Jangan Ambil Pelajaran Dari Kritikan Orang Yang Sedang Marah Kepadamu

Dalam kitab Ats Tsiqaat-nya Imam Ibnu Hibban diceritakan bahwa Imam Muhammad bin Ishaq -seorang ahli hadits generasi tabi’in dan sejarawan penyusun kitab Al Maghazi- melontarkan pernyataan yg membuat Imam Malik tersinggung.

Menurut Ibnu Ishaq hubungan Imam Malik dengan raja Yaman Dzu Ashbah bukanlah hubungan pertalian darah, tapi sekedar hubungan pelayan saja kepada keluarga kerajaan. Tentu hal ini membuat Imam Malik tersinggung dan Imam Malik membantahnya.

Ketersinggungan Imam Malik semakin bertambah, ketika Beliau selesai menyusun kitab Al Muwaththa’, Imam Muhammad bin Ishaq bersikap seperti merendahkannya dengan mengatakan:

ائتونى به، فإني بيطاره

Datangkan kepadaku kitab tsb, aku bedah (preteli) isinya

Ucapan ini dilaporkan kepada Imam Malik, lalu Imam Malik marah dan menimpali dengan mengatakan:

هَذَا دجال من الدجاجلة يروي عَنِ الْيَهُود

Orang ini adalah dajjal di antara para dajjal, dia meriwayatkan hadits dari Yahudi.

(Lihat Ats Tsiqaat, jilid. 7, hal. 328. Lihat juga Su’alat Al Bardza’i Li Abi Zur’ah ar Razi, jilid. 2, hal. 592)

Dalam ilmu hadits, istilah dajjal untuk seorang perawi hadits bermakna pendusta. Gara-gara kritikan Imam Malik ini, membuat kredibilitas Imam Muhammad bin Ishaq ternoda di mata sebagian pakar hadits. Sementara kedudukan Imam Malik tetap tinggi, sikap Ibnu Ishaq kepadanya tidak ada efek sama sekali.

Namun demikian, cukup banyak ulama yang fair melihat perselisihan ini. Mereka memandang ucapan Imam Malik bahwa Imam Ibnu Ishaq adalah dajjal merupakan kritik yang tidak tepat. Karena Imam Malik belum pernah berjumpa dengannya dan kritik ini juga berasal dari ketersinggungan dan kemarahan yang sifatnya pribadi Imam Malik kepadanya. Oleh karena itu umumnya ulama menilai haditsnya Ibnu Ishaq shahih minimal hasan.

Ya’qub bin Syaibah bertanya kepada Ali al Maldini tentang ucapan Imam Malik kepada Imam Ibnu Ishaq tsb, Beliau berkata:

مالك لم يجالسه ، ولم يعرفه ، وأي شيء حدث به ابن إسحاق بالمدينة

Malik belum pernah duduk bersamanya, dan tidak mengenalnya, dan sedikit pun dia tidak pernah berbicara dengan Ibnu Ishaq di Madinah. (Siyar A’lam An Nubala, jilid. 4, hal. 77)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

وأما تكذيب الإمام مالك له ، وقوله عنه : دجَّال من الدجاجلة : فلم يقبله العلماء منه ؛ إذ لم يذكر دليلا على تكذيبه ، وقد كان بين مجموعة من العلماء : كابن إسحاق ، وابن أبي ذئب ، وابن الماجشون شقاق ونفرة مع الإمام مالك ، فلم يقبل العلماء المتأخرون كلام بعضهم في بعض لما عرف من عداوتهم ، كما لم يقبلوا قول ابن إسحاق في الإمام مالك : ائتوني ببعض كتبه حتى أبين عيوبه ، أنا بيطار كتبه

Ada pun sebutan dusta Imam Malik kepada Ibnu Ishaq dan perkataannya: “Dajjal di antara para dajjal”, tidaklah diterima oleh para ulama karena tidak disebutkan bukti kedustaannya. Sekelompok ulama ada yang terlibat konflik dgn Imam Malik seperti Ibnu Ishaq, Ibnu Abi Dzi’b, dan Ibnul Majusyin. Maka, para ulama selanjutnya tidaklah menerima kritikan ulama satu atas lainnya yang di antara mereka terjadi permusuhan. Begitu juga ucapan Ibnu Ishaq kepada Imam Malik: “Bawakan kepadaku buku-bukunya Malik, aku akan jelaskan cacatnya dan aku akan bedah isinya” tidak diterima oleh para ulama. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 148009)

Kesimpulan:

