Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

☀💦☀💦☀💦

Sekedar ingin berpuasa di Bulan Rajab? Ya Boleh dan Tetap Sunah!

Walau demikian, tidak berarti kelemahan semua riwayat ini menunjukkan larangan ibadah-ibadah  secara global. Melakukan puasa, sedekah, memotong hewan untuk sedekah, dan amal shalih lainnya adalah perbuatan mulia dan dianjurkan, kapan pun dilaksanakannya termasuk bulan Rajab (kecuali puasa pada hari-hari terlarang puasa).

Tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa senin kamis dan ayyamul bidh (tanggal 13,14,15 bulan hijriah), sebab ini semua memiliki perintah secara umum dalam syariat.Tidak mengapa puasa di bulan Rajab karena mengikuti perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara umum untuk shaum di bulan-bulan haram. Tidak mengapa sekedar memotong hewan untuk disedekahkan, yang keliru adalah meyakini dan MENGKHUSUSKAN ibadah-ibadah ini dengan fadhilah tertentu yang hanya bisa diraih di bulan Rajab, dan tidak pada bulan lainnya. Jika seperti ini, maka membutuhkan dalil shahih yang khusus, baik Al Quran atau As Sunnah yang shahih.

📌 Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَلَمْ يَثْبُت فِي صَوْم رَجَب نَهْيٌ وَلَا نَدْبٌ لِعَيْنِهِ ، وَلَكِنَّ أَصْلَ الصَّوْمِ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ ، وَفِي سُنَن أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْم مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم ، وَرَجَب أَحَدهَا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Tidak ada yang shahih tentang larangan berpuasa pada bulan Rajab, dan tidak shahih pula mengkhususkan puasa pada bulan tersebut, tetapi pada dasarnya berpuasa memang hal yang DISUNAHKAN. Terdapat dalam Sunan Abu Daud bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammenganjurkan berpuasa pada asyhurul hurum (bulan-bulan haram), dan Rajab termasuk asyhurul hurum. Wallahu A’lam (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/39)

📌 Hadits yang dimaksud Imam An Nawawi berbunyi:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Dari Mujibah Al Bahili, dari ayahnya, atau pamannya, bahwasanya dia memdatangi NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia pergi. Kemudian mendatangi lagi setelah satu tahun lamanya, dan dia telah mengalami perubahan baik keadaan dan penampilannya. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kau mengenali aku?” Nabi bertanya: “Siapa kamu?” Al Bahili menjawab: “Saya Al Bahili yang datang kepadamu setahun lalu.” Nabi bertanya:: “Apa yang membuatmu berubah, dahulu kamu terlihat baik-baik saja?” Al Bahili menjawab: “Sejak berpisah denganmu, saya tidak makan kecuali hanya malam.” Bersabda Rasulullah: “Kanapa kamu siksa dirimu?”, lalu bersabda lagi: “Puasalah pada bulan kesaabaran, dan    sehari pada tiap bulannya.” Al Bahili berkata: “Tambahkan, karena saya masih punya kekuatan.” Beliau bersabda: “Puasalah dua hari.” Beliau berakata: “Tambahkan.” Beliau bersabda: “Puasalah tiga hari.” Al Bahili berkata: “Tambahkan untukku.” Nabi bersabda: “Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya), Puasalah pada bulan-bulan haram, dan tinggalkanlah (sebagiannya). Beliau berkata dengan tiga jari hemarinya, lalu menggenggamnya kemudian dilepaskannya.

(HR. Abu Daud No. 2428, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra  No. 8209, juga Syu’abul Iman No. 3738. Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan: sanadnya jayyid. Lihat Fiqhus Sunnah, 1/453.  Namun Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)

Kebolehannya semakin terlihat berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, sebagai berikut:

📌 Dari Utsman bin Hakim Al Anshari, beliau berkata:

سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ

Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubeir tentang shaum pada bulan Rajab, saat itu kami sedang berada pada bulan Rajab, Beliau menjawab: “Aku mendengar Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata: Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa (pada bulan Rajab) sampai-sampai kami mengatakan Beliau tidak meninggalkannya, dan Beliau pernah meninggalkannya sampai kami mengatakan dia tidak pernah berpuasa (Rajab). (HR. Muslim No. 1157)

Oleh karenanya, mayoritas para imam membolehkan berpuasa pada bulan Rajab secara umum, selama dia tidak mengkhususkan, mengistimewakan, dan menspesialkannya  melebihi bulan lainnya.

