Didiklah Anakmu Sesuai Zamannya?

Bismillahirrahmanirrahim..

Kalimat ini begitu masyhur:

لا تؤدبوا أولادكم بأخلاقكم ، لأنهم خلقوا لزمان غير زمانكم

“Janganlah kamu didik anak-anakmu dengan akhlakmu karena mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zamanmu.”

Kalimat ini diklaim sebagai ucapan Ali atau Umar Radhiallahu ‘Anhuma, tapi sama sekali tidak ada dasarnya penisbatan kepada mereka berdua atau sahabat nabi mana pun, atau seorang pun dari salafush shalih. Tidak ada. Hanya saja, kalimat ini sudah terlanjur terkenal dari mulut ke mulut disangka sebagai ucapan Ali atau Umar Radhiallahu ‘Anhuma.

Ada pun kalimat yang mirip dengan itu, di antaranya sebagai ucapan Socrates -seorang filsuf Yunani- sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnu al Qayyim Rahimahullah berikut ini:

لا تكرهوا أولادكم على آثاركم، فإنهم مخلوقون لزمان غير زمانكم

Janganlah kamu membenci anak-anakmu berdasarkan jejak kehidupanmu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang bukan zamanmu. [1]

Ucapan ini juga tidak mutlak benar. Sebab, ada banyak perkara yang tidak lekang oleh zaman dan berubah oleh waktu dan generasi. Seperti nilai-nilai tauhid, rukun Islam, rukun Iman, dan hal-hal yang tsawabit (tetap, kokoh, dan konstan) dalam Islam. Semua mesti disampaikan sama sebagaimana dulunya seperti apa. Bahkan menanamkan nilai-nilai (value) secara umum, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganjurkan kita mengikuti generasi awal.

Rasulullah ﷺ bersabda:

«إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ» . فَقَالُوا: فَكَيْفَ لَنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ وَكَيْفَ نَصْنَعُ؟ قَالَ: «تَرْجِعُونَ إِلَى أَمْرِكُمُ الْأَوَّلِ»

“Sesungguhnya akan datang masa-masa fitnah.” Mereka bertanya: “Kami mesti bagaimana wahai Rasulullah, apa yang kami lakukan?” Beliau bersabda: “Kembalilah kalian kepada urusan orang-orang awal kalian.” [2]

Imam Malik Rahimahullah (w. 179 H) pernah mengucapkan kata-kata inspiratif:

لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ إلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا

Generasi akhir umat ini tidak akan pernah jaya kecuali dengan apa yang membuat jaya generasi awalnya. [3]

Ada pun tentang metodelogi pembelajaran, penyampaian, strategi, dan media, kepada anak-anak kita, itulah yang memang mesti disesuaikan dengan perkembangan zamannya.

Demikian. Wallahu a’lam

Notes:

[1] Imam Ibnu al Qayyim, Ighatsah al Lahfan (Riyadh: Maktabah al Ma’arif), jilid. 2, hal. 265

[2] Imam al Thabarani, al Mu’jam al Kabir, 3/249, no hadits. 3307. Shahih. (as Silsilah ash Shahihah, 7/ 497, no. 3165)

[3] Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ al Fatawa, jilid. 20, hal. 375

✍️ Farid Nu’man Hasan

Perjanjian Kerjasama Persaudaraan dan Persahabatan Dengan Non Muslim

✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaikum wrwb bagaimana komentar Ustadz, ttg perjanjian kerjasama persaudaraan antara Paus dengan Syaikh Al Azhar ?

(+62 858-1169-xxxx)

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Perjanjian dan kerjasama dgn orang kafir, jika dalam konteks hubungan kemanusiaan yang universal, yang mana Islam dan non Islam bertemu dan sepemikiran dalam hal itu dan juga memiliki maslahat bagi umat Islam dan kemanusiaan secara umum maka syariat tidak melarangnya, selama bukan dalam konteks meleburkan konsep aqidah, hal-hal yg aksiomatik (qath’i) dalam Islam, atau kebatilan. Bahkan hal itu dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, dan ditegaskan oleh para Imam Ahlus Sunnah.

