Batalkah Wudhu Jika Bersentuhan Dengan Non Muslim?

▪▫▪▫▪▫▪▫

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum, tadz batalkah wudhu apabila bersalaman dengan orang kafir atau musyrik? (085252143xxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:Batal atau tidaknya wudhu kita setelah bersalaman dengan orang kafir dan musyrik diperselisihkan ulama, tergantung status tubuh mereka, najis atau suci?

Menurut sebagian salaf, seperti Abbdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma dan Imam Al Hasan Al Bashri, juga sebagian kalangan Zhahiriyah, tubuh mereka adalah najis.

Abdullah bin ‘Abbas berpendapat bahwa sesuai zahir ayat: innamal musyrikun najasun – (sesungguhnya orang musyrik itu najis), maka tubuh orang musyrik itu najis sebagaimana najisnya babi dan anjing. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Al Hasan Al Bashri, katanya: “Barang siapa yang bersalaman dengan mereka maka hendaknya berwudhu lagi.” (Lihat Tafsir Ayat Al Ahkam, 1/282)

Ini juga menjadi pendapat kaum zhahiriyah. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

وذهب بعض الظاهرية إلى نجاسة أبدانهم

Dan sebagian Zhahiriyah menajiskan badan mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/131)

Pihak yang mengatakan suci menyatakan bahwa tak ada keterangan yang menyebutkan bahwa tubuh kaum non muslim adalah najis, maka tubuh mereka adalah suci sebagaimana sucinya tubuh kaum muslimin. Telah menjadi ijma’ –sebagaimana dikatakan Imam An Nawawi, bahwa tubuh mereka adalah suci, yang najis adalah aqidah mereka yang musyrik, bukan tubuhnya.

Sedangkan tentang ayat yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang muysrik itu najis.” Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

بِأَنَّ الْمُرَادَ أَنَّهُمْ نَجَسٌ فِي الِاعْتِقَادِ وَالِاسْتِقْذَارِ وَحُجَّتهمْ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ نِكَاح نِسَاء أَهْلِ الْكِتَابِ

“Sesungguhnya maksud bahwa mereka najis adalah najis pada aqidahnya dan kotor. Hujjah mereka (mayoritas ulama) adalah sesungguhnya Allah Ta’ala membolehkan menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). “ (Fathul Bari, 1/390)

Jadi, sederhanya, bagaimana mungkin syariat membolehkan menikahi wanita mereka (Ahli Kitab), namun di sisi lain menajiskan tubuh mereka?

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَذَكَرَ الْبُخَارِيّ فِي صَحِيحه عَنْ اِبْن عَبَّاس تَعْلِيقًا : الْمُسْلِم لَا يَنْجُس حَيًّا وَلَا مَيِّتًا . هَذَا حُكْم الْمُسْلِم . وَأَمَّا الْكَافِر فَحُكْمه فِي الطَّهَارَة وَالنَّجَاسَة حُكْم الْمُسْلِم هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْجَمَاهِير مِنْ السَّلَف وَالْخَلَف . وَأَمَّا قَوْل اللَّه عَزَّ وَجَلَّ : { إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَس } فَالْمُرَاد نَجَاسَة الِاعْتِقَاد وَالِاسْتِقْذَار ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَنَّ أَعْضَاءَهُمْ نَجِسَة كَنَجَاسَةِ الْبَوْل وَالْغَائِط وَنَحْوهمَا . فَإِذَا ثَبَتَتْ طَهَارَة الْآدَمِيّ مُسْلِمًا كَانَ أَوْ كَافِرًا ، فَعِرْقه وَلُعَابه وَدَمْعه طَاهِرَات سَوَاء كَانَ مُحْدِثًا أَوْ جُنُبًا أَوْ حَائِضًا أَوْ نُفَسَاء ، وَهَذَا كُلّه بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ كَمَا قَدَّمْته فِي بَاب الْحَيْض

“Imam Bukhari menyebutkan dalam Shahihnya, dari Ibnu Abbas secara mu’alaq (tidak disebut sanadnya): Seorang muslim tidaklah najis baik hidup dan matinya. Ini adalah hukum untuk seorang muslim. Ada pun orang kafir maka hukum dalam masalah suci dan najisnya adalah sama dengan hukum seorang muslim (yakni suci). Ini adalah madzhab kami dan mayoritas salaf dan khalaf. Ada pun ayat (Sesungguhnya orang musyrik itu najis) maka maksudnya adalah najisnya aqidah yang kotor, bukan maksudnya anggota badannya najis seperti najisnya kencing, kotorannya , dan semisalnya. Jika sudah pasti kesucian manusia baik dia muslim atau kafir, maka keringat, ludah, darah, semuanya suci, sama saja apakah dia sedang berhadats, atau junub, atau haid, atau nifas. Semua ini adalah ijma’ kaum muslimin sebagaimana yang telah lalu saya jelaskan dalam Bab Haid.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/87. Mawqi’ Ruh Al Islam) selesai

Untuk kaum musyrikin, sebenarnya tidak ada ijma’ dalam sucinya tubuh mereka sebagaimana klaim Imam An Nawawi. Dan, sudah kami sebutkan pendapat Abdullah bin Abbas dan Hasan Al Bashri tentang najisnya mereka.

Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

فالجمهور على أنه ليس بنجس البدن والذات؛ لأن الله تعالى أحل طعام أهل الكتاب

Maka, menurut jumhur (mayoritas) bukanlah najis badan dan zatnya, karena Allah Ta’ala menghalalkan makanan Ahli Kitab. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/131)

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur bahwa mereka adalah suci, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ayat Al Ahkam berikut ini:

الترجيح : الصحيح رأي الجمهور لأن المسلم له أن يتعامل معهم ، وقد كان عليه السلام يشرب من أواني المشركين ، ويصافح غير المسلمين والله أعلم

Tarjih: yang shahih adalah pendapat jumhur (mayoritas) karena seorang muslim berinteraksi dengan mereka, dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam minum dari wadah kaum musyrikin, dan bersalaman dengan non muslim. Wallahu A’lam (Ibid)

Alasan lain yang menguatkannya, karena dahulu Jubair bin Muth’im –ketika masih musyrik- pernah bermalam di masjid, bahkan mendengarkan pembacaan Al Quran. (Imam Asy Syafi’i, Al Umm, 1/54). Ini jelas menunjukkan kesuciannya, sebab jika mereka najis tentu mereka tidak akan diterima kehadirannya di masjid.

