Bulan Rajab dan Keutamaannya (bag. 4/selesai)

☀💦☀💦☀💦

5⃣ Benarkah Isra Mi’raj Terjadi Tanggal 27 Rajab?

Ada pun tentang Isra’ Mi’raj, benarkah peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab? Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab: Wallahu A’lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi’ul Awal. (Lathaif Al Ma’arif, Hal. 95).

Beliau juga berkata:

و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره

“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra’ Mi’raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.

6⃣ Adakah Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya’ban dan Ramadhan?

Tidak ditemukan riwayat yang shahih tentang ini. Ada pun doa yang tenar diucapkan manusia yakni: Allahumma Bariklana fi rajaba wa sya’ban, wa ballighna ramadhan, adalah hadits dhaif (lemah).

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.”
(Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban wa Berkahilah kami di bulan Ramadhan).

(HR. Ahmad, No. 2346. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3815. Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 659. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 6/269)

Dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.

Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)

Imam Abu Daud berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.” Abu Ahmad Al Hakim mengatakan: “haditsnya tidak kokoh.” (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 305)

Imam Al Haitsami berkata tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah)

Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)

Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536)

Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah al Mashabih, Juz. 1, Hal. 306, No. 1369. Lihat juga Dhaiful jami’ No. 4395), begitu pula Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnaduhu dhaif (isnadnya dhaif). (Lihat Musnad Ahmad No. 2346. Muasasah Ar Risalah)

Walau hadits ini dhaif, tidak mengapa sekedar membaca doa seperti di atas dengan syarat seperti yang digariskan para ulama terhadap masalah fadhailul a’mal:

1. Tidak ada perawi yang tertuduh pendusta atau pemalsu hadits.
2. Isinya tidak bertentangan dengan tabiat umum agama Islam.
3. Tidak menganggapnya sebagai doa dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Sebab, berdoa dengan membuat redaksi sendiri juga dibolehkan selama isinya tidak bertentangan syariat.

Anggaplah ini doa bagus yang kita pinjam redaksinya. Lalu, sebaiknya jangan membiasakan doa ini tanpa menjelaskan kedudukannya sebagai doa yang tidak valid dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab, mentradisikan dan mengulang-ulangnya setiap tahun, akan terbuka peluang bagi pikiran sebagian manusia bahwa ini adalah sunah nabi, atau paket yang sudah menjadi pakem khusus ketika menjelang Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. Tentunya ini keliru khawatir dusta atas nama Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka, kelemahannya mesti dijelaskan agar manusia tidak terkecoh.

Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Tulisan Tentang Bulan Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 2)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 4/Selesai)

Menjawab Kebingungan Tentang Shaum Rajab

Shalat Sunnah Hajat; Adakah?

☀💦☀💦☀💦

📌 Pertanyaan:

Apakah dalil shalat sunah hajat SHAHIH? Syukron (08129914xxx)

📌 Jawaban:

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Shalat Hajat adalah sunah sebagaimana penjelasan mayoritas ahli fiqih, di antaranya Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

روى أحمد بسند صحيح عن أبي الدرداء أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:  من توضأ فأسبغ الوضوء ثم صلى ركعتين يتمهما أعطاه الله ما سأل معجلا أو مؤخرا

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih, dari Abu Darda, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa yang berwudhu lalu dia sempurnakan wudhunya, kemudian dia shalat dua rakaat sampai sempuna, niscaya Allah ﷻ akan mengabulkan apa yang diinginkannya baik segera atau diakhirkan.” (Fiqhus Sunnah, 1/213)

Hadits yang disampaikan dan dishahihkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, didhaifkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Ta’liq Musnad AhmadNo. 27497)

Syaikh Husamuddin ‘Afanah  pernah ditanya tenang shalat hajat, berikut ini penjelasan Beliau:

يقول السائل: قرأت عن صلاة الحاجة في بعض كتب الأدعية، أرجو بيان حكمها وكيفيتها؟

الجواب: اتفق كثير من الفقهاء على أن صلاة الحاجة مستحبة وأنها تكون عندما تعرض للإنسان حاجة من حوائج الدنيا المشروعة فيستحب له أن يتوضأ ويصلي ركعتين لله تعالى، ويسأل الله جل وعلا حاجته، فإن فعل ذلك مؤمناً بقدرة الله عز وجل، فأرجو أن يحقق الله له ما أراد فقد ورد في الحديث عن عثمان بن حنيف – رضي الله عنه – (أن أعمى أتى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فقال: يا رسول الله، ادع الله أن يكشف لي عن بصري، قال: أوَ أدعك قال: يا رسول الله إنه قد شق علي ذهاب بصري، قال فاذهب فتوضأ، ثم صل ركعتين ثم قل: اللهم إني أسألك …..”….

Penanya: Saya membaca tentang shalat hajat pada sebagian buku-buku doa, saya harap penjelasan hukumnya dan cara pelaksanaannya?

Jawaban: Banyak ahli fiqih telah sepakat bahwa shalat hajat adalah mustahab (disukai/sunah), itu dilakukan ketika manusia menginginkan kebutuhan di antara hajat-hajat dunia yang dibenarkan syariat. Disunahkan baginya untuk berwudhu lalu shalat dua rakaat untuk Allah ﷻ, dan berdoa kepada Allah ﷻ, barang siapa yang melakukan itu karena keimanan terhadap qadar Allah ﷻ, maka Allah ﷻmengabulkan untuknya apa yang diinginkannya. Telah ada hadits dari ‘Utsman bin Hunaif Radhiallahu ‘Anhu, bahwa datang seorang buta kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar penglihatanku terbuka.” Nabi menjawab: “Ataukah aku mendoakanmu?” Laki-laki itu berkata: Waai Rasulullah, saya mengalami kesulitan karena telah lenyap penglihatan saya.” Nabi bersabda: “Pergilah, lalu berwudhu, dan shalat dua rakaat, lalau bacalah: “Ya Allah aku minta kepadamu …”  (Fatawa Yas’alunaka, 3/32)

Jadi pelaksanaannya sebagaimana shalat sunah biasa, sebanyak dua rakaat menurut jumhur ulama, sedangkan menurut Hanafiyah empat rakaat, sedangkan Al Ghazali mengatakan 12 rakaat. (Al Mausu’ah, 27/211-212), lalu berdoa sesuai hajat (kebutuhan). Bacaannya pun biasa saja sebagaimana shalat sunah dua rakaat, sesuai yang kita ketahui dan hapal.

Tertera dalam kitab Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, karya Syaikh Wahbah Az Zuhaili, katanya:

صلاة الحاجة: وهي أربع ركعات بعد العشاء، وقيل: ركعتان. ورد         في الحديث المرفوع أنه يقرأ في الأولى الفاتحة مرة وآية الكرسي ثلاثاً، وفي كل من الثلاثة الباقية: يقرأ الفاتحة والإخلاص والمعوذتين مرة مرة، فإن قرأهن كن له مثلهن من ليلة القدر.

Shalat hajat: yaitu empat rakaat setelah ‘Isya, ada yang mengatakan dua rakaat. Terdapat dalam hadits marfu’ bahwa di rakaat pertama membaca Al Fatihah sekali dan ayat kursi tiga kali, lalu ditiap tiga rakaat sisanya membaca Al Fatihah, Al Ikhlas, dan Al Mu’awidzatain (Al Falaq dan An Naas), masing-masing sekali. Maka, jika jika surat-surat ini dibaca maka dia mendapatkan nilai seumpama pada Lailatul Qadr. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/1065-1066), sayangnya dalam kitab ini tidak disebutkan status riwayat tersebut.

Ada pun Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz dan muridnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, mereka berdoa menyatakan dalam Fatawa Nur ‘Alad Darb, bahwa tidak ada dan tidak dikenal shalat bernama “Shalat Hajat”, yang ada menurut mereka adalah shalat taubat dan shalat istikharah.