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

الظاهر أن مراد سعيد بن جبير بهذا الاستدلال أنه لا نهى عنه ولا ندب فيه لعينه بل له حكم باقي الشهور

Secara lahiriah, maksud dari Sa’id bin Jubeir dengan pendalilan ini adalah bahwa tidak ada larangan dan tidak ada pula anjuran secara khusus puasa pada Rajab,  tetapi hukumnya sama seperti bulan-bulan lainnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/38-39)

📌 Jumhur ulama – imam tiga madzhab- menyunnahkannya (mandub), sementara kalangan Hanabilah (Hambaliyah) memakruhkannya (Lihat  Al Fiqhu ‘alal Madzaahib Al Arba’ah, 1/895), sebagaimana itu juga  pendapat Umar bin Al Khathab  Radhiallahu ‘Anhu [1] dan anaknya, Abdullah bin UmarRadhiallahu ‘Anhu. [2]

Berkata Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih Hafizhahullah:

ومن خلال هذه النقول يتضح لنا جلياً أن المسألة خلافية بين العلماء، ولا يجوز أن تكون من مسائل النزاع والشقاق بين المسلمين، بل من قال بقول الجمهور من العلماء لم يثرب عليه، ومن قال بقول الحنابلة لم يثرب عليه.وأما صيام بعض رجب، فمتفق على استحبابه عند أهل المذاهب الأربعة لما سبق، وليس بدعة.
ثم إن الراجح من الخلاف المتقدم مذهب الجمهور لا مذهب الحنابلة

Pada masalah ini, kami katakan bahwa telah jelas perkara ini telah diperselisihkan para ulama, dan tidak boleh masalah ini menjadi sebab pertentangan dan perpecahan di antara kaum muslimin. Bahkan, siapa saja yang berpendapat seperti jumhur ulama dia tidak boleh dicela, dan siapa saja yang berpendapat seperti Hanabilah dia juga tidak boleh dicela. Ada pun berpuasa pada sebagian bulan Rajab, maka telah disepakati kesunahannya menurut para pengikut empat madzhab sebagaimana penjelasan lalu, itu bukan bid’ah

Kemudian, sesungguhnya PENDAPAT YANG LEBIH KUAT dari perbedaan pendapat sebelumnya adalah pendapat JUMHUR (Mayoritas), bukan pendapat Hanabilah. (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah No. 28322)

Banyak ulama yang mengatakan shaum Rajab adalah sunnah, baik dengan istilah mustahab (disukai) dan mandub (dianjurkan), seperti : Imam Asy Syaukani (Naulil Authar, 4/621), Imam Ibnu Hajar Al Haitami (Fatawa Ibni Hajar, 1/4), dan lainnya.

📌 Sementara itu, mengkhususkan menyembelih hewan (istilahnya Al ‘Atirah) pada bulan Rajab, telah terjadi perbedaan pendapat di dalam Islam. Imam Ibnu Sirin mengatakan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk Bashrah, juga Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang dikutip oleh Hambal. Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa hal itu adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapuskan oleh Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda dalam hadits shahih: “Tidak ada Al Fara’ dan Al ‘Atirah.” (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif Hal. 117)

Namun, jika sekedar ingin menyembelih hewan pada bulan Rajab, tanpa mengkhususkan dengan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa dilakukan. Karena Imam An Nasa’i meriwayatkan, bahwa para sahabat berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, dahulu ketika jahiliyah kami biasa menyembelih pada bulan Rajab?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

اذبحوا لله في أي شهر كان

“Menyembelihlah karena Allah, pada bulan apa saja.” (HR. An Nasa’i, hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/208)

(Bersambung …)

🍃🍃🍃🍃

Foot notes:

[1] Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu tidak menyukai puasa Rajab. Berikut ini riwayatnya:

–          Riwayat Imam Ath Thabarani, berkata kepada kami Muhammad bin Al Marziban,  berkata kepada kami   Al Hasan bin Jablah,  berkata kepada kami Sa’id bin Shalt, dari Al A’Masy, dari Barrah bin Abdirrahman, bahwa  Kharasyah bin Al Hurr berkata:

رَأَيْتُ عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ النَّاسِ فِي رَجَبٍ ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الْجِفَانِ وَيَقُولُ : كُلُوا فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُأَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ فلما جاء الإسلام ترك

Aku melihat Umar memukul telapak tangan manusia pada bulan Rajab, hingga dia mengantarkannya ke mangkuk besar, dan berkata: “Makanlah, ini adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang Jahiliyah, yang ketika Islam datang dia sudah ditinggalkan.” (Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 7636)

Imam Al Haitsami mengatakan tentang sanad Ath Thabarani: “Sanadnya terdapat Al Hasan bin Jablah, aku belum temukan orang yang menceritakannya, dan perawi lainnya terpercaya.” (Majma’ Az Zawaid,  3/439) Maka, sanad ini belum meyakinkan. Tetapi Syaikh Al Albani mengatakan: “Tidak apa-apa jika sebagai mutaba’ah (penguat).” (Irwa’ul Ghalil, 4/114)

Ternyata ada riwayat lain dari Imam Ibnu Abi Syaibah sebagai berikut:

Dari Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Barah bin Abdirrahman, dari Kharasyah bin Al Hurr, dia berkata:

رَأَيْتُ عُمَرَ يَضْرِبُ أَكُفَّ النَّاسِ فِي رَجَبٍ ، حَتَّى يَضَعُوهَا فِي الْجِفَانِ وَيَقُولُ : كُلُوا فَإِنَّمَا هُوَ شَهْرٌ كَانَ يُعَظِّمُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ

Aku melihat Umar memukul telapak tangan manusia pada bulan Rajab, hingga dia mengantarkannya ke mangkuk besar, dan berkata: “Makanlah, ini adalah bulan yang dimuliakan oleh orang-orang Jahiliyah. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9851)

Syaikh Al Albani berkata: haadza sanadun shahihun – sanad hadits ini shahih. (Irwa’ul Ghalil, 4/114)

[2] Imam Ibnu Abi Syaibah menceritakan:

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : كَانَ ابْنُ عُمَرَ إذَا رَأَى النَّاسَ ، وَمَا يُعِدّونَ لِرَجَبٍ ، كَرِهَ ذَلِكَ

Berkata kepada kami Waki;, dari ‘Ashim bin Muhamad, dari ayahnya, dia berkata: “Dahulu Ibnu Umar jika dia melihat manusia -dan betapa banyak yang melakukannya  pada Rajab- maka dia membencinya.” (Al Mushannaf No. 9854)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

Serial Tulisan Tentang Bulan Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 2)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 4/Selesai)

Menjawab Kebingungan Tentang Shaum Rajab

Puasa Ayyamul Bidh Tidak Tuntas

Pertanyaan

Assalamualikum ustadz,ustadzah..
Ana mw nanya,tentang puasa yaumul bidh. Puasa yaumul bidh dilksanakan stiap tgl 13,14,15 hijriah. Bagaimana hukumnya jika kita cuma mlksanakan 2 hr sja. Meninggalkan satu hari bkn karena kesengajaan. Syukron (Unhy)

Jawaban:

Wa ‘Alaikumussalam wa rahmatullah .., Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Bisa jadi memang ada keadaan seseorang tidak tuntas melaksanakan tiga hari ayymul bidh, baik karena sakit, haid, atau dia melakukan aktifitas yang lebih utama atau wajib seperti wanita ketika suaminya di rumah. Yang jelas semua itu bukan kesengajaan untuk menghentikannya. Ini tidak mengapa, dia tidak berdosa, sebab Allah Ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertaqwa-lah kepada Allah semampu kalian .. (QS. At Taghabun: 16)

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Dan apa-apa yang aku perintahkan kepadamu maka lakukanlah semampu kalian. (HR. Muttafaq ‘Alaih, dari Abu Hurairah Radhaillahu ‘Anhu)

Apalagi jika kekurangan itu dilakukan bukan karena kemauan kita, baik karena keadaan atau ketidaksengajaan, jelas itu bukan kesalahan.