Berikut dikatakan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:

قال ابن إسحاق: وفد على رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وفدُ نصارى نجران بالمدينة، فحدَّثنى محمد بن جعفر بن الزبير، قال: لما قدم وفد نجرانَ على رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دخلُوا عليه مسجدَه بعد صلاة العصر، فحانت صلاتُهم، فقاموا يُصَلُّون فى مسجده، فأراد الناسُ منعهم، فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “دَعُوهُم” فاسْتَقْبَلُوا المَشْرِقَ، فَصَلَّوا صَلاَتَهُمْ

Berkata Ibnu Ishaq: Di Madinah, datang delegasi Nasrani Najran kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Ja’far bin Az Zubeir, katanya: ketika ketika delegasi Najran datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka masuk ke dalam masjid setelah shalat ashar, ketika datang waktu ibadah mereka, mereka bangun untuk mendirikan ibadah mereka di masjid nabi, maka manusia mencegahnya, lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Biarkan mereka.” Lalu mereka menghadap ke Timur, dan melaksanakan ibadah mereka. (Zaadul Ma’ad, 3/629. Cet. 27, 1994M-1415H. Muasasah Ar Risalah, Beirut)

Kisah ini menunjukkan tubuh orang kafir tidak najis, sebab jika mereka najis tentu mereka dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk masuk ke masjid, sebab masjid harus bersih dari kotoran dan najis.

Maka, pendapat yang lebih rajih tidak batal wudhu setelah bersalaman dengan mereka. Tetapi, jika mau wudhu lagi juga tidak apa-apa, bahkan bisa jadi lebih utama untuk menjaga kehati-hatian dan ketenangan. Wallahu A’lam

Bahkan sebagian ulama memandang najis atau tidak tubuh mereka adalah sama saja, sebab menyentuh najis bukan termasuk hal yang membatalkan wudhu. Walau najis sebagai benda yang mesti dihilangkan jika terkena tubuh kita.

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi ajmain.

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Waktu, Adab, dan Jumlah Rakaat Qiyamul Lail

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Landasan Syariatnya

Dalam Al Quran banyak ayat yang menstimulus dan menggambarkan kemuliaan shalat alam, di antaranya –kami ambil satu saja- Allah ﷻ berfirman:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. ( QS. Al Isra: 79)

Dalam hadits juga demikian, kami ambil satu saja:

وأفضل الصلاةبعد الفريضة صلاة الليل

Shalat paling utama setelah shalat wajib adalah shalat di malam hari. (HR. Muslim No. 1163)

📌 Waktunya

Waktunya di malam hari sejak setelah shalat Isya sampai sebelum fajar.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

صلاة الليل تجوز في أول الليل ووسطه وآخره ما دامت الصلاة بعد صلاة العشاء

Shalat malam boleh dilakukan pada awal malam, tengahnya, dan akhirnya, selama dilakukannya setelah shalat Isya. (Fiqhus Sunnah, 1/203)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

لم يكن لتهجده وقت معين بل بحسب ما يتيسر له القيام

Tahajudnya Rasulullah ﷺ tidak ada waktu yang spesifik tetapi dia lakukan pada waktu yang paling mudah baginya untuk bangun melaksanakannya. (Imam Ibnu ‘Allan, Dalilul Falihin, 6/496)

📌 Waktu Paling Utama

Waktu paling utama adalah di sepertiga malam terakhir.

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

الافضل تأخيرها إلى الثلث الاخير

Yang paling utama adalah mengakhirkannya sampai sepertiga malam terakhir. (Fiqhus Sunnah, 1/203)

Alasannya:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita –Allah Tabaraka wa Ta’ala- turun ke langit dunia setiap malam sampai waktu seperti malam terakhir, dan berfirman: “Barang siapa yang berdoa kepadaKu maka Aku akan mengabukannya, barang siapa yang meminta kepadaKu maka Aku akan memberinya, dan barang siapa yang memohon ampunkepadaKu maka Aku akan mengampuninya.” (HR. Al Bukhari No. 1145, 6321, Muslim No. 758)

Juga hadits lain:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: «جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ المَكْتُوبَاتِ»

Ditanyakan kpd Rasulullah, doa yang manakah yang paling di dengar?
Beliau menjawab: “Doa di sepertiga malam terakhir, dan setelah shalat wajib.” (HR. At Tirmidzi No. 3499, kata Beliau: hasan. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)

📌 Adab-adab Sebelum Qiyamul Lail

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menuliskan beberapa adabnya, yaitu:

1. Berniat Bangun Malam untuk Qiyamul Lail

Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عينه حتى يصبح كتب له ما نوى

“Barang siapa yang mendatangi pembaringannya dan dia berniat untuk melaksanakan shalat malam, lalu dia tertidur hingga pagi, maka dia tetap mendapatkan apa yang diniatkannya.” (HR. Ibnu Majah No. 1344, An Nasa’i No. 1787. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1344)

2. Mengusap wajah saat bangun tidur, bersiwak, dan memandang ke langit, lalu membaca doa yang berasal dari Rasulullah ﷺ, seperti:

Laa ilaaha illa anta subhaanaka, astaghfiruka lidzanbiy wa as’aluka rahmataka, Allahumma zidniy ‘ilma wa laa tazigh qalbiy ba’da idz hadaytaniy wa habliy min ladunka rahmah innaka antal wahhaab

Alhamdulillahilldzi ahyana ba’da maa amatana wa ilaihin nusyuur

3. Memulai shalat dengan dua rakaat yang ringan lalu lanjutkan lagi sesuai kehendaknya

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

إذا قام أحدكم من الليل فليفتتح صلاته بركعتين خفيفتين

Jika kalian bangun malam untuk shalat maka mulailah dengan dua rakaat yang ringan. (HR. Muslim No. 768)

4. Membangunkan istri atau suami

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

رَحِمَ اللَّهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِى وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِى وَجْهِهِ الْمَاءَ

Semoga Allah maerahmati laki-laki yang bangun shalat malam dan membangunkan istrinya, jika istrinya menolak maka dia memercikkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati istri yang bangun untuk shalat malam, lalu membangunkan suaminya, jika suaminya menolak maka dia memercikkan air ke wajahnya. (HR. Abu Daud No. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih)

5. Jika sangat ngantuk tidur dulu sampai hilang ngantuknya

عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا نعس أحدكم فليرقد حتى يذهب عنه النوم، فإنه إذا صلى وهو ناعس لعله يذهب يستغفر فيسب نفسه) رواه الجماعة

Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian ngantuk, hendaknya dia tidur dulu hingga hilang rasa ngantuknya, sedangkan jika dia shalat dalam keadaan ngantuk itu, bisa jadi dia ingin istighfar ternyata dia mengucapkan caci maki untuk dirinya.” (HR. Al Jama’ah)

وعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول فليضطجع) رواه أحمد ومسلم

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian bangun malam dan masih ngantuk sehingga lidahnya berat membaca Al Quran dan ia tidak sadar apa yang dibacanya itu, maka sebaiknya dia tidur lagi!” (HR. Ahmad dan Muslim)

Jumlah Rakaatnya

Minimal adalah dua rakaat, dan maksimalnya tidak ada batasan. Apa yang diriwayatkan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah lebih dari 11 rakaat shalat malam, baik di bulan Ramadhan dan selain Ramadhan, bukanlah jumlah pembatas yang membuat terlarang jika lebih darinya. Para salafush shalih sangat memahami hal ini, mereka ada yang melakukannya sebanyak puluhan, bahkan ratusan rakaat, seperti yang tertera dalam kitab-kitab sirah.

