Akhlak Luhur Ulama Salaf Terhadap Perbedaan Pendapat Yang Mereka Alami

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Tema ini sering kami angkat bahkan sangat sering, baik lisan dan tulisan

📌 Karena kata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya,   “Laa yazaal al khulfu bainan naas fi adyaanihim …” ( Tafsir Ibnu Katsir, 4/361), artinya manusia senantiasa berselisih pada urusan agama mereka ..

📌 Oleh karena itu kami tidak bosan dan tidak boleh lelah mengingatkan manusia tentang hal ini

📌 Banyak manusia semangat dalam mempelajari fiqih atau menanyakan fiqih, tapi lupa adab-adab dalam berfiqih. Fiqihnya ulama salaf itu penting, tapi mempelajari bagaimana adab mereka lebih penting

📌 Maka, kita dapati para salaf lebih mendahulukan belajar adab dibanding fiqih

📌 Kaku, keras, galak, bengis, dan memonopoli kebenaran, adalah potensi yang mungkin terjadi jika hanya belajar fiqih – apalagi jika hanya dari satu model pemikiran tanpa open mind terhadap yang lain – tanpa mempelajari adab dan penerapan fiqihnya di masyarakat

📌 Kadang sikap memaksakan kehendak juga dilakukan oleh oknum ustadz, sehingga muridnya pun mengikutinya. Hampir-hampir dia terjatuh pada sikap Iblis, “Ana khairu minhu – Aku lebih baik darinya.”

📌 Akhirnya, yang terjadi adalah fitnah dan keributan, bahkan khawatir sampai taraf “lakum diinukum waliyadin” terhadap saudaranya yang berbeda pendapat dengannya

📌 Sebagian orang ada yg standar ukhuwah Islamiyahnya dilihat dari kesamaan fiqih, sikap al Wala’ wal Bara’ dilihat dari kesamaan fiqih, menyikapi manhaj dilihat dari kesamaan fiqih ..

📌 Jika sama fiqihnya maka menjadi saudara, boleh menjadi ber-tawalli (dijadikan loyalitas), dan semanhaj … jelas ini salah faham dan salah penerapan

Berikut ini, akan kami tampilkan bagaimana mulianya para salafush shalih, terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka .. semoga kita semua bisa ambil pelajaran.

Selamat menikmati!

1⃣ Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menceritakan:

فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله
عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن
أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين

Diriwayatkan oleh  Imam Abu Daud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu shalat di Mina 4 rakaat.

Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengingkarinya seraya berkata:

“Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau:

“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in.

( As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)

2⃣ Imam Al Qasim bin Muhammad Rahimahullah

Beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi’in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu.

Beliau ditanya oleh seseorang:

سألت القاسم بن محمد عن القراءة خلف الإمام فيما لم يجهر فيه, فقال: إن قرأت فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة، وإذا لم تقرأ فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة

Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya.

Beliau menjawab: “Jika kamu membacanya maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

3⃣ Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”

(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Tentang merutinkan Qunut Subuh, Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.”

(Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

4⃣ Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan Rahimahullah

Beliau berkata:

ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه

Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

5⃣ Imam Asy Syafi’i Rahimahullah

Imam Asy Syafi’i (juga Imam Malik) berpendapat sunnahnya Qunut Subuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada Qunut Subuh.

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ

“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Perbuatannya itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.”

( Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

Imam Adz Dzahabiy Rahimahullah menceritakan:

قال يونس الصدفي: ما رأيت أعقل من الشافعي، ناظرته يوما في مسألة، ثم افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثم قال: يا أبا موسى، ألا يستقيم أن نكون إخوانا وإن لم نتفق في مسألة

قُلْتُ: هَذَا يَدُلُّ عَلَى كَمَالِ عَقْلِ هَذَا الإِمَامِ وَفقهِ نَفْسِهِ فَمَا زَالَ النُّظَرَاءُ يَخْتَلِفُوْنَ

Yunus Ash Shadafiy berkata: “Aku belum pernah melihat orang yang paling cerdas dibandingkan Asy Syafi’iy.

Suatu hari aku pernah berdebat dengannya dalam sebuah masalah kemudian kami berpisah. Lalu, Beliau menjumpaiku dan memegang tanganku dan berkata: ‘Wahai Abu Musa, kita tetap erat bersaudara walau kita tidak sepakat dalam suatu permasalahan.”

