Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

1⃣ Rajab termasuk Ayshurul Hurum

Bulan Rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan haram (syahral haram) …” (QS. Al Maidah (95): 2)

Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalah dzul qa’dah, dzul hijjah, rajab, dan muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)

Namun sebagian ulama mengatakan, larangan berperang pada bulan-bulan haram ini telah mansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat wa qaatiluuhum haitsu tsaqiftumuuhum (dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka). Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah).

Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان

“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)

(Bersambung ….)

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

Farid Nu’man Hasan

Serial Tulisan Tentang Bulan Rajab dan Keutamaannya

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 1)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 2)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 3)

Bulan Rajab dan Keutamaannya (Bag. 4/Selesai)

Menjawab Kebingungan Tentang Shaum Rajab

Wanita Berobat Ke Terapis/Dokter Laki-Laki dan Sebaliknya

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, ustadz, apa hukumnya seorang perempuan/ ibu yg berobat terapi Totok punggung pada terapis laki laki dengan pegang punggungnya tetapi dgn sarung tangan.

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah, wz ba’d:

Berobat adalah upaya masyru’ dan di dorong oleh syariat yang mulia. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” [1]

Berobat, sebisa mungkin dengan obat yang halal dan suci, serta dilakukan dengan cara yang benar, dan dilakukan oleh orang yang tepat, agar selamat secara medis dan syariat. Jika pasiennya laki-laki sebagusnya dokternya laki-laki, dan jika pasiennya wanita sebagusnya dokternya wanita. Kebutuhan ini menunjukkan kemestian membuka peluang bagi kaum wanita muslimah untuk menuntut ilmu kedokteran sebagaimana kaum laki-laki.

📌 Jika Keadaan Tidak Ideal

Dalam keadaan masyarakat yang normal dan wajar, saya rasa tidak sulit mencari dokter laki-laki dan wanita dengan spesialisasinya masing-masing. Sehingga kita relatif tidak sulit berobat dengan mekanisme yang dibenarkan syariat. Tapi, keadaan seperti itu tidak selalau sama di masing-masing daerah. Ada daerah minus dokter kandungan muslimah, bidan muslimah, atau semisalnya, yang ada adalah dokter laki-laki. Padahal pasien itu bisa laki-laki bisa juga perempuan, dan kesehatan serta kehidupan mereka mesti sama-sama dijaga.

Dalam keadaan seperti itu tidak mengapa seorang wanita berobat ke dokter laki-laki (atau sebaliknya jika memang dokter laki-laki yang minim), selama adab-adabnya terjaga. Di sisi lain, dalam dunia pengobatan, di dalamnya sangat memungkinkan terjadi persentuhan langsung antara dokter dan pasiennya, karena itulah cara untuk mendeteksi dan mendiagnosa penyakit.

Pembolehan ini mengingat beberapa fakta sejarah dan kaidah berikut:

1.       Dalam kitab Shahih Al Bukhari terdapat sebuah bab:  Bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi (Pengobatan Wanita untuk yang terluka dalam peperangan), juga bab: Bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah(Wanita Memulangkan Pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah)

2.       Beberapa kaidah fiqih:

الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

Kesulitan membawa pada kemudahan.[2]

Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki:

المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع

Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan.[3]

Kaidah ini berdasarkan firman Allah ﷻ :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Ayat lainnya:

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS.  An Nisa’: 28)

Ada pun dalam hadits:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ   bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا

Permudahlah dan jangan persulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari. [4]

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْه

“Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa, jika ternyata mengandung dosa maka dia adalah orang yang paling jauh darinya.” [5]

Maka, keadaan jika sulit, sempit, payah, termasuk dalam berobat mencari yang  “seharusnya” maka tidak mengapa, dan membuatnya lapang untuk berobat dengan dokte

r yang ada, walau dia lawan jenis. Sebab, jika tidak demikian maka itu membuatnya jatuh dalam dharar (kerusakan yang lebih besar), dan itu justru terlarang.

