Ta’khir Shalat Isya (Mengerjakan Shalat Isya di Akhir Waktu)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Dianjurkan mengakhirkan shalat Isya hingga hampir setengah malam, dan ini menjadi kekhususan bagi Isya saja. Hal ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun tidak selalu dia lakukan khawatir memberatkan umatnya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى ثُمَّ قَالَ قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوا أَمَا إِنَّكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوهَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengakhirkan shalat Isya sampai tengah malam, lalu dia shalat, kemudian bersabda: “Manusia telah shalat dan tertidur, ada pun sesungguhnya kalian tetap dinilai dalam keadaan shalat selama kalian masih  menunggu waktunya.”[1]

Dalam hadits lain:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي

Dari ‘Aisyah, dia berkata: Pada suatu malam, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammengakhirkan shalat Isya sampai hilang sebagian besar malam, dan sampai para jamaah yang di masjid tertidur, lalu Beliau keluar lalu shalat, lalu bersabda: “Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya, seandainya tidak memberatkan umatku.” [2]

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وكلها تدل على استحباب التأخير وأفضليته، وأن النبي صلى الله عليه وسلم ترك المواظبة عليه لما فيه من المشقة على المصلين، وقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يلاحظ أحوال المؤتمين، فأحيانا يعجل وأحيانا يؤخر.

Semua hadits ini menunjukkan sunah  dan keutamaan mengakhirkan shalat isya. Walau pun demikian nabi tidak melakukannya terus menerus, khawatir memberatkan umatnya. NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu memperhatikan kondisi kaum mu’minin, maka kadangkala dia menyegerakan, kadangkala dia mengakhirkan.” [3]

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَقَوْله فِي رِوَايَة عَائِشَة : ( ذَهَبَ عَامَّة اللَّيْل ) أَيْ كَثِير مِنْهُ ، وَلَيْسَ الْمُرَاد أَكْثَره ، وَلَا بُدّ مِنْ هَذَا التَّأْوِيل لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّهُ لَوَقْتُهَا ، وَلَا يَجُوز أَنْ يَكُون الْمُرَاد بِهَذَا الْقَوْل مَا بَعْد نِصْف اللَّيْل ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَقُلْ أَحَد مِنْ الْعُلَمَاء : إِنَّ تَأْخِيرهَا إِلَى مَا بَعْد نِصْف اللَّيْل أَفْضَل . قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقّ عَلَى أُمَّتِي ) مَعْنَاهُ : إِنَّهُ لَوَقْتُهَا الْمُخْتَار أَوْ الْأَفْضَل فَفِيهِ تَفْضِيل تَأْخِيرهَا ، وَأَنَّ الْغَالِب كَانَ تَقْدِيمهَا ، وَإِنَّمَا قَدَّمَهَا لِلْمَشَقَّةِ فِي تَأْخِيرهَا

Hadits riwayat ‘Aisyah ini: (hilang sebagian besar malam) yaitu kebanyakan dari waktu malam, namun bukan berarti sebagian besarnya, dan harus mengartikannya demikian karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya.” Tidak boleh mengartikan ucapan beliau bahwa waktu yang dimaksud adalah setelah tengah malam, dan tidak ada satu pun ulama yang mengatakan demikian; yakni mengakhirkan shalat Isya setelah tengah malam adalah lebih utama.

Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: (“Sesungguhnya inilah waktu shalat Isya, seandainya tidak memberatkan umatku.”) maknanya adalah bahwa itu adalah waktu yang diunggulkan atau paling utama, maka di dalamnya ada keutamaan mengakhirkannya. Sesungguhnya kebiasaannya adalah menyegerakannya, hal itu hanyalah karena adanya kesulitan dalam mengakhirkannya.” [4]

Hanya saja di zaman ini, jika kita mengambil sunnah ta’khir isya, maka kita akan kehilangan sunnah lain yaitu berjamaah di masjid. Sebab, jam-jam seperti itu biasanya sudah tidak ada orang di masjid, atau masjid sudah ditutup, kecuali Masjidul Haram dan Masjid Nabawi, yang biasanya manusia ramai 24 jam. Padahal shalat Isya berjamaah bersama manusia di masjid, dinilai seperti shalat setengah malam.

Dari ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu, “ Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

من صلى العشاء في جماعة فكأنما قام نصف الليل ومن صلى الصبح في جم

اعة فكأنما صلى الليل كله

Barang siapa yang shalat Isya berjamaah maka seolah dia shalat setengah malam, dan barang siapa yang shalat subuh berjamaah maka seolah dia shalat sepanjang malam. [5]

Wallahu A’lam

🌿🌿🌿🌿

[1] HR. Bukhari, Kitab Mawaqit Ash Shalah Bab Waqtul ‘Isya Ila Nishfil lail, No hadits. 538
[2] HR. Muslim, Al Masajid wa Mawadhi’ ash Shalah Bab Waqtul ‘Isya wa Ta’khiruha, no. 345
[3] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1 Hal. 103
[4] Imam An Nawawi, Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim, No.1009
[5] HR. Muslim No. 656, Bab Fadhl Shalah Al ‘Isya wa Ash Shubh fi Jamaa’ah

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Ragu-Ragu Makan Ayam Goreng di Warteg

📌 Pertanyaan:

Assalamu ‘Alaikum. Ustadz bagaimana hukumnya maka di warung ayam goreng/warteg yang di pinggir-pinggir jalan? Karena tidak ada jaminan ayamnya dipotong dengan bismillah … Jazakallah. (Dari 02141423xxx)

📌Jawaban:

Wa ‘Alaikumus Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:

Di antara bukti iman adalah adanya sensitifitas terhadap perkara halal dan haram. Semoga apa yang antum rasakan adalah bukti terhadap iman antum. Barakallah fiik…

Masalah yang antum tanyakan  akan saya bahas menjadi dua bagian:

1⃣ Haramkah hewan yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala ketika menyembelihnya?  Atau dengan kata lain apa hukum membaca bismillah ketika menyembelih hewan?

2⃣ Mestikah kita menanyakan atau mencari tahu bagaimana proses penyembelihan hewan yang kita makan, seperti daging hewan yang ada di warteg,  restaurant, pasar tradisional, atau pasar modern?