Aku (Adz Dzahabiy) berkata: “Ini menunjukkan kesempurnaan akal dan taufiq pada diri imam ini, sebab biasanya orang berdebat itu senantiasa berselisih.”

📚 Siyar A’lamin Nubala, 10/16

6⃣ Imam Ahmad bin Hambal  Rahimahullah

Beliau mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.

( Al Mughni, 2/87,  Syarhul Kabir, 1/802)

Tentang Qunut Subuh,  diceritakan tentang Imam Ahmad Rahimahullah :

فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض

“Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah.

Namun Beliau mengatakan:

“Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”

(Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sebenarnya masih banyak lagi. Tapi, contoh-contoh sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.

Mampukah kita meneladaninya?

Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌻🌴🌺☘🌷

Farid Nu’man Hasan

Syarah 10 Wasiat Imam Hasan Al Banna (Bag. 1)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Wasiat 1:

قم الى الصلاة متى سمعت النداء مهما تكن الظروف

Tegakkanlah shalat saat kau mendengarkan panggilannya apa pun keadaannya

☘☘☘☘☘☘☘

Wasiat (nasihat) ini begitu penting, apalagi Islam menempatkan shalat sebagai rukun Islam yang kedua setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Hendaknya seseorang memperhatikan kondisi kejiwaannya terhadap shalat; apakah mencintainya atau membencinya, sigap memenuhi panggilannya atau menunda-nundanya. Semua ini menunjukkan baik tidaknya kadar iman seseorang.

Wasiat ini begitu penting, sebab shalat di awal waktu adalah perbuatan yang paling dicintai Allah ﷻ . Hal ini jelas tertera dalam hadits berikut:

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, Beliau berkata:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ ? أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ

Aku bertanya kepada Nabi ﷺ: “Amal apakah yang paling Allah cintai?”

Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya.”
Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu apa lagi?”
Beliau bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua.”
Ibnu Mas’ud berkata: “Lalu apa lagi?”
Beliau bersabda: “Jihad fisabilillah.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Wasiat ini begitu penting, sebab menunda-nunda shalat tanpa alasan syar’i, merupakan SALAH SATU  makna SAHUN (melalaikan) shalat yang tertera dalam ayat:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai (sahun) dari shalatnya. (QS. Al Ma’un: 4-5)

Mush’ab bin Sa’ad berkata:

قلت لأبي، أرأيت قول الله عزّ وجلّ 🙁 الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ ) : أهي تركها؟ قال: لا ولكن تأخيرها عن وقتها.

“Aku bertanya kepada ayahku, apakah maksud ayat ini   meninggalkan shalat?” Beliau menjawab: “Tidak, tetapi ini adalah  mengakhirkan shalat dari waktunya.” (Tafsir Ath Thabari,  24/630)

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, berkata:
الذين يؤخِّرونها عن وقتها

Yaitu orang-orang yang mengakhirkan waktunya. (Ibid, 24/631)

Syariat memberikan keringanan pada keadaan tertentu kita boleh menunda shalat, seperti safar, sakit, rasa takut kepada musuh, bencana alam, cuaca dingin/panas ekstrim, hujan, kesibukan yang berbahaya jika ditinggalkan (seperti dokter ketika membedah, penjaga pintu kereta, penjaga yang sedang melindungi banyak orang, dan semisalnya), dan berbagai kesulitan (masyaqqat) apa pun yang membolehkan jamak shalat. Bahkan Imam As Suyuthi mengatakan ada 40 ‘udzur seseorang dapat menta’khirkan shalatnya.

Lalu, bagaimana menta’khir (menunda) shalat Isya? Bukankah disunahkan untuk mengakhirkannya?

Dianjurkan mengakhirkan shalat Isya hingga hampir setengah malam, dan ini menjadi kekhususan bagi Isya saja. Hal ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun tidak selalu dia lakukan khawatir memberatkan umatnya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى ثُمَّ قَالَ قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوا أَمَا إِنَّكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوهَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengakhirkan shalat Isya sampai tengah malam, lalu dia shalat, kemudian bersabda: “Manusia telah shalat dan tertidur, ada pun sesungguhnya kalian tetap dinilai dalam keadaan shalat selama kalian masih  menunggu waktunya.”
(HR. Al Bukhari No. 572)

Dalam hadits lain:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي

Dari ‘Aisyah, dia berkata: Pada suatu malam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammengakhirkan shalat Isya sampai hilang sebagian besar malam, dan sampai para jamaah yang di masjid tertidur, lalu Beliau keluar lalu shalat, lalu bersabda: “Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya, seandainya tidak memberatkan umatku.” (HR. Muslim No. 638)

Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وكلها تدل على استحباب التأخير وأفضليته، وأن النبي صلى الله عليه وسلم ترك المواظبة عليه لما فيه من المشقة على المصلين، وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يلاحظ أحوال المؤتمين، فأحيانا يعجل وأحيانا يؤخر.

