Posisi Tangan Bersedekap Saat Shalat

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Kami akan ambil dari dua sumber.

1. Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 38/369

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى أَنَّ مِنْ سُنَنِ الصَّلاَةِ الْقَبْضَ وَهُوَ وَضْعُ الْيَدِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَخَالَفَهُمْ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ فَقَالُوا : يُنْدَبُ الإِْرْسَال وَيُكْرَهُ الْقَبْضُ فِي صَلاَةِ الْفَرْضِ وَجَوَّزُوهُ فِي النَّفْل وَهَذَا فِي الْجُمْلَةِ .
وَمَكَانُ وَضْعِ الْيَدَيْنِ بِهَذِهِ الْكَيْفِيَّةِ هُوَ تَحْتَ الصَّدْرِ وَفَوْقَ السُّرَّةِ ، وَهَذَا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَرِوَايَةٌ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ ، وَهُوَ قَوْل سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ لِمَا رَوَى وَائِل بْنُ حُجْرٍ قَال : صَلَّيْتُ مَعَ رَسُول اللَّهِ ، وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ
وَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَفِي الرِّوَايَةِ الأُْخْرَى عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ أَنَّهُ يَضَعُ يَدَيْهِ تَحْتَ سُرَّتِهِ وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَلِيٍّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي مِجْلَزٍ وَالنَّخَعِيِّ وَالثَّوْرِيِّ وَإِسْحَاقَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ قَال : مِنَ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ

Mayoritas ahli fiqih seperti Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa di antara sunah-sunah shalat adalah Al Qabdh (bersedekap), yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Sementara Malikiyah menyelisihi mereka dalam hal ini, mereka mengatakan: “Dianjurkan irsaal (meluruskan tangan) dan dimakruhkan sedekap di dalam shalat wajib namun boleh di shalat sunnah.” Inilah gambaran secara umum.

Ada pun tempat meletakkan tangannya adalah di bawah dada dan di atas pusar, ini menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan sebuah riwayat dari Hanabilah. Ini juga pendapat Sa’id bin Jubeir. Berdasarkan  hadits Wail bin Hujr, dia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah ﷺ, Beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya, di dadanya.”

Sedangkan menurut Hanafiyah, dan sebuah riwayat lain dari Hanabilah, bahwa diletakkan kedua tangan itu di bawah pusar. Cara seperti ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abu Mijlaz, An Nakha’i, Ats Tsauri, dan Ishaq. Berdasarkan riwayat dari Ali bin Abi Thalib: “Diantara sunah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan di atas telapak tangan, di bawah pusar.”

2. Fiqhus Sunnah, 1/146

قال الكمال بن الهمام. ولم يثبت حديث صحيح يوجب العمل في كون الوضع تحت الصدر، وفي كونه تحت السرة، والمعهود عند الحنفية هو كونه تحت السرة وعند الشافعية تحت الصدر.
وعن أحمد قولان كالمذهبين، والتحقيق المساواة بينهما.
وقال الترمذي: أن أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم والتابعين ومن بعدهم يرون أن يضع الرجل يمينه على شماله في الصلاة، ورأى بعضهم فوق السرة، ورأى بعضهم أن يضعها تحت السرة، وكل ذلك واقع عندهم. انتهى.
ولكن قد جاءت روايات تفيد أنه صلى الله عليه وسلم، كان يضع يديه على صدره، فعن هلب الطائي قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يضع اليمنى على اليسرى على صدره فوق المفصل، رواه أحمد، وحسنه الترمذي.
وعن وائل بن حجر قال: (صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم فوضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره) رواه ابن خزيمة وصححه ورواه أبو داود والنسائي بلفظ: ثم وضع يده اليمنى على ظهر كفه اليسرى والرسغ والساعد.أي أنه وضع يده اليمنى على ظهر اليسرى ورصغها وساعدها.

Berkata Al Kamal bin Al Hummam: “Tidak ada hadits shahih yang menunjukkan aktifitas posisi meletakkan tangan di bawah dada, dan di bawah pusar. Dan, yang dianut oleh Hanafiyah adalah posisinya di bawah pusar, dan bagi Syafi’iyah di bawah dada.”

Sedangkan Ahmad ada dua riwayat, sebagaimana dua madzhab tersebut.

At Tirmidzi berkata: “Para ulama dari kalangan sahabat Nabi ﷺ, tabi’in, dan generasi setelah mereka, berpendapat bahwa seseorang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, sebagian mereka berpendapat meletakkan di atas pusar, sebagian lain berpendapat di bawah pusar. Semua ini ada dalam pendapat mereka.” Selesai

Tetapi terdapat banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ meletakkan kedua tangannya di atas dadanya. Dari Halab Ath Tha’iy, dia berkata: “Aku melihat  Nabi ﷺ meletakkan   tangan kanannya di atas tangan kirinya, di dadanya, di atas mufashshal (batas antara dada dan perut).”