📒 Pembahasan Pertama. Sembelihan Yang Tidak Menyebut Nama Allah Ta’ala

Para ulama berselisih pendapat tentang ini tentang boleh tidaknya, sehingga membawa konsekuensi halal atau haramnya hasil sembelihannya. Dalam hal ini ada Ada tiga pendapat ulama.

1. Argumen Yang Membolehkan, baik sengaja atau lupa membaca tasmiyah

Kelompok ini berpendapat, bahwa membaca tasmiyah hanyalah sunah bukan wajib. Inilah pendapat Ali bin Abi Thalib dari golongan sahabat, Imam An Nakha’i, Imam Hammad bin Abu Sulaiman, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Imam Ishaq ar Rahawaih, Imam Asy Syafi’i, Imam Ibnul Mundzir, dan banyak ulama fiqih lainnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi.

Imam Ibnu Katsir berkata: “Sesungguhnya tidaklah disyaratkan membaca tasmiyah, jika tidak membacanya karena sengaja atau lupa, maka tidaklah memudharatkan, inilah madzhab Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan sekalian para sahabatnya, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, dan satu riwayat dari Imam Malik, juga ada keterangan tentang itu dari sahabatnya, yakni  Asyhab bin Abdul Aziz. Juga dihikayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Atha bin Abi Rabah. Wallahu A’lam “ (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim,  3 /324-325. Dar thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)

Golongan ini memiliki beberapa alasan, di antaranya:

Allah Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ

“Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang Yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang Yang disembelih kerana Yang lain dari Allah, dan Yang mati tercekik, dan Yang mati dipukul, dan Yang mati jatuh dari tempat Yang tinggi, dan Yang mati ditanduk, dan Yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), dan Yang disembelih atas nama berhala; dan (diharamkan juga) kamu merenung nasib Dengan undi batang-batang anak panah. “ (QS. Al Maidah (5): 3)

Maksud “kamu” pada kalimat ‘kecuali yang sempat kamu sembelih’ artinya orang Islam. Bagi kelompok ini keislaman seseorang sudah cukup. Jika memang tidak cukup, pasti ayat tersebut menekankan pengucapan bismillah, tetapi ternyata tidak ada. Maka halal, sembelihan orang Islam, yang tidak membaca bismillah.

Sedangkan ayat yang berbunyi:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu makan binatang  yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, karena Sesungguhnya Yang sedemikian itu adalah perbuatan fasik (berdosa) “ (QS. Al An’am (6): 121)

Menurut Imam Asy Syafi’i maksudnya adalah larangan “Terhadap apa-apa yang disembelih untuk selain Allah, sebagaimana Al An’am  ayat:145:

“Atau sesuatu yang dilakukan secara fasiq, yaitu binatang yang disembelih selain untuk Allah.”. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 3/325)

Kelompok ini juga berdalil dengan ayat yang menyebutkan bahwa sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah halal buat kaum muslimin padahal mereka juga tidak menyebut nama Allah Ta’ala ketika menyembelihnya, maka apalagi sembelihan umat Islam? Ini oleh para ulama diistilahkan dengan metode qiyas aula.

Kebolehan memakan sembelihan  Ahli Kitab  ditegaskan dalam Al Quran:

طَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ

Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (QS. Al Maidah (5): 5)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata tentang ayat ini:

ثم ذكر حكم ذبائح أهل الكتابين من اليهود والنصارى، فقال: { وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَبَ حِلٌّ لَكُمْ } قال ابن عباس، وأبو أمامة، ومجاهد، وسعيد بن جُبَيْر، وعِكْرِمة، وعَطاء، والحسن، ومَكْحول، وإبراهيم النَّخَعِي، والسُّدِّي، ومُقاتل بن حيَّان: يعني ذبائحهم.

Kemudian Allah menyebutkan hukum hewan sembelihan dua ahli kitab: Yahudi dan Nasrani, dengan firmanNya: (Makanan   orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal  bagi mereka), berkata Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Said bin Jubeir, ‘Ikrimah, ‘Atha, Al Hasan, Mak-hul, Ibrahim An Nakha’i, As Suddi, dan Muqatil bin Hayyan: maknanya hewan sembelihan mereka. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/40)

Demikianlah bahwa makna Tha’aam (makanan) dalam ayat ini, yakni  hewan sembelihan Ahli kitab. Imam Ibnu Katsir melanjutkan:

وهذا أمر مجمع عليه بين العلماء: أن ذبائحهم حلال للمسلمين

Ini adalah perkara yang telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di antara ulama: bahwa sembelihan mereka adalah halal bagi kaum muslimin. (Ibid)

Lalu, bagaimana dengan ayat yang melarang makan makanan yang tidak disebut nama Allah Ta’ala ? Hukum dalam ayat tersebut telah dinasakh(dihapus) oleh Al Maidah ayat 5 ini.  Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

وقال ابن أبي حاتم: قرئ على العباس بن الوليد بن مَزْيَد، أخبرنا محمد بن شعيب، أخبرني النعمان بن المنذر، عن مكحول قال: أنزل الله: { وَلا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ } [ الأنعام : 121 ] ثم نسخها الرب، عز وجل، ورحم المسلمين، فقال: { الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ } فنسخها بذلك، وأحل طعام أهل الكتاب.

Berkata Ibnu Abi Hatim: dibacakan kepada Al ‘Abbas bin Al Walid bin Mazyad, mengabarkan kepada kami Muhammad bin Syu’aib, mengabarkan kami An Nu’man bin Al Mundzir, dari Mak-hul, katanya: Allah menurunkan: (Janganlah kalian makan makanan yang tidak disebutkan nama Allah atasnya. (Al An’am: 121), lalu Allah ‘Azza wa Jalla  menghapusnya dan memberikan kasih sayang bagi kaum muslimin, lalu berfirman:  (Hari ini telah dihalalkan bagimu yang baik-baik, dan makanan Ahli Kitab halal bagimu) , maka ayat itu telah dihapuskan dengannya, dan telah dihalalkan makanan (sembelihan) Ahli Kitab. (Ibid)

Namun ketetapan ini tidak berlaku bagi sembelihan kaum musyrikin (penyembah berhala), mereka membaca atau tidak, tetap diharamkan karena hukum di atas hanya berlaku bagi Ahli kitab.