Semua hadits ini menunjukkan sunah  dan keutamaan mengakhirkan shalat isya. Walau pun demikian nabi tidak melakukannya terus menerus, khawatir memberatkan umatnya. NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu memperhatikan kondisi kaum mu’minin, maka kadangkala dia menyegerakan, kadangkala dia mengakhirkan.”  (Fiqhus Sunnah, 1/103)

Imam An Nawawi Rahimahullah
berkata:

وَقَوْله فِي رِوَايَة عَائِشَة : ( ذَهَبَ عَامَّة اللَّيْل ) أَيْ كَثِير مِنْهُ ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَكْثَره ، وَلَا بُدّ مِنْ هَذَا التَّأْوِيل لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّهُ لَوَقْتُهَا ، وَلَا يَجُوز أَنْ يَكُون الْمُرَاد بِهَذَا الْقَوْل مَا بَعْد نِصْف اللَّيْل ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقُلْ أَحَد مِنْ الْعُلَمَاء : إِنَّ تَأْخِيرهَا إِلَى مَا بَعْد نِصْف اللَّيْل أَفْضَل . قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقّ عَلَى أُمَّتِي ) مَعْنَاهُ : إِنَّهُ لَوَقْتُهَا الْمُخْتَار أَوْ الْأَفْضَل فَفِيهِ تَفْضِيل تَأْخِيرهَا ، وَأَنَّ الْغَالِب كَانَ تَقْدِيمهَا ، وَإِنَّمَا قَدَّمَهَا لِلْمَشَقَّةِ فِي تَأْخِيرهَا

Hadits riwayat ‘Aisyah ini: (hilang sebagian besar malam) yaitu kebanyakan dari waktu malam, namun bukan berarti sebagian besarnya, dan harus mengartikannya demikian karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya.” Tidak boleh mengartikan ucapan beliau bahwa waktu yang dimaksud adalah setelah tengah malam, dan tidak ada satu pun ulama yang mengatakan demikian; yakni mengakhirkan shalat Isya setelah tengah malam adalah lebih utama.

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: (“Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya, seandainya tidak memberatkan umatku.”) maknanya adalah bahwa itu adalah waktu yang diunggulkan atau paling utama, maka di dalamnya ada keutamaan mengakhirkannya. Sesungguhnya kebiasaannya adalah menyegerakannya, hal itu hanyalah karena adanya kesulitan dalam mengakhirkannya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/138)

Hanya saja di zaman ini, jika kita mengambil sunnah ta’khir isya, maka kita akan kehilangan sunnah lain yaitu berjamaah di masjid. Sebab, jam-jam menjelang tengah malam  biasanya sudah tidak ada orang di masjid, atau masjid sudah ditutup, kecuali Masjidul Haram dan Masjid Nabawi, yang biasanya manusia ramai 24 jam. Padahal shalat Isya berjamaah bersama manusia di masjid, dinilai seperti shalat setengah malam.

Dari ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu, “ Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

من صلى العشاء في جماعة فكأنما قام نصف الليل ومن صلى الصبح في جماعة فكأنما صلى الليل كله

Barang siapa yang shalat Isya berjamaah maka seolah dia shalat setengah malam, dan barang siapa yang shalat subuh berjamaah maka seolah dia shalat sepanjang malam. (HR. Muslim No. 656)

Wallahu A’lam

🌺🌻🍃🌱🌴☘🌾🌿🌸
✍ Farid Nu’man Hasan

Batas Maksimal Masa Nifas

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Assalamu’alaikum ustadz.. saya yuli dari sambas. Mau tanya ni ustad, klo wanita yg nifas itu apakah mesti 40 hari ataw kah boleh lebih dari itu?? Klo boleh lebih dari 40 hari klo flek2 yg keluar mash tergolong darah nifas?? Terima kasih pak. Semoga berkenan menjawab ny. 🙂 (081350091xxx)