📚   Tetapi, dalam kenyataan sejarah fiqih Islam, istilah shalat hajat sudah ada sejak belasan abad yang lalu, tertera dalam Sunan At Tirmidzi dan Sunan Ibni Majah dalam judul yang sama,  Bab Maa Jaa’a fi Shalatil Haajah (Bab Tentang Shalat Hajat).  Oleh karena itu, kenyataan ini menunjukkan hal itu sudah dikenal sejak masa salaf.

Kemudian, pada kitab-kitab para ulama empat mazhab pun terkenal shalat hajat ini. Oleh karenanya disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلاَةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ

Para ahli fiqih telah sepakat bahwa shalat hajat adalah sunah. (Al Mausu’ah, 27/211)

Selesai. Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat ke 3, 4, 5)

Suara Adalah Ujian Ketakwaan Seseorang

إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (3) إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ (4) وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ( 5)

3.Sesunguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya disisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.

4.Sesungguhnya orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti.

5.Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun labi Maha Penyayang. (QS. Al Hujurat [49]: 3-5)

Tinjauan Bahasa

يَغُضُّونَ

Menahan, seperti juga dalam menahan pandangan (ghad al bashar).

امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

Imam At Thabari menafsirkannya sebagai:

[1] أخلص الله قلوبهم فيما أحبّ

tulus hati terhadap apa yang dicintai

وَأَجْرٌ عَظِيمٌ

Pahala yang agung, yaitu surga.

Kandungan ayat

Pada ayat ketiga, Imam At Thabari menyebutkan, orang-orang yang merendahkan suaranya, merupakan ujian yang Allah berikan kepada mereka, sebagai bentuk seleksi ketakwaan:

هؤلاء الذين يغضون أصواتهم عند رسول الله، هم الذين اختبر الله قلوبهم بامتحانه إياها، فاصطفاها وأخلصها للتقوى، يعني لاتقائه بأداء طاعته، واجتناب معاصيه، كما يمتحن الذهب بالنار، فيخلص جيدها، ويبطل خبثها[2]

Mereka yang menahan suara disisi Rasulullah, Allah sedang menguji hati mereka, memilih dan membersihkannya agar meraih ketakwaan, yaitu ketakwaan dalam melaksanakan ketaatan, menjauhi kemaksiatan, ibarat ujian emas yang dibakar api, agar menjadi murni dan lenyap buruknya.

Ayat ke empat:

إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Sesungguhnya orang yang memanggil kamu dari luar kamar (mu) kebanyakan mereka tidak mengerti

Terkait dengan ayat ini, al Mawardi menyebutkan beberapa sabab nuzul, diantaranya riwayat yang bersumber dari Ma’mar dari Qatadah, saat datang seseorang menemui Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam, lalu ia berseru kepada Nabi dari luar kamar Nabi:

يا محمد , إن مدحي زين وشتمي شين , فخرج النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (وَيْلُكَ ذَاكَ اللَّهُ , ذَاكَ اللَّهُ)[3]

“Wahai Muhammad, sesungguhnya pujian kepadaku adalah hiasan, dan cercaan kepadaku adalah aib, lalu nabi keluar dan berkata,” Celakalah engkau, itu adalah Allah, itu adalah Allah”.

Al Wahidi dalam tafsirnya menyebutkan riwayat lain tentang sabab nuzul ayat ini yaitu ketika sekelompok orang dari Bani Tamim datang mencari keberadaan Nabi Muhammad, pada saat itu Nabi sedang qailulah (tidur sejenak menjelang Dzuhur), lalu mereka memanggil-memanggil, “Wahai Muhammad keluarlah kepada kami”, lalu berkeliling diluar kamar sambil memanggil-manggil Nabi dengan tidak beradab. Ini adalah pendapat Jabir, Ibnu Abbas, Mujahid dan Al Kalbi.[4]

Ayat ke lima

وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun labi Maha Penyayang.

Al Qurtubi dalam tafsirnya menyebutkan:

لَوِ انتظروا خروجك لكان أصلح لهم فِي دِينِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ. وَكَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحْتَجِبُ عَنِ النَّاسِ إِلَّا فِي أوقات يشتغل فيها بِمُهِمَّاتِ نَفْسِهِ، فَكَانَ إِزْعَاجُهُ فِي تِلْكَ الْحَالَةِ مِنْ سُوءِ الْأَدَبِ[5]

Jika mereka menunggu hingga engkau keluar (Muhammad) itu lebih baik bagi agama dan dunia mereka, Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam tidaklah menghalangi bertemu manusia, kecuali karena waktu-waktu pribadi beliau, sehingga mengganggu beliau pada waktu-waktu tersebut adalah adab yang buruk.

