[Biografi Ulama Ahlus Sunnah] Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas Rahimahullah (Bag 1)

Mengingat tokoh ini kita akan mengatakan inilah ulama Madinah yang kedatangannya seolah telah dijanjikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya! Dialah Imamnya negeri hijrah (Madinah), mutiaranya ahli fiqih, bintangnya ahli hadits, simbol kewibawaan ulama, mata airnya ilmu bagi manusia pada masanya, berparas tampan, shalat dan puasanya biasa saja tetapi akhlaknya luhur. Allah telah memberinya dunia dengan kekayaan dan kemegahan, banyak imam besar yang duduk bersimpuh di hadapannya; dialah Imam Malik bin Anas Radhiallahu ‘Anhu, pengarang kitab Al Muwaththa’.

Di Madinah, pada masanya tidak ada yang berani berfatwa sebelum Imam Malik bicara. Bahkan, sebagian sejarawan begitu meninggikannya, sampai-sampai Imam Adz Dzahabi menyebutkan jika dijejerkan dengan nama-nama besar di Madinah pada masa tabi’in seperti Sa’id bin Al Musayyib, tujuh ahli fiqih Madinah, Qasim, Salim, Ikrimah, Naafi’, lalu Zaid bin Aslam, Az Zuhri, Abu Az Zinad, Yahya bin Sa’id, Shafwan bin Sulaim, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, lalu jika Imam Malik dipertemukan dengan mereka maka Imam Malik lebih unggul dibanding mereka, lalu di antara mereka juga ada Ibnu Abi Dzi’b, Abdul Aziz bin Al Majisyun, Sulaiman bin Bilal, Fulaih bin Sulaiman, Ad Darawardi, dan yang sezaman dengan mereka, jika mereka semua dipertemukan maka secara mutlak Maliklah yang paling menonjol. (Lihat As Siyar, 7/156)

Padahal di antara nama-nama ini ada yang pernah menjadi gurunya. Bukan hal yang aib, jika ada murid yang di kemudian hari justru menjadi guru dari gurunya terdahulu. Bahkan Abdurrahman bin Al Mahdi mengatakan bahwa pada masa Imam Malik ulama Madinah ada empat orang yakni Sufyan Ats Tsauri, Al Auza’i, Hammad bin Zaid, dan Malik, dan yang paling cerdas dari semuanya adalah Malik.

Tangannya pun begitu dingin, lahir melalui madrasahnya para murid yang kemudian menjadi imam besar dan bintangnya dunia seperti Imam Abdullah bin Al Mubarak, Imam Muhammad bin Al Hasan, Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan, dan tentunya yang paling bersinar di antara mereka adalah Imam Asy Syafi’i, yang dikemudian hari nama dan pengaruhnya melambung melebihi Imam Malik sendiri. Semoga Allah Ta’ala meridhai dan merahmati mereka semua.

1⃣ Nama dan Nasab

Imam Adz Dzahabi berkata (As Siyar, 7/150): Dia adalah Syaikhul Islam, hujjahnya umat, Imam negeri hijrah (Madinah), Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Dzu Ashbah bin Auf bin Malik bin Zaid bin Syadad bin Zur’ah yang berasal dari Kabilah Himyar yang disebut dengan Himyarul Ashghar, kemudian Al Ashbahi, Al Madini, nenek moyangnya berasal dari Bani Tamim dari suku Quraisy, Beliau berkawan dengan Utsman bin ‘Ubaidillah, saudara dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, salah satu dari sepuluh sahabat nabi yang dijamin masuk surga.

Ibunya adalah ‘Aliyah binti Syarik Al Azdiyah. Paman-pamannya adalah Abu Suhail Nafi’, Uwais, Ar Rabi’, An Nadhr, anak-anaknya Abu ‘Amr.