📌 Jawaban:

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah, wa ba’d:
Untuk batasan minimal nifas, tidak ada ketentuannya. Para ulama menegaskan:

ذهب جمهور الفقهاء إلى أنه لا حد لأدنى النفاس ، ففي أي وقت رأت الطهر اغتسلت وصلت

Mayoritas ahli fiqih mengatakan tidak ada batasan terpendek tentang nifas, maka di waktu kapan pun dia melihat darahnya terhenti maka hendaknya dia manda dan shalat. [1]

Jadi,  jika baru 1, 2, 3, 7, 10 hari sudah berhenti keluar darahnya, maka selesailah nifasnya, dan selesai pula hukum-hukum nifas baginya.

Adapun batasan maksimal nifas, ada dua pendapat.

1⃣ Pertama. Empat Puluh hari.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وأما أكثره فأربعون يوما

لحديث أم سلمة رضي الله عنها قالت: (كانت النفساء تجلس على عهد رسول الله صلى الله

عليه وسلم أربعين يوما)

رواه الخمسة إلا النسائي وقال الترمذي – بعد هذا الحديث -: قد أجمع أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعين ومن بعدهم، على أن النفساء تدع الصلاة أربعين يوما، إلا أن ترى

الطهر قبل ذلك، فإنها تغتسل وتصلي، فإن رأت الدم بعد الاربعين، فإن أكثر أهل العلم قالوا: لا تدع الصلاة بعد الاربعين

Ada pun paling lama adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha: “Pada masa Rasulullah ﷺi, kaum wanita yang nifas duduk-duduk saja selama 40 har.i” (HR. Al Khamsah kecuali An Nasa’i).

Berkata Imam At Tirmidzi-stelah menyebutkan hadits ini:

“Telah ijma’/sepakat para ulama sejak masa sahabat, tabi’in, dan setelahnya, bahwa wanita yg nifas mereka meninggalkan shalat selama 40 hr kecuali jika mereka mendapatkan suci sebelum itu maka hendaknya dia mandi dan shalat. Jika dia melihat ada darah lagi setelah 40 hari, maka mayoritas ulama mengatakan: jangan tinggalkan shalat setelah 40 hari.[2]

Tertulis dalam Al mausu’ah:

ذهب جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة – وهو مقابل المشهور عند المالكية – إلى أنأقصى مدة النفاس أربعون يوما ، وهو غالب مدة النفاس عند الشافعية ، وقال أبو عيسى الترمذي : أجمع أهل العلم من أصحاب النبي – صلى الله عليه وسلم – ومن بعدهم على أن النفساء تدع الصلاة أربعين يوما ، إلا أن ترى الطهر قبل ذلك فتغتسل وتصلي ، وقال أبو عبيد : وعلى هذا جماعة الناس وروي هذا عن عمر ، وابن عباس ، وعثمان بن أبي العاص ، وعائذ بن عمرو ، وأنس ، وأم سلمة ، وبه قال الثوري ، وإسحاق ؛ لما روي عن أم سلمة قالت : ” كانت النفساء تجلس على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعين يوما ” . وما روي عن أم سلمة أنها سألت النبي صلى الله عليه وسلم : كم تجلس المرأة إذا ولدت ؟ قال : ” تجلس أربعين يوما إلا أن ترى الطهر قبل ذلك ” ، فإن زاد دم النفاس على أربعين يوما فصادف عادة الحيض فهو حيض ، وإن لم يصادف عادة فهو استحاضة

Mayoritas ahli fiqih dari kalangan hanafiyah, Hanabilah (Hambaliyah), -dan ini juga pendapat kebalikan dari yang Masyhur-nya Malikiyah- bahwa paling akhir nifas adalah 40 hari, dan ini merupakan waktu yang umum menurut Syafi’iyah. Abu Isa At Tirmidzi berkata: “Telah ijma’/sepakat para ulama sejak masa sahabat Nabi ﷺ,  dan setelahnya, bahwa wanita yg nifas mereka meninggalkan shalat selama 40 hr kecuali jika mereka mendapatkan suci sebelum itu maka hendaknya dia mandi dan shalat.”  Abu ‘Ubaid berkata: “Segolongan  manusia berpegang atas dasar ini.”