Nabi ﷺ sendiri pernah lebih dari 11 rakaat, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya.

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:

وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ( «كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَالِسًا تَارَةً، وَتَارَةً يَقْرَأُ فِيهِمَا جَالِسًا، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ» ، وَفِي “صَحِيحِ مسلم ” عَنْ أبي سلمة قَالَ: « (سَأَلْتُ عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: (كَانَ يُصَلِّيثَلَاثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ يُوتِرُ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، قَامَ فَرَكَعَ، ثُمَّ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالْإِقَامَةِ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ) » وَفِي “الْمُسْنَدِ” عَنْ أم سلمة أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ( «كَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ (
وَقَالَ الترمذي: رُوِيَ نَحْوُ هَذَا عَنْ عائشة، وأبي أمامة، وَغَيْرِ وَاحِدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَفِي “الْمُسْنَدِ” عَنْ أبي أمامة، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ( «كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ، يَقْرَأُ فِيهِمَا بِـ {إِذَا زُلْزِلَتِ} [الزلزلة: ١] وَ {قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ} [الكافرون: ١ [وَرَوَى الدَّارَقُطْنِيُّ نَحْوَهُ مِنْ حَدِيثِ أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Telah SHAHIH dari Nabi ﷺ bahwa: (Beliau shalat lagi setelah witir sebanyak dua rakaat kadang sambil duduk). Dalam kesempatan lain, Beliau pernah membaca dua rakaat itu sambil duduk dan ketika hendak ruku Beliau berdiri untuk ruku.

Disebutkan dalam SHAHIH MUSLIM dari Abu Salamah, dia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang Shalat Rasulullah ﷺ, lalu dia memjawab:

“Beliau ﷺ biasanya melakukan shalat 13 rakaat. Menunaikan 8 raka’at, lalu witir, kemudian shalat 2 raka’at lagi dengan duduk, dan apabila hendak ruku beliau berdiri lalu ruku. Kemudian, Beliau nantinya shalat lagi antara azan dan iqamah shubuh.”

Di dalam Musnad disebutkan dari Ummi Salamah Radhiallahu ‘Anha, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat 2 rakaat ringan dengan duduk setelah shakat witir.” (HR. Ahmad, No. 26553, Ibnu Majah No. 1195. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Kata Imam At Tirmidzi: “Hadits seperti ini juga diriwayatkan oleh Aisyah, Abu Umamah, dan tidak hanya satu sahabat Nabi ﷺ.”

Dalam Musnad juga disebutkan, dari Abu Umamah: “Bahwa setelah shalat witir, Rasulullah ﷺ melakukan shalat 2 rakaat dengan duduk dan membaca surat Al Zalzalah dan Al Kafirun.” (HR. Ahmad, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5018, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 8065. Sanadnya hasan)

Imam Ad Daruquthni meriwayatkan hadits yang sama dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu. (Selesai)

Lalu Imam Ibnul Qayyim mengutip dari para ulama:

إِنَّمَا فَعَلَ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ، لِيُبَيِّنَ جَوَازَ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْوِتْرِ، وَأَنَّ فِعْلَهُ لَا يَقْطَعُ التَّنَفُّلَ، وَحَمَلُوا قَوْلَهُ: ( «اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا» ) عَلَى الِاسْتِحْبَابِ، وَصَلَاةَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَهُ عَلَى الْجَوَازِ

Sesungguhnya dilakukannya dua rakaat ini hanyalah untuk menjelaskan BOLEHNYA SHALAT SETELAH WITIR, bahwasanya shalat witir itu tidaklah memutuskan shalat. Mereka memaknai maksuda hadits Nabi : “Jadikankah akhir shalat kalian pada malam hari adalah witir”, itu menunjukkan sunah saja, dan shalat dua rakaat setelahnya itu dibolehkan.”

(Lihat semua dalam Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibaad, 1/321-323)

📌 Keutamaan-Keutamaannya

1. Mendapatkan Kedudukan Terpuji

Allah ﷻ berfirman:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. ( QS. Al Isra: 79)

2. Shalat Paling Utama Setelah Shalat Wajib

Nabi ﷺ bersabda:

وأفضل الصلاةبعد الفريضة صلاة الليل

Shalat paling utama setelah shalat wajib adalah shalat di malam hari. (HR. Muslim No. 1163)

3. Dilakukan di waktu terbaik buat doa

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita –Allah Tabaraka wa Ta’ala- turun ke langit dunia setiap malam sampai waktu seperti malam terakhir, dan berfirman: “Barang siapa yang berdoa kepadaKu maka Aku akan mengabukannya, barang siapa yang meminta kepadaKu maka Aku akan memberinya, dan barang siapa yang memohon ampunkepadaKu maka Aku akan mengampuninya. (HR. Al Bukhari No. 1145, 6321, Muslim No. 758)

Juga hadits lain:

قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ قَالَ: «جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ، وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ المَكْتُوبَاتِ»

Ditanyakan kpd Rasulullah, doa yang manakah yang paling di dengar?
Beliau menjawab: “Doa di sepertiga malam terakhir, dan setelah shalat wajib.” (HR. At Tirmidzi No. 3499, kata Beliau: hasan. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)

4. Qiyamul Lail merupakan prilaku para shalihin

Allah ﷻ berfirman:

وَعِبادُ الرَّحْمنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْناً وَإِذا خاطَبَهُمُ الْجاهِلُونَ قالُوا سَلاماً وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّداً وَقِياماً

Dan ‘Ibadurrahman itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka. (QS. Al Furqan: 63-64)

Dalam ayat lain:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu sahur (sepertiga malam akhir) sebelum fajar. (QS. Adz Dzariyat: 15-18)

Demikian. Wallahu A’lam

🌾🌿🌷☘🌸🍃🌻🌳

Farid Nu’man Hasan

Kesunnahan Sutrah Saat Shalat

Berikut ini penjelasan para ulama

1. Imam An Nawawi Rahimahullah

Beliau berkata ketika mengomentari hadits sutrah setinggi ‘pelana kuda’:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث النَّدْب إِلَى السُّتْرَة بَيْن يَدَيْ الْمُصَلِّي وَبَيَان أَنَّ أَقَلّ السُّتْرَة مُؤْخِرَة الرَّحْل وَهِيَ قَدْر عَظْم الذِّرَاع

“Hadits ini menunjukkan sunah-nya meletakkan sutrah (pembatas) di depan orang shalat, dan juga terdapat penjelasan tentang ukuran minimal sutrah sebesar pelana kuda, yaitu kira-kira sepanjang satu hasta.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/216)

Bagi mayoritas madzhab Asy Syafi’i, tidak menjadi masalah jika sutrah adalah garis saja. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وَقَالَ جُمْهُور أَصْحَابه بِاسْتِحْبَابِهِ ، وَلَيْسَ فِي حَدِيث مُؤْخِرَة الرَّحْل دَلِيل عَلَى بُطْلَان الْخَطّ . وَاَللَّه أَعْلَم .

