Siapakah Ahli Bid’ah di Masa Salaf?

Ahli bid’ah sudah ada di masa salaf. Tetapi para ulama tidak memvonis suatu pihak ahli bid’ah hanya karena perbedaan fiqih, tetapi karena ada penyimpangan dalam masalah aqidah. Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah!


Pertanyaan

Assalamualaikum ustadz, izin bertanya sebenarnya pada masa salaf siapa yg di juluki sebagai ahli bid’ah, apakah benar ulama salaf itu mereka ada yg menuduh bidah terhadap ulama lain yang berbeda amalan?

Jazakallahu khairan


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ahli Bid’ah di Masa Salaf

Di masa salaf, jika disebut Ahlul bid’ah wal Hawa adalah firqah-firqah sesat seperti Khawarij, Murjiah, Syiah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah…

Ada pun perbedaan pendapat dalam masalah fiqihm tidak ada yang menyebut ahli bid’ah. Sebagaimana penjelasan para imam salaf:

Baca juga: Berbeda Fiqih Bukan Berarti Ahli Bid’ah

Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan Rahimahullah berkata:

ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه

Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

Syaikh Umar bin Abdullah Kamil berkata:

لقد كان الخلاف موجودا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار: أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم. ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم

“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau tuduhan terhadap pemahaman agama mereka lantaran perselisihan mereka itu.”

(Syaikh Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam)

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

Hukum Game Online

Hukum game online serta mata pencaharian yang terkait dengan game online pada dasarnya adalah mubah. Namun ada syarat-syarat yang berlaku yang mesti diperhatikan. Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah!


 Pertanyaan

Assalamu’alaikum Ustadz izin bertanya,,, mengenai fenomena live tiktok,,, di antaranya live maen Game online di dalam live tersebut,,, hal tersebut dijadikan sebagai “mata pencaharian” Atau pekerjaan dalam mencari uang karena dapet gift dan lain-lain dari yang nonton. Nah pertanyaan nya, apa hukum nya bekerja/mencari nafkah dari pekerjaan tersebut? Dan bagi orang-orang yang ikut membantu pekerjaan dia itu seperti apa hukum nya?
Syukron


Jawaban Hukum Game Online

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hukum dasar dari game (permainan) baik modern atau tradisional, baik online atau offline, adalah mubah sebagaimana hal-hal duniawi lainnya sampai adanya dalil atau unsur yang mengandung keharaman. Sehingga jika ada upah di dalamnya baik karena ujroh (fee) atau hadiah maka itu juga mubah.

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى عَدَمِ الْإِبَاحَةِ

Hukum asal dari segala hal adalah mubah sampai adanya dalil yang menunjukkan hilangnya kemubahan tersebut. (Imam Abul ‘Abbas Syihabuddin al Hanafi, Ghamzu ‘Uyun al Bashaa-ir, 1/223)

Adapun unsur-unsur yang diharamkan itu di antaranya:

– Judi, taruhan
– pornografi
– melecehkan agama
– melalaikan kewajiban agama misalnya shalat

Jika game sudah mengandung unsur haram ini, walau satu, saja maka terlarang. Sehingga penghasilannya pun juga haram baik karena fee atau hadiah.

Baca juga: Perlombaan Pakai Uang Pendaftaran, Judi?

Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Hukum Karangan Bunga Belasungkawa

Bagaimana hukumnya mengirim karangan bunga belasungkawa atas wafatnya seseorang menurut syariat Islam? Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah ini!


Pertanyaan

Assalamu alaikum, izin bertanya ust. Terkait fenomena/kebiasaan baru mengucapkan sukacita/dukacita dgn mengirim karangan bunga. Bagaimana hukumnya dalam tinjauan nilai-nilai Islam. Demikian, trima kasih ust.


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah..

Hukum Karangan Bunga Belasungkawa

Karangan bunga untuk dukacita kepada seseorang yang wafat, diperselisihkan ulama. Sebagian melarang dan mengatakan itu perbuatan menyerupai orang kafir.

Sebagian lain mengatakan boleh, bagi mereka itu hanyalah alat saja sebagaimana ucapan dengan surat, telpon, atau lainnya yang dapat mewakili makna ta’ziyah sehingga itu dibolehkan.

Dalam Hasyiyah Al Qalyubi wa ‘Amirah (1/401) dikatakan:

وتحصل التعزية بكتاب أو رسالة أو نحو ذلك

Ucapan belasungkawa telah mencukupi baik melalui buku, surat, atau sejenisnya.

Imam Al Bujairami mengatakan dalam Hasyiyah-nya (2/306):

وتحصل التعزية بالمكاتبات والمرسلات

Ucapan belasungkawa sudah terwujud dengan surat dan pesan-pesan.

Demikian. Wallahu A’lam.

Baca juga: Mencari Sebab Kematian Apakah Bertentangan Dengan Iman Kepada Qadha dan Qadar?

✍ Farid Nu’man Hasan

Baru Menyadari Shalat Di Masa Lalu Banyak Salahnya

Kesalahan dalam shalat apakah punya konsekuensi shalatnya tidak sah? Kalau tidak sah, apakah perlu diulang? Bagaimana dengan yang telah lalu? Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah ini!


Pertanyaan

jika seseorang baru tau tatacara sholat yang benar, apakah sholat yang telah ia lakukan selama tahun berlalu itu tidak sah? atau batal? atau di anggap tidak sholat karena sholat nya salah? (Vera-Kalimantan Tengah)


Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Masalah ini perlu diperinci sebagai berikut:

Jenis Kesalahan Shalat

– Jika kesalahan shalatnya adalah kesalahan ringan yang tidak merusak keabsahan shalat seperti meninggalkan hal-hal yang sunnah (misal: tidak angkat tangan, tidak iftitah, tidak sedekap, tidak shalawat di tasyahud akhir -kecuali mazhab Syafi’i dan sebagian Hambali mengatakan shalawat tasyahud akhir adalah wajib- dan sunah lainnya), maka shalat tersebut tetap sah, dan tidak perlu diulang hanya saja perbuatan itu memang makruh.

