QUDWAH DI JALAN DA’WAH

Mukadimah

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:  “Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada dibumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Wahai orang-orang  yang beriman, kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau tidak lakukan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 1-3)

Dalam Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an disebutkan, “Kenapa engkau mengatakan perkataan yang kamu tidak benarkan (buktikan) dengan amalmu?” (Syaikh Khalid Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an al Karim, hal. 551)

Sebab turunya ayat ini adalah ada seorang sahabat, yakni Abdullah bin Salam Radhiallanu ‘Anhu yang berkata  “Seandainya kami mengetahui amal yang paling utama niscaya  kami akan mengamalkannya” maka Allah turunkan ayat ini, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membacanya hingga selesai. (HR. Tirmidzi dan  Hakim, ia menshahihkannya, Shafwatul Bayan , Ibid)

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah­- dalam tafsirnya  berkata tentang  لم تقولون ما لا تفعلون  (kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau tidak lakukan?) adalah pengingkaran terhadap orang yang berjanji dengan sebuah janji atau berkata dengan perkataan, tetapi ia tidak menepatinya. Berdalil dari ayat yang mulia ini, sebagian pendapat kaum salaf  mengatakan wajibnya  menepati janji secara mutlak, sama saja baik yang disertai tekad untuk berjanji atau tidak. Mereka juga berhujjah dari hadits yang mulia dalan shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tanda –tanda orang munafiq ada tiga, jika bicara ia dusta, jika berjanji ia ingkar, jika diberi amanah ia khianat.”  Juga hadits lain dalan Ash Shahih bahwa, “Ada empat hal yang barang siapa salah satunya telah ada pada diri seseorang maka ia adalah seorang munafiq tulen, sampai ia meninggalkannya.”  Salah satu yang disebutkan adalah orang yang tidak menepati janji.   Allah ‘Azza wa Jalla menguatkan lagi pengingkaran ini dengan ayat  كبر مقتا عندالله أن تقول ما لا تفعلون  (Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan) Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amir bin  ar Rabi’ah, ia berkata: Datang kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat itu saya masih anak-anak, lalu aku keluar untuk bermain. Maka ibuku berkata kepadaku, “Wahai Abdullah kemarilah, aku akan berikan sesuatu utnukmu.” Rasulullah berkata kepadanya (ibu), “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?”, ia menjawab: “Kurma.” Rasulullah bersabda: “Seandainya engkau tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka engkau tercatat sebagai pendusta.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, 4/357)

Dari uraian ini kita bisa fahami, bahwa ucapan seseorang adalah janji, baik yang ditegaskan dengan niat dan tekad untuk berjanji atau tidak. Islam mewajibkan untuk memenuhinya, jika tidak, maka  itu bagian dari ciri orang munafiq.  Seorang muslim wajib menyesuaikan perkataannya dengan perbuatannya, agar ia terhindar dari kebencian Allah ‘Azza wa Jalla yang teramat besar karena itu. Apalagi bagi para da’i, kesesuaian antara ucapan dan perbuatan bukan sekedar menghindar dari label munafiq, tetapi merupakan contoh yang berguna dan teladan yang baik bagi orang yang melihatnya. Keteladanan adalah salah satu ‘ibrah yang bisa kita petik dari ayat di atas.

Al Qudwah )   ( القُدْوَةjuga berarti Al Qadwah, Al Qidwah, dan Al Qidyah yang bermakna ‘apa-apa yang telah engkau ikuti dan engkau biasa dengannya.’  Al Qudwah juga bermakna Al Uswah (contoh), dikatakan  لى بك قدوة ‘Liy bika Qudwatun’ ( pada dirimu ada contoh untukku) maksudnya adalah Uswah. (Al Munjid fil Lughah wal A’lam, hal. 614)

Pada saat ini, dimana kerusakan dunia boleh dikatakan merata, maka amat wajar bila manusia membutuhkan figur yang bisa diteladani mereka untuk mengantarkan mereka menuju pintu-pintu perbaikan. Namun, manusia tidak kunjung mendapatkan figur yang diidam-idamkan, justru mereka mendapatkan  idola-idola tanpa keteladanan. Alih-alih ingin memperbaiki keadaan, kenyataannya para idola tersebutlah yang menjadi lokomotif kerusakan manusia dan kehidupannya.

Mereka mengidolakan orang-orang jahil dan fasiq, seperti sebagian artis dan seniman, pelawak dan atlit. Akhirnya, mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kesatnya hati, kotornya lisan, buntunya pikiran, serta nihilnya perbuatan. Jika mau silahkan katakan, bahwa sebagian besar artis telah memberikan kontribusi signifikan bagi kerusakan moral bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini. Melalui pakaian, gaya hidup, pergaulan, ditambah media massa yang mengekspos kehidupan ‘minim keteladanan’ yang mereka sengaja tontonkan, seakan akan mereka ingin meneriakan ‘Akulah Sang idola’.

Keteladanan, itulah yang hampa saat ini. Saya nasihatkan terutama untuk diri sendiri dan  ikhwah fillah sekalian untuk senantiasa menempa diri untuk menjadi hambaNya yang diridhai aqidahnya, niat, ilmu, amal, lisan dan akhlak secara umum.

Sebenarnya umat ini  telah memiliki apa-apa yang dimiliki generasi terbaik dahulu (salafus shalih). Jika mereka memiliki Al Qur’an dan As Sunnah, umat sekarang juga demikian. Lalu apa yang kurang? Padahal umat ini memiliki apa-apa yang tidak dimiliki umat terdahulu, yaitu pengikut (SDM) yang sangat banyak. Atau justru SDM yang sangat banyak adalah bagian dari masalah?