“Menurut mayoritas sahabat-sahabatnya (Asy Syafi’i) sutrah adalah sunah, dan hadits tentang setinggi pelana kuda itu tidak menunjukkan kesalahan dengan membuat garis. Wallahu A’lam” (Ibid)

Dalam kitabnya yang lain Imam An Nawawi mengatakan:

يستحب للمصلي أن يكون بين يديه سترة من جدار أو سارية ويدنو منها بحيث لا يزيد بينهما على ثلاثة أذرع وإن كان في صحراء غرز عصا ونحوها أو جمع شيئا من رحله أو متاعه وليكن قدر مؤخرة الرحل فإنلم يجد شيئا شاخصا خط بين يديه خطا أو بسط مصلى وقال إمام الحرمين والغزالي لا عبرة بالخط والصواب ما أطبق عليه الجمهور وهو الاكتفاء بالخط كما إذا استقبل شيئا شاخصا.

“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat untuk membuat sutrah di hadapannya berupa dinding atau tiang dan mendekatinya, dengan keadaan antara keduanya tidak melebihi tiga hasta. Jika shalat di gurun hendaknya menancapkan tongkat dan yang semisalnya, atau dengan mengumpulkan sesuatu dari tunggangannya atau perhiasannya, hingga menjadi seukuran pelana kuda. Jika tidak menemukan suatu barang untuk sutrah, maka membuat garis di hadapannya, atau karpet tempat shalat. Berkata Imam Al Haramain dan Al Ghazali, tidak ada ‘ibrah dengan membuat garis (maksudnya tidak boleh). Yang benar adalah, apa yang diterapkan oleh jumhur, bahwa sudah mencukupi dengan garis sebagaimana jika dia berada di hadapan satu barang.” (Raudhatuth Thalibin, 1/108. Mawqi’ Al Warraq)

2. Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

وَفِي الْحَدِيثِ نَدْبٌ لِلْمُصَلِّي إلَى اتِّخَاذِ سُتْرَةٍ ، وَأَنَّهُ يَكْفِيهِ مِثْلُ مُؤَخِّرَةِ الرَّحْلِ

Dalam hadits ini dianjurkan (mandub/sunnah) bagi orang yang shalat untuk mengambil sutrah, dan itu sudah cukup dengan menggunakan apa saja yang semisal pelana kuda. (Subulus Salam, 1/143)

3. Imam Al Baghawi Rahimahullah berkata:

وَقَالَ الْبَغَوِيّ : اِسْتَحَبَّ أَهْلُ الْعِلْمِ الدُّنُوّ مِنْ السُّتْرَةِ بِحَيْثُ يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا قَدْرُ إِمْكَانِ السُّجُودِ ، وَكَذَلِكَ بَيْنَ الصُّفُوفِ .

“Para ulama menyunnahkan untuk mendekati sutrah (pembatas) dengan jarak antara dirinya dan sutrah seukuran tempat sujud, begitu pula halnya dengan mendekati shaf (yang di depannya, pen).” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1/575)

4. Para tabi’in. Diriwayatkan dari Khalid bin Abu Bakar, bahwa Al Qasim dan Salim, pernah shalat di gurun tanpa menggunakan sutrah. Dari Jabir: aku pernah melihat Ja’far dan Amir shalat tanpa menggunakan pembatas. Dari Hisyam, bahwa: aku pernah melihat ayahku shalat tanpa sutrah. Mahdi bin Maimun mengatakan: aku pernah melihat Al Hasan shalat tanpa menggunakan sutrah. (Al Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah No. 2886, 2888, 2889)

5. Imam As Sarkhasi –tokoh madzhab Hanafi- dalam kitab Al Mabsuth mengatakan:

وَإِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ شَيْءٌ ، فَصَلَاتُهُ جَائِرَةٌ ؛ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِاِتِّخَاذِ السُّتْرَةِ لَيْسَ لِمَعْنًى رَاجِعٍ إلَى عَيْنِ الصَّلَاةِ ، فَلَا يَمْنَعُ تَرْكُهُ جَوَازَ الصَّلَاةِ .

“Jika dihadapannya tidak ada apa-apa, maka shalatnya itu boleh-boleh saja. Sebab, perintah menggunakan sutrah maknanya tidaklah kembali kepada kewajiban dalam shalat. Maka, tidak terlarang meninggalkannya (sutrah), shalatnya tetap boleh.” (Al Mabsuth, 2/46. Mawqi’ Al Islam)

6. Imam Muhammad bin Hasan –murid dan sahabat Imam Abu Hanifah- juga membolehkan tanpa sutrah:

وَحَكَى أَبُو عِصْمَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى إذَا لَمْ يَجِدْ سُتْرَةً يَخُطُّ بَيْنَ يَدَيْهِ ، فَإِنَّ الْخَطَّ وَتَرْكُهُ سَوَاءٌ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَبْدُو لِلنَّاظِرِ مِنْ بُعْدٍ

“Abu ‘Ishmah menceritakan dari Muhammad Rahimahullah, jika seseorang tidak menemukan sutrah maka hendaknya dia membuat garis di hadapannya, sesungguhnya membuat garis dan meninggalkannya adalah sama saja, sebab hal itu tidak nampak dari kejauhan bagi orang yang melihatnya.” (Al Mabsuth, 2/50)

7. Imam Al Marghinani Al Hanafi juga membolehkan tanpa sutrah jika yakin aman dari orang yang lewat:

وَلَا بَأْسَ بِتَرْكِ السُّتْرَةِ إذَا أَمِنَ الْمُرُورَ وَلَمْ يُوَاجِهْ الطَّرِيقَ

“Tidak apa-apa meninggalkan sutrah jika memang aman dari orang yang lewat dan tidak memandang ke jalan.” (Al ‘Inayah Syarh Al Hidayah, 2/150. Mawqi’ Al Islam)

8. Imam Kamaluddin bin Al Hummam Al Hanafi memliki pendapat yang sama dengan Imam Al Marghinani. (Fathul Qadir, 2/297. Mawqi’ Al Islam)

9. Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi mengatakan:

وَالْمُسْتَحَبُّ لِمَنْ يُصَلِّي فِي الصَّحْرَاءِ إنْ يَنْصِبَ شَيْئًا وَيَسْتَتِرَ فَأَفَادَ أَنَّ الْكَرَاهَةَ تَنْزِيهِيَّةٌ فَحِينَئِذٍ كَانَ الْأَمْرُ لِلنَّدَبِ

“Disunahkan bagi yang shalat di gurun pasir untuk memasang sesuatu sebagai penghalang, maka faedahnya adalah bahwa hal itu makruh tanzih (jika tidak memakainya), saat itu perintah menunjukkan sunah.” (Imam Ibnu Nujaim, Bahr Ar Raiq, 4/95. Mawqi’ Al Islam). Beliau juga mengatakan tidak apa-apa tidak memakai sutrah jika aman dari orang yang lewat. (Ibid, 4/98)

10. Sementara itu, Imam Malik membedakan antara orang safar dan mukim. Berikut ini ucapannya:

وَقَالَ مَالِكٌ : وَمَنْ كَانَ فِي سَفَرٍ فَلَا بَأْسَ أَنْ يُصَلِّيَ إلَى غَيْرِ سُتْرَةٍ وَأَمَّا فِي الْحَضَرِ فَلَا يُصَلِّي إلَّا إلَى سُتْرَةٍ

“Malik berkata: “barang siapa dalam perjalanan maka tidak mengapa shalat dengan tanpa sutrah, ada pun ketika mukim maka janganlah shalat kecuali dengan sutrah.” (Al Mudawanah, 1/289. Mawqi’ Al Islam)

11. Imam Ibnu Rusyd Al Maliki mengatakan:

واتفق العلماء بأجمعهم على استحباب السترة بين المصلي، والقبلة، إذا صلى منفردا كان أو إماما، وذلك لقوله عليه الصلاة والسلام: إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل، فليصل واختلفوا في الخط، إذا لم يجد سترة، فقال الجمهور: ليس عليه أن يخط. وقال أحمد بن حنبل: يخط خطا بين يديه.

“Ulama sepakat dengan IJMA’ mereka atas sunahnya sutrah di antara orang yang shalat dan kiblat, jika shalat sendiri atau menjadi imam. Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika salah seorang kalian meletakkan di hadapannya semisal pelana kuda, maka shalatlah.” Mereka berbeda pendapat tentang membuat garis jika tidak menemukan sutrah. Jumhur (mayoritas) mengatakan: Tidak harus baginya membuat garis. Berkata Ahmad bin Hambal: hendaknya dia membuat garis di hadapannya.” (Bidayatul Mujtahid, 1/94. Darul Fikr)

12. Ibnu Naji menceritakan bahwa ada tiga pandangan ulama tentang sutrah ini, ada yang mengatakan mustahabbah (disukai), seperti pendapat ‘Iyadh dan yang semisalnya, atau mandubah (dianjurkan) seperti pendapat Al Baji. Kedua adalah sunah sebagaimana dalam Al Kafi. Ketiga adalah wajib, dikatakan oleh Izzuddin bin Abdis Salam. (Mawahibul Jalil, 4/126. Mawqi’ Al Islam)

Istilah mustahab, mandub, tathawwu’, dan nafilah biasanya diartikan sama oleh umumnya para ulama, yakni sunah.

13. Imam Ibnu Habib mengatakan:

السُّنَّةُ الصَّلَاةُ إلَى السُّتْرَةِ وَأَنَّ ذَلِكَ مِنْ هَيْئَةِ الصَّلَاةِ التُّونُسِيُّ اُنْظُرْ قَوْلَهُ : مِنْ هَيْئَةِ الصَّلَاةِ ، وَمِنْ سُنَنِهَا وَافْهَمْ ذَلِكَ وَرَتِّبْهُ عَلَى الْحُكْمِ فِي تَارِكِ السُّنَنِ ، انْتَهَى .

Sunahnya shalat adalah menghadap ke sutrah, demikian itu adalah di antara wujud/bentuk dari shalat. Lihatlah Ucapannya: “Di antara wujud shalat” dan di antara sunah-sunahnya. Dan fahamilah hal itu dan yang demikian masuk dalam deretan hukum meninggalkan sunah-sunah shalat. Selesai.” (Ibid)

14. Syaikh Abul Hasan Ash Shaghir mengatakan:

الْكَلَامُ هُنَا فِي السُّتْرَةِ وَهِيَ مِنْ فَضَائِلِ الصَّلَاةِ انْتَهَى .

“Pembicaraan di sini adalah tentang sutrah, bahwa sutrah adalah diantara bab keutamaan dari shalat.” (Ibid) jadi, menurutnya sutrah bukan wajib, melainkan keutamaan saja.

15. Imam Muhammad Al Kharrasyi Al Maliki mengatakan:

وَالْمَعْنَى أَنَّ السُّتْرَةَ أَيْ الِاسْتِتَارَ وَلَوْ فِي النَّفْلِ تُسَنُّ لِلْإِمَامِ وَالْفَذِّ إنْ خَشِيَ كُلٌّ الْمُرُورَ بَيْنَ أَيْدِيهِمَا وَإِنْ لَمْ يَخْشَيَا فَلَا يُطْلَبَانِ بِالسُّتْرَةِ

“Maknanya adalah sesungguhnya sutrah itu merupakan penutup walau pun pada shalat nafilah, disunahkan bagi imam dan shalat sendiri jika dikhawatiri ada yang lewat dihadapannya. Jika tidak dikhawatiri demikian, maka tidak dituntut adanya sutrah.” (Syarh Mukhtashar Khalil, 3/372. Mawqi’ Al Islam)

16. Imam Ahmad bin Muhammad Ash Shawi Al Maliki juga mengatakan bahwa sutrah adalah sunah. (Hasyiyah Ash Shawi ‘Ala Asy Syarh Ash Shaghir, 2/59. Mawqi’ Al Islam) Begitu pula Imam Ahmad bin Muhammad ‘Alisy Al Maliki. (Manhal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, 2/59. Mawqi’ Al Islam)

17. Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

يستحب للمصلي أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه وتكف بصره عما وراءها

“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat meletakkan di depannya sebuah pembatas untuk mencegah orang lewat di depannya, dan menghalanginya melihat hal-hal dibelakang pembatas itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/255)

18. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan bahwa sutrah adalah sunah muakadah, bukan wajib. Dan menurutnya, sutrah dengan garis juga sudah mencukupi. Katanya:

أما زعمهم أن الخط لا يجوز جعله سترة فهذا تقليد منهم لمن ضعف حديث الخط وزعم أنه مضطرب ، كابن الصلاح والعراقي ، والصواب أنه حديث حسن ليس فيه اضطراب ، كما أوضح ذلك الحافظ ابن حجر في ( بلوغ المرام ) حيث قال لما ذكره : رواه أحمد وابن ماجه وصححه ابن حبان ، ولم يصب من زعم أنه مضطرب ، بل هو حسن .