Az Zuhri telah meriwayatkan hadits dari ayahnya; Anas, dan dari pamannya; Uwais dan Abu Suhail. Abu Uwais Abdullah meriwayatkan dari pamannya, Ar Rabi’. Ayah mereka termasuk seniornya tabi’in. Mengambil hadits dari ‘Utsman dan segolongan sahabat.

Disebut Imam Darul Hijrah, karena dia Imamnya kota Madinah, bahkan sepanjang hayatnya tidak pernah keluar kota Madinah kecuali ketika haji.

2⃣ Kelahirannya

Menurut pendapat yang shahih, Beliau dilahirkan tahun 93 H ditahun wafatnya Anas, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau hidup dalam keadaan terawat, makmur, dan penuh keindahan. (Ibid)

Aslinya berasal dari Yaman, keluarganya berimigrasi ke Madinah Munawarah. Para sejarawan tidak berbeda pendapat tentang asalnya ini. Tetapi, mereka berselisih kakek yang mana yang berimigrasi ke Madinah? Al Qadhi Abu Bakar bin ‘Ala Al Qusyairi menyebutkan: Abu Amir bin Amru, kakek dari Abu Malik, sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Qadhi Abu Bakar mengatakan: Dia ikut seluruh peperangan bersama nabi kecuali Badar. Tetapi Imam Ibnu Abdil Bar tidak menyebutkannya, jika memang ini shahih pastilah dia kan menyebutnya dalam kitabnya. (Muqadimah Al Muwaththa, 1/17-18. Tahqiq: Syaikh Muhammad Mushthafa Al A’zhami)

Diriwayatkan dari Ma’an, Al Waqidi, dan Muhammad bin Adh Dhahak, bahwa ibunya mengandung Beliau selama tiga tahun! Al Waqidi mengatakan ibunya mengandungnya selama dua tahun. (As Siyar, 7/154)

Menurut para pengagumnya, kelahiran Beliau seolah sudah diprediksikan dalam hadits berikut:

يُوشِكُ أَنْ يَضْرِبَ النَّاسُ أَكْبَادَ الْإِبِلِ يَطْلُبُونَ الْعِلْمَ فَلَا يَجِدُونَ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْ عَالِمِ الْمَدِينَةِ

Hampir saja manusia memukul perut Unta demi mencari ilmu, dan mereka tidak mendapatkan seorang pun yang lebih berilmu dibanding ‘alim (orang berilmu)-nya Madinah. (HR. At Tirmidzi No. 2680, Ahmad dalam Musnadnya No. 7980, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 4291, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 8935, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 30, dll. Hadits ini dihasankan oleh Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya, juga dishahihkan oleh Imam Al Hakim, dan disepakati Imam Adz Dzahabi. (Al Mustadrak No. 307), Imam An Nawawi juga menshahihkannya. (Tahdzibul Asma wal Lughat, 2/90), namun para ulama lain mengoreksinya.)[1]

Para ulama salaf seperti Imam Abdurazzaq, Imam Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan maksud ulama Madinah dalam hadits ini adalah Imam Malik bin Anas. Imam Ibnu ‘Uyainah juga mengatakan tentang ulama Madinah adalah Abdul Aziz bin Abdullah Al ‘Umari, keturunan Umar bin Al Khathab. Dia seorang zahid (zuhud), dan bukan ulama. (Lihat keterangan ini dalam Sunan At Tirmidzi No. 2680, juga Al Ahkam Asy Syar’iyah Al Kubra, 1/285, juga Musnad Ahmad No. 7980)

Adz Dzahabi bercerita: bahwa diriwayatkan dari Ibnu ‘Uyainah, katanya: Aku (Sufyan bin ‘Uyainah) berkata: (Ulama Madinah) yang dimaksud adalah Sa’id bin Al Musayyib, sampai aku katakan bahwa saat itu ada Sulaiman bin Yasar dan Salim bin Abdillah, dan selain mereka. Lalu pada zamanku ini, ulama Madinah tersebut adalah Malik bin Anas, dan tidak ada lagi yang lainnya yang setara dengannya.

