Menyebut “Kafir” Kepada Non Muslim, Intoleran?

▫▪▫▪▫▪▫

Hari ini mimbar peperangan bukan hanya di medan tempur, dengan Sukhoi, Ak 47, … Tapi, peperangan juga terjadi di medan terminologi.

Istilah-istilah buruk dipaksakan kepada umat Islam, dan dikaitkan dengan Islam, seperti “teroris”. Sementara jika keburukan yg sama datangnya dari mereka, itu disebut “kesalahan” saja.

Termasuk istilah “kafir”, sebutan yang sudah baku bagi non muslim selama belasan abad lamanya, dianulir dan dianggap intoleran bagi siapa pun yang menggunakannya. Akhirnya umat Islam -sedikit tokoh agamanya- ikut-ikutan mereka  dan khawatir disebut intoleran karena menggunakan istilah itu. Kekalahan perang terminologi dihadapan media, ” tidak enak hati” membuat mereka menyembunyikan hakikat kekafiran non muslim, atau bahkan untuk mengambil simpati mereka.

Bagi orang-orang ini ” agama” tidak penting, yang penting adalah kebaikan dan berbuat baik, sebab menurut mereka surga itu untuk orang-orang baik apa pun agamanya. Laa haula wala quwwata illa billah ..

📖 Al Quran Menyebut Mereka Kafir

Al Quran Al Karim menyebut mereka, orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, Rasulullah, dan agamaNya sebagai kafir .. Maka, jika menggunakan standar mereka ini, tentu Al Quran adalah kitab Intoleran. Sungguh kotor tuduhan mereka itu.

Allah Ta’ala berfirman:

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ

Orang-orang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS. Al Bayyinah: 1)

Ayat lainnya:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al Bayyinah: 6)

Dalam ayat lainnya:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۖ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۖ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. Al-Ma’idah: 72-73)

Dan masih banyak yang lainnya ..

📓 Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga menyebut mereka kafir

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam tanganNya, tidak seorangpun dari umat ini yang mendengarku, baik  seorang Yahudi atau Nashrani, lalu ia meninggal dalam keadaan tidak beriman terhadap risalahku ini (Islam),  melainkan dia menjadi penghuni neraka. (HR. Muslim no. 153)

Bahkan sebagian sahabat nabi –seperti Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma- mengatakan bahwa Nasrani juga musyrik., artinya kekafiran mereka sama levelnya dengan politheis.

Disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir:

وقد كان عبد الله بن عمر لا يرى التزويج بالنصرانية، ويقول: لا أعلم شركا أعظم من أن تقول: إن ربها عيسى، وقد قال الله تعالى: { وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ } الآية [ البقرة : 221 ]

Abdullah bin Umar memandang tidak boleh menikahi wanita Nasrani, dia mengatakan: “Saya tidak ketahui kesyirikan yang lebih besar dibanding perkataan: sesungguhnya Tuhan itu adalah ‘Isa, dan Allah Ta’ala telah berfirman: (Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai dia beriman). (QS. Al Baqarah (2); 122). (Tafsir Ibnu Katsir, 3/42)

Imam Al Kasani dan Imam Ibnu Qudamah Rahimahumallah menjelaskan klasemen kekafiran sebagai berikut:

صِنْفٌ مِنْهُمْ يُنْكِرُونَ الصَّانِعَ أَصْلاً ، وَهُمُ الدَّهْرِيَّةُ الْمُعَطِّلَةُ
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ ، وَيُنْكِرُونَتَوْحِيدَهُ ، وَهُمُ الْوَثَنِيَّةُ وَالْمَجُوسُ .
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ بِالصَّانِعِ وَتَوْحِيدِهِ ، وَيُنْكِرُونَ الرِّسَالَةَ رَأْسًا ، وَهُمْ قَوْمٌ مِنَ الْفَلاَسِفَةِ .
وَصِنْفٌ مِنْهُمْ يُقِرُّونَ الصَّانِعَ وَتَوْحِيدَهُ وَالرِّسَالَةَ فِي الْجُمْلَةِ ، لَكِنَّهُمْ يُنْكِرُونَ رِسَالَةَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى

📌Kelompok yang mengingkari adanya pencipta, mereka adalah kaum dahriyah dan mu’aththilah (atheis).

