Berqurban Untuk Orang Tua Yang Sudah Wafat

Pertanyaan:

Bolehkah Berqurban Untuk Orang Yang Sudah Wafat? (Pertanyaan dari banyak jamaah)

Jawaban:

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Imam Al Bahuti mengatakan:

قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .

Imam Ahmad berkata: sampai kepada mayit semua bentuk amal kebaikan, baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. [1]

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ . لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ .

“Segala puji bagi Allah. Tidak ada dalam ayat, dan tidak pula dalam hadits, yang mengatakan bahwa ‘Tidak Bermanfaat’ doa seorang hamba bagi mayit, dan juga amal perbuatan yang diperuntukkannya berupa amal kebaikan, bahkan para imam Islam sepakat hal itu bermanfaat bagi mayit, hal ini sudah ketahui secara pasti dalam agama Islam, hal itu telah ditunjukkan oleh Al Quran, As Sunnah, dan ijma’. Barang siapa yang menyelesihinya, maka dia adalah ahli bid’ah.” [2]

Beliau juga berkata:

وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ

“Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maaliyah (harta), seperti membebaskan budak.” [3]

Dan, qurban termasuk ibadah maaliyah.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

أَيَّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الإِْنْسَانُ وَجَعَل ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى : كَالدُّعَاءِ وَالاِسْتِغْفَارِ ، وَالصَّدَقَةِ وَالْوَاجِبَاتِ الَّتِي تَدْخُلُهَا النِّيَابَةُ

“Amal apa pun demi mendekatkan diri kepada Allah yang dilakukan oleh manusia dan menjadikan pahalanya untuk mayit seorang muslim, maka hal itu membawa manfaat bagi mayit itu, Insya Allah, seperti: doa, istighfar, sedekah, dan berbagai kewajiban yang bisa diwakilkan.” [4]

Kelompok yang membolehkan berdalil:

1. Diqiyaskan dengan amalan orang hidup yang sampai kepada orang yang sudah wafat, seperti doa, sedekah, dan haji.

2. Ibadah maaliyah (harta) bisa diniatkan untuk orang yang sudah wafat seperti sedekah, dan berqurban jelas-jelas ibadah maaliyah.

3. Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa qurban untuk orang yang sudah wafat adalah boleh dan pahalanya sampai, Insya Allah.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa min ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.” [5]

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan agar qurban dari Beliau, dan umatnya diterima Allah Ta’ala. Hadits ini menyebut “umat Muhammad” secara umum, tidak dikhususkan untuk yang masih hidup saja. Sebab, “umat Muhammad” ada yang masih hidup dan yang sudah wafat.

Sebenarnya, telah terjadi perbedaan pandangan para ulama tentang berqurban untuk orang yang sudah wafat.

Berikut ini rinciannya:

Jika seseorang berwasiat untuk berkurban atau berwaqaf untuk itu, maka dibolehkan berkurban baginya menurut kesepakatan ulama. Jika dia memiliki kewajiban karena nazar atau selainnya, maka ahli warisnya wajib melaksanakannya. Ada pun jika dia tidak berwasiat, dan ahli waris dan selainnya nya hendak berkurban untuknya dari hartanya sendiri, maka menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, membolehkan berkurban untuknya, hanya saja Malikiyah membolehkan dengan kemakruhan. Mereka membolehkan karena kematian tidaklah membuat mayit terhalang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sebagaimana sedekah dan haji.

Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing kibas, satu untuk dirinya dan satu untuk umatnya yang belum berkurban. Atas dasar ini, seandainya tujuh orang berpartisipasi dalam kurban Unta, lalu salah seorang ada yang wafat sebelum penyembelihan. Lalu ahli warisnya mengatakan –dan mereka sudah baligh- : sembelihlah untuknya, maka itu boleh. Sedangkan kalangan Syafi’iyah berpendapat tidak boleh berkurban untuk mayit tanpa diwasiatkan dan waqaf. [6]

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16
[2] Majmu’ Fatawa, 5/466. Mawqi’ Al Islam
[3] Ibid
[4] Al Mughni, 567-569
[5] HR. Muslim No. 1967
[6] Al Bada’i Shana’i, 5/72. Hasyiyah Ibnu Abidin, 5/214. Hasyiyah Ad Dasuqi, 2/122, 123. Hasyiyah Al Bujirumi ‘alal Minhaj, 4/300. Nihayatul Muhtaj, 8/136. Al Mughni ‘Alal Asy Syarh Al Kabir, 11/107, Mathalib Ulin Nuha, 2/472

 

✏️ Farid Nu’man Hasan

Berhutang Untuk Qurban

PERTANYAAN:

Bolehkah berhutang untuk berqurban ? bagaimana dengan arisan qurban? (beberapa SMS)

JAWABAN

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Kami akan jawab menjadi dua bagian sesuai pertanyaannya.