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: “Pernyatan ini shahih (autentik) dari Sufyan bin ‘Uyainah.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi, Ibnu Ma’in, Dzu’aib bin ‘Imamah, Ali bin Al Madini, Az Zubair bin Bakkar, Ishaq bin Abi Israil, bahwa mereka semua mendengar sendiri bahwa Sufyan bin ‘Uyainah menafsirkan yang dimaksud ulama Madinah dalam hadits ini adalah Imam Malik, paling tidak Ibnu ‘Uyainah mengatakan dengan kata: “Aku kira”, “Aku menyangka”, “yang dimaksud” dan “dulu mereka menilainya.”

Sedangkan Abul Mughirah Al Makhzumi mengatakan: bahwa maksud hadits itu adalah Sa’id bin Al Musayyib, lalu guru-gurunya Malik, dan Imam Malik sendiri, lalu murid-muridnya Imam Malik.

Aku (Imam Azd Dzahabi) berkata: “Ulama Madinah setelah masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya adalah Zaid bin Tsabit, ‘Aisyah, Ibnu Umar, Sa’id bin Al Musayyib, Az Zuhri, ‘Ubaidillah bin Umar, lalu Malik bin Anas.” (Selesai dari Imam Adz Dzahabi, lihat semua dalam Siyar A’lamin Nubala, 7/155)

3⃣ Sifat-sifat dan Penampilannya

Beliau adalah ulama yang berparas menarik, kulitnya putih, wajahnya merona, tampan, gagah, senang berpakaian putih, dan berjenggot tebal.

Dari Adz Dzahabi, bahwa Isa bin Umar berkata:

مَا رَأَيْتُ قَطُّ بَيَاضاً، وَلاَ حُمْرَةً أَحْسَنَ مِنْ وَجْهِ مَالِكٍ، وَلاَ أَشَدَّ بَيَاضِ ثَوْبٍ مِنْ مَالِكٍ

“Tidak pernah aku melihat orang yang berkulit putih dan berwajah kemerah-merahan sebagus Malik. Dan tidak pernah aku melihat pakaian yang lebih putih dibanding pakaian Malik.”

Lalu, Adz Dzahabi bercerita lagi:

وَنَقَلَ غَيْرُ وَاحِدٍ أَنَّهُ كَانَ طُوَالاً، جَسِيْماً، عَظِيْمَ الهَامَةِ، أَشقَرَ، أَبْيَضَ الرَّأسِ وَاللِّحْيَةِ، عَظِيْمَ اللِّحْيَةِ، أَصلَعَ، وَكَانَ لاَ يُحْفِي شَارِبَه، وَيَرَاهُ مُثْلَةً

Lebih dari satu orang menukilkan, bahwa Beliau adalah seorang yang tinggi fisiknya, blonde, kepala dan jenggotnya putih, jenggotnya lebat, kepalanya botak, dia tidak memendekkan kumisnya, dan menurutnya memendekkan kumis mesti dihukum. (Siyar A’lam An Nubala, 7/163)

Ya, Imam Malik berpendapat mencukur kumis sampai habis bagi laki-laki adalah bid’ah, dan pelakunya harus dihukum. Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah menyebutkan:

وَقَالَ أَشْهَدُ فِي حَلْقِ الشّارِبِ أَنّهُ بِدْعَةٌ وَأَرَى أَنْ يُوجَعَ ضَرْبًا مَنْ فَعَلَهُ قَالَ مَالِكٌ وَكَانَ عُمَرُ بْنُ الْخَطّابِ إذَا كَرَبَهُ أَمْرٌ نَفَخَ فَجَعَلَ رِجْلَهُ بِرِدَائِهِ وَهُوَ يَفْتِلُ شَارِبَهُ