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan:

وحكم هذه السنن جميعها أن الصلاة لا تبطل بتركها عمدا ولا سهوا

Semua sunah ini, shalat tidaklah batal dengan meninggalkannya secara sengaja maupun karena lupa. (Al Mughni, jilid. 2, hal. 6)

Syaikh Wahbah az Zuhaili menjelaskan:

ترك سنة من سنن الصلاة عمداً: كترك دعاء الثناء أو التوجه، أو التسبيح في الركوع أو السجود، أو التكبير والتسميع والتحميد، أو رفع الرأس أو خفضه في الركوع، أو تحويل أصابع قدميه أو يديه عن القبلة، وهذا متفق عليه

Meninggalkan salah satu sunnah shalat dengan sengaja, seperti meninggalkan doa istiftah atau doa tasyahhud, tasbih dalam rukuk atau sujud, takbir, tasmi’, dan tahmid, atau tidak mengangkat atau menundukkan kepala dalam rukuk, atau tidak mengarahkan jari-jari kaki atau tangan ke arah kiblat. Hal ini disepakati oleh para ulama. (Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu, jilid. 2, hal. 960)

– Jika kesalahan yang dimaksud adalah meninggalkan hal yang wajib atau rukun walau karena ketidaktahuan, maka itu membatalkan shalat, dan wajib diulang dengan niat qadha. Inilah pendapat mayoritas ulama.

Imam An Nawawi mengatakan:

إذا ترك فرضًا من فروض الصلاة كركوعٍ أو سجودٍ ونحوهما، نُظر؛ إنْ تركه عمدًا وانتقل إلى ما بَعدَه، بطَلَتْ صلاتُه بلا خلاف

Jika seseorang meninggalkan salah satu rukun salat, seperti rukuk, sujud, atau yang sejenisnya, maka dilihat keadaannya: jika ia meninggalkannya dengan sengaja dan berpindah ke rukun berikutnya, salatnya batal tanpa ada perbedaan pendapat. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, jilid. 4, hal. 77)

Syaikh Abdullah Al Faqih menjelaskan:

ومن ترك شيئا من الأركان ولو جهلا، فالأصل: بطلان صلاته، ولزوم الإعادة عليه، وهذا مذهب جمهور العلماء، وبه نفتي، كما بالفتوى رقم: 114133، وتوابعها

Barang siapa meninggalkan salah satu rukun shalat, meskipun karena ketidaktahuannya, maka pada dasarnya shalatnya batal dan dia wajib mengulanginya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan berdasarkan pendapat inilah kami memberikan fatwa, sebagaimana disebutkan dalam fatwa nomor: 114133 dan yang terkait dengannya. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 276641)

Pendapat kedua mengatakan tidak wajib qadha, karena Allah Ta’ala tidaklah membebani hamba-Nya apa yang dia tidak mampu. Ini pendapat Imam Ibnu Taimiyah dan yang mengikutinya. Namun pendapat pertama lebih hati-hati dan aman.

Syaikh Abdullah Al Faqih menjelaskan:

والقول الثاني: لا يلزم القضاء، واختاره شيخ الإسلام ابن تيمية، واحتج أنه فعل ما أمر به كما أمر، والله لا يكلف نفسا إلا وسعها، وبأن النبي -صلى الله عليه وسلم- لم يأمر المسيء بقضاء ما فات من صلوات مع التقصير في أركانها، ولم يأمر المستحاضة بقضاء ما تركته من صلوات ظانة أنه حيض، ولم يأمر عمر وعمارا بقضاء الصلاة التي لم يتيمما لها حين أصابتهما الجنابة في نظائر كثيرة تدل على ما ذهب إليه الشيخ.
ولا يخفى أن ما ذهب إليه شيخ الإسلام له قوة واتجاه، ولكن القول الأول أحوط وأبرأ للذمة، فالذي ننصحك به: أن تبذلي وسعك في تحري الصلوات التي فاتتك

Pendapat kedua: Tidak diwajibkan mengqadha (salat yang terlewat), dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berargumen bahwa seseorang telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan perintah, dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Selain itu, Nabi ﷺ tidak memerintahkan orang yang melakukan kesalahan dalam salat untuk mengqadha salat yang terlewat karena kurangnya kesempurnaan rukunnya. Beliau juga tidak memerintahkan wanita istihadhah untuk mengqadha shalat yang ditinggalkan karena dia mengira itu adalah haid. Nabi ﷺ juga tidak memerintahkan Umar dan Ammar untuk mengqadha shalat yang mereka tinggalkan saat mereka dalam keadaan junub dan tidak bertayamum, dalam banyak kasus serupa yang menunjukkan apa yang disimpulkan oleh Syaikhul Islam.

Tidak diragukan lagi bahwa pendapat Syaikhul Islam memiliki kekuatan dan arah yang jelas. Namun, pendapat pertama lebih hati-hati dan lebih membebaskan tanggungan. Oleh karena itu, yang kami nasihatkan kepada Anda adalah agar Anda berusaha semaksimal mungkin untuk mengingat dan melaksanakan shalat-shalat yang telah Anda lewatkan. (Ibid)

Demikian. Wallahu A’lam

✍Farid Nu’man Hasan

scroll to top