Diriwayatkan oleh Ahmad, dan dihasankan oleh At Tirmidzi.
Dari Wail bin Hujr, dia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah ﷺ, Beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya, di dadanya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan dia menshahihkannya.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dan An Nasa’i dengan lafaz: “Kemudian Beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kirinya dan pergelangan tangannya serta tulang hastanya.” Maksudnya Beliau meletakkan tangan kanannya di punggung tangan kirinya, pergelangannya dan bagian hastanya.

💢 Kesimpulan:

✅ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hambaliyah), berpendapat adanya bersedekap

✅ Sementara Malikiyah -pengikut Imam Malik- memakruhkan sedekap pada shalat wajib, tapi boleh pada shalat sunah.

✅ Tempatnya sedekap adalah di bawah dada tapi di atas pusar (antara dada dan pusar). Ini pendapat Malikiyah,  Syafi’iyah, juga Imam Ahmad dalam satu riwayat, berdasarkan riwayat Wail bin Hujr.

✅ Hanafiyah dan sebagian Hanabilah, meletakkan tangan di bawah pusar. Ini juga pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lainnya. Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.

✅ Para ulama masa sahabat nabi, tabi’in, dan generasi setelah mereka mempraktekan keduanya, baik di antara dada dan pusar, dan di bawah pusar.

✅ Ada pun pas di dada berdasarkan riwayat Halab bin Tha’iy, disebutkan oleh Imam Ahmad dan Imam At Tirmidzi, dengan sanad hasan.

✅ Jadi, mau di bawah pusar, antara dada dan pusar, atau di dada, semuanya ada. Ada pun TANPA SEDEKAP, tangan lurus saja, dianggap pendapat lemah oleh Syaikh Wahbah Az Zuhailiy. Pendapat yang rajih/kuat adalah pendapat mayoritas ulama. ( Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/63)

✅ Imam Malik sendiri berbeda dengan pengikutnya, Beliau sampai akhir hayatnya tetap bersedekap, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Abdil Bar. ( Fiqhus Sunnah, 1/146)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷☘🌴🌺🍃🌸🌾🌻

✍ Farid Nu’man Hasan

Tata Cara Turun Sujud; Lutut Dulu, Tangan Dulu, Atau Sama saja?

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Assalamu ‘alaikum, Wr.Wb. Pak ust, saya sering melihat orang-orang jika sujud mendahulukan lututnya, padahal yang benar ’kan tangan dahulu, bagaimana pak ustadz? (dari 081345412xxx)

Jawab:

Wa’alaikum Salam Wa Rahmatullah wa Barakatuh.  Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Sebenarnya apa yang Anda tanyakan ini adalah perkara khilafiyah sejak lama, yang sampai hari ini, bahkan nampaknya sampai akan datang tidak ada kata sepakat. Anda berhak mengikuti dan meyakini bahwa mendahulukan tangan ketika akan sujud adalah lebih benar. Namun, sebaiknya kita tidak boleh mengingkari yang lain. Sebab, mendahulukan lutut ketika akan sujud, justru itulah pendapat yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama.

Saya akan kutipkan paparan beberapa ulama, tentang peta perbedaan ini.

✅ Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata sebagai berikut:

ذهب الجمهور إلى استحباب وضع الركبتين قبل اليدين، حكاه ابن المنذر عن عمر النخعي ومسلم بن يسار وسفيان الثوري وأحمد وإسحاق وأصحاب الرأي قال: وبه أقول، انتهى.
وحكاه أبو الطيب عن عامة الفقهاء.
وقال ابن القيم: وكان صلى الله عليه وسلم يضع ركبتيه قبل يديه ثم يديه بعدهما ثم جبهته وأنفه هذا هو الصحيح الذي رواه شريك عن عاصم بن كليب عن أبيه.
عن وائل بن حجر قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه ولم يرو في فعله ما يخالف ذلك، انتهى.
وذهب مالك والاوزاعي وابن حزم إلى استحباب وضع اليدين قبل الركبتين، وهو رواية عن أحمد. قال الاوزاعي: أدركت الناس يضعون أيديهم قبل ركبهم.
وقال ابن أبي داود: وهو قول أصحاب الحديث.

“Menurut madzhab jumhur ulama, disunahkan meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan. Demikian itu diceritakan Ibnul Mundzir dari Umar, An Nakha’i, Muslim bin Yasar, Sufyan Ats Tsauri , Ahmad, Ishaq dan ashabur ra’yi (pengikut Abu Hanifah). Dia berkata: “Aku juga berpendapat demikian.” Abu Thayyib menceritakan hal ini dari umumnya para fuqaha.