Sebagaimana kaidah lain:

الضَّرَرُ يُزَالُ

Adh Dhararu Yuzaal – kerusakan mesti dihilangkan.[6]

Dalil kaidah ini  adalah:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah (2): 195)

Dan hadits Nabi ﷺ :

لا ضرر ولا ضرار

Jangan membuat kerusakan dan jangan menjadi rusak. [7]

Hanya saja ada beberapa adab yang mesti dijaga:

1.        Hendaknya memakai pakaian yang sesuai syariat.

2.        Jika hendak membuka bagian tubuh yang sakit, dan itu ternyata aurat, maka bukalah sesuai kebutuhan pemeriksaan, sesuai kaidah:

الضرورة تقدر بقدرها

Kondisi darurat ditakar sesuai kadar kebutuhannya. [8]

3.        Jika mungkin, dokternya menggunakan sarung tangan.

4.        Hendaknya ditemani oleh orang lain, baik mahram, atau ajnabi yang terpercaya.

Demikian. Wallahu A’lam wa Ilahil Musytaka

✏ Farid Nu’man Hasan


🌿🌿🌿🌿:

[1] HR. Abu Daud No. 3876, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20173. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. (Tuhfatul Muhtaj, 2/9). Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. (Majma’uz Zawaid, 5/86)

[2] Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah

[3]  Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[4] HR. Al Bukhari No. 69, Muslim No. 1732

[5] HR. Al Bukhari 3560, 6126, 6786, Muslim No. 2327

[6] Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Al Kitabul Awwal, Kaidah keempat, Hal. 83. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kedua,  1/51. Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kelima, Hal. 85. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Min Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, Hal. 190

[7] HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 268, 1033, 3777, 5193, juga dalam Al Kabir No. 1387, 11576, 11806, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 11166, 11167, 11657, 11658, 20230, 20231. Malik dalam Al Muwaththa’ biriwayah Yahya Al Laitsi No. 1429, Ibnu Majah No. 2340, 2341, Ad Daruquthni No. 83, 288, Ahmad No. 2867, Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 1096, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1300, dll

Imam Al Hakim mengatakan: “Shahih, sesuai syarat Imam Muslim.” (Al Mustadrak No. 2354) dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya.

[8] Syaikh Shalih bin Muhammad bin Hasan Al Asmary, Majmu’ah Al Qawaid Al Bahiyyah, Hal. 60. Cet.1, 1420H-2000M. Darush Shami’iy

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

SEJENAK , BERSAMA SURAT AL HUJURAT

Kedudukan Surat

Surat ini termasuk Madaniyah, urutan surat ke 49 berjumlah 18 ayat, surat yang agung, mencakup ajaran akidah dan syariat, dan hakikat kemanusiaan. Hakikat yang membuka relung hati dan wawasan akal. Mempengaruhi jiwa, dan relung hati yang paling dalam, juga mencakup manhaj dan aturan lurus. Kandungan umum surat Al Hujurat adalah sebagai berikut:

  1. Menurut Sayid Qutub, Surat ini mengandung dua manhaj (system) besar, Pertama, Manhaj untuk mendukung terbentuknya system kesempurnaan dunia, dan Kedua, Manhaj untuk menjaga kesempurnaan tersebut.[1]
  2. Surat ini mengandung ajaran tentang adab-adab kepada Allah, yaitu dengan mengikuti hukum-hukum Allah, adab kepada Rasulullah, yaitu dengan mendahulukan pendapat Rasulullah dari selainnya, dan adab kepada sesama kaum muslimin, (yaitu dengan tidak mengeraskan suara, memanggil dengan panggilan yang buruk)
  3. Secara khusus menyebut orang-orang fasik dan kewajiban kita untuk kroscek (tabayun) atas kabar berita yang dibawanya, dan mengedepankan prinsip Tatsabbut (teguh) dalam mendapatkan informasi.
  4. Surat ini juga berisi kewajiban menjaga persaudaraan sesama muslim, dan juga kewajiban untuk mendamaikan pertikaian.

Makna Surat

Surat ini bernama Al Hujurat yang berarti kamar atau ruangan-ruangan, Al Hujurat secara bahasa, merupakan jamak dari kata Hujrah, seperti disebutkan Az Zujaj dalam Ma’ani Al Qur’an:

والحجرة: الرقعة من الأرض المحجورة بحائط يحوط عليها، وحظيرة الإبل تسمى حجرة

“Dan Hujrah adalah sebuah tempat diatas tanah yang terbatas dengan sekat dinding yang mengelilingi, Orang Arab menyebut kandang unta sebagai Hujrah. ( Az Jujaj, Maani Al Qur’an,2/33) ( Al Farra, Maani Al Qur’an, 3/70), Al Makki, Musykil I’Rab Al Qur’an,2/315)

Sabab Nuzul

Terkait dengan sebab turunnya, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, banyak sekali riwayat yang menyatakan sebab turunnya, ada juga ayat dengan sebab nuzulnya masing-masing, namun seperti yang dsebutkan oleh Imam Al Qurtubi, beliau menyebutkan ada beberapa riwayat, diantaranya:

  1. مَا ذَكَرَهُ الْوَاحِدِيُّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَدِمَ رَكْبٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمِّرِ الْقَعْقَاعَ بْنَ مَعْبَدٍ. وَقَالَ عُمَرُ: أَمِّرِ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: مَا أَرَدْتَ إِلَّا خِلَافِي. وَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ. فَتَمَادَيَا حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا، فَنَزَلَ فِي ذَلِكَ:” يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ- إِلَى قَوْلِهِ- وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ”. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنِ الْحَسَنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ…

“Apa yang di sebutkan oleh Al Wahidi, dari Hadits Ibnu Juraij ia berkata,” Telah menceritakan kepadaku Ibnu Mulaikah bahwasanya Abdullah bin Az Zubair mengabarkan kepadanya bahwa telah tiba rombongan dari Bani Tamim kepada Rasulullah, lalu berkata Abu Bakar,”Yang memimpin adalah Al Qa’qa bin Ma’bad. Lalu Umar berkata,” Yang memimpin adalah Al Aqra’ bin Habis, lalu Abu Bakar berkata,” Aku tak mau melainkan pemimpin pilihanku, lalu Umar berkata,” Aku tak mau pemimpin pilihanmu,” hal itu berlanjut hingga suara mereka meninggi, lalu turunlah ayat,” Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya”. Hingga ayat-“Dan sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka”. (HR. Bukhari dari Al Hasan bin Muhammad As Shabbah)- Tafsir Al Wahidi

  1. مَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَادَ أَنْ يَسْتَخْلِفَ عَلَى الْمَدِينَةِ رَجُلًا إِذَا مَضَى إِلَى خَيْبَرَ، فَأَشَارَ عَلَيْهِ عُمَرُ بِرَجُلٍ آخَرَ، فَنَزَلَ” يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ”. ذَكَرَهُ الْمَهْدَوِيُّ أَيْضًا

“Diriwayatkan bahwasanya Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam, ingin memilih seorang untuk memimpin Madinah, saat beliau hendak Perang Khaibar, namun Umar memilih orang lain, lalu turunlah ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِه

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya”. Disebutkan juga oleh Al Mahdi

  1. مَا ذَكَرَهُ الْمَاوَرْدِيُّ عَنِ الضَّحَّاكُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْفَذَ أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ رَجُلًا مِنَ أَصْحَابِهِ إِلَى بَنِي عَامِرٍ فَقَتَلُوهُمْ، إلا ثلاثة تأخروا عنهم فسلموا وانكفؤا إِلَى الْمَدِينَةِ، فَلَقُوا رَجُلَيْنِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ فَسَأَلُوهُمَا عَنْ نَسَبِهِمَا فَقَالَا: مِنْ بَنِي عَامِرٍ، لِأَنَّهُمْ أَعَزُّ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ فَقَتَلُوهُمَا، فَجَاءَ نَفَرٌ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: إِنَّ بَيْنَنَا وَبَيْنَكَ عَهْدًا، وَقَدْ قُتِلَ مِنَّا رَجُلَانِ، فَوَدَاهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِائَةِ بَعِيرٍ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةُ فِي قَتْلِهِمُ الرَّجُلَيْنِ

“ Apa yang disebutkan oleh Al Mawardi dari Ad Dhahaq dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, Bahwasanya Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, mengutus 24 orang sahabat ke Bani ‘Amir, kemudian mereka semua dibunuh, kecuali tiga orang yang terlambat, lalu mereka kembali ke Madinah, lalu mereka bertemu dengan dua orang dari Bani Sulaim, dan menanyakan nasabnya mereka berdua,dan berkata,” Dari Bani ‘Amir, karena mereka dari Bani Salim , maka mereka berdua dibunuh. Lalu datang rombongan dari Bani Salim kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam, lalu mereka berkata,”Kami memiliki perhitungan dengan engkau Wahai Rasulullah, telah terbunuh dua orang dari kami, lalu Nabi menebus dengan seratus unta, lalu turunlan surat tentang terbunuhnya dua orang tersebut” ( Al Mawardi, An Nakat Wa Al ‘Uyun,5/326)

  1. نَزَلَتْ فِي قَوْمٍ ذَبَحُوا قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُعِيدُوا الذَّبْحَ. ابْنُ جُرَيْجٍ: لَا تُقَدِّمُوا أَعْمَالَ الطَّاعَاتِ قَبْلَ وَقْتِهَا الَّذِي أَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ وَرَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Surat ini turun pada kaum yang menyembelih hewan Qurban sebelum Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam melaksanakan shalat Ied, lalu Nabi memerintahkan untuk mengulangi sembelihan, Ibnu Juraij berkata,”Janganlah kalian dahulukan ketaatan sebelum waktu yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. (Al Wahidi, Tafsir Al Basith, 20/341)

Bersambung….