Para ulama mengistilahkan dengan At Tahaaluf yang diambil dari kata Al Hilfu. Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah tentang Al Haliif:

وَهُوَ الرَّجُلُ يُحَالِفُ الْآخَرَ عَلَى أَنْ يَتَنَاصَرَا عَلَى دَفْعِ الظُّلْمِ، وَيَتَضَافَرَا عَلَى مَنْ قَصَدَهُمَا أَوْ قَصَدَ أَحَدَهُمَا

Yaitu orang yang berjanji dengan pihak lain untuk saling menolong dalam mencegah kezaliman dan saling mendukung dalam mencapai tujuan mereka berdua atau tujuan salah satunya.

[Imam Ibnu Qudamah, al Mughni (Kairo: Maktabah al Qahirah), jilid. 8, hal. 392]

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

وَجَوَازُ بَعْضِ الْمُسَامَحَةِ فِي أَمْرِ الدِّينِ وَاحْتِمَالِ الضَّيْمِ فِيهِ مَا لَمْ يَكُنْ قَادِحًا فِي أَصْلِهِ إِذَا تَعَيَّنَ ذَلِكَ طَرِيقًا لِلسَّلَامَةِ فِي الْحَالِ وَالصَّلَاحِ فِي الْمَآلِ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ فِي حَالِ ضَعْفِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ قُوَّتِهِم

Bolehnya sebagian toleransi (dengan non muslim) dalam urusan agama dan penyelesaian atas kesulitan, selama tidak melahirkan keburukan pada hal yang pokoknya, jika memang hal itu membantu jalan menuju keselamatan situasi dan kebaikan harta, baik hal itu terjadi dalam keadaan kaum muslimin lemah atau kuat, sama saja.

[Imam Ibnu Hajar, Fath al Bari (Beirut: Dar al Ma’rifah, 1379H), jilid. 5, hal. 352]

Syaikh Muhammad ‘Izzat Shalih ‘Anini menjelaskan:

الْحلفُ بِهَذَا الْمَعْنَى أَوْسَعُ وَأَعَمُّ مِنْ الْمَعْنِي السَّابِقِ الَّذِي يُتَصَوَّرُ فِيهِ التَّعَاقُدُ بَيْنَ قَبَائِلَ وَ عَشَائِرَ أَوْ جِهَاتٍ رَسْمِيَّةٍ كَدُوَلٍ أَوْ أَحْزَابٍ أَوْ حُكُومَاتٍ .وَيَتَّسِعُ مَعْنَى الْحِلْفِ هَذَا لِيَشْمَلَ تَحَالُفَ الْأَفْرَادِ بِصِفَتِهِمْ الشَّخْصِيَّةِ وَ فِيهِ مَعْنَى الْمَوَادِّ وَالْوَلَاءِ وَالْأُخُوَّةِ. وَهَذَا هُوَ الْمَعْنَى الْمُشَارُ إِلَيْهِ فِي حَدِيثِ النَّبِيِّ ﷺ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:حَالَفَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَيْنَ قُرَيْشٍ وَالْأَنْصَارِ فِي دَارِي

Al Hilfu dengan makna ini (persabahatan dan persaudaraan) lebih luas dan lebih umum dibanding makna sebelumnya (perjanjian), yang menggambarkan adanya ikatan antar kabilah, keluarga, atau lembaga-lembaga resmi seperti antar negara, antar partai, atau pemerintahan. Perluasan makna ini juga mencakup perjanjian antar berbagai individu dengan sifat mereka masing-masing, yang di dalamna terdapat kasih sayang, loyalitas, dan persaudaraan. Inilah makna yang diisyaratkan oleh hadits Nabi ﷺ dari Anas Radhiallahu ‘Anhu: “Rasulullah ﷺ mengadakan ikatan di antara Quraisy dan Anshar di rumahku.”

