✉️❔PERTANYAAN
afwan ustadz apakah termasuk larangan berdagang di dalam masjid : jika kita bertransaksi perdagangan secara online ? misal membeli tiket / barang dg aplikasi, membayar tagihan listrik dg aplikasi yg dilakukan saat di dalam masjid.
✒️❕JAWABAN
Segala bentuk transaksi, baik offline atau online, adalah sama saja, tidak mengubah makna “jual beli”, hal itu terlarang di masjid..
Umumnya ulama memaknai makruh, sementara Hambali mengatakan Haram, begitu pula Ash Shan’ani dalam Subulussalam.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ
“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.” (H.R. At Tirmidzi No. 1336, katanya: hasan gharib. Dishahihkan oleh Imam Hakim)
Dalam Al Mausu’ah tertulis:
وَاخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى التَّحْرِيمِ
“Mereka berbeda pendapat tentang sifat larangannya, menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) mengharamkannya.”
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 17/179)
Berkata Imam At Tirmidzi Rahimahullah:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ
“Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan, ahli ilmu lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di masjid.” (Sunan At Tirmidzi lihat penjelasan No. 1336)
Imam Abu Hanifah membolehkannya, tetapi jika barang dagangannya dibawa ke masjid, maka itu makruh tanzih (makruh mendekati boleh namun sebaiknya ditinggalkan). Sedangkan Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i memakruhkannya. Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya. (Fiqhus Sunnah, 3/87. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Imam Amir Ash Shan’ani mengatakan hadits ini menunjukkan keharaman jual beli di masjid, dan kewajiban bagi yang melihatnya untuk mengatakan: Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu. Alasannya, karena Nabi ﷺ mengatakan: masjid dibangun bukan untuk itu. Apakah jual beli ini sudah dalam bentuk akad? Al Mawardi mengatakan: telah disepakati, bahwa hal itu adalah akad jual beli. (Subulus Salam, 2/46)
Jadi, keharaman berlaku bagi akad jual beli. Sedangkan jika baru tahap tawar menawar atau berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman.
Sementara Imam Asy Syaukani mengatakan, bahwa jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan makna larangan dalam hadits tersebut adalah makruh jual beli di masjid. Al ‘Iraqi mengatakan bahwa telah ijma’ (aklamasi) jika telah terjadi akad jual beli di masjid, maka akad tersebut tidak boleh dibatalkan. Imam As Syaukani lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkan, sebab jika makna larangan adalah makruh, maka itu harus ditunjukkan oleh qarinah (korelasi)nya. Sedangkan maksud dari pengucap dengan larangan secara hakiki adalah menunjukkan haramnya. Menurutnya inilah yang benar. Ada pun kesepakatan ulama bahwa jual beli tidak boleh dibatalkan dan tetap sah, maka itu tidak menafikan keharamannya. Hal itu bukan qarinah yang menunjukkan larangan adalah bermakna makruh. Sebagian sahabat Asy Syafi’i ada yang tidak memakruhkan jual beli di masjid, tetapi hadits ini membantah pendapat mereka. Para sahabat Abu Hanifah berbeda dengan pandangan umumnya, kebanyakan memakruhkan dan sedikit di antara mereka tidak memakruhkannya, namun ini pendapat yang tidak berdalil. (Nailul Authar, 2/158-159. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)
Wallahu A’lam
Farid Nu’man Hasan