Saya tidak menyimpulkan, bahwa malapetaka yang dialami umat saat ini lantaran tidak adanya figur teladan seperti Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Salam sebagaimana para sahabat dahulu pernah dibimbingnya. Namun, bisa jadi memang karena ini penyebabnya. Wallahu a’lam

Syahidul Islam Sayyid Quthb –Rahimahullah– berkata: Sesungguhnya Al  Qur’an yang ada pada da’wah ini telah ada dalam genggaman kita, begitu juga hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dengannya kita beramal, dan sirah yang mulia. Semuanya ada ditangan kita. Sebagaimana pernah ada pada generasi awal, (generasi) yang tidak pernah lagi terulang dalam sejarah. Yang tidak ada pada kita hanyalah figur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apakah ini rahasianya?” (Syaikh Sayyid Quthb, Ma’alim fith Thariq, hal. 11. Darusy Syuruq)

Mustahil Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan lagi seorang Rasul pasca khatamun nabiyin (penutup para nabi), Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aqidah yang haq meyakini demikian. Paling kita hanya bisa berharap melalui ta’dib rabbani (bimbingan rabbani) akan lahir figur seperti Uwais Al Qarny, seorang tabi’i terbaik sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits shahih Imam Muslim, yang dengan kehadirannya bisa membawa umat ini kepada kehidupan yang lebih baik, atau seperti Umar bin Abdul Aziz, pemimpin adil, wara, zahid, mujtahid dan mujaddid abad satu hijriyah, atau topkoh teladan lainnya.

Peluang Bagi Para Da’i

Kita tahu, hari ini umat tengah mengalami semangat keberagamaan yang rendah dan lemah. Di sisi lain, cengkraman haimanah al gharbiyah (hegemoni Barat) dan segala bentuk kekufuran yang mereka bawa begitu menggurita, hingga banyak membuat mabuk pemuda  Islam dan termasuk orang tuanya. Bukan hanya mabuk, mereka juga mengekor kepada apa, siapa, dan bagaimanapun yang datang dari Barat, seraya melupakan dan menjauh dari apa, siapa, dan bagaimanapun yang datang dari Islam.

Hal ini sudah diisyaratkan Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Sallam:

يُوشِكُ أَحَدُكُمْ أَنْ يُكَذِّبَنِي

“Telah dekat masanya kalian akan mendustakanku. (HR. Ahmad No. 17233. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih)

Ya. Masa itu telah datang, umat Islam mendustakan agamanya sendiri, bahkan lebih dari itu, menistakan ajaran agamanya sendiri dengan membuat paham-paham baru yang tidak dikenal syariatNya dan asing di depan sejarah umatnya.

Dalam hadits lain, dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

“Kalian akan benar-benar mengikuti jalan-jalan umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, walau mereka masuk ke lubang biyawak, niscaya kalian ikuti juga.” Sahabat bertanya: “Siapakah mereka? Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab: “Ya siapa lagi?”  (HR. Bukhari No. 3456, 7320, Muslim No. 2669)

Ya. Kita lihat banyak umat pemuda Islam yang mengidolakan orang-orang kafir bahkan sangat akrab menggeluti perikehidupan mereka melalui buku, majalah, televisi dan lain-lain. Sementara pengetahuan mereka terhadap nilai keislaman dan sejarah kegemilangannya, nol besar!

Di sisi lain dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan keras dalam haditsnya:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia telah menjadi bagian kaum itu.” (HR. Ahmad no. 5115.  Abu Daud No. 4031, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1199, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal  No. 2468, Al Bazzar No. 2966, Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 1862, Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab No. 390, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 33687, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 20986)[1]

Dalam kondisi masyarakat terhempas seperti sekarang ini, tidak saja dibutuhkan upaya tau’iyat (penyadaran) dan taujihat (pengarahan) untuk mereka, lebih dari itu adalah seorang figur qudwah hasanah yang bisa dijadikan cermin, pegangan, dan tempat bertanya. Bahkan keteladanan seorang da’i lebih didahulukan sebelum ia mengajak, memberikan contoh harus lebih dahulu sebelum memberi soal.    Inilah peluang bagi da’i untuk mengisi kekosongan itu, kekosongan teladan.

Dari Mana Kita Memulai?

Seorang da’i  harus  menampilkan citra diri yang positif dan mempesona, yang bisa dinikmati keindahannya dan dicium semerbaknya oleh umat di sekitarnya. Kita memahami, bahwa kekuatan argumen dan bagusnya retorika, tidak akan berpengaruh tanpa dibarengi figur keteladanan yang kokoh sang da’i. Kenyataannya, keteladanan dan aura ruhiyah seorang da’i seringkali lebih mengena dihati orang yang berinteraksi dengannya.

  1. Teladan dalam Aqidah dan Iman (keyakinan)

                Kebersihan dan kekuatan iman adalah awal dari segala keshalihan. Da’i teladan harus lebih dahulu membersihkan aqidahnya dari syirik, khurafat, dan bid’ah, serta menampakkan keyakinan yang tinggi terhadap kebenaran risalah yang dibawanya. Sebab kotornya aqidah dan lemahnya keyakinan adalah awal dari segala kekalahan perjuangan.

Dalam hal aqidah seoranmg da’i tidak boleh menampakkan sikap basa-basi apalagi lemah. Sikapnya tegas terhadap semua penyimpangan aqidah, baik paham-paham sesat sekte, atau syirik dan khurafat di masyarakat. Tentu ketegasan yang diekspresikan melalui ilmu, hikmah, dan kebijaksanaan.

