Hadits Perbedaan Pada Umatku Adalah Rahmat

 

 

Hadits ini juga sering diucapkan para dai, namun hadits ini pun sama sekali tidak valid dan otentik dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits itu  berbunyi:

اختلاف أمتي رحمة

           “Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” (As Suyuthi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al Hajjah secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal  dari Al Qasim bin Muhammad dan ini adalah ucapan beliau. Lihat Ad Durar, Hal. 1)

Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan, sanad hadits ini dhaif. (Takhrijul Ihya’, No. 74. Lihat juga Raudhatul Muhadditsin, No. 4938) sedangkan Al ‘Ajluni mengatakan hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/153) Sedangkan As Subki dan lainnya mengatakan hadits ini tidak dikenal oleh para muhadditsin (ahli hadits) (Tadzkiratul Maudhu’at, Hal. 91)

           Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadits ini tidak ada asalnya. Banyak para muhadditsin yang mencoba mencari sanadnya tetapi mereka tidak menemukannya, sampai-sampai As Suyuthi berkata dalam Al Jami’ Ash Shaghir: “Barang kali hadits ini telah dikeluarkan oleh sebagian kitab para imam yang belum sampai kepada kita.” Menurutku ini sangat jauh. (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/141/57) Dalam kitabnya yang lain beliau menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu) ( Dhaiful Jami’ No. 230)

           As Sakhawi juga mengatakan bahwa banyak para imam yang menyangka bahwa hadits ini tidak ada asalnya. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kasyf Al Khafa’, 1/65)

Ada pula hadits lain yang seperti ini berbunyi:

اختلاف أصحابي لكم رحمة

        “Perbedaan pendapat para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.” (HR. Al Baihaqi, Al Madkhal Ila As Sunan Al Kubra, No. 113)

Hadits ini juga dhaif jiddan (lemah sekali). Dalam perawinya terdapat Juwaibir dan Sulaiman seorang rawi yang sangat lemah, dan sanadnya munqathi’ (terputus) antara Adh Dhahak kepada Ibnu Abbas. Az Zarkasi, Ibnu Hajar, dan Al ‘Iraqi mencoba menguatkan hadits ini yakni dengan riwayat: “Perbedaan pendapat sahabatku adalah rahmat bagi umatku”. Namun ini juga    mursal dhaif. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/ 153. Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kanzul ‘Umal, No. 1002)  Syaikh Al Albani juga menyatakan bahwa hadits ini palsu. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 59)

Catatan:

Kita telah mengetahui kelemahan hadits di atas, bahkan lebih parah lagi yakni palsu dan tidak ada dasarnya. Namun, secara makna perkataan bahwa “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat”  tidak mutlak salah. Sebab, dalam tataran dan jenis  tertentu, perbedaan memang membawa kebaikan, minimal masih bisa ditolerir. Oleh karena itu, banyak ulama yang membela esensi ucapan ini seperti Imam Al Khathabi, Imam An Nawawi, dan lain-lain.

Telah diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata:

ما سرني لو أن أصحاب محمد صلى الله عليه لم يختلفوا لأنهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة

           “Tidaklah aku suka jika para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, seandainya mereka tidak berbeda, niscaya tidak akan terjadi rukhshah (keringanan bagi umat- pen).”  (Kasyful Khafa, Ibid. Al Maqashid Al Hasanah  Ibid. Ad Durar Mutanatsirah, Ibid)

           Demikianlah perbedaan pendapat juga terjadi pada masa-masa terbaik, tetapi itu tidak memudharatkan mereka. Perbedaan seperti apakah ini?  Imam Al Munawi mengatakan maksud  perbedaan  yang membawa rahmat adalah perbedaan ijtihad dalam menentukan hukum sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Shalah dari Imam Malik. (Faidhul  Qadir, 1/271)

           Imam As Suyuthi berkata: “Maksud perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam menentukan hukum.” Dikatakan: “Perbedaan dalam huruf dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan jamaah ahli hadits.” (Ad Durar Muntatsirah, Ibid)