Ibnul Qayyim mengatakan: Dahulu Rasulullah ﷺ   meletakkan lututnya sebelum tangannya, kemudian tangannya, lalu diikuti dengan keningnya dan hidungnya. Inilah yang shahih yang diriwayatkan oleh Syarik dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya, dari Wail bin Hujr, dia berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika dia sujud dia meletakkan lututnya sebelum tangannya, dan jika dia akan bangkit, dia mengangkat tangannya sebelum lututnya. Dan tidak ada riwayat yang bertentangan dengan apa yang dilakukannya itu.” Selesai.

Sedangkan madzhab Imam Malik, Al Auza’i , dan Ibnu Hazm, menyunnahkan meletakkan tangan sebelum lutut, itu juga merupakan satu riwayat dari Ahmad. Berkata Al Auza’i: “Aku melihat manusia meletakkan tangan mereka sebelum lututnya.”

Berkata Ibnu Abi Daud: “Ini adalah pendapat para ahli hadits.”   (Fiqhus Sunnah, 1/164. Lengkapnya lihat juga Zaadul Ma’ad, 1/223)

✅  Imam Al Baghawi Rahimahullah juga menjelaskan:

واختلف العلماء في هذا ، فذهب أكثرهم إلى أنه يضع الركبتين قبل اليدين ، وقال نافع : كان ابن عمر يضع يديه قبل ركبتيه ، وبه قال الأوزاعي ومالك : إنه يضع يديه قبل ركبتيه

Para ulama berselisih pendapat tentang ini, mayoritas mengatakan bahwa meletakkan lutut sebelum kedua tangan. Naafi’ berkata: “Dahulu Ibnu Umar meletakkan kedua tangannya sebelum lututnya. Ini juga pendapat Al Auza’i dan Malik: bahwa meletakkan tangan didahulukan sebelum kedua lutut. (Syarhus Sunnah, 3/134)

Perbedaan pendapat ini lantaran perbedaan mereka dalam menilai hadits dari Wail bin Hujr di atas, shahih atau tidak. Hal ini berimplikasi pada hukum yang berlaku di dalamnya.

📕 Pihak Yang Menshahihkan

Sebagian imam muhadditsin menshahihkan hadits ini, seperti Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ibnu Hibban, Imam Ibnu As Sikkin.  (Lihat At Talkhish Al Habir, 1/616-617), juga Imam Al Hakim, dan menurutnya keshahihannya sesuai syarat Imam Muslim. (Lihat Al Muharrar fil Hadits, 1/195), juga Imam Ibnu Mulaqqin. (Lihat Al Badrul Munir, 3/656), juga dishahihkan oleh Imam Ibnul Qayyim. (Zaadul Ma’ad, 1/223)

Sedangkan menurut Imam At Tirmidzi: “Hadits tersebut hasan gharib, kami tidak mengetahui satu pun yang meriwayatkannya seperti ini dari Syarik. Kebanyakan ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka berpendapat bahwa meletakkan lutut adalah sebelum kedua tangan, sedangkan bangkit adalah mengangkat tangan sebelum kedua lutut.” (Imam Ibnul Qayyim, Ibid. Lihat juga Sunan At Tirmidzi No. 268). Imam Al Baghawi juga menyatakan hasan. (Syarhus Sunnah, 3/134)

Iman Al Khathabi mengatakan –tentang mendahulukan lutut dibanding tangan- : “Itu lebih kuat haditsnya dibanding mendahulukan tangan, dan lebih lentur bagi yang shalat, lebih bagus bentuknya dan lebih bagus dilihat mata.” (Al Badru Al Munir, 3/656).

📗 Pihak Yang Mendhaifkan

Sementara, ulama lain mendhaifkan hadits tersebut seperti Syaikh Al Albany  dalam Silsilah Adh Dhaifah Juz. 2, hal. 329. dan dibeberapa kitabnya yang lain beliau juga mendhaifkan. Pendhaifan ini diikuti oleh kebanyakan murid-muridnya.

📓 Sebab Perselisihan

Perselisihan tentang status hadits tersebut, lantaran posisi Syarik yang dianggap perawi yang kontroversi. Pihak yang mendhaifkan memiliki beberapa alasan berikut:

Pertama. Hadits ini diriwayatkan secara menyendiri oleh Syarik, tidak ada orang lain yang meriwayatkannya kecuali hanya darinya. Sebagaimana perkataan Imam At Tirmidzi: “Kami tidak ketahui satu pun orang yang meriwayatkan hadits seperti ini dari Syarik.” (Sunan At Tirmidzi No. 268).