Allah ﷻ berfirman:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Wahai Tuhan kami jangan salahkan kami jika kami lupa dan melakukan kesalahan (tidak sengaja) .. (QS. Al Baqarah: 286)

Dalam hadits lain, dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah membiarkan dari umatku, 1. Kesalahan (tidak sengaja), 2. Lupa, 3. Kesalahan yang terpaksa. (HR. Ibnu Majah No. 2043, hadits juga diriwayatkan banyak imam dari banyak jalur seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al Hasan bin Ali, Tsauban, ‘Uqbah bin ‘Amir. Imam Ibnul Mulaqin dalam Al Badrul Munir-nya menyebutkan bahwa hadits seperti ini memiliki delapan jalur. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya, seperti Al Irwa, Misykah Al Mashabih, Shahih Ibni Majah, dan Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah)

Wallahu a’lam

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

LARANGAN MENINGGIKAN SUARA

  1. NASH AYAT

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu meninggikan suaramu, melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedang kamu tidak menyadarinya. (QS. Al Hujurat [49]:2)

  1. TINJAUAN BAHASA

لا تَرْفَعُوا

Janganlah kalian meninggikan

أَصْوَاتَكُمْ

Suara kalian

وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ

Berkata keras

Menut Ibnu Asyur menyebutkan kerasnya kata-kata melebihi biasanya yang didengar, sehingga mengganggu. Seperti suara yang terdengar dari tempat yang tinggi.[1]

  1. KANDUNGAN AYAT

Ayat ini berkaitan dengan sabab nuzul dalam mukaddimah seri yang lalu, diperkuat juga dengan Imam Al Bukhari menyebutkan dalam kitab Sahihnya, hadits bersumber dari Ali Bin Abdillah:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ سَعْدٍ، أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ، أَنْبَأَنِي مُوسَى بْنِ أَنَسٍ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَقَدَ ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ، فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا أَعْلَمُ لَكَ عِلْمَهُ. فَأَتَاهُ فَوَجَدَهُ فِي بَيْتِهِ مُنَكِّسًا رَأْسَهُ، فَقَالَ لَهُ: مَا شَأْنُكَ؟ فَقَالَ: شَرٌّ، كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ. فَأَتَى الرَّجُلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ كَذَا وَكَذَا، قَالَ مُوسَى: فَرَجَعَ إِلَيْهِ الْمَرَّةَ الْآخِرَةَ بِبِشَارَةٍ عَظِيمَةٍ فَقَالَ: “اذْهَبْ إِلَيْهِ فَقُلْ لَهُ: إِنَّكَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَلَكِنَّكَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ[2]

“Telah menceritakan kepadaku Azhar bin Said telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, telah memberitahuku Musa bin Anas, dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu, Nabi mencari Tsabit bin Qais, lalu seseorang berkata,” Aku tahu, aku akan beritahukan kepadamu ya Rasulullah,. Lalu orang tersebut mencari Tsabit bin Anas, dan akhirnya mendapati dirumahnya sedang menengadahkan kepalanya. Orang tersebut berkata,”Apa yang terjadi denganmu ?”. Tsabit bin Qais berkata,” Buruk”. Lalu Tsabit menceritakan, ia mengangkat suara di hadapan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam, ia khawatir amalnya akan terhapus, dan termasuk penghuni neraka”. Lalu orang tersebut menemui Rasulullah dan memberitahu beliau apa yang terjadi dengan Tsabit bin Qais. Lalu Musa bin Anas berkata,” Lalu laki-laki itu kembali lagi yang terakhir kepada nabi dengan membawa kabar gembira besar. Lalu nabi berkata,”Pergilah, temui Tsabit Bin Qais katakana kepadanya,”Engkau bukan penghuni neraka, akan tetapi engkau adalah penghuni syurga”.

Menurut Ibnu Asyur, perumpamaan dalam ayat ini terkait dengan ayat sebelumnya, beliau berkomentar:

لِيَكُونَ كُلُّ مِثَالٍ مِنْهَا دَالًّا عَلَى بَقِيَّةِ نَوْعِهِ وَمُرْشِدًا إِلَى حُكْمِ أَمْثَالِهِ دُونَ كُلْفَةٍ[3]

Agar setiap permisalan tersebut menjadi petunjuk pada sebagian ayat ayat sejenisnya tanpa kesulitan dalam memahami.

Ayat ini juga masih terkait dengan bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Karena Al Qur’an diturunkan untuk sebuah interaksi yang baik, tidak menghendaki hubungan yang buruk. Sehingga mencegah sebuah keburukan dalam syariat islam lebih di dahulukan dari pada mengambil manfaat.