Ada contoh yang baik dalam hal ini, yaitu keteguhan aqidah Imam Ahmad bin Hambal  (w. 241H) ketika ia dipenjara dan disiksa selama tiga masa khalifah, lantaran ia menentang dengan keras paham yang menyebutkan bahwa Al Qur’an adalah makhluk. Menurut Ahlus Sunnah Al Qur’an adalah firman Allah bukan makhluk sebagaimana paham Mu’tazilah. Sikap tegas Imam Ahmad ini berefek luar biasa setelah ia wafat, diriwayatkan bahwa ketika ia wafat, mayatnya diantar oleh delapan ratus ribu laki-laki dan enam puluh ribu wanita,  dan kurang lebih dua puluh ribu orang Nasrani, Yahudi, dan Majusi masuk Islam. (Drs. Fatchur Rahman, Ikhtshar Musthalahul Hadits,hal. 375) 

Begitu pula Said bin Jubair, tokoh ulama masa tabi’i, ia rela disembelih algojo gubernur tiran Al hajjaj bin Yusuf ats Tsaqafi. Pada saat disembelih, ia mengakhiri hayatnya dengan untaian kata yang indah: “Sedangkan aku, maka aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Muhammad  adalah hamba dan rasul Allah, ambil-lah persaksianku ini sampai engkau berjumpa denganku di hari kiamat. Allahumma ya Allah, jangan Engkau jadikan dia berkuasa kepada seseorang yang membunuhnya sesudahku.” (Wafayat Al A’yan, 2/371)

Ustadzah Zainab Al Ghazaly adalah contoh da’iyah mujahidah  tegar masa kini. Ketika ia divonis oleh pengadilan Mesir berupa hukuman lima puluh tahun penjara, ia justru teriak lantang, “Allahu Akbar lima puluh tahun fi sabilillah!”

  1. Teladan dalam Perilaku (Akhlak)

Tahukah anda, bahwa, manusia lebih banyak mengikuti dan percaya dari apa yang kita lakukan dibanding mengikuti apa yang kita ucapkan. Karena itu, hati-hatilah, perilaku seorang da’i adalah hujjah bagi umat yang melihatnya. Maka menjaga keteladan akhlak adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ اَلنَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ بَسْطُ اَلْوَجْهِ, وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ

“Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik (husnul khuluq)” (HR. Abu Ya’la No. 6550,  Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 428, beliau  menshahihkannya. Al Bazzar No. 8544. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8054. Imam Al Haitsami mengatakan: “Di dalamnya terdapat Abdullah bin Sa’id Al Maqbari, dia dhaif.” Lihat Majma’ Az Zawaid, 8/22. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: dhaif jiddan – sangat lemah. Lihat Tahqiq Musnad Abi Ya’la No. 6550)

Akhlak yang baik merupakan salah satu tiket menuju surga. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk ke dalam surga, beliau menjawab:   “Taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” Beliau juga ditanya tentang penyebab terbanyak manusia dimasukkan ke dalam neraka, beliau menjawab: “Mulut dan kemaluan.” (HR. At Tirmidzi No. 2004, katanya: shahih. Ibnu Hibban No. 4246, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7919, katanya: shahih. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkannya dalam At Talkhish)

Imam Ibnul Qayyim –rahmatullah ‘alaih– berkata: “Digabungkan keduanya (taqwallah dan husnul khuluq), karena taqwallah memperbaiki apa-apa yang ada pada hamba kepada Tuhannya, sedangkan akhlak yang baik akan memperbaiki hubungan antara hamba dengan makhlukNya.” (Bulughul Maram, catatan kaki no. 3, hal. 287. Darul Kutub Al Islamiyah)

Kita tidak menuntut muluk-muluk, bahwa seorang da’i wajib memiliki khuluqun ‘azhim misalnya, sebab itu adalah minhah rabbaniyah (anugerah Allah) untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

“Dan Sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak agung.” (QS. Al Qalam: 4)

Dalam salah satu tafsir dikatakan:  “Sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, benar-benar memiliki adab yang agung, yang dengannya Tuhanmu telah mendidikmu, yaitu adab Al Qur’an “ (Syaikh Khalid  Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 564. Darul Basya-ir Beirut)

Adapun al Aufi berkata dari Ibnu Abbas: “Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki agama yang agung, yaitu Islam.” Seperti itu pula yang dikatakan Mujahid, Abu Malik, As Sudy, Ar Rabi’ bin Anas, Dhahak dan Ibnu Zaid. Berkata ‘Athiyah: “Benar-benar memiliki adab yang agung.”  Berkata Ma’mar dari Qatadah aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia bekata: “Adalah Rasulullah akhlaknya itu Al Qur’an.”  Ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan An Nasa’i. (Imam Ibnu  Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/403)

Paling tidak, da’i memiliki husnul khuluq secara standar yang seharusnya ada pada seorang muslim berakhlak.  Itu saja sudah cukup baginya menjadi ‘yang terindah’ di  tengah masyarakat yang kosong keteladanan. Tentunya hal itu dicapai dengan perjuangan yang tidak mudah. Akhlak standar itu sebagaimana yang terpampang dalam Al Qur’an dan As Sunnah adalah menjauhi akhlak tercela seperti  hasad, tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), su’uz zhan, ghibah, namimah (adu domba), riya’, sum’ah (beramal ingin didengar orang),  kibr (sombong), dusta, ingkar janji, khianat amanah, sengit dalam berdebat, mudah marah, mencaci sesama muslim, sumpah palsu, aniaya, memakan harta yang bukan haknya, menghardik anak yatim, dan lain-lain. Sebaliknya ia dekat dengan akhlak terpuji seperti menyebarkan salam, memberi makan, sedekah, pemaaf, murah senyum, penyantun, sabar, menjenguk yang sakit dan takziyah kematian, wara’ (hati-hati) terhadap hal yang diharamkan, makruh dan syubhat, tidak berlebihan dengan yang mubah, meninggalkan hal yang melalaikan,  menolong dalam hal kebaikan, menasehati dalam kebaikan dan kesabaran, adil, menyayangi yang kecil, menghormati yang tua, mengetahui hak ulama, menjaga penampilan, bersahabat dengan orang-orang shalih, memuliakan tamu dan tetangga, bicara yang baik atau diam jika tidak bisa, dan lain-lain.

  1. Teladan dalam Ilmu

Seorang da’i adalah seperti seorang guru bagi muridnya. Ia tempat manusia bertanya, meminta solusi, dan mencari masukan. Maka, seorang da’i yang bertanggung jawab dan menghormati mad’u adalah da’i yang selalu membekali dan memperkaya dirinya dengan ilmu. Sudah selayaknya –dan inilah yang dipahami secara umum- da’i harus lebih berwawasan lebih dibanding umat yang diserunya. Inilah salah satu kewibawaan baginya. Memang dengan ilmu Allah ‘Azza wa Jalla  mengangkat derajat manusia.