           Sebagian manusia ada juga yang tetap menolak makna ucapan ini menurut mereka jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah  azab.  Ini diisyaratkan oleh Imam Al Khathabi sebagai berikut:

وقال اعترض على هذا الحديث رجلان، أحدهما ماجن والآخر ملحد، وهما اسحاق الموصلي وعمرو بن بحر الجاحظ، وقالا جميعاً: لو كان الاختلاف رحمة لكان الاتفاق عذاباً

           “Hadits ini telah ditentang oleh dua orang, yang satu orang yang suka bersenda gurau, dan yang lain seorang ateis (mulhid), mereka adalah Ishaq Al Maushili dan Amru bin Bahr Al Jahizh, mereka berkata: “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 15)

           Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengutip dari Imam Al Khathabi lebih legkap lagi, katanya:

 ثُمَّ زَعَمَ أَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ اِخْتِلَاف الْأُمَّة رَحْمَة فِي زَمَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّة ؛ فَإِذَا اِخْتَلَفُوا سَأَلُوهُ ، فَبَيَّنَ لَهُمْ .

وَالْجَوَاب عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاض الْفَاسِد : أَنَّهُ لَا يَلْزَم مِنْ كَوْن الشَّيْء رَحْمَة أَنْ يَكُون ضِدّه عَذَابًا ، وَلَا يَلْتَزِم هَذَا وَيَذْكُرهُ إِلَّا جَاهِل أَوْ مُتَجَاهِل . وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَمِنْ رَحْمَته جَعَلَ لَكُمْ اللَّيْل وَالنَّهَار لِتَسْكُنُوا فِيهِ } فَسَمَّى اللَّيْل رَحْمَة ، وَلَمْ يَلْزَم مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُون النَّهَار عَذَابًا ، وَهُوَ ظَاهِر لَا شَكَّ فِيهِ . قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَالِاخْتِلَاف فِي الدِّين ثَلَاثَة أَقْسَام : أَحَدهَا : فِي إِثْبَات الصَّانِع وَوَحْدَانِيّته ، وَإِنْكَار ذَلِكَ كُفْر .

وَالثَّانِي : فِي صِفَاته وَمَشِيئَته ، وَإِنْكَارهَا بِدْعَة .

وَالثَّالِث فِي أَحْكَام الْفُرُوع الْمُحْتَمَلَة وُجُوهًا ، فَهَذَا جَعَلَهُ اللَّه تَعَالَى رَحْمَة وَكَرَامَة لِلْعُلَمَاءِ ، وَهُوَ الْمُرَاد بِحَدِيثِ : اِخْتِلَاف أُمَّتِي رَحْمَة ، هَذَا آخِر كَلَام الْخَطَّابِي

        Lalu, mereka mengira bahwa perbedaan pada umat yang mendatangkan rahmat itu hanya khusus pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika, para sahabat berbeda pendapat, maka Beliau memberikan penjelasan.

Jawaban dari penolakan yang buruk ini adalah tidak selalu dalam berbagai hal bahwa lawan dari rahmat adalah azab, tidaklah yang mengatakan hal itu melainkan orang bodoh atau belagak bodoh. Allah ta’ala telah berfirman: “ .. dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu ..”  malam dinamakan rahmat, dan tidaklah patut dikatakan lantas siang adalah azab, dan ini sangat jelas dan tak ada keraguan di dalamnya.

Al Khathabi berkata perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama, menetapkan perbuatan dan keesaanNya, maka mengingkarinya adalah kufur. Kedua, perbedaan pendapat tentang sifat dan kehendakNya, mengingkarinya adalah bid’ah. Ketiga, tentang hukum-hukum cabang yang multi tafsir, maka inilah yang Allah jadikan rahmat dan kemuliaan bagi ulama. Inilah maksud “perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.” Selesai ucapan Al Khathabi. (Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, No. 3090. Mauqi’ Ruh Al Islam)

           Demikianlah pembelaan dari Imam Al Khathabi dan Imam An Nawawi terhadap isi hadits tersebut. Namun, pembelaan ini tidaklah merubah status kedhaifan hadits tersebut sedikit pun. Hal ini diisyaratkan oleh Imam As Sakhawi berikut ini:

ثم تشاغل الخطابي برد هذا الكلام، ولم يقع في كلامه شفاء في عزو الحديث

           “Kemudian Al Khathabi sibuk membantah ucapan ini (Yakni ucapan, “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.”), namun pejelasan itu tidak bisa mengobati untuk menguatkan hadits tersebut.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14)

Jika ada yang mengatakan, “Bukankah Allah memerintahkan persatuan, agar kita berpegang pada tali agama Allah dan jangan berpecah belah?” jawab: Benar, namun perbedaan pendapat tidaklah selalu berkonotasi perpecahan. Berbeda pendapat  bukanlah halangan untuk tetap ukhuwah. Allah Ta’ala melarang kita untuk berpecah, bukan melarang untuk berbeda pendapat, bahkan perbedaan itu sesuatu yang lumrah dan tabiat kehidupan.

Allah Ta’ala berfirman:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat..” (QS. Hud (11): 118)

Wallahu A’lam

  • Farid Nu’man Hasan

 

Doa Minta Mati Di Tanah Suci

💥💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum, Pak Ustadz, Langsung aja ya. Boleh gak kita mohon kepada Allah Swt agar dipercepat meninggal? Khususnya pas ibadah haji, karena meninggal saat ibadah di sana kan di jamin masuk surga. Lalu yang dikubur di Mekkah katanya masuk Surga. Benar gak Pa Ustadz ?  ada dalilnya gak? Jazakallah Khairan Katsira. (08121062xxx)

📬 JAWABAN

▫▪▫▪▫▪▫

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Memohon kepada Allah ﷻ agar mati dengan cara yang baik, ditempat yang baik, adalah boleh. Itu pernah dilakukan oleh para salaf, di antaranya Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu.

Beliau berdoa sebagai berikut:

اللهُمَّ ارْزُقْنِي شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ مَوْتِي فِي بَلَدِ رَسُولِكَ

Ya Allah, rezekikanlah kepadaku mati syahid di jalanMu dan jadikanlah kematianku di negeri RasulMu. (HR. Al Bukhari No. 1890)

Maksud “negeri RasulMu” adalah Madinatun Nabi (kota Nabi), yaitu Madinah Al Munawwarah, kota di mana Nabi ﷺ dikuburkan. Doa ini dijadikan dasar sebagian ulama keutamaan Madinah dibanding Mekkah.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

احتج به من فضل المدينة على مكة ، وقالوا : لو علم عمر بلدة أفضل من المدينة لدعا ربه أن يجعل موته وقبره فيها

Ini dijadikan hujjah keutamaan Madinah dibanding Mekkah. Mereka mengatakan: seandainya Umar tahu ada negeri yang lebih utama dibanding Madinah niscaya dia akan berdoa agar wafat di sana dan di kuburkan di sana. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 4/558)

Ada pun berdoa dan berharap minta buru-buru mati tanpa alasan yang benar, atau karena putus asa di sebabkan musibah, maka itu hal yang dibenci.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

 

 لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا (مَا) كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

Janganlah salah seorang kamu mengharapkan kematian hanya karena musibah yang menimpanya, kalau pun ingin melakukan itu,  katakanlah: “Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup itu memang baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika wafat itu memang baik bagiku.” (HR. Al Bukhari No. 5671, Muslim No. 2680)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

من ضر أصابه حمله جماعة من السلف على الضر الدنيوي فإن وجد الضر الأخروي بأن خشي فتنة في دينه لم يدخل في النهي

Perkataan “karena musibah yang menimpanya” maksudnya menurut tafsir segolongan ulama salaf adalah musibah duniawi, sedangkan jika dia mendapatkan musibah ukhrawi (akhirat) karena takut fitnah yang menimpa agamanya, maka itu tidak termasuk larangan dalam hadits ini. (Fathul Bari, 10/128)

Sedangkan di kubur di Mekkah di jamin masuk surga, maka tidak ada riwayat dari Nabi ﷺ tentang hal itu. Tetapi, wafat saat ibadah haji atau umrah di sana jelas itu husnul khatimah.

Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌻🌴🌺🌷☘


🌾🌷 Kematian Yang Mulia 🌷🌾

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah berkata:

احرصوا على الموت توهب لكم الحياة واعلموا أن الموت لابدَّ منه، وأنه لا يكون إلا مرةً واحدةً، فإن جعلتموها في سبيل الله كان ذلك ربحَ الدنيا وثوابَ الآخر

Bersungguh-sungguhlah dalam mempersiapkan kematian yang telah diberikan kepadamu kehidupan. Ketahuilah bahwa kematian itu keniscayaan. Tidaklah terjadi kecuali hanya sekali. Maka, sungguh jika kalian menjadikan kematian itu fisabilillah maka itu merupakan keuntungan di dunia dan mendapatkan balasan di akhirat.

📚 Aqwaal Hasan Al Banna

☘🌷🌺🌴🍃🌸🌾🌻

🖋 Farid Nu’man Hasan

 

FATWA ULAMA INTERNASIONAL TENTANG HARAMNYA MELEPASKAN PALESTINA

 

 

Segala puji bagi Allah yang mengisra’kan hambanya pada suatu malam dari masjidil haram menuju masjidil aqsha, shalawat dan salam kepada Rasulullah yang diisra’kan menuju negeri penuh berkah  bagi alam semesta, kiblat pertama umat Islam, negeri para Nabi, tempat diturunkan risalah, bumi jihad dan ribath (yakni berjaga dimalam hari ketika jihad, pent), hingga hari kiamat. Juga kepada keluarganya dan sahabatnya yang telah mempersembahkan darahnya yang suci untuk bumi thayyibah (bumi penuh kebaikan), hingga Islam tegak di sana, meninggikan panjiNya, dan mengusir darinya musuh-musuh yang mengotori kesuciannya dari syirik dan kekafiran. Juga kepada orang-orang yang mewarisi negri ini, lalu menjaga pusaka kaum muslimin ini, dan membelanya dengan harta dan jiwanya.

Wa ba’du,

Sesungguhnya adalah tugas ulama Islam dan cendikiawannya untuk menjaga kaum muslimin dan membimbing mereka dari jalan yang sempit, perkara-perkara yang menyulitkan, dan membahayakan.

Kami yang bertanda tangan, menegaskan kepada kaum muslimin di saat kondisi sulit seperti sekarang ini, bahwa kaum Yahudi adalah manusia yang paling keras permusuhannya dengan orang-orang beriman, mereka merampas Palestina, merusak kehormatan kaum muslimin, menyiksa penduduknya, dan menodai kesuciannya. Selamanya, mereka tidak boleh dibiarkan sampai kemerdekaan bagi kaum muslimin, tidak dibenarkan eksistensi dan penguasaan mereka atas kaum muslimin, di mana pun.

Kami meyakini, dengan apa-apa yang telah Allah tegaskan kepada kami, yaitu berupa janji dan ikrar dalam  Al Qur’an yang haq, bahwa jihad adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan Palestina. Tidak boleh mengakui keberadaan Yahudi di tanah Palestina atau menyerahkan sejengkal tanahnya, atau mengakui hak mereka walau sedikit.

Sesungguhnya mengakui mereka adalah bentuk khianat terhadap Allah, rasulNya, dan amanah kaum muslimin yang seharusnya dijaga. Allah berfirman: “Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu khianati Allah, RasulNya, dan jangan khianati amanah yang ada padamu, padahal kamu mengetahuinya.”     Adakah khianat yang lebih besar daripada menjual tanah suci kaum muslimin dan menyerahkan negeri-negeri muslim kepada musuh-musuh Allah, Rasul dan orang-orang beriman?

Kami meyakini, Palestina adalah bumi Islam selamanya. Pasukan Islam akan membebaskannya dari cengkeraman Yahudi, sebagaimana pernah dibebaskan Shalahuddin al Ayyubi dari cengkeraman kaum salibis, kalian akan mengetahui kebenaran berita ini.

Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.

Yang bertanda tangan:

  • Syaikh Yusuf al Qaradhawy (Mesir/Qatar) – Syaikh Mahfuzh Nahnah (Al Jazair)
  • Syaikh Muhammad al Ghazaly (Mesir) – Syaikh Rasyid al Ghanusyi (Tunisia)
  • Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar (Palestina)                                  – Syaikh ‘Isham basyir (Sudan)
  • Syaikh Khalid al Madzkur (Kuwait) – Syaikh Shadiq Abdullah Abdul Majid (Sudan)
  • Syaikh Wahbah az Zuhaili (Syiria) – Syaikh Aghuz Khan Ashil (Turki)
  • Syaikh Thayyis Abdullah al Jamily (Irak) – Syaikh Muhammad Amin Siraj (Turki)
  • Syaikh Muh Atha Sayyid Ahmad (Sudan) – Syaikh Hafizh Salamah (Mesir)
  • Syaikh Ibrahim Zaid al Kailany (Jordania) -,Syaikh Abdussalam al Hiras (Maroko)
  • Syaikh Muh Na’im Yasin (Palestina) – Syaikh Abdullaits an Nadwy (India)
  • Syaikh Muh Utsman Syabir (Palestina) – Syaikh Nur Muhammad (India)
  • Syaikh Hamam Said (Palestina) – Syaikh Abdul Halim Washi Ahmad (India)
  • Syaikh Musthafa Muh ‘Arjawy (Mesir)                                          – Syaikh Mufti Syamsuddin (India)
  • Syaikh Qadir an Naury (Kuwait) – Syaikh Abdul Haq al Falahy (India)
  • Syaikh Ahmad bin Hamd al Khalily (Oman) – Syaikh Faishal al Maulawy (Libanon)
  • Syaikh Abdurrahman bin Bah (Guinia) – Syaikh Muh Abdurrahman (Jazrul Qamar)
  • Syaikh Abdullah ‘Azzam (Palestina)` – Syaikh Thaha Jabir al Ulwany (Irak)
  • Syaikh Abdus Satar Fat-hullah Said (Mesir) – Syaikh Musthafa Masyhur (Mesir)
  • Syaikh Muh Zakiyuddin Muh Qasim (Mesir)                                 – Syaikh Ahmad Muh al ‘Asal (Mesir)
  • Syaikh Fat-hi Yakan (Libanon) – Syaikh Najmuddin Erbakan (Turki)
  • Syaikh Ali as Salus (Mesir) – Syaikh Qadhi Husein Ahmad (Pakistan)
  • Syaikh ‘Isa Zaky Syaqrah (Palestina) – Syaikh al Amin Muh Utsman (Sudan)
  • Syaikh Taufiq al Wa’ie (Mesir)                                                       – Syaikh Mahmud ‘Ied (Mesir)
  • Syaikh Nazih Hamad (Siria) – Syaikh Wahiuddin Khan (India)
  • Syaikh Jasim al Muhalhil (Kuwait)
  • Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq (Mesir/Kuwait)
  • Syaikh Ahmad al Qathan (Kuwait)
  • Syaikh Muhammad Syarif (Kuwait)
  • Syaikh Abdullah Ma’tuq (Kuwait)
  • Syaikh Ahmad Hasan Farhat (Siria)
  • Syaikh Abdullah Ibrahim (Malaysia)
  • Syaikh Hasan Muh Salim
  • Syaikh Muharram ‘Arifi (Libanon)
  • Syaikh Abdurrabbi Rasul Sayyaf (Afghanistan)
  • Syaikh Hekmatyar (Afghanistan)
  • Syaikh Burhanuddin Rabbani (Afghanistan)
  • Syaikh Ahmad Syah Mas’ud (Afghanistan)
  • Syaikh Muh Ahmad ar Rasyid (Irak)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hukum Pernikahan Wanita Yang Berzina Dengan Laki-Laki Yang Bukan Pelakunya

📨 PERTANYAAN:

Ada pertanyaan lagi : Mau tanya ni ttng sesuatu yg sensi ni sama ustadz permasalahan seseorang yg katanya awam agama..sy minta bantuan ust. Tuk menjawab pertanyaan sbg berikut :
Bila laki perempuan masing2 masih single lalu sempat melakukan hub yg tak patut/zina sekali dan sampai ember masuk k sumur dan tak terjadi kehamilan. Lalu saat ini si wanita mau melakukan pernikahan dg lelaki lain bgmn tu ustadz ?
Si lelaki calonnya tak tau akan kejadian tsb, apakah perlu diberitau kondisi tsb ?