Al Hafizh Ibnu Hajar  mengatakan: “Al Bukhari, At Tirmidzi, Abu Daud, dan Al Baihaqi mengatakan bahwa Syarik menyendiri dalam meriwayatkan hadits ini.” (Talkhish Al Habir, 1/457)

Sedangkan, Syarik adalah orang yang dinilai tidak kuat haditsnya jika meriwayatkan secara menyendiri.   Berkata Imam Ad Daruquthni: “Dia “laisa bil qawwiy” (tidak kuat) jika meriwayatkan secara menyendiri.” (Al Muharraf fil Hadits, 1/196. Tanqih Tahqiq Ahadits At Ta’liq, Hal. 399)

Ibnu Sayyidin Naas berkata: “Syarik menyendiri dalam riwayat ini, dan tidak shahih berhujjah dengan Syarik jika dia menyendiri.” (Dhaif Abi Daud, 1/334)

Secara hapalan pun Syarik dinilai tidak kuat, Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dia jujur, tapi banyak salahnya dan hapalannya berubah semenjak menjadi Hakim Agung di Kufah. Dia seorang yang adil,  memiliki keutamaan, ahli ibadah, dan keras terhadap ahli bid’ah.”  (Lihat Taqrib At Tahzib No. 2787). Ibnu Abdil Hadi mengatakan: “Syarik banyak melakukan kekeliruan dan kebimbangan.” (Al Muharrar, 1/196)

Anggapan bahwa Syarik merupakan rawi yang dipakai oleh Imam Muslim –sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Hakim dan Imam Adz Dzahabi, disanggah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Menurutnya Syarik bukanlah perawinya Imam Muslim kecuali hanya sebagai mutaba’ah (penguat) saja seperti yang disampaikan oleh Al Mundziri dalam At Targhib wat Tarhib, jadi Syarik bukan perawi utama Imam Muslim. Menurut Syaikh Al Albani:  “Banyak kasus wahm (kesamaran) yang dialami Imam Al Hakim yang seperti ini, yang lalu diikuti oleh Imam Adz Dzahabi padahal hakikatnya berbeda dengan apa yang mereka kira. Maka, penshahihan mereka berdua atas hadits Syarik ini, lalu disebut “sesuai syarat Imam Muslim” adalah tidak benar dikatakan hasan dan shahih, apalagi disebut “sesuai syarat Imam Muslim?” Maka perhatikanlah hal ini bagi yang menghendaki bashirah bagi agamanya dan hadits Nabinya ﷺ.”   (Lihat As Silsilah Adh Dhaifah, 2/229-230)

Alasan kedua, karena banyaknya hadits yang justru bertentangan dengan hadits Wail bin Hujr di atas.? Diantaranya, hadits dari Abu Hurairah:

إذا سجد أحدكم فلا يبرك كما يبرك البعير ، و ليضع يديه قبل ركبتيه ” . رواه أبو داود بسند جيد

“Jika salah seorang kalian sujud janganlah menderum seperti menderumnya unta, dan hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum lututnya.” (HR. Abu Daud dengan sanad Jayyid/baik)

Hadits lain:

” كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا سجد بدأ بوضع يديه قبل ركبتيه ” . أخرجه الطحاوي في ” شرح المعاني ”  (1 / 149 )

Dan dalam riwayat lain Abu Hurairah: “Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika sujud, di memulai dengan meletakkan dua tangannya sebelum lututnya. (HR. Ath Thahawy, dalam Syarhul Ma’ani, 1/149)

Lalu Syaikh Al Albany  Rahimahullah berkata:

و روى له شاهدا من حديث ابن عمر من فعله و فعل النبي صلى الله عليه وسلم . و سنده صحيح ، و صححه الحاكم و الذهبي

Dan diriwayatkan  hadits yang menguatkan hadits di atas, yakni hadits dari Ibnu Umar, tentang perbuatannya dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sanadnya shahih, dan dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi.  (As Silsilah Adh Dhaifah, Ibid)

Demikianlah pandangan pihak yang mendhaifkan, yang dengan itu bagi mereka meletakkan tangan adalah didahukan dibanding lutut.