Berkata Malik: ‘Aku bersaksi bahwa mencukur kumis (sampai habis) adalah bid’ah dan aku berpendapat bahwa orang yang melakukanya mesti dipukul,’ Dia melanjutkan, ‘Jika Umar bin al Khaththab sedang dilanda kesulitan suatu masalah, dia naik darah, mengikatkan selendangnya di kaki, dan melinting kumisnya.” (Zaadul Ma’ad, 1/173)

Imam Ibnul Qayyim, menukil dari Ath Thahawi, Beliau berkata, ‘Dalam hal ini (mencukur kumis) kami tidak dapat satu teks pun dari Imam Asy Syafi’i, sementara dari murid-muridnya seperti Al Muzani dan Ar Rabi’, mereka memotong kumisnya, ini berarti mereka mengambil pelajaran dari Imam Asy Syafi’i.’ Ath Thahawi melanjutkan, ‘Sementara untuk Imam Abu Hanifah, Zufar, Imam Abu Yusuf, dan Imam Muhammad bin Qasim, dalam madzhab mereka mencukur rambut dan kumis (sampai habis) lebih utama dibanding memendekkannya.’ Disebutkan oleh Ibnu Khuwaiz Mindad al Makki dari Imam Asy Syafi’i bahwa dalam hal mencukur kumis, madzhabnya (yakni syafi’i) sama dengan madzhab Imam Abu Hanifah. Itulah pandangan Imam Abu Umar. Sementara Madzhab Imam Ahmad, Utsman berkata, ‘Aku melihat Imam Ahmad memotong kumisnya sangat pendek, dan aku mendengar beliau ditanya tentang memotong kumis, mbeliau menjawab, ‘Dipotong, sebagaimana sabda Rasulullah, Ahfuu asy Syawaarib (potonglah kumis). Hanbal berkata, ‘Ditanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad), anda berpendapat bahwa seorang laki-laki harus memotong kumisnya atau mencukurnya, atau bagaimana memotongnya?’ Dia menjawab, ‘Jika dia memotongnya, tidak mengapa dan jika dia mengambil gunting untuk mencukurnya, juga tidak mengapa.’ Sementara, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam Al Mughni berkata, ‘Bebas saja, apakah ia mencukurnya atau sekedar memotongnya, tanpa mencukur.”(Ibid)

Bersambung …

🌴🍃🌸🌱🍄🌹🌾🌵

✍ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Di antaranya, Imam Abul Hasan Ali bin Al Qaththan Al Fasi, Beliau mengatakan, “Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Abu Az Zubeir, semuanya adalah mudallis (orang yang melakukan keterangan tidak jelas pada sanad dan/atau matan).” (Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 1865)

Hadits ini diriwayatkan secara ‘an’anah (yakni ‘an fulan – dari fulan), menunjukkan keterputusan sanadnya. Hadits yang diriwayatkan secara ‘an’anah bisa saja shahih jika para perawinya bukan mudallis, tapi nyatanya hadits ini diriwayatkan tiga orang para mudallis (perbuatannya disebut tadlis).

Imam Ad Daruquthni menyebut Ibnu Juraij sebagai seburuk-buruknya pelaku tadlis. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Thabaqat Al Mudallisin, No. 83)

Imam Ibnu Hajar menyebut bahwa Abu Az Zubeir terkenal sebagai pelaku tadlis, dan Imam An Nasai juga lainnya menyatakan demikian. (Ibid, No. 101)

Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, dan dia mengomentari penshahihan Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi, katanya:

قلت : وهو كما قالا ؛ لولا عنعنة ابن جريج وأبي الزبير ؛ فإنهما مدلسان ، لا سيما الأول منهما ؛ فإنه سيىء التدليس كما هو مشروح في ترجمته

Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini seperti yang dikatakan oleh mereka berdua (shahih) seandainya tidak dilakukan secara ‘an’anah oleh Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir, karena keduanya adalah mudallis, apalagi yang pertama (Ibnu Juraij), dia adalah orang yang buruk tadlisnya, sebagaimana dijelaskan dalam biografinya.” (As Silsilah Adh Dhaifah No. 4833)

