Mati Syahid Itu Banyak, Tapi …

Dari Jabir bin ‘Atik, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

الشَّهَادَةُ سَبْعٌ سِوَى الْقَتْلِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ ذَاتِ الْجَنْبِ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ وَالَّذِى يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ شَهِيدٌ

Mati syahid itu ada tujuh golongan, selain terbunuh fi sabilillah: “Orang yang kena tha’un, tenggelam, luka-luka di tubuh, sakit perut, terbakar, tertiban, dan wanita melahirkan.” (HR. Abu Daud No. 3111, shahih)

Dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid, siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid, atau karena membela darahnya, atau karena membela agamanya maka ia syahid.” (HR. Abu Daud no. 4772, shahih)

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

سيد الشهداء حمزة بن عبد المطلب ، ورجل قال إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

“Pimpinan para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata kepada penguasa zalim, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”

(HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 4079, Al Hakim, Al Mustdarak ‘Ala ash Shaihain, No. 4884, kata Beliau shahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya. Syaikh Al Albani mengatakan shahih dalam kitabnya, As Silsilah Ash Shahihah No. 374 )

Dari Sahl bin Hunaif bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ وَلَمْ يَذْكُرْ أَبُو الطَّاهِرِ فِي حَدِيثِهِ بِصِدْقٍ

Barangsiapa meminta kepada Allah mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada’ meski ia meninggal dunia di atas tempat tidur. (HR. Muslim no. 1909)

Masih banyak hadits-hadits lainnya yang menceritakan sebab-sebab kesyahidan selain perang (qital)

Hal ini menunjukkan peluang mendapatkan mati syahid bisa diperoleh dengan cara yang beragam sesuai yang Rasulullah ﷺ kabarkan.

Tapi, apakah semuanya setingkat dan sederajat? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

Sebagian ulama mengatakan, di akhirat pahala mereka sama, yang berbeda adalah penyikapan terhadap jenazahnya di dunia.

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

قال العلماء:المراد بشهادة هؤلاء كلهم، غير المقتول في سبيل الله، أنهم يكون لهم في الآخرة ثواب الشهداء، وأما في الدنيا، فيغسلون، ويصلى عليهم

“Yang dimaksud adalah syahadah (mati syahid) bagi mereka semua yg bukan karena terbunuh di jalan Allah, sesungguhnya bagi mereka di akhirat akan mendapatkan pahala para syuhada, ada pun di dunia mereka tetap dimandikan dan dishalatkan. (Fiqhus Sunnah, jilid. 2, hal. 633)

Sebagian lain mengatakan tidak sama, tergantung tingkat kesulitan, penderitaan, kengerian yang dihadapi orang yang mati syahid tersebut sebelumnya.

Hal ini berdasarkan kaidah:

الأجر على قدر المشقة

Besarnya pahala tergantung kadar kesulitan yanh dialami

الأجر بقدر التعب

Besarnya pahala tergantung kadar kepayahan yang dialami

Hal ini diperkuat oleh hadits yang sdh disebut di atas:

“Pimpinan para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan orang yang berkata ke penguasa zalim, ia melarang dan memerintah, namun akhirnya ia mati terbunuh.”

Hamzah Radhiallahu ‘Anhu wafat di medan tempur dgn tubuh yang dicabik-cabik saat perang Uhud. Sdgkan yang satu lagi dibunuh karena amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim. Kedua hal ini sama-sama memiliki kengerian dan situasi yang mencekam yang tidak sama dengan jihad lainnya. Tidak mungkin sama orang yang jihadnya dalam keadaan bom dan rudal siap menghancurkannya, dibanding jihad lainnya.

Ada pula yang mencoba mengawinkan semua dalil, bahwasanya jihad yang paling utama adalah yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi yang paling menuntut saat itu.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:

إنَّ أفضل العبادة العمل على مَرْضاة الربِّ في كلِّ وقتٍ بما هو مُقتَضى ذلك الوقت ووظيفته

Sesungguhnya ibadah paling utama adalah sebuah amal utk mencari ridhaNya dengan melakukan amalan yang sesuai dengan tuntutan dan tugasnya. (Madarijus Salikin, 1/88)

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thariq

✍️ Farid Nu’man Hasan

Jika Bangun dan Tidurmu Bersama Al Quran, Maka Kamu Dalam Kebaikan

إذا كان آخر عملِك َ قبل أن تأوي إلى فراشك مراجعة وِردِك من القرآن ، وأول عملك عندما تقوم من فراشك مراجعة وردك من القرآن ، فاعلم أنك في خيرٍ وعلى خير ، وأنّ ربك عز وجلّ ما أشغَلَك بكلامه صباح مساء إلا لاصطفائه لك وعُلُوّ قدْرِك عنده ، فذلك قوله سبحانه: “ثم أورثنا الكتاب الذين اصطفينا من عبادنا”…. فتأمل !

Jika akhir aktivitasmu sebelum mendatangi pembaringan adalah memuraja’ah wiridmu dari Al Qur’an, dan awal aktivitasmu ketika bangun darinya juga wiridmu dari Al Qur’an maka ketahuilah bahwa engkau berada di dalam kebaikan dan di atas kebaikan.

