Muslimah Ikut Aksi Demonstrasi, Bagaimanakah?

Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjawab:

فإذا كانت المظاهرة مما يجوز، فلا بأس في مشاركة المرأة فيها، بشرط انضباطها بالضوابط الشرعية من الستر والحجاب وعدم الاختلاط بالرجال على وضع تمكن معه المماسّة، وغض البصر، وغير ذلك من الضوابط الشرعية المتعلقة بالمرأة عند خروجها.

Jika aksi demonstrasi adalah hal yang diperbolehkan, maka tidak apa-apa partisipasi wanita di dalamnya, dengan syarat yang diperkenankan ketetapannya oleh syariat berupa menutup diri dengan hijab, tidak ikhtilat dengan kaum laki-laki, menundukkan pandangan, dan rambu-rambu syariat lainnya yang terkait kaum wanita saat mereka keluar dari rumah.

📒 Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 42698

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Syarah 10 Wasiat Imam Hasan Al Banna Rahimahullah (Bag. 3)

Wasiat ke-2:

اتل القران او طالع او استمع او اذكر الله و لا تصرف جزء من وقتك فى غير فائدة

Bacalah Al Quran, atau menelaahnya, atau mendengarkannya, atau berdzikirlah kepada Allah, dan jangan buang waktumu sedikit pun dengan hal yang tidak bermanfaat. (Al Washaya Al ‘Asyr No. 2)

2⃣ Menelaah Al Quran

Pada bagian ke-2 lalu, sudah kami bahas tentang wasiat Beliau yang pertama di wasiat yang ke-2 ini, yaitu membaca Al Quran. Di mana membaca Al Quran memiliki keutamaan yang sangat banyak dan mulia. Juga anjuran membacanya dengan baik dan benar.

Kemudian, Imam Al Banna juga mewasiatkan agar menelaah Al Quran. Ini merupakan tahapan selanjutnya agar nilai-nilai Al Quran bisa menjadi “hidup” di tengah manusia.

📒 Memahami Al Quran; antara mentadabburi dan menafsirkan

Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah:

والتفسير كشف المراد عن اللفظ المشكل

“Tafsir adalah menyingkap maksud dari lafaz yang mengandung musykil (kesulitan). (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/177. Al Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)

Jika kita melihat definisi tafsir sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Al Mubarkafuri, maka upaya menafsirkan Al Quran bukanlah pekerjaan ringan dan begitu saja diserahkan kepada sembarang manusia. Di sinilah letak ketergelinciran sebagian manusia, awalnya hanya ingin tadabbur (merenungkan/memperhatikan) isi Al Quran dan mendapatkan hikmahnya, ternyata mereka telah melampaui batas apa yang mereka inginkan, jatuh pada tahap ngutak-ngatik makna-makna rumit yang menggelisahkan akalnya, hingga akhirnya dia menafsirkannya sendiri dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu.

Allah Ta’ala memerintahkan kita agar mentadabburi Al Quran dan memahami isinya.

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad (47): 24)

“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisa (4): 82)

Tadabbur adalah upaya untuk mendapatkan pelajaran dari Al Quran dengan memikirkan hal-hal yang tersurat darinya. Kejernihan hati, keikhlasan niat, serta akal yang sehat merupakan media yang harus dipersiapkan agar mendapatkan bimbingan Al Quran. Imam Al Ghazali menerangkan bahwa membaca Al Quran yang paling baik adalah dengan melibatkan tiga unsur manusia ketika membacanya. Lisan sebagai penjaga huruf-hurufnya agar benar dan tartil. Akal untuk merenungkan isinya. Hati untuk menerima pelajaran dan bimbingan darinya. Inilah tadabbur yang benar.