📬 JAWABAN

Bismillah wal Hamdulillah wa Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa ba’d:
Kita akan rinci menjadi beberapa pembahasan:

A. Hukum Menikahi Wanita/Pria pezina

Yang dimaksud pezina di sini adalah yang memang zina menjadi kebiasaannya (seperti pelacur atau lelaki hidung belang). Para ulama membagi hukumnya menjadi dua bagian:

Pertama, jika yang menikahi adalah orang baik-baik (mukmin, shalih), maka hukumnya haram, kecuali si pezina itu tobat dahulu. Larangan ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Al-Quran

🌸 Al-Maidah ayat 5:

“Pada masa ini Dihalalkan bagi kamu (memakan makanan) Yang lezat-lezat serta baik-baik. dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan (sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka (tidak salah kamu memberi makan kepada mereka). dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang Ahli Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka maskawinnya, sedang kamu (dengan cara yang demikian), bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan-perempuan simpanan.”

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

لا يحل للرجل أن يتزوج بزانية، ولا يحل للمرأة أن تتزوج بزان، إلا أن يحدث كل منهما توبة

“Tidak halal bagi seorang pria menikahi wanita pezina, dan tidak halal seorang wanita menikahi seorang pria pezina, kecuali jika ia bertaubat.”

Setelah itu Syaikh Sayyid Sabiq menjadikan ayat di atas sebagai dalil. Tentang ayat di atas Syaikh Sayyid Sabiq juga berkata:

أي أن الله كما أحل الطيبات، وطعام الذين أوتوا الكتاب من اليهود والنصارى، أحل زواج العفيفات من المؤمنات، والعفيفات من أهل الكتاب، في حال كون الازواج أعفاء غير مسافحين ولا متخذي أخدان

“Yakni sesungguhnya Allah sebagaimana Dia menghalalkan yang baik-baik, dan makanan orang-orang yang beri Al Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, (maka) Dia menghalalkan menikahi wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan mukminat, dan juga wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan Ahli kitab, dengan keadaan bahwa mereka sebagai suami istri yang sebelumnya sama-sama menjaga kehormatan, tidak berzina, dan tidak pernah sebagi gundik (simpanan).” [1]

Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat, “dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman,”

أي: وأحل لكم نكاح الحرائر العفائف من النساء المؤمنات

“Yakni dihalalkan bagi kalian menikahi wanita merdeka yang menjaga kehormatan dari kalangan wanita beriman.” [2]

Imam Abu Ja’far Ath-Thabari berkata tentang ayat tersebut:

أحل لكم، أيها المؤمنون، المحصنات من المؤمنات – وهن الحرائر منهن- أن تنكحوهن

“Dihalalkan bagi kalian, wahai orang-orang beriman, wanita-wanita merdeka dari kalangan beriman, untuk kalian menikahi mereka ..” [3]

Jadi, yang halal bagi orang baik-baik hanyalah menikahi wanita yang beriman yang menjaga kehormatannya, bukan pezina.

🌸 An-Nuur ayat 3:

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Ayat ini jelas-jelas menyebutkan bahwa yang layak menikahi pezina adalah pezina juga, tidak sepatutnya orang beriman menikahi orang pezina atau musyrik. Mereka pezina dan musyrik hanya layak dinikahi dengan pezina dan musyrik juga.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang ayat ini:

ومعنى ينكح: يعقد. وحرم ذلك، أي وحرم على المؤمنين أن يتزوجوا من هو متصف بالزنا أو بالشرك، فانه لا يفعل ذلك إلا زان أو مشرك.