Betapa banyak pemuda berhasil ‘menguasai’ orang tua dan ulama karena ilmunya. Tahukah anda bahwa Hasan al Banna –rahmatullah ‘alaih– mendirikan Al Ikhwan Al Muslimun saat usianya baru 22 tahun? Saat itu, yang termasuk mengagumi gagasan perjuangannya  tidak sedikit orang-orang yang lebih tua darinya, bahkan jauh lebih tua dan mereka sudah dikenal sebagai ulama atau tokoh negara. Seperti Syaikh Muhibuddin Al Khathib, Hasan Al Hudhaibi, Umar At Tilmisani dan para ulama Al Azhar, dan  lain-lain. Kecerdasan beliau mendirikan sebuah bangunan pergerakan, seakan menjadi alasan kuat bagi mereka untuk bergabung dengan kafilah Ikhwan.

Tahukah anda Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits? (tentu ada yang shahih dan ada juga yang dhaif, istilah hadits hasan baru ada pada masa Imam At Tirmidzi) Tahukah anda Imam asy Syafi’i (w. 204H) telah hafal Al Qur’an dan mengetahui seluk beluknya, seperti asbabun nuzul dan nasikh mansukh pada usia tujuh tahun? Dikisahkan dari Imam Ahmad bahwa Imam asy Syafi’i dalam satu malam  menyelesaikan tiga ratus pertanyaan. Tahukah anda Imam Sufyan bin Uyainah hafal Al Qur’an pada usia empat tahun? Tahukah anda bahwa Imam Ibnu Taimiyah dijuluki ‘lautannya dalil naqli (nash) dan aqli (akal)’. Sampai-sampai dikatakan jika ada hadits yang tidak diketahui Imam Ibnu Taimiyah pasti itu bukan hadits. Ia pernah membuat kitab yakni Al Aqidah Al Washitiyah, yang selesai dibuatnya hanya dalam sekali duduk setelah shalat ashar (Muqaddimah syarah al Aqidah al Washitiyah, hal. 5). Konon Imam Ibnul Qayyim menyusun kitab Zaadul Ma’ad ketika ia sedang musafir  (artinya tanpa referensi)

Tahukah anda bahwa Syaikh Yusuf Al Qaradhawy –Hafizhahullah­– pertama kali ceramah ilmiah di depan orang banyak ketika ia kelas tiga  sekolah dasar, untuk menggantikan seorang Syaikh alim dan berpengaruh di daerahnya saat itu, yaitu Syaikh Abdul Muthalib Al Batah. Diceritakan bahwa jamaah sangat puas dengan apa yang disampaikannya. Beliau –hafizhahullah– ketika dalam penjara –tanpa pena dan secarik kertas- menyusun ontology (kumpulan puisi) yang diberi judul Malhamatul Ibtila Al Malhamah An Nuuniyah, semuanya cukup ia rekam dalam otaknya, yang baru sempat ia tulis setelah bebas, padahal syair itu berjumlah tiga ratus bait.

Tahukah Anda kekuatan Syaikh Al Albany dalam mempelajari, meneliti dan menelusuri hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Diceritakan dalam salah satu biografinya, ia sudah datang ke perpustakaan sebelum petugas datang dan baru pulang setelah malam sudah larut, sehingga tidak sedikit orang yang mengingatkannya. Jika orang bertanya kepadanya, ia akan jawab tanpa melepaskan kitab yang sedang dikajinya. Ustadz Muhammad Ash Shabagh berkata tentangnya, “Sebelah mata melihat kitab, sebelah lagi melihat si penanya.”

Subhanallah! Demikianlah keteladanan para ulama dalam kecintaan mereka terhadap ilmu. Maka para da’i seyogyanya menjadi orang yang tamak terhadap ilmu, dekat dengan mata airnya, menghormati ahlinya, bersungguh dalam menuntutnya, serta tidak lelah dalam memikulnya.  Sesungguhnya Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Salam telah berwasiat tentang ilmu.

Berkata ‘Amir bin Ibrahim:

كان أبو الدرداء إذا رأى طلبة العلم قال مرحبا بطلبة العلم وكان يقول ان رسول الله صلى الله عليه وسلم أوصى بكم

Bahwasanya Abu Darda’ jika melihat seorang thalibul ilmi beliau berujar:    Selamat datang wahai penuntut ilmu . Dan dia pernah mengatakan: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewasiatkan kamu sekalian (perkara menuntut ilmu). (Riwayat Ad Darimi dalam Sunannya No. 348. Syaikh  Al Albani mengatakan: isnad ini para perawinya terpecaya kecuali ‘Amir bin Ibrahim saya tidak mengetahuinya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah, 1/503)

  1. Teladan dalam Amal dan Ibadah

                Seorang da’i, ia teladan dalam ketepatan shalat pada waktunya, di mesjid, dan berjamaah. Ia amat keras usahanya untuk itu. Ia menjaga wudhunya dari apa yang membatalkannya dan amat memperhatikan adab-adab, seperti adab tilawah, adab doa, adab di mesjid, adab makan dan minum, adab safar dan di jalan,

Menjaga shaum sunah, shalat nawafil, sedekah sunah, dan dzikir, lalu ia menyembunyikan itu semua. Biar hanya Allah ‘Azza wa Jalla yang tahu. Sebab hanya Dia yang memberikan ganjaran, selainnya tidak bisa memberikan apa-apa walau melihat amal-amal tersebut.

Selain itu yang terpenting adalah ia menjaga kualitas ibadahnya, yaitu keikhlasan. kesesuaian dengan syariat,  kekhusyuan, dan kontinyuitasnya. Tanpa pula meremehkan kuantitasnya.

Ini semua, jika kita lakukan dengan sungguh dan sebagaimanamestinya, niscaya memberikan pengaruh bukan hanya bagi si da’i tetapi bagi mereka yang melihatnya. Tanpa ia mengiklankan, masyarakat akan merasa malu jika tidak mengikutinya, walau tidak ikut, paling tidak mereka tidak memusuhinya.