Pendapat ini juga dari Umar, Ibnu Abbas, ‘Utsman bin Abi Al ‘Ash, ‘Aidz bin ‘Amr, Anas, Ummu Salamah, dan ini juga pendapat Ats Tsauri dan Ishaq. Dasarnya adalah dari Ummu Salamah: “Dahulu kaum wanita yang nifas duduk-duduk (santai-santai/istirahat) pada Rasulullah ﷺ  selama 40 hari.” Juga diriwayatkan dari Ummu Salamah, dia bertanya kepada Nabi ﷺ : “Barapa lama kaum wanita istirahat sesudah melahirkan?” Beliau bersabda: “Selama 40 hari, kecuali sudah mendapatkan suci sebelum itu.” Jika darah haid masih ada lewat 40 hari dan kebetulan bersamaan dengan kebiasaan haidnya maka itu haid, jika tidak bersamaan, maka itu istihadhah. [3]

2⃣ Kedua. Enam Puluh Hari

Imam Abu Ishaq Asy Syirazi Rahimahullah berkata:

وأكثر النفاس ستون يوما  وقال المزني أربعون يوما والدليل على ما قلناه ما روي عن الأوزاعي أنه قال عندنا امرأة ترى النفاس شهرين  وعن عطاء والشعبي وعبيد الله بن الحسن العنبري والحجاج بن أرطأة أن النفاس ستون يوما وليس لأقله حد

Nifas paling lama adalah 60 hari. Berkata Al Muzani: 40 hari. Dalil apa yang kami katakan adalah apa yang diriwayatkan dari Al Auza’i, dia berkata: “Wanita-wanita kami nifas selama dua bulan.” Dan, dari ‘Atha, Asy Sya’bi, ‘Ubaidillah bin Al Hasan Al ‘Anbari, Al Hajaj bin Artha’ah, bahwa nifas adalah 60 hari, dan tidak ada batas minimal. [4]

Demikian. Nampak pendapat golongan pertama (40 hari) lebih kuat, berdasarkan riwayat yang lebih shahih dan lebih dekat dengan masa Rasulullah ﷺ , sebagaimana dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha, istri Nabi ﷺ sendiri.

Wallahu a’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan


🌱🌿☘🍀🎍🎋

[1] Fathul Qadir wal Kifayah, 1/166, Bada’i Ash Shana’i, 1/41, Raudhatuth Thalibin, 1/174, Mughni Muhtaj, 1/119, Kasyaf Al Qina’, 1/218-219, Al Mughni, 1/245, 247

[2] Fiqhus Sunnah, 1/185

[3] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 41/7

[4] Al Muhadzdzab, 1/45, Lihat juga Al Mughni, 1/392, Syarhul Kabir, 1/368, Kifayatul Akhyar, Hal. 76

 

 

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (ayat ke-7)

Allah Jadikan Hati Cenderung Kepada Kebaikan dan Benci Kedurhakaan

وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. (QS. Al Hujurat [49]:7)

Tinjauan Bahasa

وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ

Tetapi Allah menjadikanmu cinta pada keimanan

الرَّاشِدُونَ

Orang-orang yang mengikuti jalan lurus

Kandungan Ayat

secara umum ayat ini menyebutkan tentang keberadaan Rasulullah Shalalahu Alaihi wasallam yang terus berdakwah ditengah umat sehingga hidayah dari Allah hadir ditengah-tengah para sahabat. Hidayah itulah yang menenangkan hati, menjadikannya mencitai kebaikan dan amal shalih serta membenci keburukan, kefasikan dan kedurhakaan. Menurut Abdurrahman Nashir As Sa’di dalam tafsirnya maksud dari ayat diatas adalah:

ليكن لديكم معلومًا أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، بين أظهركم، وهو الرسول الكريم، البار، الراشد، الذي يريد بكم الخير وينصح لكم، وتريدون لأنفسكم من الشر والمضرة، ما لا يوافقكم الرسول عليه، ولو يطيعكم في كثير من الأمر لشق عليكم وأعنتكم، ولكن الرسول يرشدكم، والله تعالى يحبب إليكم الإيمان، ويزينه في قلوبكم، بما أودع الله في قلوبكم من محبة الحق وإيثاره، وبما ينصب على الحق من الشواهد، والأدلة الدالة على صحته، وقبول القلوب والفطر له، وبما يفعله تعالى بكم، من توفيقه للإنابة إليه، ويكره إليكم الكفر والفسوق، أي: الذنوب الكبار، والعصيان: هي ما دون ذلك من الذنوب بما أودع في قلوبكم من كراهة الشر، وعدم إرادة فعله، وبما نصبه من الأدلة والشواهد على فساده، وعدم قبول الفطر له، وبما يجعله الله من الكراهة في القلوب له