دَرْء الْمَفَاسِد مقدم على من جلب الْمصَالح[4]

“Mencegah kerusakan lebih diprioritaskan daripada mengambil manfaat”.

Karena syariat lebih mengedepankan pencegahan terhadap kerusakan daripada mengambil maslahat terlebih. Larangan meninggikan suara dihadapan nabi semasa hidupnya, juga berlaku meski nabi sudah wafat. Hal ini seperti disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir, saat menyebutkan riwayat bahwa Umar bin Khattab mendengar dua orang yang meninggikan suara di Masjid Nabawi, lalu Umar menegur mereka seraya berkata,” .Tahukan dimana kalian sekarang?”. Dari mana kalian?.Mereka menjawab,” Kami dari Tha’if:. Umar bin Khattab berkata,”Jika saja berasal dari Madinah, akan aku pukul kalian hingga pingsan”.[5]

Menurut Ibnu Abbas ayat ini terkait larangan bagi muslim memanggil nama nabi secara langsung, seperti “Ya Muhammad, akan tetapi panggil dengan sebutan,” Ya Rasulullah, Ya Nabiyallah, Ya Abal Qashim, agar amal-amal kalian tidak terhapus karena kalian hilang adab terhadap Rasulullah. [6]

  1. KESIMPULAN

  • Larangan meninggikan suara, baik terhadap Rasulullah maupun orang lain, karena meninggikan suara mengganggu orang lain.
  • Menjaga adab dengan Rasulullah, memanggil dengan panggilan pemuliaan dan penghormatan.
  • Adab terhadap Rasulullah tetaplah berlak, meski beliau sudah tiada.

Fauzan Sugiono


[1] Muhammad Thahir bin Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, Tunis:Dar Tunisia Li An Nasyr, 1984) J. 26 h.219

[2]Imam Al Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, Shahih Al Bukhari, (Mesir, Dar Tuq An Najat, 1422) J.6 h. 137 No 4846

[3] Muhammad Thahir bin Asyur, At Tahrir wa At Tanwir, h.219

[4] Muhammad Musthafa Az Zuhaily, Ushul Fikh wa Qawaid Fikhiyah, (Damaskus: Dar Fikr, 1427H) j. 1 h. 238

[5] Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azim, (Dar Taybah li An Nasyr, 1420) Tahqiq: Sami Bin Muhammad Salamah j. 7 h. 368

[6] Majduddin Abu Tahir Al Fairuz Abadi,Tanwir Miqbas Fi Tafsir Ibni Abbas, (Libanon:Dar Al Kutub, tt) 1/435

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Menghadapi Para Pendengki

💢💢💢💢💢💢

Menyeru manusia kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengajak manusia ke jalan kebaikan, ibarat perdagangan. Seorang yang berdagang pasti memiliki pesaing. Ada pesaing yang sehat dan ada pula yang hasad (dengki). Si pendengki akan melakukan upaya apa saja untuk menggembosi pedagang lain yang lebih laku. Ia katakan kepada manusia: hati-hati dengan pedagang itu, barang dagangannya expired (kadaluarsa), tidak berkualitas, tidak orisinil, dan lain-lain, dengan tujuan menjauhkan manusia darinya, lalu pelanggan beralih kepadanya. Paling tidak, memburukkan citranya.

Begitu pula segala macam bentuk fitnah, tuhmah (tuduhan), tha’nah (tikaman), yang dialami aktifis Islam  dan tokoh-tokohnya. Baik di ranah sosial politik, budaya, ekonomi, dan lainnya. Semua itu bisa datang dari   dari kaum sekuler yang anti agama, bisa juga sesama pejuang Islam yang memiliki bendera dan seruan yang sama, tapi mereka bertemu pada muara yang sama; dengki.

Kaum pendengki biasanya mampu berseni peran secara luar biasa. Mereka tesenyum dan menyapa dihadapan korbannya untuk menunjukkan cinta dan ridha. Sehingga korbannya pun tertipu dengan penampilan mereka. Tetapi di belakang, mereka menyerang dengan serangan mematikan, dengan berbagai sarana yang mereka miliki untuk mempengaruhi opini manusia sesuai kemauannya, agar manusia ikut-ikutan membenci korbannya.