Kemudian, kelompok ini dikuatkan lagi oleh hadits dalam As Sunan Ad Daruquthni:

عن أبى هريرة رضى الله عنه قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أرأيت الرجل منا يذبح وينسى ان يسمى فقال النبي صلى الله عليه وسلم: اسم الله على كل مسلم. . مَرْوَانُ بْنُ سَالِمٍ ضَعِيفٌ. وَقَالَ ابْنُ قَانِعٍ « اسْمُ اللَّهِ عَلَى فَمِ كُلِّ مُسْلِمٍ ».

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang seseorang yang menyembelih dan lupa menyebut nama Allah? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammenjawab: “Nama Allah ada pada setiap muslim.” Marwan bin Salim adalah dhaif. Berkata Ibnu Qani’: ”Nama Allah ada pada setiap mulut orang Islam.” (HR. Ad Daruquthni, 4/295. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 18673)

Ada Hadits lain yang menguatkan lagi:

عن ابن عباس رضى الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال المسلم يكفيه اسمه فان نسى ان يسمى حين يذبح فليذكر اسم الله وليأكله

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: “Seorang muslim cukuplah namanya sendiri, maka jika dia lupa (menyebut nama Allah) ketika menyembelih, maka sebutlah nama Allah setelah itu, lalu makanlah.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  Juz. 9, Hal. 239. No. 18673)

Dalam As Sunan Al Kubra-nya Imam Al Baihaqi ada atsar dari Ibnu Abbas:

عن ابن عباس رضى الله عنهما فيمن ذبح ونسى التسمية قال المسلم في اسم الله وان لم يذكر التسمية

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, tentang orang yang menyembelih dan lupa tasmiyah (menyebut nama Allah), dia menjawab: “Seorang muslim ada nama Allah, walau pun dia tidak menyebut tasmiyah.” (Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra  No. 18672)

Ada hadits lain yang menguatkan pendapat ini:

عن الصلت قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله أو لم يذكر

Dari Shalt, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sembelihan seorang muslim adalah halal, baik dia menyebut nama Allah atau tidak menyebut.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al kubra ,   No. 18674)

Riwayat lain:

عن أناس من أصحاب النبي عليه السلام أنهم سألوا النبي صلى الله عليه وسلم ، فقالوا : أعاريب يأتوننا بلحمان  مشرحة ، والجبن ، والسمن ، والفراء ، ما ندري ما كنه إسلامهم ؟ قال : « انظروا ما حرم عليكم فأمسكوا عنه ، وما سكت عنه فإنه عفا لكم عنه ، وما كان ربك نسيا

Dari para sahabat Nabi, bahwa mereka bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Orang Badui biasa datang kepada kami dengan membawa daging, keju, dan samin, padahal kita tidak tahu keislaman mereka?” Nabi menjawab: “Lihatlah apa-apa yang Allah haramkan buat kalian, maka peganglah itu. Sedangkan yang Dia diamkan, maka itu termasuk yang dimaafkanNya buat kalian, sesungguhnya Tuhanmu tidaklah lupa.” (HR. Ath Thahawi, Musykilul Atsar  No. 638)

Hadits lain:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang medatangi kami sambil membawa  daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging itu atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan makanlah.” (HR. Bukhari No. 1952, 5188, 6963)

Demikianlah keterangan dan hujjah dari golongan yang mengatakan bolehnya menyembelih tanpa membaca bismillah bagi seorang muslim, baik sengaja atau lupa. Sekian.

2. Argumen yang Mengharamkan

Kelompok ini punya pendapat bahwa haram hukumnya memakan hewan sembelihan yang tidak disebut nama Allah Ta’ala atasnya. Dengan kata lain, wajib hukumnya tasmiyah ketika menyembelih.

Dalilnya adalah:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, karena Sesungguhnya Yang sedemikian itu adalah perbuatan fasik (berdosa) “ (QS. Al An’am (6): 121)

Berkata Imam Ibnu Katsir: “Dengan ayat inilah adanya madzhab yang menyatakan tidak halal sembelihan yang tidak dibacakan nama Allah, walau yang meyembelih adalah seorang muslim.”

Lalu dia berkata: “Ada yang mengatakan, tidak halal sembelihan dengan sifat seperti itu, sama saja apakah dia meninggalkan secara sengaja atau lupa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nafi’ pelayan Ibnu Umar, Amir Asy Sya’bi, Muhammad bin Sirin, ini juga riwayat dari Imam Malik, juga salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal, yang didukung oleh sekolompok pengikutnya baik yang dulu atau belakangan. Inilah yang dipilih oleh Abu Tsaur, Daud Azh Zhahiri, juga Abu al Futuh Muhammad bin Muammad  bin Ali Ath Tha’i dari kalangan pemgikut  Syafi’i yang belakangan dalam kitab Al Arba’in, mereka juga berhujjah dengan Al Maidah ayat: 4.Makanlah dari apa Yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah nama Allah atasnya.” (Tafsir Al Quran Al Azhim,  3/324)

Sedangkan argumentasi pihak yang membolehkan, yaitu karena bolehnya memakan sembilah Ahli Kitab, maka kelompok yang melarang telah mengoreksinya. Bagi mereka bolehnya memakan sembelihan Ahli Kitab adalah manshush ‘alaih (eksplisit oleh nash) secara jelas dan pasti, serta telah menjadi ijma’ ulama. Berbeda dengan masalah yang dibahas ini, yang tidak ada nash yang jelas dan tegas membolehkannya, justru yang ada adalah nash-nash yang melarangnya. Dengan demikian qiyas aula yang mereka lakukan tertolak.

Sedangkan hadits:

عن أبى هريرة رضى الله عنه قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أرأيت الرجل منا يذبح وينسى ان يسمى فقال النبي صلى الله عليه وسلم اسم الله على كل مسلم. . مَرْوَانُ بْنُ سَالِمٍ ضَعِيفٌ. وَقَالَ ابْنُ قَانِعٍ « اسْمُ اللَّهِ عَلَى فَمِ كُلِّ مُسْلِمٍ ».