Syaikh Ali Hasyisy memberikan penjelasan yang cukup bagus, katanya:

قلت: هذا الحديث غريب غرابة مطلقة؛ فلم يرو هذا الحديث إلا أبو هريرة، ولم يروه عن أبي هريرة إلا أبو صالح، ولم يروه عن أبي صالح إلا أبو الزبير، ولم يروه عن أبي الزبير إلا ابن جريج تفرد به ابن عيينة. ولم يخرج البخاري ولا مسلم من هذا الطريق حديثا واحدا، بل وأصحاب السنن لم يخرج أحد منهم من هذا الطريق إلا الترمذي والنسائي هذا الحديث فقط

Aku berkata: Hadits ini gharib (menyendiri) dengan keghariban yang mutlak. Hadits ini tidak pernah diriwayatkan kecuali oleh Abu Hurairah saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Hurairah kecuali Abu Shalih saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Shalih kecuali Abu Az Zubeir saja, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Az Zubeir kecuali Ibnu Juraij saja, dan Ibnu ‘Uyainah meriwayatkan secara menyendiri darinya.

Hadits ini tidak pernah diriwayatkan oleh Al Bukhari, tidak pula oleh Muslim, dari jalan hadits seperti ini walau pun satu saja, bahkan para penyusun kitab Sunan tidak ada yang meriwayatkan jalur seperti ini kecuali At Tirmidzi dan An Nasa’i pada hadits ini saja. (Silsilah Al Ahadits Al Wahiyah, Hal. 93)

Syaikh Ali Hasyisy menyebutkan dua ‘ilat (cacat) pada hadits ini yakni Ibnu Juraij dan Abu Az Zubeir. Lalu Beliau menyimpulkan:

وبهذا يكون الحديث غير صحيح، والسند واه لما فيه من تدليس شديد ومركب

Dengan ini, hadits ini menjadi tidak shahih, dan sanadnya lemah, karena di dalamnya terdapat tadlis yang berat dan bertumpuk-tumpuk. (Ibid, Hal. 94). Dengan dua cacat ini pula yang membuat Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 13/358).

Demikianlah status hadits ini menurut keterangan para ulama. Wallahu a’lam.

 

Hutang dan Perbedaan Nilai Uang

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Saya Intan dari citayam mau bertanya tentang hutang piutang

kalau misal, dulu kakek kita punya utang 2.000.000. Nilai mata uang 2jt dl itu (thn 79 misalnya), bisa buat beli rumah..

Nah, baru mau diganti skrg… sdgkn mata uang 2jt skrg udah ga bs buat beli rumah.

Apakah wajar jika yg memberi hutang, meminta rumah sbg penggantian utang si kakek? atau harus dikembalikan 2.000.000 jg?

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah ..

Untuk kasus seperti ini, tentu akan zalim hutang tahun 1979 Rp. 2.000.000, dipulangkan juga Rp. 2.000.000 pada tahun 2017. Karena perbedaan nilai dan kuasa uang itu yang berbeda antara tahun 1979 dan 2017.

Bagaimana caranya? Setarakanlah dengan emas. Th 1979, 2 juta itu dapat berapa gram emas, misalnya: dapat 200 gr emas.

Maka, 200 gr emas itu di tahun 2017, berapa harganya, maka sebesar itulah yang dibayarkan.