“Makna dari ‘mengawini’ adalah mengadakan akad. Yang demikian itu diharamkan, yaitu diharamkan atas orang-orang beriman menikahi orang-orang yang disifati sebagai pezina atau musyrik, karena tidak ada yang menikahi mereka kecuali pezina dan musyrik juga.”[4]

2. As-Sunnah

Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya:

أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقُ وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ قَالَ جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ :وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ. فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا

Bahwa Martsad bin Abi Martsad al Ghanawi dahulu dia membawa keluarganya ke Mekkah, di Mekkah ada seorang pelacur bernama ‘Anaq, dia adalah teman dari Martsad. Dia (Martsad) berkata: Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku nikah dengan ‘Anaq?”, dia berkata: Rasulullah mendiamkan saya, maka turunlah ayat “Wanita pezina tidaklah menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik.” Lalu Rasulullah memanggil saya dan membacakan kepada saya, lalu bersabda: “Jangan kau menikahinya!” [5]

Hadits ini tegas melarang pria baik-baik menikahi wanita pezina (pelacur). Dalam Aunul Ma’bud disebutkan:

فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّهُ لَا يَحِلّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ مِنْهَا الزِّنَا

“Di dalamnya terdapat dalil, bahwa tidak halal bagi pria menikahi wanita yang terang-terangan darinya perzinaan (pelacur).” [6]

Hadits lainnya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Pezina laki-laki yang didera, tidaklah menikah kecuali dengan yang semisalnya.” [7]

Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan:

وفيه دليل على أنه لا يحل للرجل أن يتزوج بمن ظهر منها الزن
وكذلك لا يحل للمرأة أن تتزوج بمن ظهر منه الزنا قال الشوكاني: هذا الوصف خرج مخرج الغالب باعتبار من ظهر منه الزنا.
.

Berkata Asy Syaukani: Ini adalah sifat yang telah nampak dari kebiasaan, yaitu orang yang memang terbiasa berbuat zina. Dan di dalamnya terdapat dalil bahwa tidak halal bagi laki-laki menikahi wanita yang biasa melakukan zina, demikian pula tidak dihalalkan bagi wanita menikahi laki-laki yang terbiasa berzina. [8]

Berkata penulis Aunul Ma’bud:

قَالَ الْعَلَّامَة مُحَمَّد بْن إِسْمَاعِيل الْأَمِير فِي سُبُل السَّلَام : فِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ يَحْرُم عَلَى الْمَرْأَة أَنْ تُزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ زِنَاهُ ، وَلَعَلَّ الْوَصْف بِالْمَجْلُودِ بِنَاء عَلَى الْأَغْلَب فِي حَقّ مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ الزِّنَا . وَكَذَلِكَ الرَّجُل يَحْرُم عَلَيْهِ أَنْ يَتَزَوَّج بِالزَّانِيَةِ الَّتِي ظَهَرَ زِنَاؤُهَا

“Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Ismail Al Amir dalam Subulus Salam: “Di dalam hadits terdapat dalil bahwa haram bagi wanita menikah dengan laki-laki yang telah nampak perzinaannya, dan penyifatannya dengan mendapatkan dera, dikarenakan zina telah menjadi hal yang dominan (kebiasaan) baginya secara nyata. Demikian pula bagi laki-laki diharamkan baginya menikahi wanita yang telah nampak perzinaannya.” [9]

Dari uraian ini, maka jelaslah haramnya orang baik-baik, mu’min, shalih, menikahi orang yang terbiasa zina (pelacur).

B. Hukum Pernikahan Dua Orang yang Berzina

Masalah pernikahan dua orang yang berzina, tetapi mereka bukan pelacur atau bukan laki-laki hidung belang ini adalah yang paling banyak terjadi. Mereka berzina karena rayuan setan, dan tidak mampu menjaga diri, akibat pergaulan bebas (baca: pacaran). Namun, mereka bukanlah pezina dalam artian orang yang menjadikan zina adalah kebiasaan seperti pelacur, germo, atau laki-laki hidung belang. Apakah mereka berdua boleh dinikahkan?