📙 Pihak Yang Menshahihkan

Pihak yang menshahihkan menyatakan bahwa Syarik bisa dijadikan hujjah. Beliau di nilai jujur dan  tsiqah oleh Imam Yahya bin Ma’in, sedangkan Imam An Nasa’i mengatakan “tidak ada masalah”, dan lainnya. Ibnul Mubarak mengatakan bahwa Syarik lebih kuat pengetahuannya  dibanding Sufyan tentang hadits-hadits orang Kufah. Isa bin Yunus mengatakan: “Rijalnya umat ini adalah Syarik.” Imam Muslim meriwayatkan darinya sebagai mutaba’ah (riwayat penguat).  Imam Adz Dzahabi menyebutnya sebagai Al Hafizh Ash Shaadiq dan salah satu imam.   (Mizanul I’tidal, 2/270-274)

Ada pun tentang “menyendirinya” Syarik dalam meriwayatkan hadits ini telah dikuatkan oleh riwayat lain dari Hamam secara muttashil (bersambung sanadnya).

Berkata Ibnul Mulaqin Rahimahullah:

“Imam At Tirmidzi berkata: “Kami tidak ketahui satu pun orang yang meriwayatkan hadits seperti ini dari Syarik.” Saya (Ibnul Mulaqin) katakan: hadits ini juga diriwayatkan oleh Hamam secara muttashil.”  Dia (At Tirmidzi berkata): Berkata Yazid bin Harun: “Syarik tidak pernah meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib kecuali hadits ini.” Saya (Ibnul Mulaqin) katakan: “Syarik memiliki sejumlah hadits yang diriwayatkan darinya (‘Ashim) yang sudah saya sebutkan dalam takhrij saya terhadap hadits-hadits Ar Rafi’i, dan haidts ini shahih seperti yang disebutkan Ibnu Hibban, dan gurunya Ibnu Khuzaimah, dan Al Hakim mengisyaratkan sebagai hadits shahih sesuai syarat Imam Muslim.” (Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj, /311-312)

Dalam kitabnya yang lain Ibnul Mulaqin juga mengoreksi Al Baihaqi yang mengatakan “Banyak haditsnya Syarik yang tidak bisa dijadikan hujjah.” Kata Beliau: “Itulah kata dia, padahal Syarik adalah perawinya muslim dan empat kitab sunan, yang ditelah ditsiqahkan oleh Yahya bin Ma’in dan lainnya. An Nasa’i mengatakan: “tidak masalah”. (Al Badrul Munir, 3/657)

Ibnul Mulaqin juga berkata: “Berkata An Nasa’i: “Hanya Yazid bin Harun yang meriwayatkan ini dari Syarik.” Saya katakan: “Sama sekali tidak membuat cacat atas keshahihannya, sebab kehebatan  Yazid bin Harun dalam hal hapalannya.” At Tirmidizi berkata: “Hamam meriwayatkannya dari ‘Ashim secara mursal (salah satu jenis hadits yang terputus sanadnya, pen).” Saya katakan: “Ini juga tidak menodainya, sebab keutamaan Hamam dan dia seorang yang tsiqah.” (Ibid)

Ada pun riwayat yang menunjukkan seolah hadits ini bertentangan dengan hadits lain yang shahih, sebagaimana pendapat Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Adh Dhaifahnya,    adalah tidaklah demikian. Yang benar -sebagaimana kata Imam Ibnu Taimiyah-  adalah semua riwayat ini shahih dan  KEDUA CARA INI BISA DIAMALKAN, yang satu tidak menganulir yang lainnya. Baik mendahulukan kedua tangan kemudian kedua lutut, atau mendahulukan kedua lutut kemudian kedua tangan. Masalah ini tidak pada zona “salah dan benar” tapi mana yang paling utama di antara keduanya.

📌 Pandangan Bijak Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah ditanya mana yang benar tentang cara turun sujud, tangan dulukah atau lutut dulu, Beliau menjawab:

الْجَوَابُ: أَمَّا الصَّلَاةُ بِكِلَيْهِمَا فَجَائِزَةٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، إنْ شَاءَ الْمُصَلِّي يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِنْ شَاءَ وَضَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ، وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ فِي الْحَالَتَيْنِ، بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ. وَلَكِنْ تَنَازَعُوا فِي الْأَفْضَلِ. فَقِيلَ: الْأَوَّلُ كَمَا هُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ.
وَقِيلَ: الثَّانِي، كَمَا هُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَأَحْمَدَ فِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى وَقَدْ رُوِيَ بِكُلٍّ مِنْهُمَا حَدِيثٌ فِي السُّنَنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Adapun shalat dengan kedua cara tersebut  diperbolehkan  menurut  kesepakatan ulama, kalau dia mau silahkan meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau dia mau silahkan  meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutut, dan shalatnya sah pada kedua cara  tersebut  menurut kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang mana yang afdhal.