Allah Ta’ala berfirman:

هَا أَنْتُمْ أُولَاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلَا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آَمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الْأَنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ

“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, Padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada Kitab-Kitab semuanya. apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu.” (QS. Al Imran (3): 119)

Ya, jika mereka berdiskusi dengan kita, berkumpul dan berhadapan, mereka menyatakan selalu bersama kita, tetapi perilaku mereka sangat bertolak belakang. Maka cukuplah bagi mereka:

قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.” (QS. Ali Imran (3): 119)

Selanjutnya,  akan kami kutip nasihat bagaimana menghadapi para pendengki dalam kehidupan kita, yaitu nasihat Syaikh Dr. ’Aidh Abdullah Al Qarny Hafizhahullah dari buku Silakan Terpesona, hal. 187. Cet.3, Penerbit Sahara Publishers. Jakarta, Juni 2005.

Beliau menulis:
“Bagaimanapun Anda berbuat baik kepada orang yang hasud, misalnya membawakan makanan dan minuman kepadanya, memakaikan pakaiannya, membawakan air wudhunya, menyikatkan permadaninya, membersihkan rumahnya, dan lain-lain, Anda akan tetap dianggapnya sebagai musuh. Mengapa demikian? Sebab, hal-hal yang menjadi pemicu permusuhan dengannya itu masih melekat pada diri Anda, yaitu keutamaan, ilmu pengetahuan, tata krama, harta, atau jabatan Anda. Bagaimana pun Anda tidak akan dapat berdamai dengannya selama Anda belum menanggalkan karunia-karunia tersebut dari diri Anda. Orang yang iri hati akan selalu menunggu-nunggu saat Anda terpeleset, menanti-nanti kapan Anda terjatuh, dan berangan-angan suatu saat Anda tergelincir.

Hari terbaik baginya adalah hari Anda jatuh sakit, malam terindah baginya adalah malam Anda jatuh miskin, dan saat-saat paling membahagiakan baginya adalah hari Anda tertimpa bencana, dan waktu yang paling disukainya adalah hari Dia melihat Anda gelisah, resah, sedih, dan rapuh.

Momen yang paling menyiksanya adalah ketika ia melihat Anda menjadi kaya raya. Berita paling menyedihkannya adalah ketika Anda meraih keberuntungan dan menjadi orang terhormat. Dan bencana paling besar baginya adalah ketika Anda mendapat promosi.

Tawa Anda adalah tangisnya, pesta Anda adalah upacara kematiannya, dan keberhasilan Anda adalah kegagalannya.

Dia akan melupakan segala-galanya tentang diri Anda, kecuali kesalahan-kesalahan Anda. Dia tidak memandang apa pun kepada diri Anda, kecuali pada kekurangan-kekurangan Anda. Kesalahan Anda yang kecil, baginya lebih besar daripada gunung Uhud. Dosa Anda yang sepele, menurutnya lebih berat daripada gunung Tsahlan. Meskipun Anda lebih fasih daripada Sahban, baginya Anda lebih gagap daripada Baqil. Meskipun Anda lebih dermawan daripada Hatim, baginya Anda lebih kikir darpada Madir. Meskipun Anda lebih cerdas daripada Asy Syafi’i, dia memandang Anda lebih bodoh dari pada Habnaqah.

Orang yang memuji Anda di hadapannya dianggapnya pendusta. Orang yang menyanjung Anda di dekatnya dianggapnya orang munafik. Orang yang memuji Anda di majelisnya dianggapnya orang rendah yang tak tahu etika. Sebaliknya, dia mempercayai orang yang mencela Anda, menyukai orang yang membenci Anda, mendekati orang yang memusuhi Anda, menolong orang yang tidak menyukai dan tidak akrab dengan Anda.

Warna putih menurut pandangan mata Anda, terlihat hitam baginya. Siang dalam penglihatan Anda, malam dalam pandangannya.