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapat Anda tentang seseorang yang menyembelih dan lupa menyebut nama Allah? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammenjawab: “Nama Allah ada pada setiap muslim.” Marwan bin Salim adalah dhaif. Berkata Ibnu Qani’: ”Nama Allah ada pada setiap mulut orang Islam.” (HR. Ad Daruquthni, 4/295. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 18673)

Hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab perawinya yakni Marwan bin Salim adalah Dhaif. Imam Ibnu katsir berkata: “tetapi isnad hadits ini dhaif, karena ada rawi Marwan bin Salim, lebih dari satu imam yang membicarakan kedhaifannya. “ (Tafsir Al Quran Al Azhim, 3/327)

Imam Bukhari berkata tentang marwan bin Salim: Munkarul hadits. Ahmad dan lainnya:tidak tsiqah. Ad daruquthni berkata: matruk. Muslim dan Abu Hatim berkata: munkarul hadits. Abu Urubah Al Harani berkata: memalsukan hadits. Ibnu Adi: kebanyakan haditsnya tidak diikuti oleh orang-orang terpercaya. An Nasa’i berkata; Matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Al Majruhin, Juz. 3, Hal. 13) Oleh karena itu Imam Al Baihaqi sendiri mengatakan bahwa hadits ini munkar. (As Sunan Al Kubra  No. 18673)

Riwayat lain:

عن ابن عباس رضى الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال المسلم يكفيه اسمه فان نسى ؟ ان يسمى حين يذبح فليذكر اسم الله وليأكله

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda: “Seorang muslim cukuplah namanya sendiri, maka jika dia lupa (menyebut nama Allah) ketika menyembelih, maka sebutlah nama Allah setelah itu, lalu makanlah.”  (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  Juz. 9, Hal. 239. No. 18669)

Ini juga tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak kokoh, sebab di dalamnya ada Muhammad bin Yazid bin Sinan, yang didhaifkan oleh sebagian besar   ulama, hanya sedikit saja yang menganggapnya tsiqah (kredible).   Abu Daud mengatakan: dia bukan apa-apa. Ad Daruquthni mengatakan: dhaif. At Tirmidzi mengatakan: riwayat darinya tidak bisa diikuti, dia dhaif.  Abu Hatim mengatakan: dia bukan apa-apa, dan kelalaiannya lebih parah dibanding ayahnya. Tetapi Ibnu Hibban memasukkannya dalam ats tsiqat. Maslamah juga mengatakan tsiqah, sedangkan Al Hakim mengatakan tsiqah terhadap riwayat darinya jika  diriwayatkan dari Mas’ud. (Imam Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 31/525. Cet. 1, 1326H. Mathba’ah Dairatul Ma’arif. An Nizhamiyah – India)

Riwayat lainnya:

عن الصلت قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ذبيحة المسلم حلال ذكر اسم الله أو لم يذكر

Dari Shalt, dia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sembelihan seorang muslim adalah halal, baik dia menyebut nama Allah atau tidak menyebut.”  (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al kubra ,   No. 18674)

Hadits ini walau pun shahih, tetapi mursal, karena Shalt seorang yang hidup pada masa tabi’in yang tidak bertemu lansung dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagian imam seperti Imam Asy Syafi’i dan lain-lain tidak menjadikan hadits mursal sebagai hujjah.

Kelompok yang mengharamkan, juga berdalil dengan ayat berikut:

فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآَيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ

“Maka makanlah dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika betul kamu beriman kepada ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am (6): 118)

Jadi, syarat keimanan menurut ayat ini adalah menyebut nama Allah Ta’ala ketika menyembelih.

Juga dikuatkan oleh hadits:

عَنْ عَدِيٍّ قَالَ : { قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا قَوْمٌ نَرْمِي فَمَا يَحِلُّ لَنَا ؟ قَالَ : يَحِلُّ لَكُمْ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذَكَرْتُمْ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَخَزَقْتُمْ فَكُلُوا مِنْهُ } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَهُوَ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ مَا قَتَلَهُ السَّهْمُ بِثِقَلِهِ لَا يَحِلُّ

Dari Adi, dia berkata: AKu berkata: “Ya Rasulullah, kami adalah kaum yang memanah, maka apakah yang halal bagi kami?” Rasulullah menjawab: “Yang halal bagi kamu adalah apa yang kamu sembelih dan kamu tombak, dan yang kamu sebut nama Allah atasnya, maka makanlah itu.”  Diriwayatkan Ahmad, dan ini dalil bahwa apa-apa dibunuh dengan panah adalah tidak halal. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar,  8/135. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah)

Pada halaman lain Imam Syaukani berkata:

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ التَّسْمِيَةَ وَاجِبَةٌ لِتَعْلِيقِ الْحِلِّ عَلَيْهَا

“Di dalamnya terdapat dalil, bahwa tasmiyah adalah wajib untuk mengkaitkan kehalalan (hewan sembelihan)” (Nailul Athar,  8/136)

Dari Rabi’ bin Khadij Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa  Sallam bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلُوهُ

“Apa saja darah yang dialirkan dan disebut nama Allah atasnya,maka makanlah”  (HR. At Tirmidzi No. 1491, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5565)

Ini adalah dalil yang tegas tentang keharusan membaca nama Allah Ta’ala atas hewan sembelihan yang akan dimakan.

Dalil lain, dari Ibnu umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَلَا آكُلُ إِلَّا مَا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Aku tidaklah memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya.” (HR. Bukhari No. 3826)

Demikianlah dalil-dalil yang menyatakan haramnya sembelihan tanpa menyebut nama Allah Ta’ala.

Ada pun hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا

أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang mendatangi kami sambil membawa  daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging itu atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan makanlah.”  (HR. Bukhari No. 1952, 5188, 6963)

Menurut kelompok ini hadits ini mesti ditakwil, sebab tidak ada keterangan yang pasti, apakah bismillah dibaca atau tidak sebagaimana yang tertera dalam hadits ini sendiri. Oleh karena itu hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah yang kuat dan spesifik (qath’iyud dalalah).

