Pemakai Jimat Jadi Imam Shalat ?

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum … Ust, kalau orang yang memakai jimat jadi imam shalat, apakah sah kita menjadi makmumnya? (@Muslimah)

📌 Jawaban:

Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Memang, ini adalah pilihan yang tidak menyenangkan bagi makmum. Umumnya masjid-masjid di Indonesia tidak memiliki standar kualifikasi yang sesuai syariah untuk menjadi seorang Imam. Akhirnya, imam dipilih karena faktor ketokohan dan senioritas semata. Walau faktor ini juga tidak masalah, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menyebutkannya.

Tentang kriteria yang paling berhak menjadi imam memang ada, yaitu hadits shahih berikut:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِه

Dari Abu Mas’ud Al Anshari, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seseorang mengimami sebuah kaum karena, karena dia yang paling bagus bacaan Al Qurannya, jika ternyata semua sama, maka pilihlah yang paling tahu tentang sunah, jika sama juga, maka pilihlah yang lebih dahulu hijrah, jika sama juga, maka utamakan yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang yang mengimami orang lain di daerah kekuasaannya dan jangan pula dia duduk dalam rangka memuliakan dirumah orang lain, kecuali dengan izinnya.” (HR. Muslim No. 673, Abu Daud No. 586, At Tirmidzi No. 235)

Dari hadits di atas, bisa kita ketahui bahwa yang berhak jadi imam adalah:
1. Yang paling bagus bacaan Al Qur’annya, tetapi jika semua sama maka,
2. Yang paling tahu tentang As Sunnah, tetapi jika semua sama maka,
3. Yang paling dahulu hijrah, tetapi jika semua sama maka,
4. Yang lebih dahulu masuk Islam

Kita lihat, bahwa senioritas (no. 3 dan 4) tetap dipertimbangkan, walau bukan pertimbangan utama.

Yang Dilarang Atau Tidak Sah Menjadi Imam

Kita dilarang menjadikan orang-orang berikut ini menjadi Imam Shalat.

1. Orang yang telah melakukan kufrun bawwah (kekafiran nyata) yang telah mengeluarkan pelakunya dari Islam (murtad). Seperti mengingkari ketuhanan Allah Ta’ala, mengingkari Al Quran, mengingkari kenabian (termasuk juga mengingkari sunnahnya), melakukan kesyirikan yang masuk kategori syirik akbar, seperti menyembah apa pun selain Allah, menjadikan selain Allah sebagai pembuat syariat, dan perbuatan apa pun yang termasuk kafir secara i’tiqadi, maka semua ini adalah haram menjadi imam dan tidak sah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat para ulama.

2. Orang yang dilarang shalat, otomatis dilarang pula menjadi imam. Seperti wanita haid dan nifas, serta orang junub. Ada pun anak yang belum baligh, mereka boleh dan sah shalatnya, sebagaimana boleh dan sah menjadi imam pula, walau mereka belum wajib shalat. Belum wajib, bukan berarti tidak boleh shalat.

3. Orang yang selalu ‘udzur (halangan) seperti beser (banyak kencing) yang tidak bisa ditahan, atau sering buang angin, sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya. Inilah pendapat mayoritas ulama, kecuali Malikiyah yang menyatakan tetap sah tetapi makruh. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

لا تصح إمامة معذور لصحيح ولا لمعذور مبتلى بغير عذره عند جمهور العلماء. وقالت المالكية تصح إمامته للصحيح مع الكراهة

“Tidak sah imam yang ber’udzur bagi makmum yang sehat, atau yang ‘udzurnya berlainan dengan ‘udzur makmumnya, menurut jumhur (mayoritas) ulama. Berkata Malikiyah: tetap sah imamnya bagi orang sehat, tetapi makruh.” (Fiqhus Sunnah, 1/237. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Yang Dimakruhkan Menjadi Imam

Berikut ini orang-orang yang dimakruhkan menjadi imam, namun shalatnya tetap sah:

1. Imam yang dibenci oleh kaum/makmumnya

Hadits seperti ini ada beberapa jalur yang bisa dipertanggungjawabkan (valid), dengan redaksi yang agak berbeda.

Di antaranya, dari Ibnu AbbasRadhiallahu ‘Anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ

“Ada tiga manusia yang Shalat mereka tidaklah naik melebihi kepala mereka walau sejengkal: yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan dua orang bersaudara yang saling memutuskan silaturahim.” (HR. Ibnu Majah, 2/338/961, Imam Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi mengatakan sanadnya shahih dan semua rijalnya tsiqat (kredibel), Hasyiyah As Sindi ‘ala Ibni Majah, 2/338. Syaikh Al Albani mengatakan hasan. Misykah Al Mashabih, 1/249/1128. Syaikh Ala’uddin bin Qalij bin Abdillah Al Hanafi mengatakan sanad hadits ini laa ba’sa bihi (tidak apa-apa). Abu Hatim berkata: Aku belum melihat ada orang yang mengingkarinya. Dalam sanadnya terdapat ‘Ubaidah, berkata Ibnu Namir: dia tidak apa-apa. Ad Daruquthni berkata: baik-baik saja mengambil ‘ibrah darinya. Abu Hatim mengatakan: menurutku haditsnya tidak apa-apa. Sanadnya juga terdapat Al Qasim. Menurut Al ‘Ijili dan lainnya dia tsiqah (kredibel), Lihat dalam Syarh Sunan Ibni Majah, no. 172, karya Syaikh Ala’uddin Al Hanafi. Al Maktabah Al Misykat)

Imam At Tirmidzi juga meriwayatkan dari jalur lain, yakni Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dengan redaksi sedikit berbeda:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةً رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَرَجُلٌ سَمِعَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ثُمَّ لَمْ يُجِبْ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat tiga golongan manusia, yakni seorang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, seorang isteri yang tidur sementara suaminya sedang marah padanya, dan seorang yang mendengarkan Hayya ‘alal Falah tetapi dia tidak menjawabnya.” (HR. At Tirmidzi No. 358. Katanya: tidak shahih, karena hadits ini mursal, dan dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Al Qasim. Imam Ahmad mendhaifkannya dan dia bukan seorang yang terjaga hafalannya. Sehingga Syaikh Al Albani menyatakan dhaif jiddan (lemah sekali), lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 358. Namun, Syaikh Muhamamd bin Thahir bin Ali Al Hindi mengatakan, hadits ini memiliki sejumlah syawahid (penguat)nya. Muhammad bin Al Qasim tidaklah mengapa, dan dinilai tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma’in. Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 40)