Pada titik ini, maka upaya seorang muslim untuk memahami Al Quran dan mencari hikmahnya akan mendapatkan hasil yang baik, pelajaran yang banyak, dan berkah bagi pelakunya. Hendaknya seorang muslim memperhatikan betul masalah ini agar mereka tidak melangkah ke tempat yang bukan bagiannya, tidak berpikir ke wilayah yang bukan kekuasaannya, dan justru bertindak diluar koridor bimbingan Al Quran. Jika, dia menemukan kata-kata sulit dan makna-makna rumit yang belum difahaminya dan jauh dari pengetahuannya, maka hendaknya dia tundukkan hawa nafsu dan emosinya untuk mengembalikan itu semua kepada yang ahlinya. Sebab, saat itu para ahli tafsirlah yang memiliki otoritas, kecuali jika dia sudah layak juga disebut sebagai ahli tafsir dan telah memenuhi syarat-syaratnya, dan manusia pun telah mengakuinya.

📒 Kaidah-Kaidah Memahami Al Quran

Bagian ini akan saya tujukan kepada dua golongan.

Pertama, golongan awam yang masih awal mempelajari Al Quran. Kedua, golongan terpelajar, penuntut ilmu dan ulama.

↪Pertama. Golongan awam

Kepada mereka hendaknya bertanya kepada ahli ilmu, ahlinya Al Quran. Allah Ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada Ahludz Dzikri jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An Nahl (16): 43)

Siapakah Ahludz Dzikri yang dimaksud oleh ayat yang mulia ini?

Berkata Imam Al Qurthubi Rahimahullah (w. 671H) dalam kitab tafsirnya:

وقال ابن عباس: أهل الذكر أهل القرآن وقيل: أهل العلم، والمعنى متقارب.

Berkata Ibnu ‘Abbas: “Ahludz Dzikri adalah Ahlul Quran (Ahlinya Al Quran), dan dikatakan: Ahli Ilmu (ulama), maknanya berdekatan.” (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran,10/108. Daru ‘Alim Al Kutub, Riyadh)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah (w. 1376H) mengatakan tentang makna Ahludz Dzikri:

وعموم هذه الآية فيها مدح أهل العلم، وأن أعلى أنواعه العلم بكتاب الله المنزل. فإن الله أمر من لا يعلم بالرجوع إليهم في جميع الحوادث

“Secara umum ayat ini merupakan pujian buat ahlul ‘ilmi (ulama), dan jenis yang paling tinggi darinya adalah ilmu terhadap Kitabullah. Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang yang tidak tahu agar merujuk kepada mereka (para ulama) dalam semua peristiwa.” (Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisir Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Manan, Hal. 441. Mu’asasah Ar Risalah)

Juga dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersada: “Jika lenyapnya amanah maka tunggulah saat kehancurannya.” Abu Hurairah bertanya: “Bagaimanakah lenyapnya amanah ya Rasulullah?” Beliau menjawab:

إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

“Jika urusan disandarkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya (kiamat).” (HR. Bukhari, Bab Man Suila ‘Ilman wa Huwa Musytaghilun fi Haditsihi, No. 59, lihat juga Bab Raf’ul Manah, No. 6131 )

Ini menunjukkan Islam sangat menghormati kaidah ilmu, sebab masing-masing bidang ada ahlinya. Bukan berarti Al Quran menjadi kitab elitis.

Menafsirkan Al Quran Tanpa Ilmu adalah Perbuatan Terlarang

Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja. Menafsirkan Al Quran tanpa ilmu, bukan hanya merusak pemahaman terhadap agama, membawa absurditas, serta membawa kerusakan bagi manusia lantaran Al Quran dijadikan bahan permainan akal manusia dan hawa nafsunya. Melainkan juga pelakunya mendapatkan ancaman dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan tanpa ilmu, maka disediakan baginya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4022, katanya: hasan shahih)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berkata tentang (isi) Al Quran dengan akal pikirannya semata, maka disediakan bagianya tempat duduk di neraka.” (HR. At Tirmidzi No. 4023, katanya: hasan)

Bagaimana maksud hadits yang mulia ini? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah (w. 1353H):

“ومن قال” أي من تكلم “في القرآن” أي في معناه أو قراءته “برأيه” أي من تلقاء نفسه من غير تتبع أقوال الأئمة من أهل اللغة والعربية المطابقة للقواعدالشرعية بل بحسب ما يقتضيه عقله وهو مما يتوقف على النقل بأنه لا مجال للعقل فيه كأسباب النزول والناسخ والمنسوخ وما يتعلق بالقصص والأحكام