Sedangkan Muhammad bin Abdul Latif Al Khatib mengomentari ayat ini dalam tafsirnya,”Karena Nabi manusia yang bukan seperti kebanyakan manusia lainnya, mungkin saja waktu-waktu tersebut adalah waktu wahyu turun kepada beliau, atau waktu tersebut adalah waktu beliau sedang bermunajat kepada Allah, atau sedang memohon ampun kepada Allah bagi umatnya, sehingga mengganggu beliau pada waktu tersebut adalah akhlak tercela”.[6]

Kesimpulan

  • Menjaga suara agar tidak melebihi porsinya merupakan ujian ketakwaan seorang muslim.
  • Nabi Muhammad memiliki waktu-waktu khusus, baik untuk beribadah, menerima wahyu dari Allah maupun waktu untuk memohonkan ampun bagi umatnya. Sehingga mengganggu waktu khusus beliau merupakan adab yang tercela.

Fauzan Sugiono


[1] At Thabari, Jamiul Bayan Fi Ta’wil Ay Al Qur’an, (Muassasah Ar Risalah, 1420H) J. 22 h. 282

[2] At Thabari, Jamiul Bayan Fi Ta’wil Ay Al Qur’an, (Muassasah Ar Risalah, 1420H) J. 22 h. 282

[3] Al Mawardi, An Nakat wa Al Uyun, (Beirut: Dar al Kutub Al Ilmiyah, T.th) tahqiq Sayid bin Abdil Maqsud, j. 5 h. 327

[4] Al Wahidi, Tafsir Al Basith, Saudi Arabia:Universitas Imam Muhammad Ibnu Suud, 1430 H) J. 20 h. 347

[5] Al Qurtubi, Al Jami’ Li ahkam Al Qur’an, (Kairo: Dar Al Kutub, 1384 H). j 16 h. 311

[6] Muhammad bin Abdul Latif Al Khatib, Audhah Tafasir, ( Mesir: Maktabah Misriyah,1383 H) J. 1 h. 634

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Fatwa Ulama Tentang Berpartisipasi Dalam Pemerintahan Non Muslim

Syaikh Nashir Sulaiman Al ‘Umar mengatakan bahwa sistem pemerintahan di dunia hanya ada tiga saja:

1. Tatanan pemerintahan Islam yang adil
2. Tatahan pemerintahan Islam yang zalim
3. Tatanan pemerintahan dengan hukum kafir

Bagaimanakah hukum partisipasi seorang muslim yang shalih, aktifis, ke dalam sistem no 2 dan 3? Apakah terlarang ataukah mesti diperinci?

– Terlarang jika jutru memperkuat kezaliman dan kekafiran
– Terlarang jika hanya untuk memperkaya diri

Lalu bagaimana jika untuk mengimbangi dan melawan kebatilan dan kezaliman mereka? Atau, untuk menyelamatkan hak-hak kaum muslimin yang berpotensi hilang jika dikuasai orang kafir.

Berikut ini penjelasan para ulama Islam.

1⃣ Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam Rahimahullah

Beliau berkata:

وَلَوْ اسْتَوْلَى الْكُفَّارُ عَلَى إقْلِيمٍ عَظِيمٍ فَوَلَّوْا الْقَضَاءَ لِمَنْ يَقُومُ بِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ ، فَاَلَّذِي يَظْهَرُ إنْفَاذُ ذَلِكَ كُلِّهِ جَلْبًا لِلْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ وَدَفْعًا لِلْمَفَاسِدِ الشَّامِلَةِ ، إذْ يَبْعُدُ عَنْ رَحْمَةِ الشَّرْعِ وَرِعَايَتِهِ لِمَصَالِحِ عِبَادِهِ