Berkata Imam Asy-Syaukani Rahimahullah:

وقد اختلف في جواز تزوّج الرجل بامرأة قد زنى هو بها ، فقال الشافعي ، وأبو حنيفة : بجواز ذلك . وروي عن ابن عباس ، وروي عن عمر ، وابن مسعود ، وجابر : أنه لا يجوز . قال ابن مسعود : إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً ، وبه قال مالك

“Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan seorang laki-laki menikah dengan wanita yang pernah berzina dengannya. Imam Asy Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat: boleh. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Jabir mereka berpendapat: tidak boleh. Berkata Ibnu Mas’ud: Jika laki-laki berzina dengan wanita, lalu dia menikahinya setelah itu, maka mereka berdua adalah pezina selamanya!, ini juga pendapat Imam Malik.” [10]

Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Imam Ibnu Hazm, juga menguatkan pendapat yang mengharamkan.

Sebenarnya golongan yang mengharamkan, pada akhirnya membolehkan juga, dengan syarat pelakunya sudah bertaubat.

Imam Ahmad membolehkan dengan syarat dia bertaubat, dan masa iddahnya selesai. Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i berpendapat boleh mengawininya tanpa menunggu masa iddah. Bahkan Imam Asy Syafi’i membolehkan mengawini wanita zina sekalipun sedang hamil, sebab hamil semacam itu (karena pelakunya adalah laki-laki yang akan menikahinya, pen) bukan alasan haramnya kawin. [11]

C. Wanita yang berzina, lalu menikah dan si Laki-Laki bukanlah pelakunya.

Ini berbeda dengan kasus di atas, ini yang menikahi wanita tersebut bukanlah laki-laki yang pernah berzina dengannya tetapi, laki-laki lain. Bolehkah pernikahan mereka berdua?

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nikahnya orang zina itu haram hingga ia bertaubat, baik dengan pasangan zinanya atau dengan orang lain. Inilah yang benar tanpa diragukan lagi. Demikianlah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf, di antara mereka yakni Ahmad bin Hambal dan lainnya.

Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkannya, yaitu pendapat Imam Yang tiga, hanya saja Imam Malik mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak hamil).

Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra’ (bersih dari kehamilan) apabila ternyata dia hamil, tetapi jika dia hamil tidak boleh jima’ (hubungan badan) dulu sampai dia melahirkan.

Asy Syafi’i membolehkan akad secara mutlak akad dan hubungan badan, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan nasabnya, inilah alasan Imam Asy-Syafi’i.

Abu Hanifah memberikan rincian antara hamil dan tidak hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri, akan menyebabkan terhubungnya anak yang bukan anaknya, sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil.”

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Baca juga: Pernikahan Anak Hasil Zina, Siapa Walinya Jika Dia Nikah?


Catatan Kaki:
[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 92-93. Dar Al Kitab Al ‘Arabi
[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Juz.3, Hal. 42. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’
[3] Imam Abu Jafar ath Thabari, Jami’ul Bayan, Juz. 9, hal. 581. Muasasah Ar Risalah
[4] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 93. Dar Al kitab Al ‘Arabi
[5] HR. Abu Daud, Juz. 5, hal. 433, No.1755. An Nasa’i, Juz.10, hal. 328, No. 3176. Syaikh al Albany berkata: Hasan Shahih, lihat Shahih wa Dhaif SunanAbi Daud, Juz. 5, hal. 51.
[6] Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 4, hal. 437, hadits no. 1755.
[7] HR. Abu Daud, Juz.5, Hal. 434, No.1756. Ahmad, Juz.16, Hal.491, No.7949. Syaikh al Albany menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz.5, Hal. 52.
[8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, hal. 94. Darl Kitab Al ‘Arabi
[9] Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, Aunul Ma’bud, Juz.4, Hal. 438, No hadits. 1756.
[10] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 5, Hal. 184-185.
[11] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, hal. 97-98. Darul Kitab Al ‘Arabi

 

scroll to top