Ada yang mengatakan cara pertama (meletakkan lutut dulu) yang lebih utama seperti madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad di antara dua riwayat darinya. Ada yang mengatakan cara kedua (meletakkan tangan dulu) yang lebih utama seperti madzhab Malik, Ahmad dalam riwayat lainnya. Kedua cara ini terdapat dasar dalam Sunah Nabi ﷺ. (Al Fatawa Al Kubra, 2/187)

Demikian. Semoga bermanfaat dan dapat membuat kita lebih bijak dan lapang dada dalam menghadapi perbedaan dalam fiqih. Tidak sepantasnya menjadikan masalah ini sebab permusuhan sebab ini bukan masalah pokok agama (ushuluddin) kita.

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Salam.

📔📙📘📗📕📓📒📘📗📕

✍ Farid Nu’man Hasan

Tafsir Surat At Tahrim (Bag. 4)

Jagalah Dirimu dan Keluargamu dari Siksa Api Neraka

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ ناراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجارَةُ عَلَيْها مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ ما أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ ما يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. ( QS. At Tahrim [66]:6)

📌 Ajaklah Keluargamu Masuk Syurga

Ayat ini adalah panggilan kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menjaga diri mereka beserta keluarga mereka dari siksa neraka. Ayat ini mengajarkan agar orang-orang beriman tidak masuk syurga sendirian, namun ia harus terus berusaha agar keluarga, istri, anak, orang tua dan saudara-saudaranya  juga bisa masuk kedalam syurga, bisa hidup berdampingan di syruga kelak, dalam naungan kenikmatan syurga yang tiada putus-putusnya, abadi di sana.

Mujahid berkata:

Berwasiatlah kepada keluarga kalian agar mereka tetap dalam ketakwaan kepada Allah, ajarkan mereka kebaikan yang bisa menyelamatkan  dari siksa api neraka. [1]

Imam Ibnu Katsir menyebutkan pendapat Qatadah:

وَقَالَ قَتَادَةُ: يَأْمُرُهُمْ بِطَاعَةِ اللَّهِ، وَيَنْهَاهُمْ عَنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَأَنْ يقومَ عَلَيْهِمْ بِأَمْرِ اللَّهِ، وَيَأْمُرَهُمْ بِهِ وَيُسَاعِدَهُمْ عَلَيْهِ، فَإِذَا رَأَيْتَ لِلَّهِ مَعْصِيَةً، قَدعتهم عَنْهَا وَزَجَرْتَهُمْ عَنْهَا

Menurut Qatadah,” Perintahkan mereka taat kepada Allah, larang melakukan kemaksiatan, hendaklah mereka mendirikan perintah Allah, bahu membahu  dalam melaksanakannya, jika kamu melihat mereka bermaksiat, maka larang dan berikanlah sanksi atasnya. [2]

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا

“Wahai orang-orang yang beriman”

Abdurrahman Nashir As Sa’di menyebutkan dalam tafsirnya tentang orang-orang beriman:

يا من من الله عليهم بالإيمان، قوموا بلوازمه وشروطه.

Wahai orang yang Allah anugerahi iman, laksanakan konsekwensi iman beserta syarat-syaratnya.[3]

Yang dimaksud dengan konsekwensi  iman yaitu mempersembahkan kemurnian tauhid dan ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan syarat-syarat iman adalah sesuai dengan petujuk Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.

An Nasafi berkata, ” Hendaklah kalian mengerjakan kebaikan, menyuruh keluarga agar taat kepada Allah sebagaimana engkau suruh dirimu sendiri untuk berbuat kebaikan. [4]

Mengajak keluarga untuk mendapat keridhaan Allah, bertakwa dan masuk syurga merupakan tanggung jawab setiap individu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ، فَالإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ

Telah menceritakan kepada kami, Abu Nu’man, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid, dari Ayub, dari Nafi’ dari Abdullah, Rasulullah Shalalallahu alaihi wasallam bersabda,”Setiap kaliam adalah pemimpin dan setiap kalian bertanggung jawab. Seorang imam dia adalah pemimpin yang memiliki tanggung jawab, seorang laki-laki bertanggung jawab terhadap keluarganya dia adalah pemimpin, seorang wanita pun bertanggung jawab atas rumah tangga suaminya, dia adalah pemimpin. Seorang budak  bertanggung jawab terhadap harta tuannya, ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)[5]

📌 Ujian Keluarga Tidaklah Ringan

Masuk Syurga bersama keluarga tercinta merupakan dambaan setiap orang beriman. Namun hal tersebut tidaklah mudah bak membalikkan telapak tangan.  Jalan kesana penuh ujian  yang sulit. Meskipun demikian Allah memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman bahwa kelak mereka akan berkumpul dengan keluarganya. Seperti disebutkan dalam Firman Allah:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan,  Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”  (QS. At Thur [52]: 21)

