Cara Bayar Fidyah

✉️❔PERTANYAAN

Ustadz… Saya mau bertanya, bagaimana tata cara dan ketentuan membayar fidyah?

✒️❕JAWABAN

Fidyah dikeluarkan bagi yang sudah tidak mampu lagi puasa seperti aki-aki atau nenek-nenek yang sudah jompo, orang yang sakit yang sulit untuk sembuh, disalurkan kepada fakir miskin, utamakan yang dekat, jika tidak ada boleh yang jauh.

Ada pun Fidyah ada 3 cara pemberian, 2 disepakati dan 1 masih diperselisihkan..

1. Makanan pokok (Qutul Balad) yang masih mentah, kalau di Indonesia beras. Takarannya berbeda pendapat para ulama antara 1 sha’, 1/2 sha’, dan 1 mud.

Tapi, umumnya fuqaha mengatakan 1 mud. 1 Mud itu dua tapak tangan orang dewasa. Mud tangannya orang Arab tentu lebih besar, Kira-kira 0,6 sd 0,75 kg beras.

Bayarkan sesuai jumlah puasa yang ditinggalkan, jika lupa, maka dikira-kira yang paling mendekati ..

2. Makanan Matang dgn lauk pauknya, seperti yang dilakukan oleh Anas bin Malik dalam riwayat Imam Bukhari. Dia bayar fidyah dengan cara mengumpulkan fakir miskin sejumlah puasa yang ditinggalkan makan di rumahnya sampai kenyang dengan SEKALI MAKAN (bukan 3x makan), dan membekali mereka ketika pulang dengan daging dan roti

3. Dengan uangnya.

Ini perselisihkan ulama. Mayoritas mengatakan tidak boleh, karena dalam Al Quran (2:184) fidyah itu disebut dengan tho’am (makanan).

Ada pun Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah mengatakan boleh JIKA dengan uang memang lebih bermanfaat.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Zakat Fitrahnya Orang yang Tidak Mampu

✉️❔PERTANYAAN

Ustadz… Saya mau bertanya, ketika seseorang tidak punya untuk zakat fitrah apakah dia masih wajib berzakat?

✒️❕JAWABAN

Jika seseorang di rumahnya ada makanan pokok sebanyak 1 sha’ lebih maka dia wajib zakat fitrah untuk dirinya. Jika itu tidak dia miliki, maka dia sudah tidak wajib zakat fitrah.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

تجب على الحر المسلم، المالك لمقدار صاع، يزيد عن قوته وقوت عياله، يوما وليلة. وتجب عليه، عن نفسه، وعمن تلزمه نفقته، كزوجته، وأبنائه، وخدمه الذين يتولى أمورهم، ويقوم بالانفاق عليهم.

“Wajib bagi setiap muslim yang merdeka, yang memiliki kelebihan satu sha’ makanan bagi dirinya dan keluarganya satu hari satu malam. Zakat itu wajib,  bagi dirinya, bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri dan anak-anaknya, pembantu yang melayani urusan mereka, dan itu merupakan nafkah bagi mereka. (Fiqhus Sunnah, 1/412-413)

Dasarnya adalah:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan untuk setiap jiwa kaum muslimin, baik yang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ biji-bijian. (HR. Muslim No. 984)

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Shalat Jama’ah Bagi Kaum Laki-laki Menurut Madzhab Syafi’i

Para fuqaha sejak masa salaf dan khalaf berbeda pendapat tentang status shalat berjamaah bagi kaum laki-laki. Sebagian mengatakan sunnah muakkadah, fardhu kifayah, fardhu ‘ain, bahkan ada pula yang mengatakan sebagai salah satu syarat sahnya shalat kecuali bagi yg uzur sebagaimana pendapat Imam Sa’id bin al Musayyab dan Imam Ibnu Taimiyah.

Lalu, bagaimana menurut mazhab Syafi’i? Berikut ini pembahasannya.