  1. Teladan dalam Berkeluarga

                Seorang da’i harus bisa menampakkan citra keluarga da’wah dan harakah. Keluarga yang tegak amar ma’ruf nahi munkar di dalamnya. Rumah mereka benar-benar tempat berteduh, suami tempat bercerita, isteri tempat melabuhkan hati, dan anak sebagai penyedap pandangan mata.  Potensi perselisihan tetaplah ada, namun mereka –selain menyerahkan semua kepada Allah- juga memiliki cara Islami untuk menyelesaikannya, seperti tidak boleh bermusuhan lebih tiga hari, mudah memaafkan, mengalah walau benar, tidak membandingkan isteri atau suami dengan yang lain, bersyukur atas pemberian dan pelayanan, dan seterusnya.

Keluarga da’i adalah keluarga yang rumahnya tidak ada kemungkaran seperti, musik-musik jahiliyah, majelis pergunjingan dan kebencian, patung dan lukisan makhluk bernyawa, dan dayyuts (yaitu orang yang tidak marah terhadap maksiat anggota keluarganya). Sebaliknya adalah semarak dengan tilawah Al Qur’an dan kajian tentangnya, nasihat-nasihat agama, majelis mahabbah, madrasah bagi anak-anak, dan nasyid-nasyid penyemangat hidup dan jihad, itupun seperlunya.

Keluarga da’i adalah keluarga yang anggota keluarganya mengerti dan menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, secara adil dan musyawarah.  Juga pandai bertetangga, baik dalam keadaan ridha atau marah. Sebab hidup bertetangga tidak lain adalah kumpulan kesabaran, pemakluman, dan lapang dada, sebab Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan manusia secara heterogen.

Keluarga da’i adalah contoh keseimbangan bagi masyarakat. Ia seimbang dalam urusan dunia dan akhirat, materi dan ruhi, kerja dan istirahat. Seimbang dalam berpakaian, tidak terlalu murah dan jelek sehingga menghinakan diri sendiri, atau terlalu mewah sehingga terkesan sombong. Keseimbangan ini amat diperlukan agar ia bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan dua kutub ekstrim manusia.

Wallahu A’lam wa lillahil ‘Izzah

 

  • Farid Nu’man Hasan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[1] Para ulama berbeda pendapat dalam menilai hadits ini, sebagian mengatakan dhaif, seperti Syaikh Muhammad bin Darwisy bin Muhammad. (Asna Al Mathalib fi Ahadits Mukhtalifah Al Maratib, No. 1377), Imam Badruddin Az Zarkasyi  ( At Tadzkirah fil Ahaadits Al Musytahirah, Hal. 102, No. 33), Imam As Suyuthi (Ad Durar, Hal. 18),  Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Tahqiq Musnad Ahmad No. 5115), yang lain mengatakan shahih, seperti Imam Ibnu Hibban (Bulughul Maram, hal. 301), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 2831, 6149 ), Imam Al ‘Iraqi (Al Mughni ‘an Hamlil Asfar No. 851, juga dalam Takhrijul Ihya’ No.  843), Imam As Sakhawi (Al Maqashid Al Hasanah No. 1101, katanya: sanadnya dhaif tetapi memiliki banyak penguat, dari jalur Hudzaifah, Abu Hubairah, dan Anas), Imam Ibnu Hajar mengatakan hasan (Fathul Bari, 10/271).  Imam Al ‘Ajluni juga menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan oleh banyak jalur lainnya, sebagaimana yang dikuatkan oleh As Sakhawi dan  Al ‘Iraqi . (Kasyful Khafa, 2/240).

 

Apakah “Basmallah” Termasuk Surat Al Fatihah?

Para ulama bersepakat bahwa Basmallah adalah termasuk bagian surat An Naml yang berbunyi:

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

“Sesungguhnya ( surat ) itu dari Sulaiman dan sesungguhnya isinya”Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.( QS. An Naml [27]:30)

Namun mereka berbeda pandapat tentang apakah Basmallah termasuk ayat dari surat Al Fatihah dalam beberapa pendapat diantaranya:

1⃣ Basmallah bukan ayat Al Qur’an secara mutlak.

Pendapat pertama mengatakan bahwa Basmallah bukan termasuk ayat Al Qur’an secara mutlak, adapun Basmallah diletakkan diawal surat fungsinya sebagai pembuka surat, wasilah tabaruk ( mencari keberkahan) dan sebagai pemisah antar surat. Seperti dianut oleh Imam Malik, Abdullah bin Ma’bad, Al Auza’I, Sebagian Hanafiah, pendapat ini pula yang dipilih oleh Al Baqilani. ( Majmu fatawa,22/432) juga dinukil dalam kitab-kitab tafsir ( Maalim Fi Tanzil, 1/38, Al Kasyaf,1/4, Tafsir An Nasafi.1/1)

Namun dalil dari pendapat ini bersifat umum dan tidak ada dalil sharih ( jelas ) khusus tentang Basmallah bukan ayat Al Qur’an secara mutlak. Seperti hadits Anas bin Malik dan Aisyah Radhiyallahu anhuma yang menyatakan bahwa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin memulai bacaan Al Fatihah dengan “ Alhamdulillahirabbil Alamin,” namun dalil tersebut mengisyaratkan Nabi dan para sahabat membaca Basmallah secara sir (pelan) bukan berarti tidak membacanya sama sekali, dan bukan berarti membaca pelan itu menjadikan Basmallah tidak termasuk dari ayat Al Qur’an. ( Syarh Ma’anil Atsar,1/204-205)

Syaikh Ahmad Syakir menyatakan,”

القول الذي زعموا نسبته إلى مالك، ومن معه في أنها ليست آية أصلا قول لا يوافق قاعدة أصولية ثابتة، ولا قراءة صحيحة

Pendapat yang mengaitkan dengan pendapat Imam Malik dan lainya adalah pendapat yang tidak berdasar dan tidak sepaham dengan kaidah ushuliyah yang kokoh, juga tidak sesuai dengan ilmu qiraat yang benar. ( Ahmad Syakir, Ta’liq Sunan at Tirmidzi,2/22)

2⃣ Basmallah hanya ayat dari surat Al Fatihah saja

Pendapat kedua ini menyatakan bahwa Basmallah hanya ayat dari surat al Fatihah saja, pendapat ini bersumber dari riwayat sebagian salaf seperti Said bin Zubair,sebagian besar fukaha Mekkah, Kuffah dan ini juga pendapat yang dikemukakan oleh Imam Syafii, Imam Ahmad, Ibnu Ishaq, Ibnu Ubaid, Az Zuhri, Atha dan lainnya.