Maka dari itu, janganlah Anda menjadikannya sebagai hakim dalam perkara Anda dengan orang lain, karena dia telah memvonis Anda bersalah sebelum mendengar tuntutan dan melihat bukti-bukti. Janganlah Anda membocorkan rahasia kepadanya, karena dia sangat bersemangat menyebarkan dan menyiarkannya. Ia menyimpan kekeliruan Anda sampai hari ia membutuhkannya dan mencatat kesalahan Anda sampai hari ia memerlukannya. Cara menghadapinya hanyalah menghindari dan meninggalkannya, menghilang dari pandangannya, menjauhi rumahnya, dan menyingkir dari tempatnya. Sebab, dia sebenarnya adalah sang penindas yang berpenampilan orang yang tertindas. Tak usah Anda membalasnya, sudah cukup baginya kepahitan di kerongkongannya, duka nestapa yang dialaminya, kesedihan yang merundungnya, dan kecelakaan yang dirasakannya.

Andalah yang membuatnya sakit dan menderita; andalah yang membuatnya tidak bisa tidur dan gundah gulana; andalah yang mendatangkan kegelisahan, kesedihan, kelelahan, dan keletihan padanya.

Aku berhasil, maka sujudlah orang yang dulu mencela diriku

Dia tidak kucela, itulah pemaafan dan penghinaanku baginya

Itu juga yang kualami di antara keluarga dan orang sebangsaku

Sebab, barang yang berharga memang aneh di mana saja berada

Orang yang iri pada kebaikanku, berdusta di belakangku

Berghibah sembunyi-sembunyi, memuji-muji di depan mata
*****

Demikian nasihat indah dari Syaikh Dr. ’Aidh Al Qarny hafizhahullah

Sungguh, kedengkian adalah penyakit mematikan bagi pengidapnya. Hatinya sempit, jiwanya bergoncang, pikiran pun buram, karena semua telah diliputi rasa khawatir terhadap kemuliaan dan kemajuan orang lain, lalu sedih terhadap kebahagian orang lain, dan marah terhadap pujian yang diterima mereka.

Ia menolak dan membantah ketika ada ulama atau tokoh masyarakat yang memberi kesaksian positif terhadap  aktivis Islam. Ia cari-cari alasan agar kesaksian itu menjadi mentah dan tidak berharga. Sungguh betapa lelah dan payahnya orang seperti itu. Orang-orang yang hari-harinya diisi dengan tilawah Al Quran, menyeru manusia kepada kebaikan, menghidupkan masjid, mendidik anak-anak terlantar, berjuang untuk umatnya, oleh kaum pendengki disebut munafik, dicari kelemahannya, diintai kesalahannya, hanya untuk memuaskan syahwat dengkinya.    Akhirnya, ia hidup hingga matinya diliputi kebencian, angkara murka, dan tanpa kasih sayang sesama muslim dan manusia, kecuali yang dirahmati oleh Allah ’Azza wa Jalla untuk berubah.

Di mana saja berada, orang-orang seperti ini menjadi kerikil dalam sepatu bagi saudaranya sesama muslim.  Sedikit dan kecil tetapi mengganggu, atau seperti kutil, kecil tetapi merusak pemandangan. Kritik yang dilakukan mereka bukan didasari cinta dan ilmu, tetapi amarah, dendam, dan pelampiasan hawa nafsu. Semua akan dilakukan, semua menjadi sarana, semua yang menjadi musuh pada masa lalu menjadi kawan masa kini, …. karena satu tujuan, satu target dan sasaran, kehancuran pejuang muslim dan tokoh-tokohnya.

Dengki tidaklah memandang usia dan tempat, ia bisa diidap siapa saja dan hidup di mana saja. Orang yang menjadi korban juga tidak memandang usia dan posisi, siapa saja pernah menjadi sasaran kedengkian. Baik itu jamaah, ulama, da’i, politisi, tokoh negara, guru, pedagang, dan sebagainya. Maka carilah ridha Allah ’Azza wa Jalla dalam berda’wah, jangan hiraukan ucapan yang melemahkan, tuduhan yang menggoncangkan, dan fitnah yang membingungkan, karena ketika Anda menjadikan Allah ’Azza wa Jalla sebagai satu-satunya tujuan dan tempat bersandar, maka musuh-musuhmu akan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali celaka bagi dirinya sendiri.

Wallahu A’lam wa Lillahil ’Izzah

(Farid Nu’man, Kota Sambas, April 2007, dengan beberapa editan. Pernah dimuat majalah Tatsqif 2007)

🌸🌾🌻☘🌺🌱🌿🍃🌴

scroll to top