Lalu, jalur Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثلاثة لا تجاوز صلاتهم آذانهم : العبد الآبق حتى يرجع وامرأة باتت وزوجها عليها ساخط وإمام قوم وهم له كارهون

“Tiga golongan manusia yang shalatnya tidak sampai telinga mereka, yakni: budak yang kabur sampai dia kembali, isteri yang tidur sementara suaminya marah kepadanya, dan pemimpin sebuah kaum dan kaum itu membencinya.” (HR. At Tirmidzi No. 360. At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Syaikh Al Albani menghasankan dalam beberapa kitabnya, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 487, Misykah Al Mashabih No. 1122, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 360)

Hadits ini menunjukkan, menurut para ulama, dimakruhkannya seorang pemimpin menjadi imam, yang dia dibenci oleh kaumnya. Tetapi jika pemimpin tersebut bukan orang zhalim, maka kaumnyalah yang berdosa. Sementara Ahmad dan Ishaq mengatakan seandainya yang membenci pemimpin tersebut hanya satu, dua, atau tiga orang maka tidak mengapa pemimpin tersebut shalat bersama mereka, kecuali jika yang membenci lebih banyak. (Sunan At Tirmidzi, 2/97/326)

Ibnu Al Malak mengatakan bahwa penyebab kebenciannya pun adalah masalah agama, seperti bid’ah, kefasikan, dan kebodohan yang dibuat oleh pemimpin tersebut. Tetapi, jika kebencian disebabkan perkara dunia di antara mereka, maka itu bukan termasuk yang dimaksud hadits ini. (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 1/387)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

والعبرة بالكراهة الكراهة الدينية التي لها سبب شرعي

“Kebencian yang dimaksud adalah kebencian karena alasan agama yang lahir karena sebab syar’i.” (Fiqhus Sunnah, 1/242)

2. Ahli Maksiat dan Ahli Bid’ah

Shalat di belakang mereka, selama maksiat dan bid’ahnya tidak sampai mengeluarkan mereka dari agama, maka tetap sah namun makruh. Sebab walau pun mereka telah melakukan dosa besar, kewajiban shalat bagi mereka tidak hilang, dan jika mereka melaksanakan shalat, maka tetap sah selama terpenuhi syarat dan rukunnya. Pada prinsipnya, siapa yang shalatnya sah untuk dirinya, maka itu juga sah bagi orang lain. Syaikh Sayyid Sabiq telah memberikan uraian sebagai berikut:

كراهة إمامة الفاسق والمبتدع: روى البخاري ان ابن عمر كان يصلي خلف الحجاج.
وروى مسلم أن أبا سعيد الخدري صلى خلف مروان صلاة العيد، وصلى ابن مسعود خلف الوليد ابن عقبة بن أبي معيط – وقد كان يشرب الخمر، وصلى بهم يوما الصبح أربعا وجلده عثمان بن عفان على ذلك – وكان الصحابة والتابعون يصلون خلف ابن عبيد، وكان متهما بالالحاد وداعيا إلى الضلال، والاصل الذي ذهب إليه العلماء أن كل من صحت صلاته لنفسه صحت صلاته لغيره، ولكنهم مع ذلك كرهوا الصلاة خلف الفاسق والمبتدع، لما رواه أبو داود وابن حبان وسكت
عنه أبو داود والمنذري عن السائب بن خلاد أن رجلا أم قوما فبصق في القبلة ورسول الله صلى الله عليه وسلم ينظر إليه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لا يصلي لكم) فأراد بعد ذلك أن يصلي بهم، فمنعوه وأخبروه يقول النبي صلى الله عليه وسلم فذكر ذلك للنبي فقال: (نعم، إنك آذيت الله ورسوله).

Dibenci (makruh) bagi orang fasik dan pelaku bid’ah menjadi imam. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah shalat di belakang Al Hajaj. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Said Al Khudri pernah shalat di belakang Marwan pada shalat ‘Id, juga Ibnu Mas’ud shalat di belakang Al Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, dia adalah seorang peminum khamr. Dia pernah shalat bersama subuh orang lain sebanyak empat rakaat karena mabuk, oleh karena itu Utsman mencambuknya. Para sahabat dan tabi’in pernah shalat di belakang Ibnu ‘Ubaid, seorang yang dituduh sebagai atheis dan penyeru kesesatan. Pada dasarnya, para ulama berpendapat, setiap orang yang sah shalatnya bagi diri sendiri, maka shalatnya sah juga untuk orang lain. Tetapi bersamaan dengan itu, memakruhkan shalat di belakang orang fasik dan pelaku bid’ah.

Ini didasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Al Mundziri, dari As Saib bin Khalad bahwa ada seorang yang mengimamkan sebuah kaum, dia meludah ke arah kiblat, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallami melihat hal itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Orang itu jangan shalat (jadi imam) bersama kalian.” Setelah itu, orang tersebut hendak mengimamkan lagi, tetapi mereka melarangnya dan mengabarkan padanya apa yang telah dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu orang itu minta penjelasan kepada Nabi, maka beliau bersabda: “Benar, engkau telah menyakiti Allah dan RasulNya.” (Ibid, 1/238)

Riwayat tersebut dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 481.

Lalu, bagaimana dengan pemakai jimat. Bolehkah menjadi imam shalat?

Pemakai Jimat; murtad ataukah dosa besar?

Hal ini penting untuk diketahui agar kita bisa mengambil sikap terhadap orang seperti itu. Jika dia dikategorikan murtad tentu haram dan tidak sah diangkat jadi imam, jika belum murtad, sekedar syirik kecil (dosa besar yang belum mengeluarkan pelakunya dari Islam), maka dia sah jadi imam tetapi makruh. Perlu diketahui, Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi –yang mana Ibnu Umar pernah shalat dibelakangnya- adalah seorang pembunuh ulama besar masa tabi’in, murid dari Ibnu Abbas, yakni Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu.