Pertama. Berqurban dengan biaya dari hutang.

Tidak ada larangan dalam nash, tentang melakukan amal shalih yang sifatnya maaliyah (harta) seperti qurban, aqiqah, dan haji , yang pembiayaannya berasal dari hutang. Maka, dia kembali pada bab hutang piutang yang memang dibolehkan syariat. Dengan catatan:

– Ketika dia berhutang mesti dalam keadaan yakin mampu membayarnya
– Hutang tersebut tidak menambah beban berat hutang lama yang masih banyak dan belum dilunaskan, sebab, semua ibadah qurban ini memang dianjurkan bagi mereka yang sedang dalam keadaan lapang rezeki dan istitha’ah (mampu).

Para ulama salaf pun melakukannya, dan mereka tidak memandang masalah dengan berhutang untuk berqurban (atau juga aqiqah). Dalam Tafsir-nya, Imam Ibnu Katsir menceritakan dari Imam Sufyan Ats Tsauri tentang Imam Abu Hatim (riwayat lain menyebut Imam Abu Hazim) yang berhutang untuk membeli Unta buat qurban.

وقال سفيان الثوري: كان أبو حاتم يستدين ويسوق البُدْن، فقيل له: تستدين وتسوق البدن؟ فقال: إني سمعت الله يقول: { لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ }

Berkata Sufyan Ats Tsauri: Dahulu Abu Hatim berhutang untuk membeli Unta qurban, lalu ada yang bertanya kepadanya: “Anda berhutang untuk membeli unta? Beliau menjawab: Saya mendengar Allah Ta’ala berfirman: Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya (unta-unta kurban tersebut).” (Q.s. Al Hajj:36). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 5/426)

Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah menceritakan dari Al Haarits tentang dialog antara Imam Ahmad bin Hambal dan Shalih (anaknya), katanya:

وقال له صالح ابنه الرجل يولد له وليس عنده ما يعق أحب إليك أن يستقرض ويعق عنه أم يؤخر ذلك حتى يوسر قال أشد ما سمعنا في العقيقة حديث الحسن عن سمرة عن النبي كل غلام رهينة بعقيقته وإني لأرجو إن استقرض أن يعجل الله الخلف لأنه أحيا سنة من سنن رسول الله واتبع ما جاء عنه انتهى

Shalih –anak laki-laki Imam Ahmad- berkata kepadanya bahwa dia kelahiran seorang anak tetapi tidak memiliki sesuatu buat aqiqah, mana yang engkau sukai berhutang untuk aqiqah ataukah menundanya sampai lapang keadaan finansialnya. Imam Ahmad menjawab: “Sejauh yang aku dengar, hadits yang paling kuat anjurannya tentang aqiqah adalah hadits Al Hasan dari Samurah, dari Nabi bahwa, “Semua bayi tergadaikan oleh aqiqahnya,” aku berharap jika berhutang untuk aqiqah semoga Allah segera menggantinya karena dia telah menghidupkan sunah di antara sunah-sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan telah mengikuti apa-apa yang Beliau bawa. Selesai. (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 64. Cet. 1, 1971M-1391H. Maktabah Darul Bayan)

Demikianlah kebolehan berhutang untuk berqurban, namun “boleh” bukan berarti lebih utama, sebab lebih utamanya adalah justru membayar hutang dahulu, bukan menambah dengan hutang baru. Membayar hutang adalah wajib, dan tidak ada khilafiyah atas kewajibannya, sedangkan berqurban adalah sunah muakadah bagi yang sedang lapang rezeki menurut jumhur ulama, kecuali Imam Abu Hanifah yang mengatakan wajib. Maka, wajar jika sebagian ulama justru menganjurkan untuk melunaskan hutang dulu barulah dia berqurban jika sudah lunas hutangnya.

Bagaimana dengan hutang yang jangka waktunya panjang, seperti cicilan mobil atau rumah yang mencapai belasan tahun? Apakah orang seperti ini harus menunggu belasan tahun dulu untuk berqurban?

Tidak juga demikian, dia bisa dan boleh saja berhutang untuk qurban selama memang dia mampu untuk melunasinya dan tidak mengganggu cicilan lainnya. Tetapi, bukan pilihan yang bijak jika dia tetap ngotot berhutang tetapi keluarganya sendiri sangat merana hidupnya, atau ada kebutuhan mendesak seperti biaya sekolah yang besar, rumah sakit, dan semisalnya.

Wallahu A’lam

Kedua. Arisan untuk Qurban.