“Seandainya orang-orang kafir memimpin suatu daerah yang luas, lalu mereka (orang-orang) kafir menyerahkan kekuasaan kepada orang yang bisa menunaikan maslahat secara umum bagi kaum muslimin, maka hal itu bisa dilaksanakan karena nampak jelas bisa mendatangkan maslahat umum dan menolak kerusakan secara sempurna, walaupun jauh dari rahmat syariat dan pemeliharaannya terhadap maslahat hambaNya…(Qawa’id al Ahkam fii Mashalih al Anam, Juz. 1, Hal. 128)

2⃣ Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau berkata:

وَفِي أَنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا وَأَنَّهَا تُرَجِّحُ خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ الشَّرَّيْنِ وَتَحْصِيلِ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا وَتَدْفَعُ أَعْظَمَ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا

“Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisirnya. Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan. Serta menghasilkan mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara keduanya.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hal. 241)

Lalu masih di halaman yang sama beliau berkata lagi:

وَمِنْ هَذَا الْبَابِ تَوَلِّي يُوسُفَ الصِّدِّيقَ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ لِمَلِكِ مِصْرَ بَلْ وَمَسْأَلَتُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ وَكَانَ هُوَ وَقَوْمُهُ كُفَّارًا كَمَا قَالَ تَعَالَى : { وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ } الْآيَةَ وَقَالَ تَعَالَى عَنْهُ : { يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ } { مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ } الْآيَةَ وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ مَعَ كُفْرِهِمْ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ لَهُمْ عَادَةٌ وَسُنَّةٌ فِي قَبْضِ الْأَمْوَالِ وَصَرْفِهَا عَلَى حَاشِيَةِ الْمَلِكِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَجُنْدِهِ وَرَعِيَّتِهِ وَلَا تَكُونُ تِلْكَ جَارِيَةً عَلَى سُنَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَعَدْلِهِمْ وَلَمْ يَكُنْ يُوسُفُ يُمْكِنُهُ أَنْ يَفْعَلَ كُلَّ مَا يُرِيدُ وَهُوَ مَا يَرَاهُ مِنْ دِينِ اللَّهِ فَإِنَّ الْقَوْمَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَكِنْ فَعَلَ الْمُمْكِنَ مِنْ الْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَنَالَ بِالسُّلْطَانِ مِنْ إكْرَامِ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ مَا لَمْ يَكُنْ يُمْكِنُ أَنْ يَنَالَهُ بِدُونِ ذَلِكَ وَهَذَا كُلُّهُ دَاخِلٌ فِي قَوْلِهِ : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ .

“Dari sisi inilah, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menjadi bendahara negeri Mesir, bahkan beliau memintanya kepada Raja agar beliau dijadikan bendahara negeri, padahal saat itu sang Raja dan kaumnya adalah kafir, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:

“Dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, ..” (QS. Al Mu’min (40): 34)

“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah selain Allah tiada lain kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya ..” (QS. Yusuf (12): 39-40)

Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, maka itu mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya. Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi dan utusan Allah. Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat tidak menghendaki hal itu. Akan tetapi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap melakukan apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman diantara keluarganya, suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu. Semua itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Betaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …” (Ibid)

Demikianlah pandangan cerdas Imam Ibnu Taimiyah, lalu renungkanlah ….. dengan dalil yang lugas dan kaidah yang jelas, beliau merekomendasikan partisipasi dengan pemerintahan yang jelas-jelas rajanya adalah kafir yang menggunakan undang-undang kafir pula di mana mereka punya sistem sendiri yang tidak mungkin dihindari Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, lalu dengan partisipasi itu bertujuan menghasilkan maslahat dan mencegah mudharat.