“Wa man qaala” yaitu barang siapa yang berbicara, “fil Quran” yaitu tentang makna Al Quran atau bacaannya, “bi Ra’yihi ” yaitu sesuai dengan nafsunya dengan tanpa mengikuti perkataan para imam ahli bahasa dan arab, (tanpa) menyesuaikan dengan kaidah-kaidah syariat. Bahkan akalnya harus mengikuti apa-apa yang disikapi oleh dalil, karena sesungguhnya tidak ada tempat bagi akal di dalamnya, seperti masalah asbabun nuzul, nasikh mansukh, dan hal yang terkait dengan kisah dan hukum.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/278-279)

Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah (w. 774H) dengan tegas mengharamkan tafsir bir ra’yi (tafsir dengan akal/rasio), dengan ucapannya:

فأما تفسير القرآن بمجرد الرأي فحرام

“Ada pun tafsir Al Quran semata-mata dengan ra’yu, maka itu haram.” Lalu beliau menyebutkan hadits-hadits di atas. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/10. Dar Thaibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Menafsirkan Al Quran dengan akal yakni tafsir bir ra’yi tidak selamanya terlarang, selama orang tersebut melakukannya dengan ijtihad yang benar, memahami seluk beluk bahasa Arab dengan baik dan niat yang besih. Dan ini jelas tidak semua orang mampu melakukannya. Insya Allah akan dibahas pada bagiannya nanti.

↪ Kedua. Golongan Terpelajar dan Ulama

Untuk golongan ini, mereka telah menemuh langkah selanjutnya, mereka sudah menapaki jalan yang seharusnya mereka lalui. Pengkajian, penelitian, bahkan tarjih (mengunggulkan satu argumen di antara berbagai argumen). Mereka hendaknya mengkuti Qawaidud Tafsir agar tidak tergelincir.

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah membagi ta’wil menjadi tiga dalam kitab, Lum’ah al I’tiqad, Hal. 19 (saya ringkas saja):

1. Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.

2. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bisa kufur.

3. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, kaena pada hakikatnya kedustaan yang tidak berdasar. (demikian dari Syaikh Ibnu Utsaimin)

#⃣ Lalu, bagaimanakah cara terbaik memahami Al Quran?

Pertanyaan ini telah dijawab oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam kitab tafsirnya secara detil dan memuaskan sepanjang tiga halaman (saya akan kutip secara ringkas), katanya:

“Sesungguhnya metode paling benar dalam menafsirkan Al Quran adalah menafsirkan Al Quran dengan Al Quran, sebab secara global, suatu ayat akan ditafsirkan dalam ayat lainnya. Jika itu menyulitkanmu, maka tafsirkanlah dengan As Sunnah sebab As Sunnah merupakan penjelas dan penerang bagi Al Quran. Bahkan Imam Asy Syafi’i Rahimahullah telah berkata:

كل ما حكم به رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو مما فهمه من القرآن

“Semua hal yang dihukumi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan hasil pemahamannya terhadap Al Quran.”

Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (QS. An Nisa’ (4): 105)

Juga Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al Quran dan sesuatu sepertinya bersamanya.” Yakni As Sunnah.

As Sunnah pun turun kepada Rasulullah dengan wahyu, yang berbeda hanyalah dia tidak dibacakan sebagaimana Al Quran. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i dan imam selainnya dengan dalil yang banyak, namun bukan di sini kita membahasnya.

Jika kita tidak menemukan tafsirnya dalam Al Quran dan As Sunnah, maka kita merujuk kepada para sahabat, karena menyaksikan ketika ayat itu turun dari waktu ke waktu dan berbagai peristiwanya secara khusus. Itulah sebabnya kenapa pemahaman mereka utuh, ilmunya benar, dan amalnya pun shalih, apalagi kalangan pembesar mereka dari empat khulafa ar rasyidin, dan pemimpin mereka yang medapatkan petunjuk, serta Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu. Diriwayatkan dari Masruq, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata: “Demi Allah, tidaklah satu ayat diturunkan melainkan akulah yang paling tahu, tentang siapa ayat tersebut? di mana ayat tersebut turun? Seandainya aku tahu ada orang lain yang lebih tahu dariku, maka aku akan datangi dia.”