Arisan adalah beberapa orang mengumpulkan uang, lalu diundi atau dengan menggunakan nomor urut, maka siapa yang keluar namanya atau namanya lebih dahulu dalam urutan, maka dialah yang mendapatkan uang tersebut untuk membeli hewan qurban.

Ini bukanlah judi, karena semua peserta akan mendapatkan gilirannya, dan tidak ada yang dirugikan. Ada pun judi, bisa jadi ada orang yang menang berkali-kali, sementara yang lain sama sekali tidak dapat undian sampai judi itu selesai. Dan, arisan menjadi judi jika sekali kocok keluar satu atau beberapa nama, setelah itu bubar, padahal masih banyak orang lain yang tidak dapat.

Nah, arisan secara substansi adalah SAMA dengan berhutang, karena uang yang dia dapatkan merupakan hasil kumpulan dari uang peserta lainnya, sehingga dia memiliki hutang kepada peserta lainnya. Jika demikian, maka boleh-boleh saja arisan qurban sebagaimana hutang untuk berqurban. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Beli Hewan Qurban Gak Boleh Nawar?

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘Alaikum …… Ust, ana mau tanya, apabila mau beli kambing qurban, harganya gak usah ditawar, apa benar itu ada sunahnya? (dari 02191680xxx)

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d:

Ya, hal itu memang tersiar dari mulut ke mulut. Tentunya ini menjadi kabar menggembirakan buat pedagang hewan.

Kita mengetahui bahwa jika dikatakan “tidak boleh menawar” harga hewan qurban, maka hal tersebut harus ditunjukkan oleh nash-nash agama. Jika tidak ada petunjuknya dalam nash, maka kembali kepada hukum awal urusan jual beli, yakni mubah alias boleh-boleh saja menawar secara wajar. Berqurban memang urusan ibadah, tetapi membeli hewan qurbannya adalah bab muamalah.  Sama halnya dengan haji, dia adalah ibadah, tetapi menentukan ongkos haji adalah  semata-mata urusan duniawi. Tentunya ongkos haji bisa ditekan bukan? Dan, tidak ada yang mengatakan bahwa ongkos haji tidak bisa ditawar. Shalat adalah ibadah, dan mesti menutup aurat secara sempurna, maka kita membutuhkan pakaian yang menutup aurat secara sempurna seperti kain sarung, mukena, jilbab, dan lainnya; yang harga barang-barang ini juga boleh-boleh saja ditawar.

Lalu … bagaimana bisa terjadi pemahaman bahwa hewan qurban tidak bisa ditawar? Wallahu A’lam, bisa jadi orang yang mengatakan itu mendasarkan pendapatnya itu pada hadits berikut.

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في العيدين أن نلبس أجود ما نجد و أن نتطيب بأجود ما نجد و أن نضحي بأسمن ما نجد

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang  kami punya, dan berkurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya. (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7560, katanya: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Bazraj, akan hukumi ini sebagai hadits shahih.” Hal serupa juga dikatakan Imam Adz Dzahabi. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 2756, dari Al Hasan bin Ali. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3715. Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 4730)

Dalam hadits ini disebutkan bahwa kita diperintahkan membeli hewan qurban yang paling mahal. Maka, secara sederhana kita menangkap bahwa hal ini tidak akan terjadi jika kita menawar harga hewan qurban. Sebab, dari penawaran itulah harga akan menjadi turun, dan tidak lagi dikatakan paling mahal. Oleh karenanya, supaya tetap paling mahal, jangan ditawar!

Kita lihat dulu status hadits ini ………..

Para ulama telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Imam Al Hakim berkata: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Barzakh, akan aku hukumi ini sebagai hadits shahih.” Ucapan Beliau mengindikasikan kedhaifan hadits ini yakni karena majhul (tidak dikenal)-nya Ishaq bin Bazraj.

Tetapi, Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengomentari:

قلت : ليس بمجهول فقد ضعفه الأزدي ووثقه ابن حبان. ذكره في التلخيص.

 

Aku berkata: dia bukan orang yang majhul, Al Azdi telah mendhaifkannya, dan Ibnu Hibban telah men-tsiqah-kannya. Sebagaimana disebut dalam At Talkhish. (Subulus Salam, 2/72. Lihat juga Imam Ibnul Mulqin, Al Badrul Munir, 5/46)

Selain Ishaq bin Bazraj, ada rawi lain yang dipermasalahkan dalam hadits ini yakni Abdullah bin Shalih, yang didhaifkan oleh mayoritas muhadditsin.