Menurut At Thabari, terkait ayat ini, orang tua mukmin yang masuk syurga  yang memiliki derajat tinggi di syurga, sementara anaknya yang masuk syurga memiliki kedudukan yang lebih rendah dari orang tuanya, maka Allah akan mengangkat derajat anak tersebut, didekatkan, disejajarkan dan dikumpulkan bersama orang tuanya, agar kedua orang tuanya senang dengan berkumpulnya anak-anak mereka di syurga.[6]

Para anbiya terdahulu memiliki kisah beragam terkait dengan anak keturunan atau keluarga mereka yang tidak beriman, sehingga mereka terpisahkan. Seperti kisah nabi Nuh bersama puteranya yang tetap enggan beriman, hingga ia tenggelam dalam air bah, karena kekafirannya kepada Allah.   Nabi Nuh tanpa putus asa terus mengarahkan dan mengajak anaknya masuk kedalam ajarannya, namun ia tetap enggan.[7]

Firman Allah:

… Hai anakku, naiklah ke kapal bersama kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.  Anaknya menjawab,” Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah. Nuh berkata,” Tiada yang dapat melindungimu hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang Maha Penyayang. Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah anak itu termasuk kedalam orang-orang yang  ditenggelamkan. ( QS. Hud [11]: 42-43)

Nabi Ibrahim juga diuji dengan ayah yang tidak mau beriman kepada Allah, namun Nabi Ibrahim tidak putus asa terus mendakwahinya agar beriman kepada Allah.  Firman Allah:

“Dan ingatlah diwaktu Ibrahim berkata kepada ayahnya, Aazar,” Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” ( QS. Al An’am [6]: 74)

📌 Ketaatan Keluarga di dalam Al Qur’an

a.       Isteri Imran

Al Qur’an mengungkapkan keluarga-keluarga mulia, yang taat dan mempersembahkan ibadah terbaik kepada Allah, semata-mata hanya berharap keridhaan Allah.  Lihatlah  istri Imran yang mempersembahkan anak yang dikandungnya (Maryam) murni untuk mengabdi kepada Allah:

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Ingatlah ketika isteri Imran berkata,”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shaleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (QS. Ali Imran [3]:35)

b.      Luqman dan anaknya

Kita juga bisa menyaksikan bagaimana Luqmanul Hakim perhatian terhadap keluarganya tak bosan selalu menasehati anaknya agar tidak mempersekutukan Allah:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya,”Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar”. (QS. Luqman [31]:13)

c.       Hamba-hamba Allah yang beriman (Ibadurrahman)  dalam lantunan doanya:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang-orang yang berkata,”Ya Tuhan kami, anugerahkan  kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Furqan [25]:74)

📌 Sifat-sifat Neraka dan malaikat penjaganya

Menurut Imam at Thabari, bahan bakar untuk menyalakan neraka adalah anak Adam (manusia) dan kibrit (sejenis batu bara).[8]

Adapun sifat-sifat malaikat penjaga neraka dalam ayat ini adalah:

a.       Ghilaz (kasar)
b.      Syidad (keras)
c.       Tidak pernah membangkang perintah Allah
d.      Melaksanakan perintah Allah

Ats Tsa’labi mendeskripsikan malaikat penjaga neraka dalam tafsirnya:

مَلائِكَةٌ غِلاظٌ فظاظ شِدادٌ أقوياء لم يخلق الله فيهم الرّحمة، وهم الزبانية التسعة عشر وأعوانهم من خزنه النّار

Malaikat yang kasar, keras perangainya, kuat, Allah tak menciptakan rasa kasih sayang kepada mereka, mereka adalah malaikat Zabaniyah berjumlah 19 bersama pembantu-pembantunya yang bertugas menjaga neraka”.[9]

Mereka adalah malaikat yang kasar dalam ucapan dan keras dalam perbuatan, karena itulah tugas mereka. Dan mereka tak berlaku keras dan kasar melainkan terhadap musuh-musuh Allah dan para pembangkang perintah Allah.[10]

Di dalam kitab Fathul Qadir, As Syaukani menyebutkan, bahwa di atas neraka ada penjaga dikalangan malaikat, kasar dank eras terhadap penghuni neraka, tak memiliki belas kasihan , meski penduduk neraka meminta belas kasihan,  karena para malaikat tersebut diciptakan  dengan mengemban tugas untuk mengazab.[11]

Menurut As Sa’di, para malaikat tersebut  memiliki perangai yang keras, kasar,  tak belas kasihan, suaranya menakutkan dan membuat ciut nyali yang mendengarnya, penampilannya menyeramkan, kuat dan para penghuni neraka lemah dihadapan mereka, menaati Allah dan tak pernah mengakhirkan perintah-Nya sedikitpun.