Dalam hadits disebutkan bahwa membunuh seorang muslim adalah kufur. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah fasik, dan membunuhnya adalah kufur.” (HR. Bukhari No. 48, 5697, 6665. Muslim No. 64)

Tentunya, kufur di sini bukanlah murtad, melainkan kafir amali (perbuatan), bukan kafir i’tiqadi (keyakinan). Jika dia murtad, tidak mungkin Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma mau shalat dibelakang seorang pembunuh. Kecuali jika ada orang yang meyakini bahwa membunuh seorang muslim adalah halal, maka dia kafir dan murtad menurut ijma’.

Bukan hanya ini, di dalam berbagai riwayat lain disebukan bahwa khamr, jima’ dengan isteri melalui dubur dan ketika haid, mendatangi dukun dan membenarkannya, bersumpah dengan selain nama Allah, budak yang lari dari majikannya, semua ini disebut oleh hadits dengan perkataan kufur, atau faqad kafara bima unzila ‘ala muhammad (telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad).

Bukan hanya itu, riya’ pun disebut sebagai syirik yakni syirik ashghar (syirik kecil). Namun, tidak ada yang mengatakan tidak boleh shalat dibelakang orang yang riya’.

Termasuk juga memakai jimat, maka nabi mengatakan hal itu sebagai perbuatan syirik:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya ruqyah, jimat, dan tiwalah (pelet), adalah syirik.” (HR. Abu Daud No. 3383, Ibnu Majah No.3530, Syaikh Al Albani menshahihkan dalamShahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3530)

Untuk ruqyah, tidak semua dilarang, dari ‘Auf bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

كنا نرقي في الجاهلية، فقلنا: يارسول اللّه، كيف ترى في ذلك؟ فقال: “اعرضوا عليَّ رقاكم، لابأس بالرقى ما لم تكن شركاً

“Kami meruqyah pada masa jahiliyah, kami berkata: ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang itu?” Beliau bersabda: “Perlihatkan ruqyahmu padaku, tidak apa-apa selama tidak mengandung kesyirikan.” (HR. Abu Daud No.3886, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 1066)

Syirik di sini adalah syirik kecil, sebagaimana dikatakan oleh para syarih (pensyarah hadits). Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah juga mengatakan bahwa jimat adalah syirik kecil. Tetapi jika dia meyakini bahwa yang memberikan manfaat dan pertolongan adalah jimat tersebut semata, maka ini syirik akbar, tetapi jika dia meyakini bahwa yang memberikan manfaat dan pertolongan adalah Allah Ta’ala, sedangkan jimat itu adalah sebab saja, maka itu syirik kecil.

Berikut Fatwa Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia:

لأنه مشرك إذا كان يعتقد أن التمائم تنفع وتضر، أما إن كان يعتقدها من الأسباب والله هو النافع الضار فتعليقها من الشرك الأصغر

“Karena hal itu menjadikannya musyrik, jika dia meyakini bahwa jimat-jimat itu membawa manfaat dan mudharat, ada pun jika dia meyakininya sebagai sebab saja dan Allah yang memberikan manfaat atau mudharat, maka menggantungkan jimat adalah syirik kecil.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts wal Ifta’No. 181)

Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullahi mengatakan:

ومثل تعليق التمائم خوفاَ من العين وغيرها ، إذا اعتقد أن هذه أسباب لرفع البلاء أو دفعه ، فهذا شرك أصغر . لأن الله لم يجعل هذه أسبابا . أما إن اعتقد أنها تدفع أو ترفع البلاء بنفسها فهذا شرك أكبر ، لأنه تعلق بغير اللّه

“Misalnya menggantungkan jimat lantaran khawatir atas kejahatan mata atau lainnya, jika dia meyakini jimat adalah sebab untuk menghilangkan atau menolak bala, maka ini syirik kecil, karena Allah Ta’ala tidak pernah menjadikan jimat sebagai sebab. Ada pun jika dia meyakini bahwa jimat itu sendiri yang mencegah dan menghilangkan bala, maka ini syirik besar, karena dia telah bergantung kepada selain Allah.” (Kitabut Tauhid, Hal. 12. Mawqi’ Al Islam)

Bahkan sebagian salaf ada yang ‘sekedar’ memakruhkan. Hal ini berdasarkan riwayat berikut:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يكره عقد التمائم

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan menggantungkan jimat.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/427)

Ibrahim An Nakha’i mengatakan:

كانوا يكرهون التمائم كلها ، من القرآن وغير القرآن

“Mereka (para sahabat) memakruhkan jimat semuanya, baik yang dari Al Quran dan selain Al Quran.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 5/428)

Jadi sebenarnya hukum memakai jimat ada tiga macam.

1⃣ Pertama. Jika jimat itu diyakini sebagai pembawa manfaat atau mudharat, maka ini syirkun akbar (syirik akbar), dan pelakunya murtad, dan tidak sah shalatnya, baik dia jadi imam atau menjadi makmum. Maka bermakmum dengannya pun tidak boleh.

2⃣ Kedua. Jika jimat itu diyakini sebagai sebab saja, ada pun masih meyakini Allah sebagai pembawa manfaat atau mudharat, maka ini syirkun ashghar (syirik kecil). Pelakunya belum bisa dikatakan murtad, namun termasuk pelaku dosa besar. Sebagaimana dosa besar lainnya. Maka shalat dibelakangnya sah tetapi makruh.

3⃣ Ketiga. Jika jimat itu berasal dari ayat-ayat Al Quran atau dzikir-dzikir yang ma’tsur, maka para ulama berbeda pendapat antara membolehkan, memakruhkan, dan mengharamkan. Namun para sahabat Nabi tetap membencinya. Sebab itu merupakan jalan dan pintu menuju penggunaan jimat-jimat yang bukan dari Al Quran dan dzikir-dzikir. Sedangkan jika berasal dari kalimat-kalimat yang tidak bisa difahami, maka haram, tidak ada perselisihan pendapat tentang itu sebagaimana ditegaskan Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar, dan lainnya.

