَّم كلما حال عليها الحول وتزكّى

Pertanyaan:

“Ada seseorang yang memberi tanah dan ia ingin membangun kebun di sana. Setelah satu tahun dari waktu pembeliannya, apakah ia harus mengeluarkan zakat dari tanah tersebut dan begitu pula tahun selanjutnya?”

Jawab:

Tanah yang dijadikan kebun tidak wajib untuk dizakati.
Kecuali jika tanah tersebut ingin dibisniskan. Adapun jika di tanah tersebut ditanam sesuatu, maka zakatnya adalah dari tanaman tersebut atau dari penjualannya yang merupakan hasil dari tanah tersebut. Jadi, tanah itu sendiri tidak ada zakatnya. Baru ada zakat, jika tanah tersebut dimanfaatkan. Jika pemanfaatn itu memiliki hasil, itulah yang dikenai zakat.  Jika tanah tersebut memiliki bangunan (misalnya), lalu ada keuntungan dari bangunan tersebut, maka zakat ditarik dari keuntungannya dan bukan ditarik dari tanah dan bukan pula ditarik dari kontruksi bangunan. Sekali lagi zakatnya ditarik dari hasil (keuntungan) tadi. Jika tanah tersebut terdapat tanaman, maka zakatnya ditarik dari hasil tanaman (yaitu buah, dll). Demikian seterusnya. Jika di atas tanah tersebut didirikan sesuatu yang diperdagangkan, maka zakatnya diambil dari hasil perdagangan barang tersebut. Sedangkan bangunannya tidak dikenai zakat apa-apa. Zakat hanya diambil dari keuntungan penjualan barang-barang dagangan yang ada. Ketika keuntungan tersebut telah bertahan satu tahun (haul), maka barulah dikeluarkan zakatnya.
(sumber: http://www.khudheir.com/text/4312)

2.  Syaikh muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah

أما السؤال الثاني وهو الأرض التي اشتراها ليبني عليها بناء ولكنه لم يتمكن من البناء عليها لعدم وجود ما يبنيها به فإنه ليس فيها زكاة لأن العقارات التي لا تعد في البيع والشراء أي لا يريد التكسب ببيعها وشرائها ليس فيها زكاة لأنها من العروض والعروض لا تجب فيها الزكاة إلا إذا قصد بها الاتجار وعلى هذا فليس عليه زكاة في هذه الأرض ولو بقيت سنوات كما أنه ليس عليها زكاة إذا بناها أيضاً واستغلها لكن إذا استغلها فإن عليه الزكاة في أجرتها.

Adapun pertanyaan kedua, tanah yang dibeli untuk didirikan bangunan  di atasnya, maka dia tidak ada zakat karena tanah milik yang tidak dipersiapkan untuk dijualbelikan yaitu yang tidak diambil keuntungan dari jual belinya, tidaklah terkena zakat, karena itu termasuk  harta yang ditempati, dan harta seperti itu tidak wajib dizakatkan kecuali jika dimaksudkan untuk dijual, oleh karena itu tidak ada zakat atas tanah itu, walau pun keberadaannya bertahun-tahun lamanya, dan tidak pula ada zakat jika didirikan bangunan dan ditanamkan sesuatu di atasnya, tetapi jika ditanamkan sesuatu maka  zakatnya ada pada harga tanaman itu (jika dijual). (Fatawa Nur ‘Alad Darb, Az Zakah wash Shiyam, No. 199)

Dalam fatwanya yang lain:

س ـ أمتلك قطعة أرض ، ولا أستفيد منها ، وأتركها لوقت الحاجة ، فهل يجب علي أن أخرج زكاة عن هذه الأرض ؟ .. وإذا أخرجت الزكاة هل علي أن أقدر ثمنها في كل مرة ؟
ج ـ ليس عليك زكاة في هذه الأرض لأن العروض إنما تجب الزكاة في قيمتها ، إذا أعدت للتجارة ، والأرض والعقارات والسيارات والفرش ونحوها عروض لا تجب الزكاة في عينها ، فإن قصد بها المال أعني الدراهم بحيث تعد للبيع والشراء والاتجار ، وجبت الزكاة في قيمتها . وإن لم تعد كمثل سؤالك فإن هذه ليست فيها زكاة

Pertanyaan:

Saya mempunyai sebidang tanah, namun tidak menghasilkan apa-apa dan saya biarkan begitu saja.  Wajibkah saya mengeluarkan zakat tanah tersebut ? Jika dikeluarkan zakatnya, wajibkah saya memperhitungkan zakatnya ?

Jawaban:

Tanah seperti ini tidak wajib dizakati. Semua barang wajib dizakati saat diperdagangkan. Pada dasarnya tanah, berbagai tanah milik (‘aqarat), kendaraan atau barang-barang lainnya, maka semuannya termasuk harta pemilikan dan tidak wajib dizakati kecuali jika dimaksudkan memperoleh uang, yakni diperjualbelikan atau diperdagangkan. (Fatawa Islamiyah, 2/140. Disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnad)

3.  Syaikh Muhammad Khaathir Rahimahullah (mufti Mesir pada zamannya)

Katanya:

لا تجب فى الأرض المعدة للبناء زكاة إلا إذا نوى التجارة بشأنها

Tanah yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan tidak wajib dizakati, kecuali diniatkan untuk dibisniskan dengan mengembangkannya. (Fatawa Al Azhar, 1/157. Fatwa 15 Muharam 1398)

4.  Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah (Mufti Arab Saudi pada zamannya)

س : إذا كان لدى الإنسان قطعة أرض ولا يستطيع بناءها ولا الاستفادة منها ، فهل تجب فيها الزكاة ؟
ج : إذا أعدها للبيع وجبت فيها الزكاة ، وإن لم يعدها للبيع أو تردد في ذلك ولم يجزم بشيء ، أو أعدها للتأجير فليس عليه
عنها زكاة ، كما نص على ذلك أهل العلم ؛ لما روى أبو داود رحمه الله عن سمرة بن جندب -رضي الله عنه- قال : « أمرنا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن نخرج الصدقة مما نعده للبيع

Pertanyaan:

Jika manusia punya sebidang tanah dan dia tidak mampu mendirikan bangunan dan tidak pula bisa memanfaatkannya, apakah tanah itu wajib dizakati?

Jawaban:

Jika dia mempersiapkannya untuk dijual maka wajib dikelurkan zakat, jika tidak untuk dijual atau ragu-ragu dan belum pasti, atau  tidak untuk disewa, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Sebagaimana ulama katakan tentang hal itu, karena telah diriwayatkan oleh Abu Daud Rahimahullah, dari Samurah bin Jundub Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Kami diperintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan zakat dari apa-apa yang diperdagangkan.”    (Majalah Al Buhuts Al Islamiyah, 56/124)

Selesai. Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top