Perintah ini berlaku bagi mu’min dan mi’minah. Sebagaimana tertera dalam ayat-ayat berikut:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا …..
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…… 1)
Hendaknya laki-laki menahan pandangan dari melihat aurat wanita dan laki-laki, begitu pula wanita terhadap laki-laki dan wanita juga. Bukan hanya mata tapi juga hati, sebab Allah Ta’ala tidak menggunakan ‘ainun (mata), tetapi bashar (pandangan), yang bisa dilakukan oleh mata dan hati sekaligus.
Tentunya ini hanya berlaku kepada pandangan yang diharamkan, tetapi kepada istri atau suami sendiri sama sekali tidak masalah. Sebagian mufassir memaknai ayat: yaghuddu min abshaarihim (tundukan pandangan mereka) artinya sebagian pandangan, tidak semua pandangan itu terlarang. Sebab kata min dalam ayat ini menunjukkan tab’idhiyah (sebagian).
Imam Abul Faraj bin Al Jauzi Rahimahullah mengatakan:
لأنهم لم يؤمروا بالغض مطلقاً، وإنما أمروا بالغض عما لا يحلُّ
Karena mereka tidak diperintahkan menundukkan pandangan secara mutlak, mereka hanya diperintahkan menundukkan dari yang tidak halal. 2)
Ada pun pandangan terhadap wajah yang bukan istri atau mahram, jumhur ulama mengatakan tidak apa-apa selama tidak melahirkan fitnah, seperti lahirnya syahwat. Banyak sekali keterangan dari para ulama tentang hal ini, berikut kami kutip sebagaian kecil saja.
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengutip dari Imam Ibnu Baththal Rahimahullah sebagai berikut:
قَالَ اِبْن بَطَّال : فِي الْحَدِيث الْأَمْر بِغَضِّ الْبَصَر خَشْيَة الْفِتْنَة ، وَمُقْتَضَاهُ أَنَّهُ إِذَا أُمِنَتْ الْفِتْنَة لَمْ يَمْتَنِع
“Berkata Ibnu Baththal: Dalam hadits ini terdapat petunjuk perintah untuk menundukkan pandangan karena dikhawatirkan fitnah dan segala akibatnya, tapi jika aman dari fitnah maka tidak dilarang memandang.”
Lalu beliau melanjutkan:
وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ نِسَاء الْمُؤْمِنِينَ لَيْسَ عَلَيْهِنَّ مِنْ الْحِجَاب مَا يَلْزَم أَزْوَاج النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، إِذْ لَوْ لَزِمَ ذَلِكَ جَمِيع النِّسَاء لَأَمَرَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَثْعَمِيَّة بِالِاسْتِتَارِ وَلَمَا صَرَفَ وَجْه الْفَضْل ، قَالَ : وَفِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ سَتْر الْمَرْأَة وَجْههَا لَيْسَ فَرْضًا لِإِجْمَاعِهِمْ عَلَى أَنَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تُبْدِي وَجْههَا فِي الصَّلَاة وَلَوْ رَآهُ الْغُرَبَاء
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa bagi wanita mukmin tidaklah diwajibkan berhijab (wajahnya) sebagaimana lazimnya isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya itu lazim bagi semua wanita, niscaya Nabi akan memerintahkan wanita Khats’amiyah itu untuk menutup wajahnya, tidak perlu memalingkan wajah Al Fadhl. Ini juga dalil bahwa bagi wanita, menutup wajah tidaklah wajib, karena menurut kesepakatan mereka (para ulama) bahwa wanita harus menampakkan wajahnya ketika shalat, walau dilihat oleh orang asing.” 3)
Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah berkata:
وَجْهُ الْمَرْأَةِ وَكَفَّاهَا غَيْرُ عَوْرَةٍ وَجَائِزٌ أَنْ يَنْظُرَ ذَلِكَ مِنْهَا كُلُّ مَنْ نَظَرَ إلَيْهَا بِغَيْرِ رِيبَةٍ وَلَا مَكْرُوهٍ ، وَأَمَّا النَّظَرُ لِلشَّهْوَةِ فَحَرَامٌ وَلَوْ مِنْ فَوْقِ ثِيَابِهَا فَكَيْفَ بِالنَّظَرِ إلَى وَجْهِهَا ؟
“Wajah wanita dan dua telapak tangannya bukanlah aurat, dan boleh melihatnya, bagi siapa pun yang melihatnya tanpa ada perasaan was-was, dan itu tidak dimakruhkan. Ada pun melihat dengan syahwat, maka haram walau hanya melihat pakaian luarnya, maka apalagi melihat wajahnya?” 4)
Imam Al Haththab berkata, dalam Mawahib Al Jalil :
وَذَلِكَ الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ عَلَى مَا قَالَهُ أَهْلُ التَّأْوِيلِ فَجَائِزٌ لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْظُرَ إلَى ذَلِكَ مِنْ الْمَرْأَةِ عِنْدَ الْحَاجَةِ وَالضَّرُورَةِ
“Demikian pula wajah dan dua telapak tangan, seperti apa yang dikatakan ahli takwil, bahwa dibolehkan bagi laki-laki memandangnya ketika ada keperluan dan darurat.” 5)
Imam Al Kharrasyi berkata dalam Syarh Mukhtashar Khalil:
وَالْمَعْنَى أَنَّ عَوْرَةَ الْحُرَّةِ مَعَ الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيِّ جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى دَلَالِيّهَا وَقُصَّتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا فَيَجُوزُ النَّظَرُ لَهُمَا بِلَا لَذَّةٍ وَلَا خَشْيَةِ فِتْنَةٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَوْ شَابَّةً وَقَالَ مَالِكٌ تَأْكُلُ الْمَرْأَةُ مَعَ غَيْرِ ذِي مَحْرَمٍ وَمَعَ غُلَامِهَا وَقَدْ تَأْكُلُ مَعَ زَوْجِهَا وَغَيْرِه
“Maknanya adalah bahwa aurat wanita merdeka di depan laki-laki asing adalah adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan, baik bagian luar atau dalam. Maka, boleh melihatnya tanpa berlezat-lezat, dan tidak dikhawatiri lahirnya fitnah, boleh tanpa ada udzur walau pun masih muda. Imam Malik berkata: Wanita boleh makan bersama orang lain tanpa mahramnya namun ditemani oleh anaknya, dan dia makan bersama suaminya dan orang lain.” 6)
Hukum ini sama halnya dengan wanita melihat bagian tubuh laki-laki yang bukan aurat, tidak apa-apa selama tidak melahirkan fitnah. Dahulu ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menyaksikan laki-laki Habasyah yang bermain pedang di masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hari raya, dan itu dilakukan bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha puas melihat permainan mereka.
Wallahu A’lam
📕📗📘📓📙📔📒
✏ Farid Nu’man Hasan
🍃🍃🍃🍃🍃🍃
[1] QS. An Nuur: 30-31
[2] Zaadul Masir, 3/289
[3] Fathul Bari, 11/10
[4] Imam Abu Abdillah bin Yusuf Al Abdari Al Mawwaq , At Tajj Al Iklil Li Mukhtashar Khalil, 1/384
[5] Imam Syamsuddin Al Haththab Ar Ru’yani, Mawahib Al Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Al Khalil, 16/91
[6] Imam Al Kharrasyi, Syarh Mukhtashar Khalil, 3/ 201