Imam Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah mengatakan:

وأما التعاليق التي فيها قرآن أو أحاديث نبوية أو أدعية طيبة محترمة فالأولى تركها لعدم ورودها عن الشارع ولكونها يتوسل بها إلى غيرها من المحرم ، ولأن الغالب على متعلقها أنه لا يحترمها ويدخل بها المواضع القذرة

“Ada pun menggantungkan jimat yang terdapat Al Quran atau Hadits Nabi, atau doa-doa yang baik lagi terhormat, maka yang lebih utama adalah ditinggalkan, karena tidak adanya dalil dari pembuat syariat, bahkan hal itu merupakan sarana menuju jimat yang bukan dari Al Quran yang tentunya haram, dan juga lantaran biasanya hal itu digantungkan dengan cara tidak terhormat, dan masuk ke dalam tempat-tampat yang kotor.” (Qaulus Sadid Syarh Kitabut Tauhid, Hal. 48. Mawqi’ Al Islam). Demikian.

Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

Kewajiban Memuliakan Al Quran

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

أجمع المسلمون على وجوب تعظيم القرآن العزيز على الإطلاق وتنزيهه وصيانته وأجمعوا على أن من جحد منه حرفا مما أجمع عليه أو زاد حرفا لم يقرأ به أحد وهو عالم بذلك فهو كافر قال الإمام الحافظ أبو الفضل القاضي عياض رحمه الله اعلم أن من استخف بالقرآن أو المصحف أو بشئ منه أو سبهما أو جحد حرفا منه أو كذب بشئ مما صرح به فيه من حكم أو خبر أو أثبت ما نفاه أو نفى ما أثبته وهو عالم بذلك أو يشك في شئ من ذلك فهو كافر بإجماع المسلمين

Kaum muslimin telah ijma’ atas wajibnya menganggungkan Al Quran secara mutlak, juga dalam menjaga dan mengamankannya. Mereka juga ijma’ bahwa siapa pun yang mengingkari satu huruf saja yang telah di sepakati di dalamnya, atau menambah satu huruf saja yang tidak pernah dibaca oleh seorang berilmu pun, dan dia menyadari hal itu, maka dia kafir.

Imam Al Hafizh Abul Fadhl Al Qadhi ‘Iyad Rahimahullah berkata: “Ketahuilah, siapa pun yang meremehkan Al Quran atau mushaf, atau melecehkannya, atau mengingkari satu huruf saja darinya, atau mendustakan sedikit saja apa yang diterangkan di dalamnya baik berupa hukum, berita, atau dia menetapkan apa yang Al Quran ingkari, atau dia mengingkari apa yang Al Quran tetapkan, dan dia tahu menyadari perbuatannya, atau dia meragukan sesuatu dari Al Quran, maka dia kafir menurut ijma’ kaum muslimin. (At Tibyan Fi Adab Halamah Al Quran, Hal. 164)

Bagaimana hukuman mereka yang melecehkan Al Quran?
Imam Muhammad bin Abi Zaid Rahimahullah berkata:

وأما من لعن المصحف فإنه يقتل هذا

Ada pun jika ada yang mengutuk mushaf maka dia wajib dibunuh. (Ibid)

Hal ini setelah diputuskan oleh mahkamah syariah, setelah pelakunya tidak mau bertaubat, dan dieksekusi oleh negara, bukan main hakim sendiri.

Wallahu A’lam

 

  • Farid Nu’man Hasan

Demonstran Damai Halal Darahnya Ditumpahkan?

 

Miris saat melihat adanya seorang “Ustadz” di Youtube bermudah-mudah dalam mengajarkan dan menganjurkan menumpahkan darah kepada  kaum muslimin, hanya karena dia tidak setuju (atau tidak paham?) dengan aktifitas kaum muslimin tersebut. Seorang manusia, ketika sudah bersyahadat dan menjalankan shalat dan zakat, maka dia terjaga darahnya, haram menumpahkan darahnya. Tak seorang pun berhak menumpahkan darahnya, kecuali jika ada hak Islam yang dia langgar.

Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءهَمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى

                Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa Tiada ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka sudah melakukan itu, maka mereka telah aku berikan jaminan terjaga darahnya dan hartanya, kecuali karena hak Islam. Dan perhitungan atas mereka merupakan hak Allah ﷻ. (HR. Al Bukhari No. 25, Muslim No. 35, 36)

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ:    الثَّيِّبُ الزَّانِيْ، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّاركُ لِدِيْنِهِ المُفَارِقُ للجمَاعَةِ

Tidak halal darah seseorang muslim yang telah bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah dan aku sebagai utusan Allah, kecuali  disebabkan salah satu di antara tiga hal:  ats tsayyib az zaaniy (orang yang sudah nikah/janda/duda yang berzina), jiwa dengan jiwa (membunuh), orang yang meninggalkan agamanya dia memisahkan diri dari jamaah. (HR. Al Bukhari No. 6878, Muslim No. 1676)

Maka, tidak sepantasnya bermudah-mudah memfatwakan “bunuh”, “halal darahnya”  kepada sesama umat Islam (termasuk demonstran muslim), tanpa hujjah yang benar dan kuat. Sebab, itu akan menjadi senjata dan alasan bagi para pelaku kezaliman untuk membunuh siapa saja yang tidak disukainya. Lebih tidak pantas lagi jika ini dianggap sebagai pendapat salaf, entah salaf mana yang diteladaninya? Wallahul Musta’an!

Demonstran = Bughat?

                Demonstrasi atau unjuk rasa, merupakan salah satu cara menyuarakan hal-hal yang mereka inginkan; berupa hal yang mereka setujui atau tolak, menuntut hak, bahkan memperjuangkan hak-hak orang lain, bahkan membela negara sendiri dari ancaman negara lain. Cara seperti ini, di negeri ini diperkenankan bahkan dilindungi UU negara. Lalu, -dalam perspektif ini- , jika demonstrasi disamakan dengan bughat (pemberontakan), adalah hal yang sangat naif, apakah mungkin negara memperkenankan aksi yang disamakan dengan pemberontakan, bahkan dilindungi UU yang mereka buat?

Ada pun bughat adalah upaya makar dengan melakukan pemberontakan kepada negara, dengan keluar dari ketaatan terhadap mereka dan angkat senjata untuk menggulingkannya. Jelas ini sangat berbeda dengan demonstrasi.

Ada sekelompok orang demonstrasi menuntut kenaikan upah kepada perusahaannya. Target demo-nya adalah perusahaannya sendiri, apakah   pemimpin negara terancam?