📌Kelompok yang mengakui adanya pencipta, tapi mengingkari keesaanNya, mereka adalah para paganis (penyembah berhala) dan majusi.

📌Kelompok yang mengakui pencipta dan mengesakanNya, tapi mengingkari risalah kenabian yang pokok, mereka adalah kaum filsuf.

📌Kelompok yang mengakui adanya pencipta, mengeesakanNya, dan mengakui risalahNya secara global, tapi mengingkari risalah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka adalah Yahudi dan Nasrani. (Lihat: Imam Al Kasani, Al Bada’i Ash Shana’i, 7/102-103, lihat juga Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 8/263)

Berbagai ayat, hadits, dan penjelasan ulama ini, menjadi penegas fatalnya sesat pemahaman mereka yang menganggap kekafiran hanya berlaku bagi yang tidak bertuhan saja, bagi mereka Yahudi, Nasrani, dan lainnya, bukan kafir.

Wallahul Musta’an !!

🌱🌷🍃🌹🌴🌵🌾🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Halal Bi Halal Bid’ah?

Halal bi halal adalah tradisi yang berlaku di Indonesia, tapi tidak dikenal di wilayah lain. Lalu apakah hukum halal bi halal ini bid’ah? Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah ini!


Pertanyaan

Assalamu’alaikum ustadz , hukum halal bi halal itu gimana sih ustadz sebenernya? ada yg blg boleh ada yg bilang juga ga boleh bid’ah lah atau apa , mohon penjelasan ustadz . Syukron katsiir (085616667xxx)


Jawaban

Wa’alaikumussalam .., Bismillah wal Hamdulillah ..

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.
(Qs. An-Nahl: 116)

Ayat ini merupakan teguran keras kepada siapa pun yang mengatasnamakan agama Allah, bahwa ini halal, ini haram, .. tanpa hujjah. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama-sama tercela, tapi yang pertama lebih berat lagi dosanya.

Halal bi Halal Bid’ah?

Tradisi halal bil halal, janganlah terjebak pada nama, sebab esensinya adalah berkumpulnya umat Islam; famili, kerabat, handai taulan, dan sebagainya, untuk bersilaturrahim pada momen libur hari raya.

Dalam Ushul Fiqh, ada istilah ‘Urf Shahih, tradisi shahih, yaitu tradisi yang tidak ada dasar secara khusus tapi esensinya tidak salah dan tidak bertentangan kaidah umum agama. Seperti tradisi kerja bakti, membuat makanan lebaran lalu saling memberi makanan itu  menjelang hari raya, dan semisalnya. Semua ini tidak ada dasarnya, tapi tidak terlarang.

Ada pun ‘Urf Fasad, tradisi rusak, yaitu tradisi yang memang bertentangan jelas dengan Islam, seperti kebiasaan melempar sesajen ke laut setelah mendapatkan hasil ikan, tradisi coret-coretan pakaian setelah lulus-lulusan, dan semisalnya. Ini jelas terlarang.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ فَهُوَ حَلَالٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ،وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ

Apa yang Allah halalkan dalam kitabNya maka itu halal, apa yang Allah haramkan dalam kitabNya maka itu haram, dan apa yang didiamkanNya maka itu dimaafkan. (HR. Al Hakim, kata beliau: shahih. Al Bazzar berkata sanadnya baik/shalih)

Inilah ruang yang dimaafkan oleh syariat atas segala hal yang belum dibahas secara khusus halal haramnya. Dia zona yang dibolehkan dan dimaafkan, kecuali memang ada dalil khusus yang mengharamkannya.

Baca juga: Kultum Tarawih Bid’ah?