Imam Abul Hasan al Mawardi Rahimahullah mengatakan:

فأما الجماعة لسائر الصلوات المفروضات فلا يختلف مذهب الشافعي وسائر أصحابه أنها ليست فرضا على الأعيان، واختلف أصحابنا هل هي فرض على الكفاية أم سنة؟ فذهب أبو العباس بن سريج، وجماعة من أصحابنا إلى أنها فرض على الكفاية، وذهب أبو علي بن أبي هريرة، وسائر أصحابنا إلى أنها سنة

Ada pun shalat berjamaah di semua shalat wajib, tidak ada perbedaan pendapat madzhab Syafi’i dan semua sahabatnya (Syafi’iyah) bahwa itu BUKAN FARDHU ‘AIN.

Para sahabat kami (Syafi’iyah) berbeda pendapat apakah itu fardhu kifayah atau sunnah? Abul ‘Abbas bin Suraij dan segolongan sahabat-sahabat kami mengatakan fardhu kifayah, sedangkan Abu Ali bin Abi Hurairah dan semua sahabat kami mengatakan itu sunnah.

(Al Hawi Al Kabir, 2/297)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

فالجماعة مأمور بها للأحاديث الصحيحة المشهورة وإجماع المسلمين وفيها ثلاثة أوجه لأصحابنا (أحدها) أنها فرض كفاية (والثاني) سنة وذكر المصنف دليلهما (والثالث) فرض عين لكل ليست بشرط لصحة الصلاة وهذا الثالث قول اثنين من كبار أصحابنا المتمكنين في الفقه والحديث وهما أبو بكر ابن خزيمة وابن المنذر قال الرافعي وقيل إنه قول للشافعي والصحيح أنها فرض كفاية وهو الذي نص عليه الشافعي في كتاب الإمامة كما ذكره المصنف
وهو قولي شيخي المذهب ابن سريج وأبي اسحق وجمهور أصحابنا المتقدمين وصححه أكثر المصنفين وهو الذي تقتضيه الأحاديث الصحيحة وصححت طائفة كونها سنة منهم الشيخ أبو حامد …

Shalat berjamaah adalah hal yang diperintahkan, berdasarkan hadits-hadits shahih yang terkenal dan ijma’ kaum muslimin.

Dalam masalah ini, ada TIGA pendapat sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah):

1. Fardhu Kifayah

2. Sunnah, seperti yang disebutkan Al Mushannif (Imam Abu Ishaq Asy Syirazi)

3. Fardhu ‘Ain, tetapi bukan syarat sahnya shalat.

Pendapat yg ketiga (fardhu ‘ain) adalah pendapat dua imam besar madzhab kami yang begitu mumpuni fiqih dan haditsnya, yaitu Imam Abu Bakar bin Khuzaimah dan Imam Ibnul Mundzir.

Ar Rafi’i mengatakan: “Disebutkan bahwa itu (fardhu ‘ain) adalah perkataan Imam Asy Syafi’i.” Namun yang BENAR adalah FARDHU KIFAYAH, itulah yg dikatakan Imam Asy Syafi’i dalam kitab Al Imaamah, seperti yang disebutkan oleh Al Mushannif.

Ini (fardhu kifayah) juga pendapat dua syaikh dalam madzhab Syafi’i yaitu Ibnu Suraij dan Abu Ishaq,dan mayoritas Syafi’iyah terdahulu (mutaqadimin), dan dishahihahkan oleh mayoritas penyusun kitab, dan itulah yang ditetapkan oleh hadits-hadits shahih.

Segolongan ulama (Syafi’iyah) menshahihkan bahwa itu SUNNAH, di antaranya Abu Hamid (Al Ghazali)…

(Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/212)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah – pakarnya fiqih madzhab Syafi’i- mengatakan:

وهي في الصلاة المؤداة للرجال المقيمين لا المسافرين في الأصح، في الفرائض غير الجمعة وفي الحمعة فرض عين

Berjamaah dalam shalat adalah KIFAYAH bagi laki-laki yg mukimin (tidak bepergian), bukan bagi yang sedang safar menurut pendapat yang lebih shahih, yaitu pada shalat-shalat wajib selain shalat Jumat, ada pun untuk shalat Jumat adalah fardhu ‘ain.

(Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Asy Syafi’iyyah Al Muyassar, 1/239)

Beliau juga berkata:

وتحصل الجماعة بصلاة الرجل في بيته مع زوجته و أولاده و غيرهم لكنها للرجال في المسجد أفضل و أكثرها جماعة افضل

Berjamaah itu sdh cukup dengan shalatnya seorang laki-laki di rumahnya bersama istrinya, anak-anaknya, atau selain mereka. Tetapi laki-laki di masjid adalah lebih utama, dan jamaah yang lebih banyak jg lebih utama.

(Ibid, 1/239)

Dalam kitab Al Fiqh Al Manhaji ‘ala Madzhabi Al Imam Asy Syafi’i, yang disusun oleh Syaikh Mushthafa Al Bugha, Syaikh Mushthafa Al Khin, dan Syaikh Ali Syarbajiy, dikatakan:

الصحيح أنها – فيما عدا صلاة الجمعة – فرض كفاية، لا تسقط فرضيتها عن أهل البلدة إلا حيث يظهر شعارها؛ فإن لم تؤد فيها مطلقا أو أديت في خفاء أثم أهل البلدة كلهم، ووجب على الإمام قتالهم

Yang BENAR shalat jamaah adalah fardhu kifayah, kecuali shalat Jumat. Kewajiban shalat berjamaah tidak gugur bagi penduduk sebuah negeri kecuali jika telah nampak syiar shalat Jamaah.

Jika di negeri tersebut tidak ada shalat jamaah atau ada tapi tersembunyi, maka BERDOSA semua penduduknya, dan penguasa wajib memerangi mereka.

(Al Fiqhu Al Manhaji fi Madzhabi Al Imam Asy Syafi’i, 1/177)

Kesimpulan:

– Yang paling dikuatkan dalam madzhab Syafi’i, shalat berjamaah adalah Fardhu Kifayah. Boleh dilakukan di rumah bersama keluarga, tapi berjamaah di masjid lebih utama.

– Sebagian kecil mengatakan fardhu ‘ain, dan banyak pula yg mengatakan sunnah.

– Jika tidak ada shalat Jamaah di sebuah daerah atau ada tapi sembunyi-sembunyi, maka penguasa negeri tsb wajib memerangi daerah tersebut. Demikian dalam madzhab Syafi’i.

Wallahu a’lam. Wa Shalallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Kapan Kalimat Masya Allah Tabarakallahu di Gunakan

✉️❔PERTANYAAN

Ustadz… Saya mau bertanya, ucapan “Masya Allah tabarakallahu” itu untuk apa, digunakan saat apa?

✒️❕JAWABAN

Disaat seseorang melihat suatu yang mengagumkan dari anaknya, atau hartanya, hendaknya mengucapkan: Masya Allah La quwwata illa billah

Dalilnya:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَوْلَاۤ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَآءَ اللّٰهُ ۙ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِا للّٰهِ ۚ اِنْ تَرَنِ اَنَاۡ اَقَلَّ مِنْكَ مَا لًا وَّوَلَدًا

“Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan “Masya Allah, la quwwata illa billah” (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah, sekalipun engkau anggap harta dan keturunanku lebih sedikit daripadamu.” (QS. Al-Kahf 18: Ayat 39)

Ada pun saat melihat hal yang mengagumkan dari orang lain, maka: Masya Allah Tabarakallah ..

Dalilnya:

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ

“Jika kalian melihat hal yang mengagumkan dari saudaranya maka doakanlah dengan keberkahan. (HR. Ibnu Majah no. 3509, shahih)

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top