– Para ulama juga manusia, mereka ada yang sedih, gembira, tertawa, cemberut, marah satu sama lainnya, dan juga melakukan kesalahan. Imam Adz Dzahabi mengatakan:

لَسْنَا نَدَّعِي فِي أَئِمَّةِ الجَرْحِ وَالتَّعْدِيْلِ العِصْمَةَ مِنَ الغَلَطِ النَّادِرِ، وَلاَ مِنَ الكَلاَمِ بنَفَسٍ حَادٍّ فِيْمَنْ بَيْنَهُم وَبَيْنَهُ شَحنَاءُ وَإِحْنَةٌ، وَقَدْ عُلِمَ أَنَّ كَثِيْراً مِنْ كَلاَمِ الأَقْرَانِ بَعْضِهِم فِي بَعْضٍ مُهدَرٌ، لاَ عِبْرَةَ بِهِ، وَلاَ سِيَّمَا إِذَا وَثَّقَ الرَّجُلَ جَمَاعَةٌ يَلُوحُ عَلَى قَوْلِهُمُ الإِنصَافُ

Kita tidaklah menganggap para imam jarh wa ta’dil itu terjaga dari kesalahan yang jarang terjadi, tidak juga terjaga dari perkataan kasar yang berasal dari kedengkian satu sama lain di antara mereka, dan telah diketahui kaidah banyaknya kritikan seorg ulama kepada ulama lainnya yang sezaman tidaklah perlu dianggap. Apalagi jika ada segolongan ulama lain yang menyebutnya tsiqah (kredibel) dengan perkataan yang lebih objektif. (Siyar A’lam An Nubala, jilid. 7, hal. 40-41)

– Kisah ini mengajarkan agar kita tidak mengambil pelajaran dari kritikan orang atau sekelompok orang yang sudah terlanjur ada kebencian, marah, atau permusuhan sebelumnya kepada pihak yang dikritik. Sebab, biasanya yang menjadi dasar adalah emosi, hawa nafsu, dan kepentingan pribadi, bukan krn ilmu dan rasionalitas.

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Mengkonsumsi Produk Tanpa Label Halal MUI

✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaykum warohmatullahi wabarokatuh ‘Afwan izin bertanya Ustaz. Apakah telah terpenuhi kehalalan dan keamanan kita mengonsumsi suatu produk yang beredar di Indonesia meskipun tidak ada label halal MUI namun telah terdaftar di lembaga BPOM? sedangkan produk² itu telah diproduksi sekelas CV / PT baik impor maupun produk dalam negeri. Jazaakumullah khoir Ustaz

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hukum asal segala sesuatu adalah mubah, sampai ada dalil yang tegas mengatakan haram.

Kaidahnya:

أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل

Sesungguhnya hukum asal dari segala ciptaan adalah mubah, sampai tegaknya dalil yang menunjukkan berubahnya hukum asal ini. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/64. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalil kaidah ini adalah:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah (2): 29)

Dalil As Sunnah:

الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه

“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, hasan)

Apa yg tanpa label halal, apakah langsung dikatakan haram? Tentu tidak, walau itu bisa jadi. Tergantung komposisi yg ada di dalamnya.

Namun, adanya label akan lebih menenangkan bagi konsumen muslim. Maka, pilihlah produk-produk yang membuat kita lebih tenang saat mengkonsumsinya.

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Istri Tidak Taat Pada Perkara Ikhtilaf

✉️❔PERTANYAAN

Assalammu’alaikum ust, mhn pencerahannya…

Apakah istri yg tdk mau melakukan perintah suami dlm perkara yg secara hukum ulama ikhtilaf ,dimana sang istri menolak perintah suami krn itu haram padahal ulama lain itu mengatakan itu halal, apakah istri menolak dlm hal ini bisa dikatakan nusyuz??

Jazakallah ust

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Nusyuz (durhaka) antara istri ke suami, hanya berlaku dalam hal-hal yang disepakati keharaman atau kesalahannya. Ada pun dalam hal yang diperselisihkan, maka itu bukan ruang untuk menyebut dosa dan durhaka bagi yang berbeda.

Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.”

(Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalam keadaan seperti itu, tidak dibenarkan pula seorang suami manfaatkan posisinya sebagai kepala rumah tangga untuk memaksakan kehendaknya. Merasa di atas angin sebagai suami, lalu memarahi dan menakut-nakuti istri dengan menyebutnya DURHAKA dalam perkara yang masih diperselisihkan secara fiqih.