“Ada pun sangkaan mereka bahwa garis tidak boleh dijadikan sebagai sutrah, itu merupakan sikap taklid mereka terhadap pihak yang mendhaifkan hadits garis, mereka menyangka hadits tersebut mudhtharib (guncang), seperti Ibnush Shalah dan Al ‘Iraqi. Yang benar adalah bahwa hadits tersebut adalah hasan dan tidak ada keguncangan sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram di mana dia berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan dishahihkan Ibnu Hibban, dan tidak benar orang yang menyangka bahwa hadits ini mudhtharib, justru hadits ini hasan.” (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat, 23/385. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Beliau ditanya tentang apa hukum sutrah bagi orang shalat, beliau menjawab:

السترة سنة مؤكدة، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: أخرجه أبو داود برقم ( 596) كتاب الصلاة, باب الدنو من السترة والنسائي برقم (740) كتاب القبلة , باب الأمر بالدنو من السترة إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها رواه أبو داود بإسناد جيد ، وكان النبي صلى الله عليه وسلم في أسفاره إذا سافر تنقل معه العنزة وكان يصلي إليها عليه الصلاة والسلام، فهي سنة مؤكدة وليست واجبة ؛ لأنه قد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه صلى في بعض الأحيان إلى غير سترة.

“Sutrah adalah sunah muakadah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda yang dikeluarkan oleh Abu Daud (No. 596) Kitab Ash Shalah Bab Ad Danu Minas Sutrah. juga An Nasa’i (No. 740) Kitab Al Qiblah Bab Al Amru bid Danu minas Sutrah: “Jika salah seorang kalian shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatkah kepadanya.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad jayyid. Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada beberapa perjalanannya, jika dalam safar beliau membawa tombak dan beliau shalat menghadapnya. Ini adalah sunah muakadah bukan wajib. Lantaran telah tsabit (kuat/shahih) darinya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau shalat kadangkala tanpa memakai sutrah.” (Ibid, 24/21)

19. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan dalam fatwanya, bahwa sutrah hanyalah sunah. Berikut ini fatwanya:

السترة للمأموم ليست بمشروعة لأن سترة الإمام سترةٌ له ولمن وراءه وأما للإمام والمنفرد فهي مشروعة فيسن أن لا يصلي إلا إلى سترة ولكنها ليست بواجبة على القول الراجح الذي عليه جمهور أهل العلم لحديث ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي في منى إلى غير جدار وكان راكباً على حمار أتان أي أنثى فمر بين يديه بعض الصف فلم ينكر ذلك عليه أحد فقوله إلى غير جدار قال بعض أهل العلم إنما أراد رضي الله عنه إلى غير سترة لأن الغالب في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم أن منى ليس فيها بناء ولحديث أبي سعيد إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره من الناس فأراد أحد أن يجتاز بين يديه فليدفعه فقوله إذا صلى إلى شئٍ يستره يدل على أن الصلاة إلى السترة ليس بلازمة وإلا لما احتيج إلى القيد وعلى هذا فيكون الأمر بالسترة أمراً للندب وليس للوجوب هذا هو القول الراجح في اتخاذ السترة وأما قول السائل هل يكفي الخط فنقول إنه قد روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر باتخاذ السترة وقال فإن لم يجد فليخط خطاً وهذا الحديث علله بعض العلماء وطعن فيه بأنه مضطرب ولكن ابن حجر في بلوغ المرام قال لم يصب من قال إنه مضطرب بل هو حسن ولهذا لو كان الإنسان ليس عنده ما يكون شاخصاً يجعله سترة فليخط خطاً وإذا لم يكن له سترة فله حق بمقدار ما ينتهي إليه سجوده وما وراء ذلك فليس له حقٌ في منع الناس من المرور به إلا إذا كان يصلي على سجادة أو نحوها فإن له الحق في منع من يمر على هذه السجادة.

Sutrah bagi makmum tidaklah disyariatkan, karena sutrahnya imam adalah sutrah baginya juga, dan orang-orang dibelakangnya. Ada pun bagi yang shalatnya sendiri, maka itu disyariatkan, maka disunahkan agar jangan shalat melainkan dengan adanya sutrah. Tetapi hal itu tidak wajib berdasarkan pendapat yang kuat yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) ulama. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Sebagian ulama mengatakan, bahwa maksud Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu adalah tanpa menghadap ke sutrah. Sebab, pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara umum kota Mina tidak memiliki bangunan. Juga hadits Abu Said, “Jika salah seorang kalian shalat maka hendaknya dia membuat penghalang dari manusia.” Maka, maksudnya adalah seorang boleh mencegah orang yang dihadapannya. Lalu sabdanya: “Jika shalat hendaknya membuat penghalang” menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat menghadap sutrah bukanlah kelaziman, jika hal itu lazim kenapa pemakaiannya dikaitkan karena adanya kebutuhan? Oleh karena itu, urusan sutrah ini adalah sesuatu yang sunah bukan wajib, inilah pendapat yang kuat dalam hal pemakaian sutrah.

Ada pun pertanyaan penanya, apakah cukup sutrah dengan membuat garis? Kami katakan: Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau memerintahkan menggunakan sutrah, beliau bersabda: jika tidak ada maka buatlah garis. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hadits ini cacat dan adanya penyakit di dalamnya, yakni mudhtharib (guncang). Tetapi Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram mengatakan: “Tidak benar orang yang mengatakan hadits ini mudhtharib, justru hadits ini hasan.” Oleh karena itu jika seseorang tidak memiliki sesuatu yang bisa dijadikan sutrah, maka hendaknya dia membat sutrah dengan membuat garis, jika dia tidak memiliki sutrah maka dia berhak untuk mencegah orang lewat sejauh ukuran tempat dia sujud. Sedangkan yang diluar batasan itu maka dia tidak berhak untuk mencegah manusia melewatinya, kecuali jika dia shalat menggunakan sajadah atau yang semisalnya, maka dia berhak untuk mencegah orang yang melewati sajadahnya.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb No. 840)

Hadits tentang sutrah dengan membuat garis, telah dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban, Imam Al Hakim, Imam Ahmad, Imam Ali Al Madini, sedangkan Imam Ibnu Hajar menghasankannya. Ada pun Imam Al Mizzi, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Ibnu Shalah, Imam Adz Dzahabi, dan Syaikh Al Albani mendhaifkannya. (Pembahasan lengkapnya pada tulisan kami sebelumnya)

20. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Al Jibrin juga mengatakan sutrah adalah sunah, bukan wajib:

وأما السترة التي هي الشاخص أمام المصلي فهي سنة، وليست بواجبه، وذلك أن يصلى إلى سارية أو جدار، أو شيء مرتفع عن الأرض كسرير أو كرسي، فإن لم يجد فليخط خطاً كالهلال، وذلك في حق الإمام والمنفرد، وتتأكد في الصحراء كمصلي العيد، وفي السفر، فأما في المساجد فالأصل عدم الحاجة، والاكتفاء بحيطان ممتدة في الصفوف، أو يكتفى بطرف السجادة التي يصلي عليها، وليس هناك ما يدل على الوجوب، وقد ورد الحديث الذي في السنن بلفظ “إذا صلى أحدكم إلى سترة فليدن منها” وفي حديث آخر “إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره فلا يدعن أحداً يمر بين يديه فإن أبي فليقاتله فإنما هو شيطان” والله أعلم.