3⃣ Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah

Beliau berkata :

ومنها أن الله يدفع عن المؤمنين بأسباب كثيرة قد يعلمون بعضها وقد لا يعلمون شيئا منها وربما دفع عنهم بسبب قبيلتهم أو أهل وطنهم الكفار كما دفع الله عن شعيب رجم قومه بسبب رهطه وأن هذه الروابط التي يحصل بها الدفع عن الإسلام والمسلمين لا بأس بالسعي فيها بل ربما تعين ذلك لأن الإصلاح مطلوب على حسب القدرة والإمكان
فعلى هذا لو ساعد المسلمون الذين تحت ولاية الكفار وعملوا على جعل الولاية جمهورية يتمكن فيها الأفراد والشعوب من حقوقهم الدينية والدنيوية لكان أولى من استسلامهم لدولة تقضي على حقوقهم الدينية والدنيوية وتحرص على إبادتها وجعلهم عمَلَةً وخَدَمًا له
نعم إن أمكن أن تكون الدولة للمسلمين وهم الحكام فهو المتعين ولكن لعدم إمكان هذه المرتبة فالمرتبة التي فيها دفع ووقاية للدين والدنيا مقدمة والله أعلم

“Dari ayat ini, Allah Ta’ala membela orang-orang beriman dengan sebab yang banyak, yang sebagiannya telah mereka ketahui atau sama sekali mereka tidak ketahui. Di antaranya Allah menolong mereka karena faktor kesamaan suku atau tanah air dengan mereka para kuffar sebagaimana yang dialami nabi Syu’aib. Allah Ta’ala menolongnya karena ikatan tersebut. Karena ikatan itu pula (yakni ikatan kesamaan suku dan tanah air) Allah Ta’ala akan menolong Islam dan kaum muslimin, ini tidak apa-apa dilakukan, bahkan hal itu bisa menjadi wajib karena melakukan Ishlah (perbaikan) adalah tuntutan yang harus dilakukan sejauh kemampuan dan kemungkinan.

Oleh karena itu, upaya kaum muslimun yang hidup dibawah naungan wilayah kuffar, dan mereka bekerja untuk merubah keadaan menjadi negeri yang demokratis bagi individu dan masyarakat agar mereka bisa menikmati hak-hak agama dan dunia mereka, itu semua lebih utama dibanding menyerahkan semua urusan mereka kepada orang kafir, baik urusan agama, dunia, urusan pengaturan ibadah dan semua kebutuhan mereka. Benar, jika mungkin kaum musliminlah sebagai pengendali Negara dan pemerintahnya, tetapi jika tidak bisa, maka yang bisa kita lakukan harus kita lakukan dalam rangka melindungi agama dan dunia.” (Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Manan, Juz. 1, Hal. 388)

4⃣ Syaikh Nashir Sulaiman Al ‘Umar Hafizhahullah

Syaikh Nashir Sulaiman al Umar berkata dalam salah satu fatwanya tentang berpartisipasi dalam pemerintahan yang non islami, yang berjudul Dhawabith al Musyarakah fil Majalis an Niyabiyah (Patokan Berpartisipasi Dalam Majelis Perwakilan):

علماً أن الأصل في المشاركة هو الجواز، والمنع طارئ لأسباب وقرائن تحفّ بالأمر عند تطبيق القواعد المشار إليها آنفاً.
وما يستأنس به في هذا الباب هو مشروعية الجهاد مع كل بر وفاجر ، مادام القتال شرعياً.
علماً بأن الجهاد مع الفاجر لا يخلو من مفاسد معتبرة، لكنها تتضاءل عند مصلحة إقامة الجهاد، وترك الجهاد مع الفاجر أعظم مفسدة من المفاسد المترتبة على المشاركة فيه معه
.
“Ketahuilah, bahwa hukum asal dari musyarakah adalah jawwaz (boleh), Hal yang mendasarinya adalah disyariatkannya berjihad bersama imam baik dan yang fajir (jahat), selama berperang untuk hal-hal yang syar’i.
Ketahuilah, berjihad bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang jelas ada, Namun kerusakan ini menjadi kecil nilainya dihadapan besarnya kemaslahatan jihad, dan meninggalkan jihad bersama imam yang fajir akan membawa kerusakan yang lebih besar dibanding kerusakan jika ikut berjihad bersamanya.”

(bagi yang ingin melihat teks lengkap fatwa beliau (masih bebahasa Arab) lihat http://islamtoday.net/islamion/f05.html)

Demikian. Wallahu A’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

 

scroll to top