Ada sekelompok orang demonstrasi menuntut ditutupnya lokalisasi perjudian dan pelacuran. Target demo-nya adalah kemaksiatan, apakah pemimpin negara terancam?

Ada sekelomok orang demonstrasi mengutuk serangan Zionis Yahudi kepada Palestina. Target demo-nya adalah Zionis, apakah pemimpin negara terancam?

Dan masih banyak jenis demo-demo lainnya, sesuai hajat masing-masing pelakunya. Lalu, pada sisi mana demonstrasi sama dengan memberontak kepada negara? Padahal negara aman-aman saja, pemimpin tidak terancam, bahkan kadang ada demonstrasi yang justru mendukung pemimpin sendiri dari ejekan negara lain.

Maka, menyamakan demonstrasi damai (muzhaharah saliimah) dengan pemberontakan terhadap negara  atau dianggap menciptakan kerusakan dimuka bumi, adalah penyamaan yang tidak bisa diterima, dan sangat simplistis. Inilah yang dikritik oleh para ulama seperti Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Syaikh Abdul Mu’thi Al Bayumi, Syaikh Abdul Lathif Mahmud Al Mahmud, dan ulama lainnya, atas fatwa HARAM-nya demonstrasi mendukung Gaza dan mengutuk Zionis, pada serangan tahun 2009 silam, yang difatwakan ulama Arab Saudi,   Syaikh Al Luhaidan.  Menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili, fatwa pengharaman aksi demonstrasi dukungan kepada Palestina, adalah fatwa yang memalukan, sebagaimana dilansir hidayatullah.com. (Selengkapnya silahkan buka: http://g-82.blogspot.co.id/2009/01/syeikh-zuhaili-anggap-fatwa-haram.html)

Bughat dan Khawarij Wajib Diperangi

Ada pun MEMERANGI Ahlul Bughah (pemberontak) dan Khawarij adalah wajib, dan tidak ada perselisihan para ulama. Ini pun menjadi sikap kami. Hal ini JIKA BENAR-BENAR bahwa mereka adalah pemberontak dan khawarij, bukan tuduhan. Yaitu pemberontakan dan perlawanan terhadap pemimpin yang adil, yang meletakkan syariat Islam sebagaimana mestinya, bukan pemimpin yang mencampakkan syariat Islam.

Sayangnya saat ini tuduhan khawarij begitu murah meriah ditembakkan ke sembarang orang, pemikir, ulama, dan gerakan da’wah. Dikira mereka, semua yang kontra dengan pemimpin dan kebijakannya adalah khawarij. Menasihati dan mengkritik penguasa secara terbuka, disamakan dengan pemberontakan, dan itu khawarij.  Jelas ini adalah gagal paham tingkat paling menyedihkan.

Memerangi pemberontak dan khawarij adalah wajib, namun para ulama menjelaskan bahwa  itu mesti didahului peringatan dan pertanyaan kepada mereka, alasan apa mereka memberontak. Itulah yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiallahu ‘Anhu, saat memerangi Khawarij, dengan mengutus Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma terlebih dahulu kepada mereka untuk mencari tahu alasan mereka melawan pemerintahan Ali Radhiallahu ‘Anhu, juga menasihati mereka, sebelum mereka di perangi di Nahrawan, ketika mereka tidak ada perubahan.

Imam An Nawawi Rahimahullah  (w. 676) menjelaskan:

هَذَا تَصْرِيحٌ بِوُجُوبِ قِتَال الْخَوَارِج وَالْبُغَاة ، وَهُوَ إِجْمَاع الْعُلَمَاء ، قَالَ الْقَاضِي : أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّ الْخَوَارِج وَأَشْبَاهَهُمْ مِنْ أَهْل الْبِدَع وَالْبَغْي مَتَى خَرَجُوا عَلَى الْإِمَام وَخَالَفُوا رَأْي الْجَمَاعَة وَشَقُّوا الْعَصَا وَجَبَ قِتَالهمْ بَعْد إِنْذَارهمْ ، وَالِاعْتِذَار إِلَيْهِمْ

                 Ini merupakan petunjuk wajibnya memerangi khawarij dan para pemberontak dan ini merupakan ijma’ ulama. Al Qadhi berkata: “Para ulama telah ijma’ bahwa khawarij dan yang semisal mereka dari para ahlul bid’ah dan pemberontak, ketika mereka melakukan perlawanan kepada pemimpin dan menyelisihi pendapat jamaah umat Islam dan mereka memecah belah tongkat (persatuan), maka wajib memrangi mereka setelah mereka diberikan peringatan dan ditanyakan alasan mereka.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/169-170.  Cet. 2, 1392H. Dar Ihya At Turats. Beirut)

Imam Abul Hasan Al Mawardi  Rahimahullah  (w. 450H) menjelaskan:

فَإِذَا قَلَّدَ الْإِمَامُ أَمِيرًا عَلَى قِتَالِ الْمُمْتَنِعِينَ مِنْ الْبُغَاةِ قَدَّمَ قَبْلَ الْقِتَالِ إنْذَارَهُمْ وَإِعْذَارَهُمْ ، ثُمَّ قَاتَلَهُمْ إذَا أَصَرُّوا عَلَى الْبَغْيِ كِفَاحًا وَلَا يَهْجُمُ عَلَيْهِمْ غِرَّةً وَبَيَاتًا .

Jika seorang pemimpin mengangkat seseorang menjadi komandan untuk memerangi para pemberontak, maka sebelum memerangi mereka hendaknya memberikan peringatan dahulu dan meminta mereka untuk minta maaf. Lalu, memerangi mereka  jika mereka masih membangkang tapi tidak dibolehkan menyerang mereka secara mendadak. (Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 100)

Bahkan, memerangi pemberontak termasuk bagian dari jihad.  Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

وَفِي الشَّرْعِ بَذْلُ الْجَهْدِ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ أَوْ الْبُغَاةِ .

“Secara syariat, jihad adalah  berkorban  secara sungguh-sungguh dalam memerangi orang kafir dan para pemberontak.” (Subulus Salam, 4/41)

Demikian ini dalam menyikapi khawarij dan para pemberontak atau ahlul bughah.