Sesungguhnya Tuhanmu tidaklah menyibukkan dirimu dengan kalam-Nya pagi dan sore melainkan karena kamu telah dipilih oleh-Nya dan mengangkat derajatmu di sisi-Nya.

Begitulah yang tertera dalam firman-Nya: “Kemudian kami wariskan Al Quran kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami…” Maka renungkanlah!

(Syaikh Dr. Washfi Abu Zaid Hafizhahullah)

✍️ Farid Nu’man Hasan

Ada Perbedaan Awal Puasa, I’tikaf Tiap Malam Agar Dapat Lailaqtul Qadar?

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

✉️❔PERTANYAAN:

Bismillah, izin bertanya Ustadzy mhn maaf bila sblmnya pernah dibahas pertanyaan ini..

Terkait awal Ramadhan yg berbeda ada pendapat yg mengatakan malam (itikaf) ganjilnya juga berbeda, jadi kita i’tikaf tiap malam saja bagaimana dgn pendapat ini ust? Apakah seperti itu? Atau fokus ke tgl ganjil masing²

Syukron wa barakallahufiik

✒️❕JAWABAN

◼◽◼◽◼◽◼◽◼◽

Bismillahirrahmanirrahim..

I’tikaf itu idealnya memang 10 hari, baik genap dan ganjil, bukan hanya malam tapi juga pagi dan siang.

Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171)

Bahkan di akhir hayatnya, Rasulullah ﷺ melakukannya 20 hari ..

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694)

Orang yang fokus hanya di malam ganjil-ganjil saja -walau itu boleh-boleh saja- adalah pemahaman yang keliru. Sehingga mereka menganggap tidak penting malam genap. Padahal bukan mustahil Laikatul Qadar di malam genap sebagaimana pendapat Ibnu Abbas.


✍️ Farid Nu’man Hasan

 

Risalah Shalat Ghaib

Imam Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ

Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah Saw. mengumumkan atas wafatnya Najasyi di hari kematiannya, dan Beliau keluar menuju lapangan bersama mereka (para sahabat) lalu membuat barisan dan bertakbir empat kali.

(HR. Bukhari No. 1333)

Hadits ini menjadi dasar sebagian ulama atas disyariatkannya shalat ghaib.

Hadits ini juga menunjukkan kehadiran mayat dalam shalat jenazah bukanlah syarat sahnya shalat jenazah, inilah yang kemudian disebut dengan shalat ghaib, karena mayatnya tidak di tempat. Demikianlah yang disepakati Syafi’iyyah dan Hanabilah (Hambaliyah).

Dalam al Mausu’ah tertulis:

وَوَافَقَ الشَّافِعِيَّةُ الْحَنَابِلَةَ عَلَى عَدَمِ اشْتِرَاطِ حُضُورِهِ، وَتَجْوِيزِ الصَّلاَةِ عَلَى الْغَائِبِ

Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat tidak disyaratkannya kehadiran mayat dalam shalat jenazah, sehingga pelaksanaan shalat secara ghaib (ketidak hadiran mayat). (Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, 16/20)

Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, shalat ghaib khusus buat Najasyi saja, tidak bagi yang lainnya.

Hal itu dijawab sebagai berikut:

وذهبت الشافعية والحنابلة إلى مشروعية الصلاة على الميت الغائب وتمسكوا بصلاة الرسول – صلى الله عليه وسلم – وصحابته على النجاشي عند موته ولا يرون خصوصيتها به لعدم النص على ذلك، وقالوا : الأصل في الأحكام العموم وعدم الخصوصية

Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat disyariatkannya shalat ghaib, berdasarkan riwayat shalatnya Rasulullah Saw. bersama sahabatnya untuk Najasyi ketika hari wafatnya. Mereka tidak menilai bahwa ini khusus bagi dia saja, sebab tidak ada dalil yang menunjukkan kekhususan itu. Mereka mengatakan: asal dari hukum adalah berlaku keumumannya, dan tidak secara khusus.

(Syaikh Abdullah Su’ud al Funaisan, Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid, 2/223)

Mayatnya pun berlaku bagi pria, laki, anak-anak, tua dan muda:

فإن الصلاة على الغائب (أي: المسلم الذي مات في بلد آخر) جائزة، فقد روى الشيخان صلاة النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة معه على النجاشي لما مات في الحبشة.وتصلى صلاة الغائب على كل مَن تُصلى عليه صلاة الجنازة، وهو: كل مسلم مات: ذكراً كان أم أنثى، صغيراً كان أم كبيراً، باتفاق الفقهاء

Sesungguhnya Shalat Ghaib (yaitu shalat kepada muslim yang wafat di negeri lain) adalah boleh. Telah diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim) tentang shalatnya Nabi Saw. dan para sahabat bersamanya terhadap mayat Najasyi yang wafat di Habasyah.

Dilakukannya shalat ghaib adalah untuk setiap orang yang dishalatkan jenazahnya, dia adalah setiap muslim yang wafat, baik laki-laki atau wanita, anak-anak atau orang tua, menurut kesepakatan para fuqaha.

(Al Khulashah fi Ahkamisy Syahid, 2/141)

Demikian. Wallahu A’lam


✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top