Wallahu a’lam

Tim Syariah Consulting Center, Depok

Tafsir Surat Al Mulk (Bagian 10)

📂DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

📌 NASH AYAT

أَوَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ فَوْقَهُمْ صَافَّاتٍ وَيَقْبِضْنَ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا الرَّحْمَنُ إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ (19)

Dan apakah mereka tidak memperhatikan burung-burung yang mengembangkan dan mengatupkan sayapnya di atas mereka? Tidak ada yang menahannya (di udara) selain Yang Maha Pemurah. Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (QS.Al Mulk: 19)

📌 TINJAUAN BAHASA

الطَّيْرِ

Burung

صَافَّاتٍ

Mengepakkan sayap

وَيَقْبِضْنَ

Mengatupkan sayap

📌 PESAN TERSIRAT DALAM AYAT

Burung-burung yang mengepakkan sayapnya, tiada yang menahan atau melepaskan kepakan sayapnya melainkan Ar Rahman, sedangkan orang-orang musyrik mengikari keberadaan Ar Rahman, mereka tak menyadari bahwa mereka hidup dalam naungan Allah yang Maha Rahman. Kasih sayang Allah begitu jelas, nampak nyata. Pada ayat ini Allah kekuasaan Allah terlihat pada burung yang terbang dengan mengepakkan sayap-Nya, kepakan yang teratur, terarah, tidak pernah saling bertabrakan antara satu sayap dan lainnya. Namun mengapa masih saja ada orang yang enggan menyembah Allah? Padahal jika mereka mau berfikir pada proses terbangnya seekor burung niscaya disana terdapat tanda-tanda Allah Maha Pengasih dan Penyayang. ( Al Jazairi, Aisar Tafasir, 401)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

أَلَمْ يَرَوْا إِلَى الطَّيْرِ مُسَخَّرَاتٍ فِي جَوِّ السَّمَاءِ مَا يُمْسِكُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Tidakkah mereka mengamati burung yang terbang di angkasa, Allah lah yang mengendalikannya. Di balik itu ada tanda-tanda kekuasaanNya bagi orang-orang yang beriman (QS.An-Nahl:79).

Kedua ayat berbeda diatas sama-sama berbicara tentang binatang ciptaan Allah yaitu burung     ( الطَّيرُ)

Ayat diatas juga menggunakan ungkapan yang sama yaitu

   أَوَلَمْ يَرَوْا

( tidakkah mereka melihat)

Melihat disini sebenarnya bukan hanya memperhatikan, namun lebih dari itu memperhatikan, meneliti dan mengambil hikmah dari penciptaan Allah atas makhluk-Nya. “ Melihat” Sebuah ungkapan jelas yang menunjukkan bahwa setiap orang bisa melihat fisik burung, anatomi dan keindahan bulu maupun suaranya. Apalagi para kolektor burung piaraan yang berharga sangat fantastis. Juga saat seekor burung terbang diangkasa dengan cepat, meluncur deras, menerkam mangsanya, seolah tak terpengaruh dengan gaya gravitasi bumi, sangat cepat dan lihai.

Hikmahnya adalah ada sebuah kekuatan Maha Besar Pengatur pergerakan burung-burung tersebut, yang terbang tinggi di angkasa, mengatur keseimbangannya sehingga bisa tetap melayang diudara tidak jatuh. Siapakah yang mengatur itu semua? Jawabnya adalah Allah Subhanahu wa taala.

Karena Allah Yang Maha Mengetahui bagaimana menciptakan Makhluk dan bagaimana mengaturnya (Tafsir An Nasafi, 3/515)

Seolah Allah juga ingin menggambarkan, sebagaimana Dia bisa membuat keadaan burung di udara sesuai dengan keinginan-Nya, seperti juga Dia bisa mengazab kaum kafir atas pembangkangan mereka. ( Tafsir Jalalain,1/756)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Fauzan Sugiono

Serial Tafsir Surat Al Mulk:

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 1) Gambaran Umum Surat Al Mulk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 2)

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 3) Amal Terbaik

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 4) Allah Menciptakan Tujuh Langit Berlapis-lapis

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 5) Bintang dilangit dijadikan Allah alat pelempar syetan

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 6) ILUSTRASI MURKA NERAKA KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 7) PENYESALAN ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 8) ALLAH MENGETAHUI YANG TERSEMBUYI DAN NYATA