Juga, tintanya umat ini, yakni Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, yang disebut sebagai ‘penterjemah Al Quran’ lantaran berkah doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadanya:
“اللهم فقهه في الدين، وعلمه التأويل”

“Ya Allah fahamkanlah dia ilmu agama, dan ajarkanlah dia takwil (Al Quran)”

Jika tidak ditemukan tafsir dari Al Quran, As Sunnah, dan para sahabat, maka kita merujuk kepada tafsir para tabi’in, seperti Mujahid dan Said bin Jubeir, karena mereka berguru kepada para sahabat. Mujahid senantiasa bertanya kepada Ibnu Abbas tentang arti ayat pertama hingga penutup. Sehingga Sufyan Ats Tsauri mengatakan:

إذا جاءك التفسير عن مجاهد فحسبك به

“Jika datang tafsir dari Mujahid maka itu telah mencukupi bagimu.”

Sedangkan jika terjadi perbedaan tafsir dikalangan tabi’in, maka dikembalikan menurut bahasa Al Quran, As Sunnah, umumnya bahasa Arab, atau pendapat sahabat.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/7-10. Dar Ath Thaibah Lin nasyr wat Tauzi’)

Demikian. Wallahu A’lam

(Bersambung … masih wasiat ke-2)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

HUKUM MINUM LANGSUNG DARI BOTOL

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaykum Ustad,
Ada hadist sbb.:
Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Rasulullah melarang minum langsung dari mulut qirbah (wadah air yang terbuat dari kulit) atau wadah air minum yang lainnya.” (HR Bukhari).

Lalu bagaimana hukumnya minum di botol kemasan langsung, apakah terkena hadist diatas?

📬 JAWABAN

💡 Jika tidak ada gelas, dan yakin betul keamanan isinya, terlebih botol tidak berbagi, maka dibolehkan meminum langsung dari botol, dengan tetap memprioritaskan gelas sebagai keutamaan.

📌 Hadits di atas diriwayatkan Imam Bukhari No. 5627, diperkuat No. 5628 dan 5629. Imam Bukhari memberi judul: Minum dari Mulut Wadah Minuman

📌 Imam an-Nawawi berkata, ‘Mereka sepakat bahwa larangan disini berindikasi tanzih bukan tahrim.’ Hal ini bermakna lebih dekat ke boleh daripada diharamkan.

📌 Para ulama menyambungkannya dengan wadah kulit tertutup yang sering dibuat minum menyebabkan ada potensi serangga dan binatang bahkan ular yang berbahaya jika minum langsung. Meminum langsung juga berpotensi bernafas di dalamnya yang membuatnya berubah. Meminum langsung juga berpotensi tersedak atau tumpah ke baju. Berkata Ibn ‘Arabi, ‘Satu saja sebab itu ada sudah cukup untuk menyatakan makruh meminum langsung, apalagi jika semua sebab itu ada.’ Pendapat senada juga datang dari Syaikh Muhammad bin Abu Jamrah.

📌 Menjadi berbeda dengan kemasan botol hari ini yang transparan, dan diminum sendiri.

📌 Terdapat hadits shahih riwayat Tirmidzi, juga dalam Kitab Syamāil, Musnad Ahmad, Al-Ma’āni, dan ath-Thabrani yang menjelaskan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad ﷺ juga meminum dari wadah langsung. Sehingga tentunya jika dipadukan akan kita peroleh hikmahnya.

💦 Tahrim dan Tanzih dikembalikan kepada status wadah minuman.