Berkata Imam Al Haitsami:

رواه الطبراني في الكبير وفيه عبد الله بن صالح قال عبد الملك بن شعيب بن الليث : ثقة مأمون . وضعفه أحمد وجماعة

 

Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam kitab Al Kabir, di dalamnya terdapat Abdullah bin Shalih. Berkata Abdul Malik bin Syu’aib bin Al Laits: “terpercaya dan amanah.” Tetapi Ahmad dan jamaah ahli hadits mendhaifkannya.  (Majma’ Az Zawaid, 4/16. Darul Fikr)

Demikianlah hadits ini, nampak ada dua perawi yang umumnya di-jarh (dinilai cacat) oleh para imam …

Kalau pun hadits ini shahih, substansinya adalah anjuran  agar   kita memilih hewan qurban yang paling berkualitas yakni sehat dan bersih dari cacat, dan paling banyak memberikan manfaat yakni besar atau gemuk. Biasanya hal itu hanya pada hewan yang mahal harganya. Tetapi  bukan mustahil hewan bagus dan besar memiliki harga yang murah. Dan, hadits ini sama sekali tidak ada indikasi larangan menawar harga hewan qurban.

 

Wallahu A’lam

 

 

 

 

 

Menghidupkan Budaya Tabayyun

💦💥💦💥💦💥💦💥

Mujahid Rahimahullah bercerita:

أرسل رسول الله الوليد بن عقبة إلى بني المصطلق ليُصدّقهم، فتلقوه بالصدقة، فرجع فقال: إن بني المصطلق قد جمعت لك لتقاتلك -زاد قتادة: وإنهم قد ارتدوا عن الإسلام-فبعث رسول الله خالد بن الوليد إليهم، وأمره أن يتثبت ولا يعجل. فانطلق حتى أتاهم ليلا فبعث عيونه، فلما جاءوا أخبروا خالدا أنهم مستمسكون بالإسلام، وسمعوا أذانهم وصلاتهم، فلما أصبحوا أتاهم خالد فرأى الذي يعجبه، فرجع إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبره الخبر، فأنزل الله هذه الآية. قال قتادة: فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “التَّبيُّن من الله، والعَجَلَة من الشيطان”

Rasulullah ﷺ mengutus Al Walid bin ‘Uqbah menuju Bani Al Mushthaliq untuk mengambil zakat mereka, lalu mereka memberikan zakat kepadanya, lalu Al Walid pulang, kemudian berkata:

“Sesungguhnya Bani Mushthaliq telah berkumpul untuk memerangi Engkau (Rasulullah) –Qatadah menambahkan: mereka telah murtad dari Islam.”

Maka, Rasulullah ﷺ mengutus Khalid bin Al Walid kepada mereka, dan memerintahkannya untuk menginvestigasi (tatsabbut) dan jangan tergesa-gesa. Lalu, Khalid pun berangkat sampai kepada mereka dimalam hari, kemudian menyebarkan mata-matanya. Ketika mereka (mata-mata) itu datang, mereka memberikan kabar kepada Khalid bahwa Bani Al Mushthaliq masih konsisten terhadap Islam, mereka masih mendengarkan adzan dan shalatnya mereka.

Pagi harinya, Khalid sendiri yang mendatangi mereka (Bani Al Mushthaliq) maka Khalid melihat keadaan mereka yang mengagumkan baginya.

Lalu, Khalid kembali kepada Rasulullah ﷺ dan memberikan kabar kepadanya. Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini.”

Qatadah berkata: “Maka, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tabayyun (meneliti berita) itu dari Allah, dan tergesa-gesa itu dari syetan.”

(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/372)

Ayat apakah yang dimaksud turun setelah kejadian itu? Yaitu ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al Hujurat: 6)

Lebih dari satu ulama salaf yang mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan peristiwa di atas, seperti Ibnu Abi Laila, Yazid bin Ruman, Adh Dhahak, Muqatil bin Hayyan, dan lainnya. (Ibid)

📚 Pelajaran Penting:

📌 Jangan tergesa-gesa menerima, mempercayai, dan menyikapi berita, apalagi menyebarkannya

Dari Hafsh bin ‘Ashim Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika dia selalu mengatakan setiap apa-apa yang dia dengar. (HR. Muslim No. 6)

📌 Periksalah berita, apalagi menyangkut aib dan kehormatan saudara sesama muslim

📌 Adil-lah dalam menerima berita. Bertabayyun jangan hanya ketika ada berita buruk tentang orang yang kita sukai, tapi kita tidak bertabayyun ketika ada berita buruk tentang orang yang kita musuhi, sebab itu termasuk curang dalam timbangan

📌 Bertabayyun hendaknya dillakukan langsung kepada sumber yang diberitakan agar mendapatkan penjelasan, data, dan fakta primer tingkat tinggi

📌 Atau, kepada orang dekatnya yang tahu masalah, terpercaya, dan jujur

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🍃🌾🌸🌴🌺☘🌷🌻

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top