Oleh karena itu, Imam Muhammad At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut menjelaskan kaidah itu:

أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه

“Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.” (Imam Muhammad At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hal. 3. Maktabah Al Misykah)

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:

وهو سبحانه لو سكت عن إباحة ذلك وتحريمه لكان ذلك عفوا لا يجوز الحكم بتحريمه وإبطاله فإن الحلال ما أحله الله والحرام ما حرمه وما سكت عنه فهو عفو فكل شرط وعقد ومعاملة سكت عنها فإنه لا يجوز القول بتحريمها فإنه سكت عنها رحمة منه من غير نسيان وإهمال

Dia –Subhanahu wa Ta’ala- seandainya mendiamkan tentang kebolehan dan keharaman sesuatu, tetapi memaafkan hal itu, maka tidak boleh menghukuminya dengan haram dan membatalkannya, karena halal adalah apa-apa yang Allah halalkan, dan haram adalah apa-apa yang Allah haramkan, dan apa-apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan. Jadi, semua syarat, perjanjian, dan muamalah yang didiamkan oleh syariat, maka tidak boleh mengatakannya haram, karena mendiamkan hal itu merupakan kasih sayang dariNya, bukan karena lupa dan membiarkannya. ( I’lamul Muwaqi’in, 1/344-345)

Demikian. Wallahu a’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan


Demikian penjelasan mengenai hukum halal bi halal, bahwa ini bukan bid’ah karena ada pada tataran ‘urf atau kebiasaan masyarakat.

Nikah Di Bulan Syawal

🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Berkata ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

تزوجني النبي صلى الله عليه و سلم في شوال و بنى بى في شوال . فأي نسائه كان أحظي عنده مني وكانت عائشة تستحب أن تدخل نسائها في شوال

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahiku di bulan Syawal, dan berumah tangga denganku di bukan Syawal, maka wanita manakah di sisinya yang lebih beruntung daripada aku?” Dan ‘Aisyah suka jika malam pertama itu dilakukan di bulan Syawal.

📖 Sunan Ibni Majah No. 1990, Kitab An Nikaah, Bab Mataa Yustahabbu Al Binaa bin Nisaa’

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

فيه استحباب التزويج والتزوج والدخول في شوال وقصدت عائشة بهذا الكلام رد ما كانت الجاهلية عليه وما يتخيله بعض العوام اليوم من كراهة التزوج والتزويج والدخول في شوال وهذا باطل لا أصل له وهو من آثار الجاهلية كانوا يتطيرون بذلك لما في اسم شوال من الاشالة والرفع

Di dalam hadits ini, disunnahkan untuk menikahkan, menikahi,  dan malam pertama di bulan Syawal. Maksud ‘Aisyah dengan ucapannya adalah sebagai sanggahan atas keyakinan masa  jahiliyah dan takhayul sebagaian orang awam hari ini bahwa makruh menikahi, menikahkan, dan malam pertama di bulan Syawal. Ini adalah keyakinan yang batil dan tidak memiliki dasar, dan juga pengaruh masa jahiliyah yang dahulu mereka suka “merasa sial” lantaran penamaan SYAWAL yang berasal dari kata al Isyaalah (terangkat) dan al raf’u (naik).
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/209)

So .., saya ucapkan barakallahu fiikum .. bagi yang nikah di bulan Syawal.

🍃🌻🌾🌸🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Menggabung Niat Puasa Qadha dan Sunnah

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum warahmatulloh..
Maaf ustadz saya mau bertanya.
Apakah boleh seorang muslimah menqodho  puasa ramadhan kemaren.. tapi bersamaan niatnya dengan puasa ayyamul bidt atau puasa sunnah senin kamis??..
Mohon penjelsan n dalilnya member 🅰1⃣0⃣

📬 JAWABAN

💦💥💦💥💦💥💦

Wa ‘alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Penggabungan niat puasa, dua atau lebih, pada hari yang sama, tidak kita temukan secara khusus dalam Al Quran dan As Sunnah. Oleh karena itu, pro kontra terhadap hal ini terjadi.