(Tafsir At Thabari,1/109, Al Umm,1/107, Al Majmu’3/332-333, Tafsir Ibnu Katsir,1/35Al Istidzkar,2/176, Al Mughni, 2/151)

Dalil pendapat ini diantaranya:

Hadits Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersumber dari Ummu Salamah:

عن أم سلمة – رضي الله عنها – أنها سُئلت عن قراءة النبي – صلى الله عليه وسلم – فقالت: «كان يقطع قراءته آية آية، بسم الله الرحمن الرحيم، الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم»

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha, Ia ditanya tentang bacaan Nabi, lalu ia menjawab,” Nabi memutus bacaan ayat per ayat, Bismillahirahmanirrahim, Al Hamdulillahirabbil alamin, Ar Rahmanirrahim).

( HR.Abu Daud,no. 4002, Ahmad, 6/303,Daruquthni Bab Wujub Qiraat Basmallah Wal Jahr biha,no.37, disahihkan oleh Al Al Bani dalam Sahih Sunan Abi Daud no. 2927)

Hadits Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersumber dari Anas bin Malik:

عن أنس بن مالك – رضي الله عنه – أنه سئل عن قراءة النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال: «كانت مداً، ثم قرأ: بسم الله الرحمن الرحيم، يمد بسم الله، ويمد بالرحمن، ويمد بالرحيم»

Dari Anas bin Malik Radhiyallahuanhu, ia ditanya tentang bacaan Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan menjawab,” Bacaannya panjang, lalu membaca,” Bismillahirahmanirrahim dengan memanjangkan Bismillah, ar Rahman dan Ar Rahim”. ( HR. Bukhari, Bab Mad Al Qira’ah no.5047, Abu Daud, no.1465, An Nasa’i no. 970, Ibnu Majah, 1353, Ahmad,3/119 dan 192)

Riwayat yang bersumber dari Abu Hurairah:

ما رواه أبو هريرة عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: «إذا قرأتم الحمد، فاقرؤوا بسم الله الرحمن الرحيم، إنها أم القرآن، وأم الكتاب، والسبع المثاني، وبسم الله الرحمن الرحيم، أحد آياتها»

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi Shalallahu alihi wasallam, bersabda,” Jika kalian membaca Al Hamdu, maka bacalah Bismillahirrahmanirrahim, Karena ia adalah Ummul Qur’an dan Ummul Kitab dan Sab’ul Matsani. Dan Bismillahirahmanirhim adalah salah satu ayatnya.

( HR. Daruquthni,no 36, Al Baihaqi , 2/45 , hadits Ini di sahihkan oleh Al Albani)

3⃣ Basmallah merupakan ayat setiap surat didalam Al Qur’an kecuali surat Al Bara’ah

Pendapat ini di dukung oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Az Zuhri, sebagian Hanafiyah dan Syafiiyah dan Sufyan As Tsauri. ( Maalim Tanzil, 1/39)

Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:

Hadits

ما رواه أنس بن مالك – رضي الله عنه – قال: «أغفى النبي – صلى الله عليه وسلم – إعفاءة – ثم تبسم ضاحكًا، فقال: أنزل علي آنفا سورة ثم قرأ بسم الله الرحمن الرحيم {إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ} إلى آخر السورة

Apa yang diriwayatkan oleh Imam Malik berkata,” Rasulullah tertidur sebentar kemudian terbangun sambil tersenyum dan bersabda,” Telah turun kepadaku barusan sebuah surat,” lalu Beliau membaca Bismillahirrahmanirrahim, Inna a’thainaka al kautsar, hingga akhir ayat. ( HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah membaca Basmallah pada awal surat Al Kautsar, namun tidak berarti menunjukkan bagian dari setiap surat ( Al Lubab fi Tafsir Al Istiadzah wal Basmallah, 1/113)

4⃣ Basmallah adalah ayat tersendiri, bukan termasuk ayat setiap surat

Pendapat ini dianut oleh Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad, Muhammad bin Husain As Syaibani, Daud Adz Dhahiri, Ibnu Quddamah, dan Syaikul Islam Ibnu Taymiyah.

Dalil kalangan ini adalah:

Hadits:

ما رواه عبد الله بن عباس – رضي الله عنهما – قال: «كان النبي – صلى الله عليه وسلم – لا يعرف فصل السورة، حتى تنزل عليه بسم الله الرحمن الرحيم» رواه أبو داود

Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahuanhuma, berkata,” Dahulu Nabi Shalallahu alaihi wasallam tidak mengetahui pemisah antar surat dalam Al Qur’an hingga Allah menurunkan,”Bismillahirahmanirrahim.” ( HR. Abu Daud )

Ibnu Taimiyah berkata:

فكونها تنزل يدل على أنها آية من القرآن، وكونها للفصل بين السور يدل على أنها ليست من السور، وإنما هي آية مستقلة

Ungkapan bahwa Basmallah diturunkan menunjukkan ia adalah ayat Al Qur’an dan ungkapan “pemisah antar surat” menunjukkan ia bukan bagian dari surat tertentu melainkan Basmallah yang merupakan bagian yang berdiri sendiri. ( Majmu’ Fatawa, 22/276)

📌 Hukum membaca Basmallah dalam Shalat

Pertama, Wajib membaca Basmallah dalam setiap shalat dan setiap rekaat, bagi Imam disunnahkan membaca keras, demikian pendapat Imam as Syafi’i.

