Hukum Hidup Serumah dengan Orang Tua atau Mertua

PERTANYAAN

Assalamu alaikum. Afwan ustadz, Apakah ada larangan dari NABI MUHAMMAD SAW tentang hidup serumah bersama ORTU atau MERTUA? Afwan wa jazakallahu khoir


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Tidak ada aturan baku tentang hal itu. Baik larangan atau perintah, tidak ada.

Hanya saja telah diketahui bersama bahwa suami wajib menafkahi keluarganya.

“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An Nisa: 34)

Di antara nafkah yang wajib dipenuhi adalah mengadakan tempat tinggal. Baik dengan cara beli, sewa, dipinjamkan, atau cara halal apa pun. Tujuannya adalah agar mereka dapat menjalankan dan mengendalikan rumah tangga lebih bebas dari intervensi. Di sisi lain, kepemimpinan suami di rumah tangga jadi lebih nampak jika dia tidak serumah dengan orang tua atau mertua.

Namun hal ini tidak kaku. Kadang ada suami/istri yang anak tunggal, dia harus mengurus orang tuanya yang sudah sepuh maka mau tak mau dia juga mesti menetap bersama orang tua/mertuanya. Ini didiskusikan baik agar dapat solusi yang baik bagi semua pihak.

Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Orang Fakir Tidak Mampu Membayar Fidyah

Pertanyaan

Assalamu’alaikum
Ustadz izin bertanya bagaimana bila seseorang itu sakit dan tidak memungkinkan untuk berpuasa dan dia harus bayar fidyah,bagaimana hukumnya kalau dia tidak mampu membayar fidyah? (Zainullah)

Jawaban


Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Sakit yang masih ada harapan sembuh, bukanlah dengan fidyah tapi qadha. Sedangkan fidyah itu untuk orang yang sudah benar-benar tidak mampu berpuasa, seperti orang jompo dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh.

Bagaimana jika mereka fakir dan tidak mampu fidyah? Hendaknya keluarganya membantunya, jika tidak mampu juga, maka tidak apa-apa tidak menunaikan fidyah, itu kondisi uzur dan dimaafkan.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertaqwalah kepada Allah sejauh kesanggupanmu .. (QS. At Taghabun: 16)

لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya (QS. Al Baqarah: 286)

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

مَن عَجَزَ عَنِ الْفِدْيَةِ لِفَقْرِهِ، سَقَطَتْ عَنْهُ، كَمَا تَسْقُطُ الزَّكَاةُ عَنِ الْفَقِيرِ

“Barang siapa yang tidak mampu membayar fidyah karena kemiskinannya, maka gugur kewajiban itu darinya, sebagaimana zakat tidak wajib bagi orang miskin.” (Al Mughni, 3/85)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Membeli Karena Kasihan

 Pertanyaan

Assalamualaikum ustadz.
Transaksi jual beli (barang, makanan, dll) yg didasarkan atas kasihan kepada penjual, mungkin karena dagangannya tidak laku atau baru sedikit terjual padahal si pembeli belum/tidak membutuhkan yg dibeli tersebut, apakah transaksi tersebut dibolehkan ustadz ?


 Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Tidak masalah, rasa iba bukan pembatal jual beli bukan pula jual beli menjadi haram.

Asalkan rukun-rukun terpenuhi maka sah:

1. Ada barang
2. Pemilik dan penjual barang
3. Pembeli barang
4. Serah terima atau ijab qabul

Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Suami Memeriksa HP Istri

Pertanyaan

Assalammu’alaikum ust, Afwan minkum izin bertanya..

Ada titipan pertanyaan ke ana dari teman kantor :

Istri saya bekerja di instansi pemerintah, dalam setahun ada dinas keluar 4 kali, sangat bercampur baur atau ikhtilat, maraknya kini dikalangan PNS yaitu selingkuh atau zina membuat suami khawatir akan pelanggaran agama Allah yg dilakukan istrinya seperti :

✓ Tidak bisa jaga pandangan
✓ Chat dgn lawan jenis yg cair supel hingga bercanda
✓ dan hal2 lain yg dilarang agama.
✓ dan lebih parah lagi adalah selingkuh.

Sikap suami yg membuka HP istri mencari tahu pelanggaran diatas demi untk menjaga istri dari pelanggaran agama apakah dibenarkan??

Kadang sang istri tidak terima hingga suka memvonis suami nya adalah posesif… Padahal suami sdh mengatakan ancaman Allah bagi suami Dayyuts jadi harus bersikap demikian menjaga istri dan keluarga ini dari pelanggaran Agama Allah Krn itu tanggungjwbnya sbg pemimpin yg diperintah Allah dalam QS At Tahrim ayat 6

Gimana menurut ust ??

Mohon pencerahannya , Jazakallah khaiiran


Jawaban

Wa’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Para ulama mengkategorikan suami yang mengotak atik isi HP istri atau kebalikannya adalah tajassus (mencari-cari atau mengkorek-korek kesalahan). Hal ini terlarang berdasarkan ayat walaa tajassasuu (janganlah kamu saling mencari-cari kesalahan). (QS. Al Hujurat: 12)

Dahulu Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu pernah mencoba melakukan nahi munkar karena terdengar suara wanita dan laki-laki sedang tertawa di sebuah rumah, naluri Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu sebagai khalifah tentunya ingin mencegah hal itu. Ketika Beliau jalan menuju rumah tersebut, Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu ‘Anhu mencegahnya dan menasihati umar dengan ayat walaa tajassasuu ..

Apa yang dilakukan suami untuk memprotek istrinya dari maksiat tentunya sangat bagus dan memang sudah tugas suami untuk itu. Namun untuk sampai memastikan istrinya sudah bermaksiat atau tidak, harus ada bukti kuat, tidak cukup kekhawatiran semata, lalu diambil tindakan jika terbukti. Jika baru sebatas kekhwatiran lalu berlanjut pada kecurigaan, karena terbawa oleh berita tentang seringnya perselingkuhan terjadi di dunia kerja, sementara bukti bahwa istrinya melakukan perselingkuhan belum ada maka ini masuk kategori zhan (prasangka).

Imam ‘Abdurrauf Al Munawi Rahimahullah menjelaskan:

والظن تهمة تقع في القلب بلا دليل

Zhan adalah tuduhan yang terjadi dalam hati tanpa adanya dalil. (Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 5/157, Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, 13/177)

Sementara Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah mengutip perkataan Imam Al Qurthubi:

المراد بالظن هنا التهمة التي لا سبب لها كمن يتهم رجلا بالفاحشة من غير أن يظهر عليه ما يقتضيها

Maksud dari zhan di sini adalah tuduhan yang tidak memiliki sebab, sebagaimana menuduh seorang laki-laki yang melakukan kekejian yang tidak tampak, yang akhirnya dia menetapkanya. (Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 32/251)

Oleh karena itu para ulama memberikan nasihat bahwa dalam nahi munkar itu ada beberapa syarat:

– Kemungkaran tersebut memang benar-benar munkar yang disepakati, bukan hal yang masih diperdebatkan kemungkarannya
– Kemungkaran itu nampak, nyata, bukan samar dan dicari-cari
– Yakin bahwa kemungkaran itu bisa dihilangkan atau diminimalisir. Jika justru melahirkan kemungkaran baru yang lebih besar dan lebih berkepanjangan maka terlarang melakukan nahi munkar.

Bagi suami hendaknya melakukan pengawasan, nasihat, dan arahan dulu, sampai benar-benar terbukti istri melakukan kemungkaran barulah diambil tindakan yang lebih pas.

Demikian. Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top