[ Syaikh Muhammad ‘Izzat Shalih ‘Anini, Ahkam at Tahaluf fil Fiqh al Islami (Nablus: an Najah al Wathaniyah, 2008), hal. 22]

Beliau jg berkata:

التَّعَاهُدُ وَ التَّعَاقُدُ عَلَى التَّنَاصُرِ وَ التَّنَاصُحِ بِشَكْلٍ عَامٍّ فَمَا كَانَ مِنْهُ عَلَى الْبِرِّ دُونَ الْإِثْمِ يَرَوْنَ أَنَّ الْإِسْلَامَ قَدْ أَجَازَهُ وَ مَا كَانَ عَلَى الْإِثْمِ وَ الِاعْدِوَانِ يَرَوْنَ أَنَّ الْإِسْلَامَ قَدْ أَبْطَلَهُ

Saling berjanji dan mengikat untuk saling membantu dan menasihati dengan gambaran yang umum. Maka, jika hal itu dalam kebaikan bukan dosa, maka Islam memandang hal itu dibolehkan. Sedangkan jika itu di atas dosa dan pelanggaran maka Islam memandang hal itu batil. [Syaikh Muhammad ‘Izzat Shalih ‘Anini, Ibid. Hal. 25]

Syaikh Muhammad Abdurrahman al Mursi Ramadhan mengatakan:

قد يكون هناك تقاطع مؤقت في المسارات بين الجماعة و غيرها من القوى والتيارات غير الإسلامية، أو حتى التي تعارض الفكرة الإسلامية وتحاربها، ولكنه يكون في الوسائل و الأهداف الفرعية والتنفيذية وليس فى الأهداف الأساسية حيث إن أهدافنا إسلامية صميمة ومتكاملة ومترابطة. أما الوسائل فقد نشترك فيها نحن والأخرون وقد يستفيد منها أكثر من طرف.

Terkadang terjadi pertemuan sesaat dalam langkah perjuangan antara jamaah dakwah dengan poros kekuatan dan aliran-aliran non muslim atau bahkan dengan aliran yang menentang dan memerangi pemikiran Islam. Namun, hal itu hanya pada tataran sarana, target parsial dan pelaksanaan saja, bukan pada target utama. Sebab target kita adalah murni keislaman yang komprehensif dan saling berkaitan antar semua dimensinya. Adapun sarana untuk menuju itu semua terkadang kita dan pihak lain memungkinkan untuk bersama. Dan hal itu mungkin dimanfaatkan oleh banyak pihak. [Manhaj Ishlah, hal. 482-483]

Dalil-Dalilnya baik Al Quran dan As Sunnah:

فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. At Taubah: 7)

Ayat lainnya:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. (QS. Al Maidah: 2)

Ayat lainnya:

إِذۡ قَالَ لَهُمۡ أَخُوهُمۡ نُوحٌ أَلَا تَتَّقُونَ

Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka, “Mengapa kamu tidak bertakwa?”

(QS. Asy-Syu’ara: 106)

Ayat ini menunjukkan, Allah Ta’ala masih menyebut SAUDARA antara Nabi Nuh ‘Alaihissalam dan kaumnya yang kafir. Tentunya saudara yang dimaksud bukan saudara aqidah, tapi saudara sesama manusia atau sesama kampung halamannya. Maka perjanjian yg kebaikannya bs dirasakan secara universal antara umat Islam dan sesama manusia yg berbeda agama bukanlah perkara yang terlarang.

Ada pun dalil dalam hadits;

Dari Jubeir bin Muth’im Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا أُحِبُّ أَنَّ لِي بِحِلْفٍ حَضَرْتُهُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حُمُرُ النَّعَمِ وَلَوْ دُعِيتُ لَهُ لأَجَبْتُ وَهُوَ حِلْفُ الْفُضُولِ

Tidaklah ada yang melebihi kecintaanku pada Unta Merah kecuali perjanjian ini. Seandainya aku diajak lagi (di masa Islam) untuk ikut andil maka aku akan mengikutinya. Itulah Hilful Fudhul.