Dalam kumpulan fatwa Al Lajnah Ad Daimah, disebutkan:

هل يجوز صيام التطوع بنيتين: نية قضاء، ونية سنة ….

Apakah boleh berpuasa sunah dengan dua niat: niat qadha dan niat sunah sekaligus ..?

Jawab:

لا يجوز صيام التطوع بنيتين، نية القضاء ونية السنة

Tidak boleh puasa sunnah dengan dua niat baik niat qadha dan niat sunah .. (Al Lajnah Ad Daimah, Fatwa No. 6497)

Perlu diketahui, bahwa puasa qadha itu wajib, dia mesti didahulukan dibanding puasa sunnah. Tapi kadang, ada orang berpuasa qadha –misal qadha Ramadhan- bertepatan di hari Senin atau Kamis, bisa jadi dia juga mendapatkan pahala sunah Senin-Kamis. Semoga demikian. Jadi niatkan saja puasa Qadha-nya, kalau pun dilakukan di hari Senin atau Kamis, atau bertepatan di hari Ayyamul bidh (tgl 13,14,15), semoga Allah ﷻ memberikan pahala kepadanya.

Ulama lain mengatakan SAH alias boleh saja menggabungkan itu, Syaikh Abdullah Al Faqih ditanya tentang seseorang yang shaum ‘arafah plus juga shaum qadha, Beliau menjwab -diantaranya:

والظاهر أنه يجزئك التشريك بين نية القضاء ونية صوم يوم عرفة؛ لأن مقصود الشرع يتحقق، إذ المراد أن يحصل صوم يوم عرفة، وقد حصل، كما أنه لو اغتسل يوم الجمعة للجنابة أجزأه عن غسل الجنابة والجمعة عند الأئمة الأربعة. قال العلامة العثيمين رحمه الله في فتاوى الصيام: من صام يوم عرفة، أو يوم عاشوراء وعليه قضاء من رمضان فصيامه صحيح، لكن لو نوى أن يصوم هذا اليوم عن قضاء رمضان حصل له الأجران: أجر يوم عرفة، وأجر يوم عاشوراء مع أجر القضاء، هذا بالنسبة لصوم التطوع المطلق الذي لا يرتبط برمضان. انتهى.

Yang benar adalah bahwa cukup bagi Anda mencampur antara niat qadha dan niat shaum ‘arafah, karena hal itu sudah mengcover maksud syariat, maksudnya target shaum ‘arafahnya sudah tercapai. Sebagaimana seseorang yang mandi di hari Jumat, maka itu sudah cukup bagi mandi junub dan mandi Jumatnya menurut imam yang empat. Al ‘Allamah Utsaimin Rahimahullah berkata dalam Fatawa Ash Shiyam: “Barangsiapa yang melakukan puasa pada hari ‘Arafah, atau shaum hari ‘Asyura, sedangkan dia masih ada hutang puasa Ramadhan, maka puasa sunnahnya itu  tetap sah. Tetapi apabila niatnya melakukan puasa pada hari ‘Arafah atau pada hari ‘Asyura DENGAN NIAT SHAUM QADHA  RAMADHAN JUGA, maka ia akan mendapati dua pahala. Yaitu   ganjaran puasa ‘Arafah dan‘Asyura, disertai dengan ganjaran qadhanya itu. Penjelasan ini untuk puasa muthlaq, yaitu yang tidak ada  hubungan apa-apa dengan puasa Ramadhan. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, 11/16431)

Nah, kalau mau tidak mengundang kontroversi atau perdebatan memang lebih baik jalankan sesuai  waktunya saja. Kalau pun mau menjalankan qadha yang pas dengan hari shaum sunnah, niatkan saja qadha-nya, sambil berharap mendapatkan pahala sunnahnya.

Wallahu A’lam

☘🌸🌺🌴🌻🍃🌾🌷

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top