Imam Ali al Qari Rahimahullah mengatakan:

أما إن كان سخط زوجها من غير جرم فلا إثم عليها

Ada pun jika suami marah bukan karena kejahatan istrinya, maka tidak ada dosa bagi si istri. (Misykah Al Mashabih, 4/109)

Demikian. Wallahu a’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Jangan Tinggalkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Pertarungan antara haq dan batil itu abadi, tidak pernah libur

Sebagaimana kema’rufan dan kemungkaran selalu berhadapan saling mengalahkan

Hal tersebut juga terjadi di Indonesia yang kita cintai

Contoh kemungkaran yang paling fresh adalah pelarangan jilbab secara halus bagi paskibra muslimah.

Pelarangan ini begitu halus karena tidak ada kata “terlarang” dan “wajib lepas”, yang ada adalah pakaian busana paskibra harus mengikuti ketentuan yang berlaku (yaitu tanpa jilbab). Ini peraturan yang dilindungi oleh BPIP

Sehingga ini menjadi kemungkaran yang terlembagakan krn mendapatkan tempat oleh lembaga negara

Maka, umat Islam, para da’i, partai Islam, legislator muslim, tidak boleh diam. Harus ada kritik tegas dan jelas sebagai upaya Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Sebab Allah Ta’ala berfirman:

{ وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةٗ لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةٗۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ }

Dan lindungilah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. [Surat Al-Anfal: 25]

Ayat ini begitu gamblang menjelaskan bahwa malapetaka akan datang merata tidak peduli orang jahat atau orang baik, semuanya merasakan.

Kenapa bisa terjadi? Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

يُحَذِّرُ تَعَالَى عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِينَ فِتْنَةً أَيِ اخْتِبَارًا وَمِحْنَةً يَعُمُّ بِهَا الْمُسِيءَ وَغَيْرَهُ لَا يَخُصُّ بِهَا أَهْلَ الْمَعَاصِي وَلَا مَنْ بَاشَرَ الذَّنْبَ بَلْ يَعُمُّهُمَا حَيْثُ لَمْ تُدْفَعُ وَتُرْفَعُ

Allah ﷻ memberikan peringatan kepada orang-orang beriman tentang datangnya FITNAH, yaitu ujian dan bala bencana, yang akan ditimpakan secara merata baik orang yang jahat atau yang lainnya, tidak khusus pada pelaku maksiat saja dan pelaku dosa, tetapi merata, yaitu dikala maksiat itu tidak dicegah dan tidak dihapuskan. (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 4/32)

Amar Ma’ruf Nahi Munkar juga upaya mencegah datangnya sanksi Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ بِظُلۡمٖ وَأَهۡلُهَا مُصۡلِحُونَ

Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim, selama penduduknya masih ada mushlihun (orang-orang yang mengajak berbuat kebaikan). (QS. Hud, Ayat 117)

Mushlihun bukan hanya shalih untuk dirinya sendiri, tapi dia mengajak orang lain untuk shalih dan menjauh dari kemaksiatan

Amar ma’ruf (mengajak kebaikan) relatif lebih ringan dan aman dan banyak pemainnya. Sebab, umumnya manusia – walau pun jahat- sudah tahu dan sepakat “kebaikan adalah kebaikan”.

Nahi munkar (mencegah kemungkaran) lebih sedikit pemainnya, karena resikonya yang besar. Sebab, tidak jarang pelaku kemungkaran akan melawan pencegahan itu. Mata pencaharian mereka terganggu.

Belum lagi fitnah, tuduhan, dan stigma negatif, sampai ancaman fisik, yang setiap saat bisa menyerang balik mereka.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar, bukan hanya kepada penjudi, pemabuk, pezina, dan kenakalan remaja, tapi juga kepada koruptor, kebijakan negara yang menyengsarakan rakyat, atau kebijakan yang mendeskreditkan Islam dan umatnya.

Pelaku Amar Ma’ruf Nahi Munkar bisa melakukan aksi mulia ini; baik masuk ke dalam sistem (kekuasaan) dan mewarnai dari dalam, bertarung dari dalam, dengan segala peluang resiko dan maslahatnya.

Bisa juga melakukan dari luar sistem dgn segala resiko dan maslahatnya.

Intinya, Amar Ma’ruf Nahi Munkar tidak boleh berhenti. Sebab, begitu banyak bahaya yang muncul jika sebuah negeri sdh kosong dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Allah Ta’ala berfirman:

لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ
كَانُواْ لَا يَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرٖ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ

Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.

Mereka tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat. [Surat Al-Ma’idah: 78-79]

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top