[Imam Muhammad bin Sa’ad, Ath Thabaqat (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1990), jilid. 1, hal. 103 Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1900]

Peristiwa ini menunjukkan aliansi antar kelompok dan ideologi, di dalamnya ada kaum musyrikin Mekkah dan Rasulullah ﷺ. Mereka berjanji untuk memberikan perlindungan kepada para pedagang dari kejahatan. Bahkan hadits ini menunjukkan saat di masa Islam Rasulullah ﷺ pun berandai-andai jika pertemuan itu ada lagi maka dia akan ikut berpartisipasi. Ketetapan ini tidak terhapus, bukan hanya di masa sebelum kerasulan tapi juga setelah masa kerasulan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum muslimin terikat oleh perjanjian yang mereka buat, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. [ HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra no. 11430]

Kesimpulan:

– Perjanjian atau kerjasama antara umat Islam dan kuffar selama dalam hal yang memiliki maslahat umat Islam dan kemanusiaan adalah diperbolehkan.
– Jika perjanjian tersebut sudah melanggar aqidah, halal haram, atau membuat berkuasanya kaum kuffar kepada umat Islam maka tidak dibolehkan.

Masalah ini pernah saya bahas secara khusus di buku MENJAWAB KEGELISAHAN AKTIVIS DAKWAH beberapa tahun lalu.

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Pilih-Pilih Ustadz dalam Mengikuti Kajian Islam

✉️❔PERTANYAAN

Assalamualaikum ustadz.. ijin bertanya.

Apakah boleh Jamaah memilih-milih ustadz dalam kajian?

Misalnya di Masjid kami, melakukan Kajian 4 kali setiap bulan, tapi beberapa Jamaah tidak hadir jika kajian dengan Ustadz A, dengan alasan sering memberikan jawaban berdasarkan pendapat pribadi dan tidak dari Hadits.

Demikian ustadz

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ada dua sisi;

– Sisi Ustadznya, hendaknya memperbaiki metodenya. Agar jangan terlalu sering dengan pandangan sendiri tapi hendaknya merujuk juga dengan para ulama.

– Sisi jamaahnya, jika ada nara sumber yg tidak disukai karena 1-2 hal carilah kebaikan atau kelebihan lain padanya agar keberkahan bemajelis tetap bisa didapatkan. Mencari yang sempurna tidak akan pernah dijumpai.

Rasulullah ﷺ bersabda:

ِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

“Apabila kalian melewati taman Surga, maka perbanyaklah dzikir!” Aku katakan; “Apakah taman Surga itu wahai Rasulullah?” Beliau mengatakan: “Halaqah-halaqah dzikir.”

(HR. At Tirmidzi no. 3510, kata Imam At Tirmidzi: hasan gharib)

Imam Abu Bakar Al Hishniy Ad Dimasyqiy Rahimahullah memberikan nasihat:

وَهَذَا لمن طلبه للتفقه فِي الدّين على سَبِيل النجَاة لا قصد الترفع على الأقران وَالْمَال والجاه، قَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم: ” من تعلم علما مِمَّا يبتغى بِهِ وَجه الله تَعَالَى لَا يتعلمه إِلَّا ليصيب بِهِ غَرضا من الدُّنْيَا لم يجد عرف الْجنَّة يَوْم الْقِيَامَة”

Kedudukan ini adalah bagi yang menuntut ilmu agama untuk kesuksesan akhirat, bukan bermaksud persaingan, harta, dan kedudukan. Sebab Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang padanya seharusnya dia mencari ridha Allah, dia tidak mencarinya melainkan menginginkan target dunia, maka dia tidak dapat mencium surga pada hari kiamat nanti.”

(Kifaayatul Akhyar, Hal. 4)

Jadi, tetap semangat untuk hadir di majelis-majelis ilmu, mengaji dan mengkaji Islam, berkumpul dengan orang-orang baik, dan keberkahan majelis, walaupun nara sumber ada kekurangan dalam kemampuan narasi, retorika atau komunikasi, yang penting apa yang disampaikannya adalah kebaikan dan kebenaran.

Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

Hukum Adzan Anak yang Belum Baligh

✉️❔PERTANYAAN

Assalamu’alaikum. Ustadz izin bertanya sahkah adzan anak yang belum baligh?

✒️❕JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Anak kecil yang belum baligh ada dua macam:

1. Mumayyiz

Yaitu usia 7 tahun atau lebih. Ini pendapat jumhur. Sementara sebagian ulama mengatakan mumayyiz tidak ada batasan umur tapi ketika anak itu sudah mampu berdialog dgn baik dengan orang dewasa dan mampu memahaminya.

Untuk usia mumayyiz ini, mereka sdh dibolehkan menjadi muazin menurut mayoritas ulama kecuali Malikiyah. Pihak yang membolehkan tetap mengatakan selama ada orang dewasa atau muazin rawatib (muazin tetap) maka tidak dianjurkan azan diserahkan ke anak kecil.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

اختلفوا في صِحَّة أذان الصبي المُمَيِّز ( وهو مَن بلغ سبعًا إلى البلوغ ) ، فأجازَه جمهور العلماء ما دام يعقل الأذان ، وهو قول عطاء والشعبي وابن أبي ليلى وأبي ثَور ، واختارَه ابن المنذِر .
واحتجُّوا بما جاء عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ قَالَ : ” كَانَ عُمُومَتِي يَأْمُرُونَنِي أَنْ أُؤَذِّنَ لَهُمْ وَأَنَا غُلَامٌ لَمْ أَحْتَلِمْ ، وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ شَاهِدٌ، فلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ ” .

Ulama berbeda pendapat tentang azannya anak kecil yang sudah mumayyiz (yaitu sudah berusia 7 th), mayoritas ulama membolehkan selama dia paham azan. Ini pendapat ‘Atha, Asy Sya’bi, Ibnu Abi Laila, Abu Tsaur, dan yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.

Hujjah mereka adalah riwayat dari Abdullah bin Abu Bakar bin Anas, beliau berkata: “Paman-pamanku memerintahkan aku untuk azan saat itu aku belum mimpi basah (belum baligh), Anas bin Malik menyaksikan itu dan dia tidak mengingkarinya.” (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 221492)

Ada pun Malikiyah mengatakan tidak boleh:

لَا يُعْتَدُّ بِأَذَانِ الصبي ، إلا إذا اعتمدَ على بالغ ؛ لأنَّ الأذان مشروع للإعلام ، ولا يحصل الإعلام بقول الصبي ؛ لأنَّه ممَّن لا يُقبَل خبرُه ولا روايته ، ولا يوثَق بقوله ، فقد لا يعرف متى تزول الشَّمس ، ومتى يكون ظلُّ كلِّ شيء مثله وغير ذلك

Azan anak kecil tidaklah dianggap kecuali sudah baligh, karena azan itu syariat untuk pemberitahuan, dan pemberitahuan tidaklah bisa dicapai dengan perkataan anak kecil, karena anak kecil tidak diterima kabar dan riwayat darinya, belum kuat perkataannya, dia juga belum tahu kapan tergelincir matahari, kapan terjadinya bayangan segala hal yang melingkupi semisalnya, dan lainnya. (Ibid)

2. Ghairu Mumayyiz

Yaitu usia di bawah tujuh tahun. Ini tidak sah, dan tidak ada beda pendapat ulama.

Dalam Bada’i Shana’i tertulis:

وَأَمَّا أَذَانُ الصَّبِيِّ الَّذِي لَا يَعْقِلُ فَلَا يُجْزِئُ ، وَيُعَادُ ؛ لِأَنَّ مَا يَصْدُرُ لَا عَنْ عَقْلٍ لَا يُعْتَدُّ بِهِ ، كَصَوْتِ الطُّيُورِ” انتهى 

Adzannya anak kecil yang belum berakal maka tidak sah dan tidak dianggap, karena apa yang keluar dari orang yang belum berakal tidaklah dinilai, dianggap seperti suara burung saja. (Bada’i Shana’i, 1/150)

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

ولا نعلم فيه خلافًا

Kami tidak ketahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. (Al Mughni, 1/300)

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top