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah memilih dan menguatkan  pandangan yang mewajibkan membaca tasmiyah secara mutlak, katanya:

وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ ؛ فَإِنَّ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ قَدْ عَلَّقَ الْحَلَّ بِذِكْرِ اسْمِ اللَّهِ

“Dan ini merupakan yang benar dari berbagai pendapat, maka sesungguhnya Al Kitab Dan As Sunnah telah mengaitkan kehalalan dengan menyebut nama Allah Ta’ala.” (Majmu’  Fatawa, 9/247. Mawqi’ Al Islam)

3. Yang mengatakan haram jika sengaja tidak membaca, namun halal jika karena lupa.

Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

إن ترك البسملة على الذبيحة نسيانا لم يضر وإن تركها عمدًا لم تحل هذا هو المشهور من مذهب الإمام مالك، وأحمد بن حنبل، وبه يقول أبو حنيفة وأصحابه، وإسحاق بن راهويه: وهو محكي عن علي، وابن عباس، وسعيد بن المُسَيَّب، وعَطَاء، وطاوس، والحسن البصري، وأبي مالك، وعبد الرحمن بن أبي ليلى، وجعفر بن محمد، وربيعة بن أبي عبد الرحمن.

“Jika meninggalkan bacaan basmalah karena lupa maka itu tidaklah memudharatkan, dan jika meninggalkannya karena sengaja maka tidak halal.” Ini adalah pandangan masyhur dari  madzhab Imam Malik, Ahmad bin Hambal, dengannya pula pandangan Abu hanifah dan sahabat-sahabatnya, Ishaq bin Rahawaih, juga dihikayatkan dari Ali, Ibnu abbas, Said bin Al Musayyab, Atha’, Thawus, Al Hasan Al Bashri, Abu Malik, Abdurrahman bin Abi Laila, Ja’far bin Muhammad, dan Rabi’ah bin Abdurrahman.” (Tafsir Al Quran Al Azhim, 3/ 326)

Dalil kelompok ini adalah, Allah Ta’ala befirman:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al Baqarah (2): 286)

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah bersabda:

إن الله وضع عن أمتي الخطأ والنسيان، وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah meletakkan (tidak menganggap, pen) dari umatku: Orang yang salah, yang lupa, dan yang dipaksa.”  (HR. Ibnu Majah No. 2043,  hadits juga diriwayatkan banyak imam dari banyak jalur   seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al Hasan bin Ali, Tsauban, ‘Uqbah bin ‘Amir.  Imam Ibnul Mulqin dalam Al Badrul Munir-nya menyebutkan bahwa hadits seperti ini memiliki delapan jalur. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya, seperti Al Irwa, Misykah Al Mashabih, Shahih Ibni Majah, dan Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, lalu dihasnakan pula oleh Imam An Nawawi dalam Arba’innya No. 39)

Demikianlah tiga kelompok dengan masing-masing hujjahnya. Manakah yang lebih mendekati kebenaran? Jika diperhatikan semua dalil secara menyeluruh, maka pandangan kelompok tiga adalah lebih kuat; yakni haram jika sengaja tidak membaca, namun halal jika karena lupa. Selesai. Wallahu A’lam

📒Pembahasan Kedua. Mestikah kita menanyakan atau mencari tahu bagaimana proses penyembelihan hewan yang kita makan, seperti yang ada di restaurant, pasar tradisional, atau pasar modern

Jika dalam keadaan tidak tahu dan tidak ada informasi yang mencurigakan, baik tentang tata cara penyembelihan, lalu wadah, bumbu, minyak, dan lainnya, serta manusia pun tidak menggunjingkannya -padahal rumah makan tersebut berada di lingkungan umat Islam dengan konsumen yang mayoritas juga umat Islam yang tentunya akan mudah diketahui dan tersiar jika ada hal yang mencurigakan- maka tidak dituntut dan tidak pula dibebani untuk mencari-cari tahu tentang: “Bagaimana ayam anda dipotong? Pakai minyak apa? Bumbunya ada unsur haram tidak? … dan seterusnya.  Tentunya hal ini sangat memberatkan kita jika setiap membeli makan ke warung nasi –baik dekat atau jauh- selalu menanyakan bahkan mencurigai warung makan tersebut, selain hal itu akan menyinggung perasaan mereka. Jika si penjual atau si pemilik warung makan tersebut adalah seorang muslim, cukuplah itu sebagai alasan buat kita untuk berbaik sangka kepadanya; bahwa mustahil mereka menyengaja menyediakan makanan haram kepada konsumennya. Jika ditemukan adanya beberapa kasus yang seperti itu –seperti bakso tikus, gudeg campur darah, dan lainnya-  maka hendaknya tidak dipukul rata dan membuat diri kita mudah curiga kepada setiap warung makan yang akhirnya menyulitkan diri kita sendiri.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengajarkan kita agar tidak mencari-cari tahu apa-apa yang jika kita korek-korek maka justru akan membuat kita susah sendiri.
Perhatikan ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قَوْمًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لَا نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa ada segolongan manusia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada kaum yang mendatangi kami sambil membawa  daging, kami tidak tahu apakah disebut nama Allah terhadap daging itu atau tidak.” Rasulullah menjawab: “Sebutlah nama Allah atasnya, dan makanlah.” (HR. Bukhari No. 1952, 5188, 6963)

Jelas dan tegas, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyulitkan si penanya yang dalam keadaan tidak tahu daging tersebut dibacakan nama Allah atau tidak ketika menyembelihnya, mirip seperti yang sedang antum hadapi. Beliau memerintahkan langsung saja baca bismillah kepada daging itu lalu makanlah. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengatakan: “jangan dimakan, tanya dulu bagaimana cara motongnya, pakai bismillah atau tidak? ” atau “tanyakan dulu minyaknya apa?” dan seterusnya.