Wallāhu ‘alam,
Wido Supraha

📚 Rujukan: Fath al-Bāri

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

SETIAP MUSLIM BERSAUDARA, BERDAMAILAH

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Sesungguhnya orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al Hujurat [49]:10)

Tinjauan Bahasa

إِخْوَةٌ

Bersaudara

فَأَصْلِحُوا

damaikanlah (perbaikilah hubungan)

Kandungan Ayat

Ayat ini memiliki korelasi dengan ayat sebelumnya, yaitu saat dua golongan kaum muslimin berselisih pendapat bahkan terbawa dalam peperangan seperti kisah dalam perang Shiffin dan Perang Jamal. Al Qurthubi dalam Tafsirnya menyebutkan bahwa Ahlul Bagy (Pihak yang melawan pemerintahan yang sah) mereka masih sama-sama beriman kepada Allah. Buktinya adalah Allah masih menyebut mereka sebagai ikhwatan mukminin (saudara seiman) meski mereka membelot Al Harits bin Al A’war berkata,” Ali bin Abi Thalib menceritakan, saat ditanya apakah Ahlul Baghy musyrik? Ali bin Abi Thalib menjawa,” Tidak”. Mereka bertanya kembali,” Apakah mereka munafiq?’. Ali bin Abi Thalib menjawab,”Tidak, karena kaum munafik tidak mengingat dan menyebut nama Allah melainkan hanya sedikit. Mereka bertanya kembali,” Lalu bagaimana keadaan mereka?”. Lalu Ali bin Abi Thalib menjawab:[1]

إخواننا بغوا علينا.

Mereka adalah saudara kami yang membelot dari kami

Seorang muslim itu bersaudara, dalam agama dan kehormatan, bukan hanya dalam nasab. Karena ikatan persaudaraan secara agama lebih kokoh dibanding ikatan persaudaraan karena nasab. Buktinya, ikatan persaudaraan karena nasab bisa terputus karena murtad (keluar) dari agama Islam, sehingga tidak memiliki hak-hak semestinya dalam agama, misal, hak waris. Salah satu yang menyebabkan terputusnya hak waris adalah jika ahli waris berbeda agama dengan si mayit.

Syekh Wahbah Zuhaili mengungkapkan bahwa setiap muslim harus mewaspadai terjadinya sengketa yang terjadi antara dua orang muslim. Karena akibat sengketa tersebut bisa meluas sehingga menyebar menjadi perselisihan dua golongan besar dari kaum muslimin. Dan persaudaraan yang sebenarnya adalah persaudaraan dua orang mukmin.

كلمة إِنَّمَا للحصر تفيد أنه لا أخوة إلا بين المؤمنين، ولا أخوة بين المؤمن والكافر، لأن الإسلام هو الرباط الجامع بين أتباعه، وتفيد أيضا أن أمر الإصلاح ووجوبه إنما هو عند وجود الأخوة في الإسلام، لا بين الكفار

Kalimat “Innama” fungsinya sebagai pembatas ( lil hashr) maksudnya adalah tiada persaudaraan kecuali antara sesama mukmin. Tidak ada persaudaraan antara mukmin dan kafir. Karena Islam merupakan pemersatu diantara pengikutnya. Ayat ini juga memiliki maksud bahwa wajibnya perdamaian (islah) jika terdapat persaudaraan seagama islam, bukan dengan orang kafir.[2]

Hadits-Hadits Tentang Persaudaraan Muslim

  1. Sesama muslim ibarat satu tubuh

 

عَن النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوادِّهم وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَوَاصُلِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بالحُمَّى والسَّهَر

“Dari Nu’man bin Basyir berkata,” Telah bersabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,” Perumpamaan mukmin dalam berkasih sayang dan interaksinya, seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan dengan panas dan terjaga.”(HR. Bukhari No. 6011, Muslim No. 2586)

  1. Dilarang berbuat zalim dan membiarkan saudara

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ سَالِمًا أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَخْبَرَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «المُسْلِمُ أَخُو المُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً، فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair, telah bercerita kepada kami Al Laits dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab bahwasanya Salim mengabarkan kepadanya, bahwasanya Abdullah bin Umar Radhiyallahuanhuma mengabarkannya,” bahwasanya Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam bersabda,” Seorang muslim adalah bersaudara, tidak boleh berbuat zalim, dan tidak boleh membiarkannya (cuek). Barangsiapa yang menolong keperluan saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya, barangsiapa yang menolong kesulitan saudaranya maka Allah akan menolong kesulitannya pada hari kiamat, barang siapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.”[3] ( HR. Bukhari)

  1. Allah akan menolong hamba, selama ia menolong saudaranya

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

Allah akan menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya ( HR. Muslim, No. 2699)