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 9) ALLAH MAHA PEMBERI RASA AMAN

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 10) DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 11) ALLAH MAHA PENOLONG, ALLAH PEMBERI REZEKI

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 12) Perumpamaan Orang Yang Mendapat Petunjuk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 13) Nikmat Pendengaran, Penglihatan dan Hati Nurani

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 14) Hanya Allah Yang Maha Tahu Kapan Datangnya Hari Kiamat

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 15) Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 16) Allah Maha Mematikan dan Memberi Rahmat, Tawakal Hanya Kepada-Nya, serta Dia Maha Pemberi Nikmat air

Hukum Kisah-Kisah Fiksi

Fatwa 1: Asy Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih

السؤال
هل يحل في الإسلام تأليف الكتب الخيالية أم يعتبر هذا نوعاً من الكذب؟

الفتوى

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:

فقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج” رواه أحمد وأبو داود وغيرهما، وزاد ابن أبي شيبة في مصنفه: “فإنه كانت فيهم أعاجيب”.
وقد صحح الألباني هذه الزيادة
قال أهل العلم: وهذا دالٌّ على حل سماع تلك الأعاجيب للفرجة لا للحجة، أي لإزالة الهم عن النفس، لا للاحتجاج بها، والعمل بما فيها.

وبهذا الحديث استدل بعض أهل العلم على حل سماع الأعاجيب والفرائد من كل ما لا يتيقن كذبه بقصد الفرجة، وكذلك ما يتيقن كذبه، لكن قصد به ضرب الأمثال والمواعظ، وتعليم نحو الشجاعة، سواء كان على ألسنة آدميين أو حيوانات إذا كان لا يخفى ذلك على من يطالعها.
هكذا قال ابن حجر الهيثمي – رحمه الله – من الشافعية.
وذهب آخرون وهم علماء الحنفية إلى كراهة القصص الذي فيه تحديث الناس بما ليس له أصل معروف من أحاديث الأولين، أو الزيادة، أو النقص لتزيين القصص.
ولكن لم يجزم محققو المتأخرين منهم كابن عابدين بالكراهة إذا صاحب ذلك مقصد حسن، فقال ابن عابدين رحمه الله: (وهل يقال بجوازه إذا قصد به ضرب الأمثال ونحوها؟ يُحَرَّر).
والذي يظهر جواز تأليف الكتب التي تحتوي قصصاً خيالياً إذا كان القارئ يعلم ذلك، وكان المقصد منها حسناً كغرس بعض الفضائل، أو ضرب الأمثال للتعليم كمقامات الحريري مثلاً، والتي لم نطلع على إنكاره من أهل العلم مع اطلاعهم عليها، وعلمهم بحقيقتها، وأنها قصص خيالية لا أصل لها في الواقع.
والله أعلم.
المفتي: مركز الفتوى بإشراف د.عبدالله الفقيه

Pertanyaan:

Bolehkah dalam Islam menyusun buku tentang kisah-kisah fiksi ataukah mengambil pelajaran dari kisah jenis ini termasuk kebohongan?

Jawab:

Alhamdulillah Ash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala aalihi wa shahbihi wa ba’d: Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ceritakan oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan lainnya. Ibnu Abi Syaibah menambahkan dalam Mushannaf-nya: “… sesungguhnya pada diri mereka ada hal-hal yang mengagumkan.”  Syaikh Al Albani menshahihkan tambahan ini.

Berkata para ulama: Ini adalah  dalil halalnya mendengarkan kisah mengagumkan tersebut jika untuk selingan saja, yaitu untuk menghilangkan rasa sedih dalam jiwa, bukan untuk dijadikan hujjah, bukan pula untuk diamalkan.