Dalinya:

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأْتُمْ الْحَمْدُ للهِ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحمنِ الرَّحِيْمِ اِنَّهَا اُمُّ الْقُرآَنِ وَاُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْع الْمَثَانِيْ وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اِحْدَى آَيَاتِهَا.

“Abu Hurairah RA berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama bersabda: “Apabila kamu membaca surat al-Hamdu lillah, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena sesungguhnya ia adalah induk al-Qur’an, induk al-Kitab dan tujuh ayat yang diulang-ulang. Sedangkan Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satu ayatnya.” (HR. ad-Daraquthni ,1/312) dan al-Baihaqi,as-Sunanul Kubra, 2/45)

عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقَالَ آمِينَ فَقَالَ النَّاسُ آمِينَ … قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Nu’aim al-Mujmir berkata: “Aku shalat di belakang Abu Hurairah, lalu ia membaca bismillahirrahmanirrahim, kemudian membaca Ummul Qur’an, sehingga setelah sampai pada ghairil maghdhubi ‘alaihim walad-dhallin, maka ia berkata, amin. Lalu orang-orang juga berkata, amin… Lalu Abu Hurairah berkata: “Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling menyerupai kamu shalatnya dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam”.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh an-Nasa’i,1/134), dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, 1/251), Ibnu Hibban (V/100), ad-Daraquthni (I/309), al-Hakim (al-Mustadrak, I/232) dan al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra II/58). Hadits tersebut juga dishahihkan oleh al-Imam an-Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, II/267)
Kedua, Sunnah membaca Basmallah dalam shalat dan sunnah dibaca sir ( pelan). Demikan pendapat Imam Ahmad dan Abu Hanifah.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ (الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) لاَ يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِى أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلاَ فِى آخِرِهَا.

 

“Anas bin Malik berkata: “Aku shalat di belakang Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka memulai dengan alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Mereka tidak menyebut bismillahirrahmanirrahim di awal bacaan dan di akhirnya”. (HR. Muslim ,no.918).

Hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallama, Abu Bakar, Umar dan Utsman memulai shalatnya dengan bacaan alhamdulillahi rabbil ‘alamin, tanpa membaca basmalah di awal dan di akhirnya.

Ketiga, Tidak wajib dan tidak disunnahkan ( tidak membaca ) dalam shalat fardhu, namun mubah dalam shalat sunnah, demikian pendapat Imam Malik, namun pendapat ini lemah berdasarkan hadits-hadits diatas.

📌 Kesimpulan

Pendapat Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam masalah ini, patut dijadikan pijakan:

والإِنصاف الذي يرتضيه العالم المنصف، أنه صلى الله عليه وسلم جهر، وأسر، وقنت، وترك، وكان إسرارُه أكثَر من جهره، وتركه القنوتَ أكثر من فعله

“Pendapat yang bijak yang dibenarkan oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca secara keras dan pelan, pernah berqunut dan pernah meninggalkannya. Namun membaca pelan lebih banyak dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih banyak dibanding melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272)

واالله أعلم

Fauzan Sugiyono, Lc

Hadits Perbedaan Pada Umatku Adalah Rahmat

 

 

Hadits ini juga sering diucapkan para dai, namun hadits ini pun sama sekali tidak valid dan otentik dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits itu  berbunyi:

اختلاف أمتي رحمة

           “Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” (As Suyuthi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al Hajjah secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal  dari Al Qasim bin Muhammad dan ini adalah ucapan beliau. Lihat Ad Durar, Hal. 1)

Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan, sanad hadits ini dhaif. (Takhrijul Ihya’, No. 74. Lihat juga Raudhatul Muhadditsin, No. 4938) sedangkan Al ‘Ajluni mengatakan hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/153) Sedangkan As Subki dan lainnya mengatakan hadits ini tidak dikenal oleh para muhadditsin (ahli hadits) (Tadzkiratul Maudhu’at, Hal. 91)

           Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadits ini tidak ada asalnya. Banyak para muhadditsin yang mencoba mencari sanadnya tetapi mereka tidak menemukannya, sampai-sampai As Suyuthi berkata dalam Al Jami’ Ash Shaghir: “Barang kali hadits ini telah dikeluarkan oleh sebagian kitab para imam yang belum sampai kepada kita.” Menurutku ini sangat jauh. (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/141/57) Dalam kitabnya yang lain beliau menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu) ( Dhaiful Jami’ No. 230)

           As Sakhawi juga mengatakan bahwa banyak para imam yang menyangka bahwa hadits ini tidak ada asalnya. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kasyf Al Khafa’, 1/65)

Ada pula hadits lain yang seperti ini berbunyi:

اختلاف أصحابي لكم رحمة

        “Perbedaan pendapat para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.” (HR. Al Baihaqi, Al Madkhal Ila As Sunan Al Kubra, No. 113)

Hadits ini juga dhaif jiddan (lemah sekali). Dalam perawinya terdapat Juwaibir dan Sulaiman seorang rawi yang sangat lemah, dan sanadnya munqathi’ (terputus) antara Adh Dhahak kepada Ibnu Abbas. Az Zarkasi, Ibnu Hajar, dan Al ‘Iraqi mencoba menguatkan hadits ini yakni dengan riwayat: “Perbedaan pendapat sahabatku adalah rahmat bagi umatku”. Namun ini juga    mursal dhaif. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/ 153. Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kanzul ‘Umal, No. 1002)  Syaikh Al Albani juga menyatakan bahwa hadits ini palsu. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 59)

Catatan:

Kita telah mengetahui kelemahan hadits di atas, bahkan lebih parah lagi yakni palsu dan tidak ada dasarnya. Namun, secara makna perkataan bahwa “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat”  tidak mutlak salah. Sebab, dalam tataran dan jenis  tertentu, perbedaan memang membawa kebaikan, minimal masih bisa ditolerir. Oleh karena itu, banyak ulama yang membela esensi ucapan ini seperti Imam Al Khathabi, Imam An Nawawi, dan lain-lain.