“Kalian sudah mengetahui bahwa Rasulullah ada dikalangan kalian, Beliau Rasulullah yang mulia. baik budi pekerti, memberi petunjuk, tak menginginkan lain, kecuali kebaikan dan menasehati kalian, namun kalian menginginkan keburukan dan membahayakannya, sedang Rasul tak menyetujui. Seandainya Rasul menuruti banyak keinginan kalian, kalian akan mendapat kesusahan. Akan tetapi Rasulullah memberi arahan petunjuk, dan Allah menjadikanmu cinta pada keimanan, danmenghiasinya didalam hati kalian, cinta akan kebaikan dan mendahulukan kebaikan, menegakkan kebaikan dengan perangkat serta dalilnya yang diterima oleh fitrah hati yang bersih, dan apa yang telah Allah berikan kepada kalian, dari taufiq dan kecenderungan kembali kepada-Nya. Kalian tidak menyukai kekafiran dan fasik. Yaitu dosa-dosa besar. Dan maksiat adalah selain dosa besar, Allah meletakkan ketidaksukaan kalian kepada keburukan, tiada keinginan untuk melakukannya, dengan pertimbangan petunjuk dan kerusakan akibat perbuatan maksiat itu, fitrah hati yang enggan menerimanya dan Allah yang menjadikan hati tersebut tidak menyukai keburukan”.[1]

 {وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ}

Tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu

أَيْ: حَبَّبَهُ إِلَى نُفُوسِكُمْ وَحَسَّنَهُ فِي قُلُوبِ

Yaitu menjadikan jiwamu mencintai kebaikan dan menjadikannya kebaikan itu indah didalam hatimu”. ( Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al Azim, 7/327)

Imam Ahmad menyebutkan hadits terkait ayat ini:

حَدَّثَنَا بَهْز، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَسْعَدة، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: “الْإِسْلَامُ عَلَانِيَةً، وَالْإِيمَانُ فِي الْقَلْبِ” قَالَ: ثُمَّ يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ يَقُولُ: “التَّقْوَى هَاهُنَا، التَّقْوَى هَاهُنَا”

Telah menceritakan kepada kami, Bahz, telah menceritakan kepada kami Ali bin Ma’adah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas, ia berkata,”Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda,” Islam terlihat nyata, sedangkan iman tersembunyi dalam hati, kemudian beliau memberi isyarat dengan tangannya ke dada sebanyak tiga kali, kemudian beliau bersabda,” Takwa ada di sini, takwa ada di sini”. ( HR. Ahmad, 3/134)

إن الإيمان الكامل إقرار باللسان، وتصديق بالجنان وعمل بالأركان، فكراهة الكفر فى مقابلة محبة الإيمان، وتزيينه فى القلوب هو التصديق بالجنان، والفسوق وهو الكذب فى مقابلة الإقرار باللسان، والعصيان فى مقابلة العمل بالأركان

“Adapun iman yang sempurna merupakan iqrar (ucapan) lisan, tashdiq (pembenaran) dalam hati dan amal dalam perbuatan, benci kepada kekafiran merupakan lawan dari cinta keimanan, Allah menghiasi keimanan dalam hati yaitu pembenaran dalam hati manusia, dan fasiq adalah dusta yang merupakan lawan dari ucapan lisan, sedangkan ma’siat merupakan lawan dari amal perbuatan. (Tafsir Al Maraghi, 26/128)

Hikmah dan Kesimpulan

  • Iman yang sempurna terdiri dari tiga unsur: ucapan, hati dan perbuatan
  • Iman yang sempurna akan membeci tiga hal: kekafiran, fasik dan kemaksiatan
  • Ar Rasyidun adalah orang-orang yang senantiasa berada dalam kebenaran, istiqamah di dalamnya dan membelanya dengan segenap jiwa dan raganya.

Wallahu a’lam

🖊 Fauzan Sugiono


[1] Abdurrahman Nasir As Sa’di, Taisir al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Mannan, Muassasah Ar Risalah, 1420 H, j.1 h. 800

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

scroll to top