📌 Hikmah ayat:

💦     Perintah menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka, mengajak mereka kepada kebaikan dan menjauhi larangan Allah.

💦        Mengajak dan mengarahkan keluarga kepada ketaatan tidaklah mudah, terbukti para nabi-nabi terdahulu pun mengalami ujian pada keluarga mereka.

💦        Senantiasa berusaha dan bersabar dalam mendidik keluarga agar memiliki ketaatan kepada Allah.

💦         Berlindunglah kita dari siksa neraka, dengan para malaikat penjaganya yang keras, kasar dalam mengazab penduduknya, tidak belas kasihan dan tidak pernah menyelisihi perintah Alllah.

و الله أعلم

🍃🍃🍃🍃🍃

[1] Abu Laits as Samarqandi, Bahrul Ulum, 3/469
[2] Tafsir Ibnu Katsir, 8/167
[3] Abdurrahman Nashir as-Sa’di, Tafsir As Sa’di, 1/847
[4] An Nasafi, Tafsir  An Nasafi, (Beirut: Dar Kalim Tayib, 1419)  3/506
[5]  Imam al-Bukhari, Shahih Bukhari,No. 5188,  Bab Tafsir Al Quran
[6] Tafsir At Thabari, 22/467
[7] Said Wahf al Qahthani, Hadyu Nabi Fi Tarbiyat Tarbiyat Aulad Fi Dhauil Kitab Wa Sunnah, ( Riyadh: Muassasah al Juraiys)  1/6
[8] Tafsir At Thabari, 23/492
[9] Ats Tsa’labi, Tafsir Ats Tsa’labi, 9/349
[10] Tafsir An Nasafi, 3/506
[11] Asy Saukani, Fath al Qadir,  5/302

🌴🌹🌿🌸🌷☘🌺🍃

✍ Ust Fauzan Sugiono, Lc. MA

Serial Tafsir Surat At-Tahrim

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 1)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 2)

Tafsir At Tahrim (Bag. 3)

Tafsir At Tahrim (Bag. 4)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 5A)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 5B)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 6)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 7)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 8)

Tafsir Surat At Tahrim (Bag 9, Selesai)

Tugas Seorang Suami

Allah ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS. At Tahrim: 6)

Duhai para ayah … inilah tugas kita. Melindungi keluarga –anak dan istri- dari api neraka. Ini bukan tugas ringan, tapi sangat berat. Maka, jangan bermain-main dengan tugas ini. Berikan mereka harta belanja yang halal, makan minumnya, pakaiannya, uang sekolahnya, dan biaya hidup lainnya.
Banyak penjelasan dari para mufassir salaf tentang ayat ini, dan di antara yang paling rinci adalah seperti yang dijelaskan oleh Qatadah Rahimahullah berikut ini:

يقيهم أن يأمرهم بطاعة الله، وينهاهم عن معصيته، وأن يقوم عليه بأمر الله يأمرهم به ويساعدهم عليه، فإذا رأيت لله معصية ردعتهم عنها، وزجرتهم عنها.

Melindungi mereka dengan memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah ﷻ dan mencegah mereka dari bermaksiat kepadaNya, dan menegakkan perintah Allah ﷻ dan memerintahkan mereka dengannya dan membantu mereka untuk menjalankannya. Jika engkau melihat mereka bermaksiat kepada Allah ﷻ maka cegahlah dan tolaklah mereka dari maksiat itu. (Imam Ath Thabariy, Jami’ul Bayan, 23/492)

Maka, ajarkanlah mereka adab dan ilmu agama. Cegahlah mereka dari pembangkangan kepada hukum-hukum Allah ﷻ, seperti; membuka aurat dihadapan laki-laki bukan mahramnya, membiarkannya bersama lawan jenis yang bukan mahramnya, melalaikankan shalat, salah memilih kawan pergaulan, membiarkan mereka dalam kesibukan dan hiburan yang melalaikan agama, dan semisalnya.

Ini tugas kita, para ayah .. para suami .. kaum laki-laki, Imam Al Qurthubi mengatakan:

فعلى الرجل أن يصلح نفسه بالطاعة ويصلح أهله

Maka, hendaknya bagi kaum laki-laki memperbaiki dirinya dengan ketaatan dan juga memperbaiki keluarganya. (Al Jami’u li Ahkamil Quran, 18/171)

Jangan bebankan pendidikan dan pembinaan anak-anak kita hanya kepada istri, justru ini adalah juga tugas kaum laki-laki, para suami.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
والرجل راع على أهل بيته وهو مسؤول عنهم

Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya (ahli baitnya), dan dia akan dimintai tanggungjawab tentang mereka. (HR. Muslim No. 1829)

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan
scroll to top