Demonstrasi (Mengkritik dan  Menasihati Secara Terang-Terangan) Bukanlah Pemberontakan Apalagi Khawarij

                Cukup banyak para ulama membolehkan bahkan menganjurkan menasihati pemimpin secara terang-terangan atau terbuka, secara damai, khususnya dalam konteks kesalahannya yang berdampak bagi orang banyak, rakyat, negara, bahkan agama, bukan dalam konteks kesalahan pribadinya yang berdampak pada pribadinya saja.  Menasihati dan mencegah kemungkaran penguasa secara terbuka, seperti dengan demonstrasi, atau surat terbuka di media massa, bukanlah hal tercela jika memang tepat alasannya dan memiliki maslahat. Ingat, pembahasan kita tidaklah berkenaan demonstrasi anarkis yang memang merugikan banyak pihak, sebab jenis ini memang terlarang.

Berikut ini adalah fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah tentang hal itu, ketika Beliau ditanya tentang hukum menasihati pemimpin secara terbuka. Beliau tidak mengatakan “muzhaharah/demonstrasi”, tapi fatwa Beliau ini memiliki benang merah yang sama dengan demonstrasi, yaitu sama-sama menasihati secara terbuka.

Beliau Rahimahullah berkata:

ولكن يجب أن نعلم أن الأوامر الشرعية في مثل هذه الأمور لها مجال، ولا بد من استعمال الحكمة، فإذا رأينا أن الإنكار علناً يزول به المنكر ويحصل به الخير فلننكر علناً، وإذا رأينا أن الإنكار علناً لا يزول به الشر، ولا يحصل به الخير بل يزداد ضغط الولاة على المنكرين وأهل الخير، فإن الخير أن ننكر سراً، وبهذا تجتمع الأدلة، فتكون الأدلة الدالة على أن الإنكار يكون علناً فيما إذا كنا نتوقع فيه المصلحة، وهي حصول الخير وزوال الشر، والنصوص الدالة على أن الإنكار يكون سراً فيما إذا كان إعلان الإنكار يزداد به الشر ولا يحصل به الخير. وأقول لكم: إنه لم يضل من ضل من هذه الأمة إلا بسبب أنهم يأخذون بجانب من النصوص ويدعون جانباً، سواء كان في العقيدة أو في معاملة الحكام أو في معاملة الناس، أو في غير ذلك، ونحن نضرب لكم أمثالاً حتى يتضح الأمر للحاضرين وللسامعين .مثلاً: الخوارج و المعتزلة رأوا النصوص التي فيها الوعيد على بعض الذنوب الكبيرة فأخذوا بهذه النصوص، ونسوا نصوص الوعد التي تفتح باب الرجاء ….

” Tetapi, kita wajib mengetahui bahwa perkara-perkara syar’i seperti perkara ini memiliki cakupan,  kita harus menggunakan sisi hikmahnya. Jika kita melihat bahwa mengingkari secara terang-terangan bisa menghilangkan kemungkaran dan melahirkan kebaikan MAKA INGKARILAH SECARA TERANG-TERANGAN. Dan, jika kita melihat bahwa mengingkari secara terang-terangan tidak menghilangkan keburukan, tidak pula menghasilkan kebaikan, bahkan menambah bahkan menambah tekanan dari penguasa terhadap para pengingkar dan orang-orang baik,  MAKA LEBIH BAIK ADALAH MENGINGKARINYA DIAM-DIAM. Inilah kompromi berbagai dalil-dalil yang ada.

Dalil-dalil menunjukkan bahwa mengingkari secara terang-terangan itu dilakukan selama kita mendapatkan maslahat, dan menghasilkan kebaikan serta menghilangkan keburukan. Nash-nash juga menunjukkan bahwa mengingkari itu dilakukan secara diam-diam jika dilakukan terang-terangan justru menambah keburukan dan tidak menghasilkan kebaikan.

Aku katakan kepada kalian: “Kesesatan yang terjadi pada umat ini tidaklah terjadi, kecuali  karena mereka mengambil sebagian dalil saja, sama saja apakah itu dalam urusan aqidah, atau muamalah terhadap penguasa, atau muamalah kepada manusia, atau hal lainnya. Kami berikan contoh kepada kalian beberapa contoh agar lebih jelas bagi yang hadir dan pendengar. Misalnya: Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka hanya melihat pada nash-nash yang berisi ancaman bagi pelaku dosa-dosa besar, mereka menjadikannya sebagai dalil nash-nash ini, tapi mereka melupakan nash-nash lain yang berisi janji Allah yang dengannya menghasilkan sikap raja’ (harap). …. ”

Lalu,  Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-‘Utsaimin Rahimahullah melanjutkan:

مسألة مناصحة الولاة، من الناس من يريد أن يأخذ بجانب من النصوص وهو إعلان النكير على ولاة الأمور، مهما تمخض عنه من المفاسد، ومنهم من يقول: لا يمكن أن نعلن مطلقاً، والواجب أن نناصح ولاة الأمور سراً كما جاء في النص الذي ذكره السائل، ونحن نقول: النصوص لا يكذب بعضها بعضاً، ولا يصادم بعضها بعضاً، فيكون الإنكار معلناً عند المصلحة، والمصلحة هي أن يزول الشر ويحل الخير، ويكون سراً إذا كان إ  علان الإنكار لا يخدم المصلحة، لا يزول به الشر ولا يحل به الخير.

“Masalah menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegang dengan sebagian dalil yaitu mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap tersebut hanya mendatangkan mafsadah. Di sisi lain ada pula sebagian orang yang beranggapan bahwa mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya. Namun demikian, saya menyatakan bahwa dalil-dalil yang ada tidaklah saling menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Oleh karena itu, BOLEH MENGINGKARI PENGUASA SECARA TERBUKA BILA DI ANGGAP DAPAT MEWUJUDKAN MASLAHAT, yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan. Dan boleh pula mengingkari secara tersembunyi atau rahasia bila hal itu dapat mewujudkan maslahat/kebaikan, sehingga kerusakan tidak dapat dihilangkan dan tidak pula berganti dengan kebaikan.” (Lihat: Liqaa Al Baab Al Maftuuh No. 62)

Sementara itu, Syaikh Abu Syuja’ Al Azhari –dalam Al Mukhtashar Al Mufidah Min Ahkamil Muzhaharat As Saliimah– menjelaskan tentang apa itu demonstrasi (Muzhaharah) dan bagaimana hukumnya, yang menurutnya adalah WAJIB. Tentunya fatwa wajib ini masih bisa didiskusikan lagi.