“Ada pun sutrah yaitu suatu pembatas di depan orang shalat itu adalah sunah, bukan kewajiban. Hal itu dengan cara shalat menghadap tiang atau dinding, atau sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi, seperti kasur dan kursi. Jika tidak ada maka hendaknya dia membuat garis seperi bulan sabit. Hal ini merupakan hak imam dan shalat sendiri, dan lebih ditekankan lagi ketika shalat di lapangan luas seperti lapangan ketika shalat hari raya dan dalam perjalanan. Ada pun di masjid, pada dasarnya tidaklah diperlukan. Telah mencukupi dinding yang tersusun di barisan atau tepi sejadah tempat dia shalat. Tidak ada dalil yang menunjukkan kewajibannya. Telah datang riwayat dalam kitab Sunan dengan lafaz: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya mendekatinya.” Dalam hadits lain: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sesuatu yang menghalanginya, maka jangan biarkan seorang pun melewati di depannya, jika dia menolak maka bunuhlah sesungguhnya dia itu syetan.” Wallahu A’lam (Fatawa Ibnu Jibrin, 13/32)

21. Para ulama Kuwait mengatakan:

يستحب للمصلي أن يصلي إلى سترة والأولى أن لا يقصدها بوجهه بل تكون مواجهة لحاجبة الأيمن أو الأيسر والسترة ليست شرطا، فإن صلى إلى غير سترة لم يكن به بأس لما أخرجه البخاري عن عبد الله بن عباس أنه قال: “أقبلت راكباً على حمار أتانٍ يومئذ قد ناهزت الاحتلام ورسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس بمنى إلى غير جدار، فمررت بين يدي بعض الصفّ فنزلت وأرسلت الأتان ترتع، ودخلت الصف فلم ينكر ذلك عليّ أحد” قال الشافعي: إن المراد بقول ابن عباس ” إلى غير جدار” أي إلى غير سترة، فإن كان في مسجد أو بيت صلى إلى الجدار أو سارية، وإن كان في فضاء صلى إلى شيء شاخص بين يديه، أو نصب بين يديه حربة أو عصاً، وسترة الإمام سترة لمن خلفه لأن النبي صلى الله عليه وسلم صلّى إلى سترة ولم يأمر أصحابه بنصب سترة أخرى. ويستحب للمصلي أن يدنو من سترته لأن ذلك أبعد عن أن يمر بينه وبينها شيء يحول بينه وبينها. والله أعلم.

Disunahkan bagi orang shalat agar shalat menghadap sutrah. Dan yang utamanya adalah tidak memaksudkannya untuk menghadapnya, bahkan hendaknya menjadikannya sebagai penghalang dari menengok ke kanan atau kiri. Sutrah bukanlah syarat, maka jika shalat tanpa sutrah tidaklah mengapa. Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Abbas, bahwa dia berkata: “Aku datang dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” Asy Syafi’i berkata: Sesungguhnya maksud ucapan Ibnu Abbas: “Tidak menghadap tembok” adalah tidak menghadap ke sutrah. Jika shalat di masjid atau di rumah maka shalat menghadap dinding atau tiang. Jika shalatnya di tanah lapang, shalat menghadap sesuatu benda di hadapannya, atau menegakkan dihadapannya tombak atau tongkat. An sutrahnya imam adalah juga sutrah orang di belakangnya, karena ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat menghadap sutrah, beliau tidak memerintahkan para sahabatnya untuk membuat sutrah lainnya. Dan juga disunahkan bagi orang shalat untuk mendekati sutrahnya, karena yang demikian itu dapat menghindarkan orang yang lewat antara dirinya dan sutrah. Wallahu A’lam (Fatawa Qutha’ Al Ifta bil Kuwait, 4/27. Cet. 1. 1996M-1417H. Wizarah Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)

22. Syaikh ‘Athiyah Shaqr – mantan mufti Mesir- mengatakan:

ويستحب للمصلى أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه ، لحديث رواه أبو داود وابن ماجه “إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة ولْيَدْنُ منها” وروى البخارى ومسلم أن النبى صلى الله عليه وسلم كان إذا خرج يوم العيد أمر بالحربة فتوضع بين يديه فيصلى إليها والناس وراءه ، وكان يفعل ذلك فى السفر، ثم اتخذها الأمراء .
واستحباب جعل السترة يستوى فيه خشية مرور أحد وعدم الخشية كما قال الشافعية والحنابلة وقال الحنفية والمالكية : إذا أمن مرور أحد فلا يستحب ، لأن ابن عباس رضى اللّه عنهما قال : إن النبى صلى الله عليه وسلم صلى فى فضاء وليس بين يديه شيء . رواه أحمد وأبو داود ورواه البيهقى وقال : له شاهد بإسناد أصح من هذا عن الفضل بن عباس .

“Disunahkan bagi orang shalat untuk meletakkan sutrah (penghalang/pembatas) di hadapannya sebagai mencegah orang lewat di depannya, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Daud dan Ibnu Majah: “Jika salah seorang kalian shalat, maka shalatlah menghadap ke sutrah dan hendaknya dia mendekatinya.” Dan juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia keluar pada hari raya, dia memerintahkan untuk mengambil tombak dan meletakkan di hadapannya, lalu dia shalat menghadap ke arahnya, dan manusia melihat hal itu. Demikian itu dilakukannya ketika safar, maka untuk selanjutnya hal itu diikuti oleh para pemimpin umat.”