___

[1] Sayid Qutub Ibrahim Husain As Syaribi (w.1385), Fi Zhialil Qur’an, (Beirut: Dar As Syuruq, 1412 H) Jilid. 6 h. 3335

✏ Fauzan Sugiono

Serial Tafsir Surat Al-Hujurat

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (Muqaddimah)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.2) (Ayat ke-1)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG.3) (Ayat ke-2)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT (BAG. 4) (Ayat 3, 4, dan 5)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 5] (Ayat ke-6)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT [BAG. 6] (Ayat ke-7)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 7 (Ayat ke-8 dan 9)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 8 (Ayat ke-10)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 9 (Ayat ke-11)

Tafsir Surat Al Hujurat Bag. 10 (Ayat ke-12)

TAFSIR SURAT AL HUJURAT BAG 11 (Ayat ke-13)

Tafsir Surat Al Hujurat bag. 12 (Ayat ke-14)

Tafsir Surat AL Hujurat Bag. 13 (Ayat ke-15)

TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL HUJURAT Ayat 16, 17 dan 18 (BAG. 14 SELESAI)

Itsar; Mendahulukan Kepentingan Saudara Atas Diri Sendiri

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Ini adalah tingkatan ekspresi persaudaraan yang paling tinggi. Allah ﷻ memuji  kaum Anshar yang melakukannya untuk kaum Muhajirin, dalam firmanNya:

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan mereka (kaum Anshar) mengutamakan (kaum Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS. Al Hasyr: 9)

Sebenarnya mereka juga sulit, berat, dan berkebutuhan yang sama dengan saudaranya, tetapi kekikiran yang ada pada jiwa mereka bisa mereka tundukkan. Bahkan untuk mengeluarkan bantuan itu pun mereka bersusah payah; susah payah ini bukan untuk dirinya tapi untuk saudaranya.

Oleh karenanya muncul sebuah hadits yang menyatakan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ جَهْدُ الْمُقِلِّ

Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Sedekah yang diberikan secara susah payah oleh orang yang berharta sedikit.”

(HR. Abu Daud No. 1679, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2317, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3180. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Al Hakim dan Ibnu Hibban. ( Subulus Salam, 2/142), juga Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya)

Tentunya orang yang sedikit harta memiliki kesulitan dan kesusahan, dan juga  kebutuhan yang mungkin melebihi apa yang dimilikinya. Namun, kondisi itu tidak membuatnya lupa atas keadaan saudaranya. Inilah itsar, inilah gambaran persaudaraan yang tertinggi dalam Islam. Jarang orang yang mampu melakukannya, wajarlah itu karena ini memang benar-benar spesial.

Makna hadits ini diperkuat oleh hadits lain yang mengatakan:

سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفٍ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ قَالَ رَجُلٌ لَهُ دِرْهَمَانِ فَأَخَذَ أَحَدَهُمَا فَتَصَدَّقَ بِهِ وَرَجُلٌ لَهُ مَالٌ كَثِيرٌ فَأَخَذَ مِنْ عُرْضِ مَالِهِ مِائَةَ أَلْفٍ فَتَصَدَّقَ بِهَا

“Satu Dirham dapat mengalahkan seratus ribu Dirham.”
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana itu?”
Beliau bersabda: “Ada seorang yang memiliki uang dua Dirham lalu dia menyedekahkan satu Dirham. Ada orang lain yang memiliki banyak harta dia mengambil kekayaannya itu seratus ribu Dirham lalu menyedekahkannya.”

(HR. An Nasa’i No. 2528, Ibnu Khuzaimah No. 2443, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 8031. Imam Al Munawi mengatakan: isnadnya shahih. (At Taysir, 2/106). Juga dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah.  Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam beberapa kitabnya. )

Dalam timbangan akal bagaimana bisa sedekah satu Dirham mengalahkan seratus ribu Dirham?! Itulah syariat. Syariat memandang tingkat kesulitan yang dialami pelakunya dalam menjalankan proses amal, bukan semata-mata angka-angka yang dikorbankannya.

Wallahu A’lam

🍃🌷☘🌺🌴🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top