Berikut ini sebagian perkataannya:

المظاهرة: هي خروج الناس إلى الشّارع لقول كلمة حقٍّ، ونصر المظلومين، ومطالبة الحاكم برفع الظلم، وإحقاق الحقِّ. الحكم التكليفي الإجمالي للمظاهرة: المظاهرة في الأصل مشروعة؛ لأن الخروج إلى الشارع لا حرمة فيه، ومطالبة الحاكم بمطالب مشروعة هو أمر مشروع لا حرمة فيه، بل المظاهرات المعاصرة التي نراها اليوم هي فرض عين على كل مسلم قادر على الخروج.

                Demonstrasi: itu adalah keluarnya manusia ke jalan untuk menyuarakan kebenaran, menolong orang yang dizalimi, menuntut hakim (pemimpin) untuk menghilangkan kezaliman, dan memunculkan kebenaran. Secara global hukum dari demonstrasi pada dasarnya adalah DISYARIATKAN, karena keluarnya manusia ke jalanan adalah tidak diharamkan, dan menuntut hakim dengan perkara-perkara yang disyariatkan itu juga hal yang disyariatkan, tidak ada keharaman padanya. Bahkan, demonstrasi masa kini, yang kita lihat hari ini merupakan FARDHU ‘AIN atas setiap muslim bagi yang mampu untuk keluar.  (Selesai kutipan dari Syaikh Abu Syuja’, Beliau menyampaikan sembilan dalil tentang disyariatkannya demonstrasi damai)

Selengkapnya artikel dari Syaikh Abu Syuja’ Al Azhari akan kami lampirkan  pada waktunya. Insya Allah

Berhati-hati Dalam  Menghalalkan Darah Kaum Muslimin

                Hendaknya kita hati-hati dalam urusan darah kaum muslimin, janganlah mengharamkan apa-apa yang Allah Ta’ala halalkan. Jangan berlebihan dalam mengobral kata-kata kafir,  karena emosi dan hawa nafsu, tanpa dasar dan fiqih yang benar, yang berujung pada penghalalan menghilangkan nyawa seorang muslim. Ini perkara besar!

Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An Nahl: 116)

Jika shalat adalah hal pertama kali yang dihisab di akhirat dalam konteks hubungan manusia dengan Allah ﷻ, maka urusan darah (pembunuhan) adalah yang pertama kali dihisab dalam hubungan sesama manusia.

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ

                Hal pertama yang diperkarakan di antara manusia pada hari kiamat nanti adalah urusan darah. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Demikian. Semoga kita bisa berpikir jernih, tidak bersikap keras dalam mengingkari dalam masalah yang masih diperdebatkan ulama, termasuk hukum demonstrasi ini, yang memang sebagian ulama melarang, sebagian lain membolehkan bahkan menganjurkan jika benar kondisi dan alasannya, atau juga bisa melarang dalam kondisi yang lain pula. Sikap keras dalam mengingkari hanyalah menjadi bukti betapa sering hawa nafsu dan lidah menjulur melebihi pemahaman dan akalnya.

Wallahu A’lam wa Ilaihil Musytaka
– Farid Nu’man Hasan

Hadits: “Perbedaan Di Antara Umatku adalah Rahmat”

 

Hadits ini juga sering diucapkan para dai, namun hadits ini pun sama sekali tidak valid dan otentik dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits itu berbunyi:

اختلاف أمتي رحمة

“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” (As Suyuthi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al Hajjah secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal dari Al Qasim bin Muhammad dan ini adalah ucapan beliau. Lihat Ad Durar, Hal. 1)

📌 Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan, sanad hadits ini dhaif. (Takhrijul Ihya’, No. 74. Lihat juga Raudhatul Muhadditsin, No. 4938)

📌 Sedangkan Al ‘Ajluni mengatakan hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/153)

📌 Sedangkan As Subki dan lainnya mengatakan hadits ini tidak dikenal oleh para muhadditsin (ahli hadits) (Tadzkiratul Maudhu’at, Hal. 91)

📌 Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadits ini tidak ada asalnya. Banyak para muhadditsin yang mencoba mencari sanadnya tetapi mereka tidak menemukannya, sampai-sampai As Suyuthi berkata dalam Al Jami’ Ash Shaghir: “Barang kali hadits ini telah dikeluarkan oleh sebagian kitab para imam yang belum sampai kepada kita.” Menurutku ini sangat jauh. (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/141/57) Dalam kitabnya yang lain beliau menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu). ( Dhaiful Jami’ No. 230)

📌 As Sakhawi juga mengatakan bahwa banyak para imam yang menyangka bahwa hadits ini tidak ada asalnya. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kasyf Al Khafa’, 1/65)

Ada pula hadits lain yang seperti ini berbunyi:

اختلاف أصحابي لكم رحمة

“Perbedaan pendapat para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.” (HR. Al Baihaqi, Al Madkhal Ila As Sunan Al Kubra, No. 113)

📌 Hadits ini juga dhaif jiddan (lemah sekali). Dalam perawinya terdapat Juwaibir dan Sulaiman seorang rawi yang sangat lemah, dan sanadnya munqathi’ (terputus) antara Adh Dhahak kepada Ibnu Abbas. Az Zarkasi, Ibnu Hajar, dan Al ‘Iraqi mencoba menguatkan hadits ini yakni dengan riwayat: “Perbedaan pendapat sahabatku adalah rahmat bagi umatku”. Namun ini juga mursal dhaif. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/ 153. Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kanzul ‘Umal, No. 1002)

📌 Syaikh Al Albani juga menyatakan bahwa hadits ini palsu. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 59)

📝 Catatan:

Kita telah mengetahui kelemahan hadits di atas, bahkan lebih parah lagi yakni palsu dan tidak ada dasarnya. Namun, secara makna perkataan bahwa “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat” tidak mutlak salah. Sebab, dalam tataran dan jenis tertentu, perbedaan memang membawa kebaikan, minimal masih bisa ditolerir. Oleh karena itu, banyak ulama yang membela esensi ucapan ini seperti Imam Al Khathabi, Imam An Nawawi, dan lain-lain.