Perhatikan kisah ini: Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkhutbah kepada kami:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ فَرَضَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا ” فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ فَسَكَتَ، حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ، لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ ” ثُمَّ قَالَ: ” ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ  ، فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ، فَدَعُوهُ

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan haji atas kalian, maka berhajilah.” Ada seorang laki-laki bertanya: “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Lalu nabi terdiam, sampai orang tersebut mengulangnya tiga kali. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya saya jawab ya, maka itu menjadi wajib dan kalian tidak akan mampu,” kemudian beliau bersabda:  “Biarkanlah saya terhadap apa yang saya  tinggalkan untuk kalian,  Sesungguhnya binasanya kaum sebelum kalian karena banyaknya pertanyaan mereka dan perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka. Maka, jika saya perintahkan kalian terhadap sesuatu maka kerjakan semampu kalian, dan jika saya melarang kalian dari suatu hal maka  tinggalkanlah.” (HR. Ahmad No. 10607, An Nasa’i No. 2619, Ath Thahawi dalam Musykilul AtsarNo. 1427, Ibnu Khuzaimah No. 2508, Ibnu Hibban No. 3704, 3705, Ad Daruquthni,  2/281, 282. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Imam Muslim, semua rijal/perawinya adalah tsiqat (terpercaya) dan merupakan perawi  syaikhan (Bukhari-Muslim), kecuali Ar Rabi’ bin Muslim, dia hanya perawi Imam Muslim. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih Ibnu Khuzaimah No. 2508, dan Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No.  2619)

Hadits ini menunjukkan bahwa zona yang didiamkan adalah zona lapang yang diberikan oleh  pembuat syariat kepada umat Islam, maka jangan mengutak-atiknya, yang justru jika diutak-atik akan memberatkan kita sendiri.

Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah (No. 2508) disebutkan bahwa setelah peristiwa di atas turunlah ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu.” (QS. Al Maidah (5): 101)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وإن تسألوا عن تفصيلها بعد نزولها تبين لكم، ولا تسألوا عن الشيء قبل كونه؛ فلعله أن يحرم من أجل تلك المسألة.

“Dan jika kalian tanyakan penjelasannya setelah turunnya perintah niscaya akan dia jelaskan kepada kalian, dan janganlah kalian menanyakan tentang sesuatu sebelum terjadinya, karena barangkali hal itu menjadi haram lantaran adanya pertanyaan itu.  (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/380)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

“Sesungguhnya orang muslim yang paling besar kejahatannya adalah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak haram, lalu menjadi haram gara-gara pertanyaannya.” (HR. Al Bukhari No. 7289 dan   Muslim  No. 2358)

Demikianlah jika dalam keadaan kita tidak tahu. Ada pun jika keadaan sebaliknya, telah diketahui dan tersebar informasi    rumah makan tersebut telah diragukan kehalalan makanannya, maka tidak ragu lagi bagi kita  untuk menjauhinya.

Wallahu A’lam

🌺🌻🍃🌱🌴☘🌾🌿🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

 

Tafsir Surat At Tahrim (Bag. 6)

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Jihad Melawan Orang Kafir Dan Munafiq

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali ( qs At Tahrim (66):9)

Makna Jihad

A.      Secara etimologi, jihad memiliki makna yang mirip dan beragam: at-thaqah (kemampuan) al-masyaqah (kesulitan), al-qital (perang) dan al-mubalaghah (lebih dari normal).

📌       Menurut Ibnu Faris

الجيم والهاء والدال أصله المشقة ، ثم يحمل عليه ما يقاربه

Huruf Jim, Ha dan Dal asalnya bermakna al masyaqah (kesulitan), kemudian disertakan maknanya dalam hal yang mendekati makna kesulitan tersebut.[1]

📌       Menurut Al-Farra dan al Azhari, kata al Juhdu bermakna at-thaqah (kemampuan)[2]

📌       Menurut Ar Raghib Al Ashfahani

الجَهد والجُهد : الطاقة والمشقة

Al Jahdu wa Al Juhdu bermakna kemampuan dan kesulitan [3]

B.      Secara Istilah, jihad memiliki beragam makna, seperti  disebutkan oleh para ulama berikut ini:

📌       Kalangan Syafi’iyah

Menurut kalangan Syafiiyah, makna jihad secara istilah adalah, berperang di jalan Allah karena kalimat jihad terkait dengan al mujahadah fisabililah (berperang di jalan Allah).[4]

بذل الجهد في قتال الكفار

Mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk memerangi orang kafir. Pendapat ini juga disebutkan oleh Ibnu Hajar al Atsqalani.[5]

📌       Kalangan Malikiyah

Menurut kalangan Malikiyah, jihad adalah:

قتال مسلم كافرًا غير ذي عهد لإعلاء كلمة الله تعالى

Orang Islam  memerangi orang kafir yang tidak terikat perjanjian dengan kaum muslimin, bertujuan untuk menegakkan kalimat Allah  ta’ala.[6]

📌       Kalangan Hanabilah
Pengertian Jihad menurut kalangan ini seperti yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

والجهاد هو بذل الوسع والقدرة في حصول محبوب الحق ، ودفع مايكرهه) ، وقال أيضًا : (… وذلك لأن الجهاد حقيقة الاجتهاد في حصول ما يحبه من الإيمان ، والعمل الصالح ، ومن دفع ما يبغضه الله من الكفر والفسوق والعصيان

“Jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk memperoleh kebenaran dan menolak sesuatu yang tidak sukai, (beliau juga berkata): Hal itu karena jihad secara hakikat adalah ijtihad untuk mendapat sesuatu yang disenangi dari iman dan amal shalih, juga menolak sesuatu yang dibenci seperti kekafiran, fasiq dan kemaksiatan”.[7]

📌       Kalangan Hanafiyah

Menurut kalangan Hanafiyah, seperti yang disebutkan oleh al Kasani:

الجهاد في عرف الشرع يستعمل في بذل الوسع والطاقة بالقتال في سبيل الله – عز وجل – بالنفس والمال واللسان أو غير ذلك

Jihad dalam pengertian syariat digunakan dalam mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk berperang di jalan Allah, baik dengan harta, lisan dan lainnya.[8]

Menurut Al Hafiz Ibnu Hajar makna jihad adalah:

الجهاد شرعا بذل الجهد في قتال الكفار ويطلق أيضا على مجاهدة النفس والشيطان والفساق، فأما مجاهدة النفس فعلى تعلم أمور الدين ثم على العمل بها ثم تعليمها، وأما مجاهدة الشيطان فعلى ما يأتي به من الشبهات وما يزينه من الشهوات، وأما مجاهدة الكفار فتقع باليد والمال واللسان والقلب، وأما مجاهدة الفساق فباليد ثم اللسان ثم القلب

“Jihad secara syariat adalah mengerahkan segala kemampuan untuk memerangi orang kafir, juga bisa berarti kesungguhan dalam jiwa untuk melawan syetan dan orang-orang fasiq, kesungguhan jiwa dilakukan dalam  mempelajari perkara agama lalu mengajarkannya, bersungguh-sungguh melawan syetan dari syubhat yang menghiasi syahwat, sedangkan berjihad melawan orang-orang kafir dilakukan dengan tangan, harta, lisan dan hati, adapun jihad melawan orang fasiq dilakukan dengan tangan kemudian lisan dan hati.[9]

Dari pengertian di atas, Ibnu Hajar menyimpulkan jihad dari makna yang paling khusus yaitu, memerangi orang kafir, kemudian beliau merinci jihad sesuai dengan medan masing-masing. Seperti jihad melawan syetan dengan mengalahkan hawa nafsu, jihad dalam mempelajari agama maksudnya bersungguh-sungguh. Beliau juga membedakan cara berjihad melawan orang kafir dan fasiq.

Keutamaan Jihad Fi Sabilillah

Sangat banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang menyebutkan tentang  keutamaan jihad fi sabilillah,  namun dalam tulisan ini tidak akan kami sebutkan semuanya. Cukuplah beberapa hadits yang akan kami nukil betapa mulianya derajat orang yang berjihad di jalan Allah.

Derajat para mujahidin

عن أبي هريرة – رضي الله عنه – عن النبي – صلى الله عليه وسلم – أنه قال: ((إن في الجنة مائة درجة أعدّها الله للمجاهدين في سبيل الله، ما بين الدرجتين كما بين السماء والأرض، فإذا سألتم الله فاسألوه الفردوس، فإنه أوسط الجنة، وأعلى الجنة، وفوقه عرش الرحمن، ومنه تفجَّر أنهار الجنة

Dari Abu Hurairah radhiyallahu Anhu, dari nabi Muhammad Shalallah Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda,” Sesungguhnya di syurga ada seratus derajat, yang Allah persiapkan bagi para mujahidin fi sabilillah, jarak antara satu derajat dan lainnya seperti jarak antara langit dan bumi, jika kalian memohon syurga mintalah syurga Firdaus, karena itu syurga yang terletak di pertengahan dan paling tinggi, diatasnya ada Arsy Ar Rahman, dari sanalah terpancar sungai-sungai syurga. ( HR. Bukhari, No.2790, Kitab Jihad Bab Darajat Mujahidin Fil Jannah)

Enam Keutamaan Mujahid

عن المقدام بن مَعْدِيكرب، عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: ((للشهيد عند الله ستُّ خصال: يغفرُ له في أول دُفعة من دمه، ويُرى مقعده من الجنة، ويُجار من عذاب القبر، ويأمن من الفزع الأكبر، ويُحلَّى حلية الإيمان، ويُزوّج من الحور العين، ويُشفَّع في سبعين إنسانًا من أقاربه

Dari al Miqdam bin Ma’diikarib, dari Rasulullah Shalalahu Alaihi Wa Sallam, bersabda,” Bagi orang yang syahid disisi Allah memiliki  enam ciri:

1.      Akan diampuni dosanya sejak awal darahnya menetes
2.      Akan melihat tempat duduknya di syurga
3.      Akan dijauhkan dari azab kubur dan aman dari hari kiamat
4.      Akan dihiasi dengan perhiasan iman
5.      Akan dinikahkan dengan Hurun ‘iin (bidadari)
6.      Akan memberi syafaat pada 70 anggota keluarganya.[10] ( HR. Ibnu Majah, no. 2799)

Berjihad Melawan Orang Kafir dan Munafiq

(يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ)

“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik…”

Berikut ini pendapat para ulama mufassirin, terkait berjihad melawan orang-orang kafir dan fasiq:

🚩       Qatadah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan jihad pada ayat diatas adalah, Allah memerintahkan untuk berjihad memerangi orang kafir dengan pedang, sedangkan memerangi orang fasiq dengan menggunakan hukum-hukum pidana (hudud).[11]

🚩      Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa memerangi orang kafir dan munafiq dengan senjata dan perang, yaitu dengan menegakkan hukum pidana kepada mereka ketika di dunia, sedangkan di akherat Allah akan mengazab mereka dengan neraka Jahannam, itulah seburuk-buruk tempat kembali.[12]

🚩       Sayid Qutub dalam Adz Zhilal menyebutkan ungkapan yang indah:

وتجمع الآية بين الكفار والمنافقين في الأمر بجهادهم والغلظة عليهم. لأن كلا من الفريقين يؤدي دورا مماثلا في تهديد المعسكر الإسلامي، وتحطيمه أو تفتيته

“Berkumpul didalam ayat antara kaum kafir dan munafiq dalam rangka perintah untuk memerangi dan bersikap keras kepada mereka, karena masing-masing mereka memiliki peran yang penting dalam mengitimidasi pasukan Islam, memecah belah dan mencerai beraikannya”.[13]

🚩       As Sa’di menyebutkan, bahwa memerangi orang kafir dan fasiq, langkah pertama tetap menggunakan anjuran yang baik (mauizhah hasanah), kemudian jika mereka menolak maka dilakukan dengan menegakkan argument yang lebih baik,(mujadalah hiya ahsan), dan jika mereka tetap menolak, enggan tunduk kepada hukum dan menolaknya maka dilakukan dengan cara memerangi mereka.[14]

🚩       Muhammad Mahmud al-Hijazi menyebutkan, bahwa perintah untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik dengan menggunakan kekuatan. Dan kekuatan disini adalah kekuatan apa saja yang dimiliki oleh kaum muslimin, Allah juga memerintah untuk berlaku keras kepada mereka yang telah jelas jelas memusuhi kaum musimin.[15]

🚩       Syekh Wahbah Zuhaili menyebutkan, bahwa perlakuan kepada orang-orang kafir dengan pedang dan perlakuan kepada kaum munafiq dengan menegakkan argument serta hukum pidana jika mereka melanggar hukum tersebut. karena dahulu nabi Muhammad pernah mengusir mereka dari dalam masjid dengan ucapan keras:

اخرج يا فلان، اخرج يا فلان

“Keluarlah hai fulan, keluarlah hai fulan”[16]

Itulah perlakuan yang seharusnya kepada orang-orang kafir dan munafik ketika di dunia.