  1. Doa saudara Muslim terkabul

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال: قال رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم “إِذَا دَعَا الْمُسْلِمُ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ الْمَلَكُ: آمِينَ، وَلَكَ بِمِثْلِهِ

Dari Abu Darda berkata,”Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda,”Jika seorang muslim mendoakan saudaranya diam-diam, malaikat berkata,”Amiin” bagimu demikian”. (HR. Muslim No. 2732)

  1. Tidak boleh merendahkan dan meremehkan

اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ اَلتَّقْوَى هَهُنَا يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ : بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh tidak menzaliminya, merendahkannya dan tidak pula meremehkannya. Taqwa adalah di sini. – Beliau menunjuk dadanya tiga kali-. (kemudian beliau bersabda),”Cukuplah seseorang dikatakan buruk bila meremehkan saudaranya sesama muslim. Seorang Muslim terhadap Muslim lain; haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. [HR. Muslim No.2564 dari Hadits Abu Hurairah)

  1. Larangan tidak bertegur sapa melebihi tiga hari

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ، عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ»

“Telah berkata bercerita kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata,” Aku membaca atas Malik dari Ibnu Syihab dari Atha bin Yazid Al Laitsi dari Abu Ayub Al Anshari, bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tidak dihalalkan bagi seorang muslim berpaling dari saudaranya melebihi tiga hari, mereka bertemu namun saling menghindari, yang paling baik diantara mereka adalah yang terdahulu memulai salam.” (HR. Muslim No. 2650)

  1. Sesama muslim saling menguatkan

اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Seorang mukmin bagi mukmin lainnya laksana bangunan, satu sama lain saling menguatkan. [Muttafaq ‘Alaihi].

Menurut As Sa’di persaudaraan sesama muslim tidaklah terpisah dengan batas-batas wilayah, artinya dimanapun muslim berada, selama beriman kepada Allah, para rasul, Malaikat, Kitab-kitab, hari akhir dan takdir maka mereka adalah saudara seiman yang memiliki ukhuwah imaniyah.[4]

Sayid Qutub mengatakan,”

ومما يترتب على هذه الأخوة أن يكون الحب والسلام والتعاون والوحدة هي الأصل في الجماعة المسلمة

Sudah semestinya ukhuwah menjadi landasan bagi Jamaah kaum muslimin dengan pondasinya cinta, salam (damai), kerjasama, dan persatuan.[5]

فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu

Kewajiban mendamaikan saudara seiman yang bertikai hendaklah dengan prinsip-prinsip keadilan, agar tujuan utama perdamaian tercapai.[6]

Kesimpulan

  1. Setiap muslim adalah bersaudara yaitu ikatan persaudaraan Islam merupakan ikatan akidah, lebih kokoh dari sekedar ikatan nasab, karena ikatan nasab bisa terputus jika berubah agamanya.
  2. Setiap muslim memiliki hak-hak dan keutamaan, ibarat satu tubuh yang memiliki peran dan kesatuan gerak.
  3. Hendaklah mendamaikan saudara muslim yang bertikai dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip keadilan.

والله أعلم

🖊 Fauzan Sugiono


[1] Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an, ( Kairo: Dar Al Kutub Al Ilmiyah, 1384H) j. 16 h. 324

[2] Wahbah Az Zuhaily, Tafsir Al Munir, (Damaskus: Dar Al Fikr, 1418H), J. 26 h. 239

[3] Imam Al Bukhari Shahih al Bukhari, ( Dar Tuq An Najah, 1422H) j. 3 h. 128 No. 2442, Sahih Muslim No. 2580

[4] Abdurrahman Nashir As Sa’di, Taisir al Karim Ar Rahman Fi Tafsir Kalam Al Mannan, (Muasasah Ar Risalah, 1420H) j 1. H. 800

[5] Sayid Qutub, Fi Zilalil Qur’an, ( Beirut: Dar As Syuruq, 1412H) J. 6 h. 3343

[6] Ibnu Asyur, At Tahrir wa Tanwir, (Tunis, Dar Tunis Lin Nasyr, 1984) J. 26 h. 246

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

scroll to top