Telah diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata:

ما سرني لو أن أصحاب محمد صلى الله عليه لم يختلفوا لأنهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة

“Tidaklah aku suka jika para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, seandainya mereka tidak berbeda, niscaya tidak akan terjadi rukhshah (keringanan bagi umat- pen).” (Kasyful Khafa, Ibid. Al Maqashid Al Hasanah Ibid. Ad Durar Mutanatsirah, Ibid)

Demikianlah perbedaan pendapat juga terjadi pada masa-masa terbaik, tetapi itu tidak memudharatkan mereka. Perbedaan seperti apakah ini? Imam Al Munawi mengatakan maksud perbedaan yang membawa rahmat adalah perbedaan ijtihad dalam menentukan hukum sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Shalah dari Imam Malik. (Faidhul Qadir, 1/271)

Imam As Suyuthi berkata: “Maksud perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam menentukan hukum.” Dikatakan: “Perbedaan dalam huruf dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan jamaah ahli hadits.” (Ad Durar Muntatsirah, Ibid)

Sebagian manusia ada juga yang tetap menolak makna ucapan ini, menurut mereka jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab. Ini diisyaratkan oleh Imam Al Khathabi sebagai berikut:

وقال اعترض على هذا الحديث رجلان، أحدهما ماجن والآخر ملحد، وهما اسحاق الموصلي وعمرو بن

بحر الجاحظ، وقالا جميعاً: لو كان الاختلاف رحمة لكان الاتفاق عذا

“Hadits ini telah ditentang oleh dua orang, yang satu orang yang suka bersenda gurau, dan yang lain seorang ateis (mulhid), mereka adalah Ishaq Al Maushili dan Amru bin Bahr Al Jahizh, mereka berkata: “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 15)

Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengutip dari Imam Al Khathabi lebih legkap lagi, katanya:

ثُمَّ زَعَمَ أَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ اِخْتِلَاف الْأُمَّة رَحْمَة فِي زَمَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّة ؛ فَإِذَا اِخْتَلَفُوا سَأَلُوهُ ، فَبَيَّنَ لَهُمْ .
وَالْجَوَاب عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاض الْفَاسِد : أَنَّهُ لَا يَلْزَم مِنْ كَوْن الشَّيْء رَحْمَة أَنْ يَكُون ضِدّه عَذَابًا ، وَلَا يَلْتَزِم هَذَا وَيَذْكُرهُ إِلَّا جَاهِل أَوْ مُتَجَاهِل . وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَمِنْ رَحْمَته جَعَلَ لَكُمْ اللَّيْل وَالنَّهَار لِتَسْكُنُوا فِيهِ } فَسَمَّى اللَّيْل رَحْمَة ، وَلَمْ يَلْزَم مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُون النَّهَار عَذَابًا ، وَهُوَ ظَاهِر لَا شَكَّ فِيهِ . قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَالِاخْتِلَاف فِي الدِّين ثَلَاثَة أَقْسَام : أَحَدهَا : فِي إِثْبَات الصَّانِع وَوَحْدَانِيّته ، وَإِنْكَار ذَلِكَ كُفْر .
وَالثَّانِي : فِي صِفَاته وَمَشِيئَته ، وَإِنْكَارهَا بِدْعَة .
وَالثَّالِث فِي أَحْكَام الْفُرُوع الْمُحْتَمَلَة وُجُوهًا ، فَهَذَا جَعَلَهُ اللَّه تَعَالَى رَحْمَة وَكَرَامَة لِلْعُلَمَاءِ ، وَهُوَ الْمُرَاد بِحَدِيثِ : اِخْتِلَاف أُمَّتِي رَحْمَة ، هَذَا آخِر كَلَام الْخَطَّابِي

Lalu, mereka mengira bahwa perbedaan pada umat yang mendatangkan rahmat itu hanya khusus pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika, para sahabat berbeda pendapat, maka Beliau memberikan penjelasan.

Jawaban dari penolakan yang buruk ini adalah tidak selalu dalam berbagai hal bahwa lawan dari rahmat adalah azab, tidaklah yang mengatakan hal itu melainkan orang bodoh atau belagak bodoh. Allah ta’ala telah berfirman: “ .. dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu ..” malam dinamakan rahmat, dan tidaklah patut dikatakan lantas siang adalah azab, dan ini sangat jelas dan tak ada keraguan di dalamnya.

Al Khathabi berkata: perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama, menetapkan perbuatan dan keesaanNya, maka mengingkarinya adalah kufur. Kedua, perbedaan pendapat tentang sifat dan kehendakNya, mengingkarinya adalah bid’ah. Ketiga, tentang hukum-hukum cabang yang multi tafsir, maka inilah yang Allah jadikan rahmat dan kemuliaan bagi ulama. Inilah maksud “perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.” Selesai ucapan Al Khathabi. (Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, No. 3090. Mauqi’ Ruh Al Islam)

Demikianlah pembelaan dari Imam Al Khathabi dan Imam An Nawawi terhadap isi hadits tersebut. Namun, pembelaan ini tidaklah merubah status kedhaifan hadits tersebut sedikit pun. Hal ini diisyaratkan oleh Imam As Sakhawi berikut ini:

ثم تشاغل الخطابي برد هذا الكلام، ولم يقع في كلامه شفاء في عزو الحديث

“Kemudian Al Khathabi sibuk membantah ucapan ini (Yakni ucapan, “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.”), namun pejelasan itu tidak bisa mengobati untuk menguatkan hadits tersebut.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14)

Jika ada yang mengatakan, “Bukankah Allah memerintahkan persatuan, agar kita berpegang pada tali agama Allah dan jangan berpecah belah?” jawab: Benar, namun perbedaan pendapat tidaklah selalu berkonotasi perpecahan. Berbeda pendapat bukanlah halangan untuk tetap ukhuwah. Allah Ta’ala melarang kita untuk berpecah, bukan melarang untuk berbeda pendapat, bahkan perbedaan itu sesuatu yang lumrah dan tabiat kehidupan.

Allah Ta’ala berfirman:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat..” (QS. Hud (11): 118)

Wallahu A’lam

✏️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top