🚩      Ibnu Abbas menyebutkan bahwa perlakuan keras tersebut diperuntukkan bagi kaum kafir Mekkah, hingga mereka mau beriman dan masuk Islam, sedangkan perlakuan keras kepada kaum munafiq diperuntukkan bagi kaum munafik di Madinah, dengan lisan, hujjah dan ancaman.[17]

🚩        Al Qurthubi menambahkan bahwa perlakuan kepada kaum kafir dan munafik, selain dengan menggunakan pedang dan argument serta hukum pidana, beliau menambahkan dengan doa, yakni mendoakan mereka agar memperoleh petunjuk, serta memberitahukan tempat kembali mereka di Akherat, yaitu neraka Jahannam.[18]

🚩       Menurut Syekh Wahf Al Qahtani, berjihad melawan orang kafir dan munafik memiliki empat tingkatan yaitu:[19]

⏺   Melalui hati (mengingkari mereka, tidak senang dengan sifat mereka)
⏺   Lisan ( menegakkan argument kepada mereka)
⏺   Harta
⏺   Tangan (kekuasaan dan kekuatan)

والله أعلم

🌴🌴🌴🌴🌴

[1] Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah,  227
[2] Al Azhari, Tahdzib al-Lughah,6/26
[3] Ar Rhagib al Ashfahani, Mufradat Fi Gharib Al-Qur’an, h.99
[4] AsSayid Ad Dimyati, Ianatu Ath Thalibin, 4/180
[5] Ibnu Hajar al Atsqalani, Fathul Bari, 6/3
[6] Ahmad bin Muhammad Ad Dardir, Asy Syarhu as Shaghir ala Aqrab al Masalik Ila Madzhab Imam Malik, 2/ 267
[7] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 10/191
[8] Al-Kasani, Bada’I as-Shana’i, 7/97
[9] Ibnu Hajar al Atsqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379), 1/3
[10] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no 2799
[11]  Ibnu Jarir at-Thabari, Jamiul Bayan Fi Ta’wil Ayi Al-Qur’an, (Muassasah Ar Risalah, 1420H),  23/497
[12] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al Azhim, ( Dar Thaybah Li Nasyr, 1420H, 8/171
[13] Sayid Qutub, Fi Zhilal Al-Qur’an, (Kairo: Dar As-Syuruq, 1412), 6/3621
[14] As Sa’di, At Taysir, 1/874
[15] Muhammad Mahmud al-Hijazi, At Tafsir Al-Wadhih, (Beirut: Dar Jiil Al Jadid, 1413H), 3/706
[16] Wahbah ZUhaily, Tafsir Al Munir,  28/320
[17] Al Fairuz Abadi, Tanwirul Miqbas Fi Tafsir Ibni Abbas, 1/478
[18] Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, 18/201
[19]  Said Wahf Al Qahtani, Al Jihad Fi Sabilillah, (Riyad: Matba’ah Safir, 1/12)

🍀🌸🌴🍃🌺🌻🌷🌿🌵

✍ Ust Fauzan Sugiono, Lc

Serial Tafsir Surat At-Tahrim

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 1)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 2)

Tafsir At Tahrim (Bag. 3)

Tafsir At Tahrim (Bag. 4)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 5A)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 5B)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 6)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 7)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 8)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 9, Selesai)

Berbohong Kepada Anak Tetaplah Berbohong

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

📌 Sebagian orang tua mengeluh bahwa putra putrinya suka berbohong

📌 Sebelum menyalahkan mereka atau yang lainnya, coba lihat diri sendiri, jangan-jangan kita juga mempertontonkan kebohongan dihadapan mereka

📌 Atau mereka sendiri menjadi korban kebohongan orang tuanya

📌 Biasanya dimulai dari hal sepele; anak merengek minta dibelikan mainan lalu orang tua menjanjikan “nanti ya”, saking lamanya si anak lupa sendiri, dan memang itu yang dimau orang tuanya

📌 Ini terjadi berulang dan tertanam dalam ingatan sang anak, lalu dia mencontoh .. korbannya pun beragam, saudaranya, kawannya, termasuk orang tuanya

📚 Sungguh tepat nasihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Ummu ‘Aamir  Radhiallahu ‘Anha, seperti yang diceritakan anaknya, ‘Aamir bin Rabi’ah

دَعَتْنِى أُمِّى يَوْمًا وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَاعِدٌ فِى بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا تَعَالَ أُعْطِيكَ. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ ».
قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا. فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِيهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ ».

Sautu hari ibuku memanggilku, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk di rumah kami. Ibuku berkata (kepadaku): “Mari sini, Ibu mau memberikan sesuatu!” Maka, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa yang akan Engkau berikan?” Ibu menjawab: “Aku mau kasih kurma.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Jika ternyata Engkau tidak memberikan apa-apa kepadanya, maka  tercatat atasmu sebuah kebohongan.” (HR. Abu Daud No. 4993, hasan)

📌 Mari ayah dan ibu, kita berkata yang jujur walau dalam hal sepele kepada anak-anak sendiri, lindungilah mereka dari budaya bohong yang merusak kepribadiannya

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Wahai Orang-orang beriman, bertaqwa-lah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. (Qs. Al Ahzab: 70)

Wallahu A’lam

☘🌷🌺🌴🍃🌾🌻🌸

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top