Dengan hadits ini pula, sebagian ulama berdalil halalnya mendengarkan hal-hal yang mengagumkan dan berharga, dari segala hal yang belum bisa dipastikan kedustaannya, dengan maksud untuk selingan. Begitu juga kisah yang diyakini kedustaannya (fiksi), tetapi dengan maksud sebagai tamtsil (perumpamaan) dan mau’izhah (pelajaran) saja, mengajarkan keberanian, sama saja apakah melalui lisan manusia atau hewan-hewan (fabel, pen), jika  memang   hal-hal tersebut (yakni pelajaran dan hikmah, pen) tidak tersembunyi dari yang membacanya.

Demikianlah yang dikatakan Imam Ibnu Hajar Al Haitsami Rahimahullah dari kalangan Syafi’iyah.

Ulama lain berpendapat, yaitu dari kalangan Hanafiyah, bahwa dimakruhkan kisah-kisah yang bercerita peristiwa manusia yang tidak memiliki dasar yang ma’ruf (dikenal) dari peristiwa-peristiwa  generasi awal, atau tambahan, atau pengurangannya, dengan tujuan untuk memperindah kisah tersebut.

Tetapi para ulama muhaqiq muta’akhirin (peneliti zaman sekarang) seperti Imam Ibnu ‘Abidin (bermadzhab Hanafi, pen) tidaklah memutuskan hal itu sebagai makruh, jika memiliki maksud yang baik.  Ibnu ‘Abidin Rahimahullah mengatakan: (Apakah dikatakan boleh jika maksudnya untuk perumpamaan dan semisalnya? Perlu diperiksa lagi)

Dan, pendapat yang nampak (benar) adalah bolehnya menulis buku-buku kisah fiksi jika si pembacanya mengetahui hal itu dan memiliki maksud yang baik, seperti menanamkan sifat-sifat yang utama, atau memberikan perumpamaan untuk memberikan pengajaran,  seperti kisah Al Maqamat  yang disusun oleh Al Haririy, yang kami tidak ketahui adanya ulama yang mengingkarinya, padahal mereka sudah mengkaji dan mengetahui hakikat kisah ini sebagai kisah fiksi yang tidak pernah terjadi
Wallahu A’lam. (Mufti: Asy Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih. Sumber: Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, No Fatwa. 13278. Tanggal: 12 Dzulqa’dah 1422H)

Fatwa 2: Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin

السؤال س: ما رأي فضيلتكم في القصص التي تطلب في المدرسة في مادة التعبير والتي تكون في غالبها قصصًا مكذوبة ولم تقع؟
الاجابـــة
إذا عرف الحاضرون أنها قصص خيالية ابتكرها الكاتب، أو القاص لشحذ أذهان الطلاب واجتذاب أفهامهم وضرب الأمثلة لهم فلا بأس بها فقد أقر العلماء القصص المؤلفة كما في مقامات بديع الزمان الهمذاني ومقامات الحريري ونحوها مع أنه يُفضل أن يبحث عن قصص واقعية يصوغها بعبارته ويظهر ما فيها من المعاني والفوائد. والله أعلم.

عبد الله بن عبد الرحمن الجبرين

Pertanyaan:

Apa pendapat Anda tentang kisah-kisah yang dipelajari di sekolah pada materi ta’bir yang biasanya menggunakan kisah-kisah fiksi yang tidak pernah terjadi?

Jawaban:

Jika yang hadir itu tahu bahwa itu adalah kisah fiksi, baik yang disampaikan oleh penulis atau pencerita, dengan maksud untuk menajamkan kecerdasan dan mengasah pemahaman para siswa, dan untuk memberikan perumpamaan bagi mereka, maka itu tidak mengapa. Para ulama telah menyetujui kisah-kisah yang telah dibukukan seperti Maqamat-nya Badi’uz Zaman Al Hamdzani dan Maqamat-nya Al Hariri dan yang semisalnya.

Namun, yang lebih utama adalah mencari kisah-kisah nyata yang diceritakan dengan bahasa sendiri lalu guru menyampaikan makna dan faidah yang terkandung  pada kisah tersebut. (Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin)

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa sallam

☘

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top