Dan disunahkan meletakkan sutrah, sama saja baik keadaan khawatir adanya orang yang lewat atau tidak, sebagaimana yang dikatakan kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah. Sedangkan, Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan: “Jika telah aman dari orang yang lewat maka tidaklah disunahkan.” Karena Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Shalat di lapangan luas dan di hadapannya tidak ada penghalang apa-apa.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan juga Al Baihaqi, dan dia berkata: “Hadits ini memiliki syahid (saksi/penguat) dengan sanad yang lebih shahih dari ini, dari jalur Al Fadhl bin Abbas.” (Fatawa Al Azhar, 9/7)

23. Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan:

هي سنة مشروعة، لقوله صلى الله عليه وسلم: « إذا صل أحدكم فليصل إلى سترة، ولْيَدْن منها، ولا يدع أحداً يمر بين يديه، فإن جاء أحد يمر، فليقاتله، فإنه شيطان » وليست واجبة باتفاق الفقهاء؛ لأن الأمر باتخاذها للندب، إذ لا يلزم من عدمها بطلان الصلاة وليست شرطاً في الصلاة، ولعدم التزام السلف اتخاذها، ولو كان واجباً لالتزموه، ولأن الإثم على المار أمام المصلي، ولو كانت واجبة لأثم المصلي، ولأن «النبي صلّى الله عليه وسلم صلى في فضاء ليس بين يديه شيء» رواه البخاري.

“Sutrah adalah sunah yang disyariatkan sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika salah seorang kalian shalat, maka shalatlah dengan menggunakan sutrah, dan mendekatlah kepadanya, dan jangan biarkan seorang pun lewat di hadapannya, jika ada seorang yang lewat maka bunuhlah karena dia adalah syetan.”

Sutrah bukanlah kewajiban menurut kesepakatan fuqaha (ahli fiqih), sebab perintah untuk memakainya menunjukkan sunah, Jika hal itu wajib maka batal-lah shalatnya, padahal dia bukanlah syarat shalat. Para salaf tidak selalu memakainya, seandainya wajib niscaya mereka akan selalu memakainya. Alasan lainnya, lantaran dosa diperuntukkan bagi orang yang lewat di depan orang yang shalat, jika hal itu wajib, tentu dosanya adalah untuk yang shalat. Lagi pula Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat di tanah lapang dan dihadapannya tidak ada sesuatu apa pun. (HR. bukhari). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/118. Maktabah Misykah)

Masih sangat banyak lagi pandangan serupa dari berbagai madzhab, bahwa sunah bagi orang yang shalat membuat sutrah di hadapannya. Namun nama-nama ini sudah cukup mewakili. Demikianlah pandangan para ulama tentang sutrah, mayoritas mereka mengatakan sunah, bahkan ada yang menyebutnya kesunahan itu adalah ijma’ (aklamasi), seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah.

Ada yang mewajibkan Sutrah

Bagi kelompok ini, hadits-hadits yang memerintahkan memasang pembatas menunjukkan kewajibannya, sebab hukum asal dari perintah adalah menunjukkan wajib selama belum ada dalil lain yang membelokkan kewajiban tersebut.

Pihak yang mengatakan sutrah adalah wajib, telah menafsirkan bahwa makna ucapan Nabi “ ’Ala Ghairi Jidar (Tidak menghadap dinding)” bukan berarti tanpa sutrah. Menurut mereka sutrah ada tetapi bukan dinding (ghairu jidar), melainkan tombak. Lantaran dalam riwayat shahih yang lain disebutkan bahwa Nabi membawa tombak ketika shalat menuju lapangan lalu menjadikannya sebagai sutrah. Apa yang dipahami mereka ini tentu harus ditunjukkan oleh dalil, bahwa hadits tentang ‘tombak’ yang memberikan rincian terhadap hadits ‘Ala Ghairi Jidal, wajib ditinjau kembali secara dirayah (pemahamannya). Benarkah hadits tombak itu menjadi perinci dan penjelas bagi hadits ‘Ala ghairi jidar?

Yang benar adalah keduanya merupakan hal yang terpisah dan merupakan dua peristiwa yang berbeda. Dengan kata lain, Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam pernah shalat menghadap tombak, dan pernah juga tanpa penghalang apa pun, sebagaimana yang dikatakan Syaikh Ibnu Baz. Demikian.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah tentang hadits: “Hendaklah dia shalat menggunakan pembatas.” Katanya:

فِيهِ أَنَّ اتِّخَاذَ السُّتْرَةِ وَاجِب

“Di dalam hadits ini menunjukkan wajibnya menggunakan sutrah.” (Nailul Authar, 3/2)

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Kasih Sayang Islam Dalam Jihad

Kesempurnaan Islam membuatnya tidak melupakan akhlak dalam berjihad memerangi orang kafir. Jihad merupakan amal yang paling mulia, dan Islam memiliki cara yang paling mulia dalam peperangan, dan terbukti dalam sejarah peperangan antar negara di berbagai zaman.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah (5): 87)

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah (5): 8)

Dalam peperangan Islam, dilarang membunuh dan menganiaya orang tua, wanita, anak- anak, dan orang tak berdaya dan sudah menyerah. Serta tidak dibenarkan mencincang tubuh manusia, bertindak bengis terhadap musuh. Islam melarang berperang jika belum disampaikan dakwah kepada musuh, sebab perang adalah pilihan akhir setelah ajakan kepada kebaikan dan tauhid tidak bisa mereka terima.

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia memerintahkan pasukan atau tim ekspedisi, secara khusus dia mewasiatkan agar mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan memerintahkan kaum muslimin yang bersamanya tetap berbuat baik, lalu bersabda:

اغْزُوا بِاسْمِ اللَّهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا

“Peranglah fi sabilillah dengan nama Allah, perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah, berperanglah dan jangan melampaui batas, jangan mencincang, dan jangan membunuh anak-anak.” 1]

Dalam hadits lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنِبْ الْوَجْهَ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda: “Jika salah seorang kalian berperang, hindarilah memukul wajah.” 2]

Ini hanya sebagian kecil riwayat saja, yang menunjukkan betapa ketika perang Islam pun memiliki akhlak yang mulia. Sebab, jihad adalah perbuatan mulia yang tidak pantas dilakukan dengan cara-cara yang tidak mulia.

Wallahu A’lam

[1] HR. Muslim, Kitab Al Jihad was Siyar Bab Ta’mir Al Imam Al Umara ‘ala Al Bu’utsi wa Washiyyatihi …, Juz. 9, Hal. 150, No hadits. 3261. At Tirmidzi, Kitab As Siyar ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a fi Washiyyatihi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam fil Qital, Juz. 6, Hal. 156, No hadits. 1542. Ibnu Majah, Kitab Al Jihad bab Washiyyah Al Imam, Juz. 8, Hal. 390, No hadits. 2848. Ahmad, Juz. 47, Hal. 4, No hadits. 21952.

[2] HR. Bukhari, Kitab Al ‘Itqu Bab Idza Dharaba Al ‘Abda Falyajtanib Al Wajha, Juz. 8 Hal. 496, No hadits. 2372. Muslim, Kitab Al Birru was Shilah Wal Aadab Bab An Nahyi ‘an Dharbil Wajhi, Juz. 13, Hal. 26, No hadits. 4728.

Farid Nu’man Hasan

scroll to top