Telah diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata:

ما سرني لو أن أصحاب محمد صلى الله عليه لم يختلفوا لأنهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة

           “Tidaklah aku suka jika para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, seandainya mereka tidak berbeda, niscaya tidak akan terjadi rukhshah (keringanan bagi umat- pen).”  (Kasyful Khafa, Ibid. Al Maqashid Al Hasanah  Ibid. Ad Durar Mutanatsirah, Ibid)

           Demikianlah perbedaan pendapat juga terjadi pada masa-masa terbaik, tetapi itu tidak memudharatkan mereka. Perbedaan seperti apakah ini?  Imam Al Munawi mengatakan maksud  perbedaan  yang membawa rahmat adalah perbedaan ijtihad dalam menentukan hukum sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Shalah dari Imam Malik. (Faidhul  Qadir, 1/271)

           Imam As Suyuthi berkata: “Maksud perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam menentukan hukum.” Dikatakan: “Perbedaan dalam huruf dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan jamaah ahli hadits.” (Ad Durar Muntatsirah, Ibid)

           Sebagian manusia ada juga yang tetap menolak makna ucapan ini menurut mereka jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah  azab.  Ini diisyaratkan oleh Imam Al Khathabi sebagai berikut:

وقال اعترض على هذا الحديث رجلان، أحدهما ماجن والآخر ملحد، وهما اسحاق الموصلي وعمرو بن بحر الجاحظ، وقالا جميعاً: لو كان الاختلاف رحمة لكان الاتفاق عذاباً

           “Hadits ini telah ditentang oleh dua orang, yang satu orang yang suka bersenda gurau, dan yang lain seorang ateis (mulhid), mereka adalah Ishaq Al Maushili dan Amru bin Bahr Al Jahizh, mereka berkata: “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 15)

           Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengutip dari Imam Al Khathabi lebih legkap lagi, katanya:

 ثُمَّ زَعَمَ أَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ اِخْتِلَاف الْأُمَّة رَحْمَة فِي زَمَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّة ؛ فَإِذَا اِخْتَلَفُوا سَأَلُوهُ ، فَبَيَّنَ لَهُمْ .

وَالْجَوَاب عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاض الْفَاسِد : أَنَّهُ لَا يَلْزَم مِنْ كَوْن الشَّيْء رَحْمَة أَنْ يَكُون ضِدّه عَذَابًا ، وَلَا يَلْتَزِم هَذَا وَيَذْكُرهُ إِلَّا جَاهِل أَوْ مُتَجَاهِل . وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَمِنْ رَحْمَته جَعَلَ لَكُمْ اللَّيْل وَالنَّهَار لِتَسْكُنُوا فِيهِ } فَسَمَّى اللَّيْل رَحْمَة ، وَلَمْ يَلْزَم مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُون النَّهَار عَذَابًا ، وَهُوَ ظَاهِر لَا شَكَّ فِيهِ . قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَالِاخْتِلَاف فِي الدِّين ثَلَاثَة أَقْسَام : أَحَدهَا : فِي إِثْبَات الصَّانِع وَوَحْدَانِيّته ، وَإِنْكَار ذَلِكَ كُفْر .

وَالثَّانِي : فِي صِفَاته وَمَشِيئَته ، وَإِنْكَارهَا بِدْعَة .

وَالثَّالِث فِي أَحْكَام الْفُرُوع الْمُحْتَمَلَة وُجُوهًا ، فَهَذَا جَعَلَهُ اللَّه تَعَالَى رَحْمَة وَكَرَامَة لِلْعُلَمَاءِ ، وَهُوَ الْمُرَاد بِحَدِيثِ : اِخْتِلَاف أُمَّتِي رَحْمَة ، هَذَا آخِر كَلَام الْخَطَّابِي

        Lalu, mereka mengira bahwa perbedaan pada umat yang mendatangkan rahmat itu hanya khusus pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika, para sahabat berbeda pendapat, maka Beliau memberikan penjelasan.

Jawaban dari penolakan yang buruk ini adalah tidak selalu dalam berbagai hal bahwa lawan dari rahmat adalah azab, tidaklah yang mengatakan hal itu melainkan orang bodoh atau belagak bodoh. Allah ta’ala telah berfirman: “ .. dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu ..”  malam dinamakan rahmat, dan tidaklah patut dikatakan lantas siang adalah azab, dan ini sangat jelas dan tak ada keraguan di dalamnya.

Al Khathabi berkata perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama, menetapkan perbuatan dan keesaanNya, maka mengingkarinya adalah kufur. Kedua, perbedaan pendapat tentang sifat dan kehendakNya, mengingkarinya adalah bid’ah. Ketiga, tentang hukum-hukum cabang yang multi tafsir, maka inilah yang Allah jadikan rahmat dan kemuliaan bagi ulama. Inilah maksud “perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.” Selesai ucapan Al Khathabi. (Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, No. 3090. Mauqi’ Ruh Al Islam)

           Demikianlah pembelaan dari Imam Al Khathabi dan Imam An Nawawi terhadap isi hadits tersebut. Namun, pembelaan ini tidaklah merubah status kedhaifan hadits tersebut sedikit pun. Hal ini diisyaratkan oleh Imam As Sakhawi berikut ini:

ثم تشاغل الخطابي برد هذا الكلام، ولم يقع في كلامه شفاء في عزو الحديث

           “Kemudian Al Khathabi sibuk membantah ucapan ini (Yakni ucapan, “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.”), namun pejelasan itu tidak bisa mengobati untuk menguatkan hadits tersebut.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14)

Jika ada yang mengatakan, “Bukankah Allah memerintahkan persatuan, agar kita berpegang pada tali agama Allah dan jangan berpecah belah?” jawab: Benar, namun perbedaan pendapat tidaklah selalu berkonotasi perpecahan. Berbeda pendapat  bukanlah halangan untuk tetap ukhuwah. Allah Ta’ala melarang kita untuk berpecah, bukan melarang untuk berbeda pendapat, bahkan perbedaan itu sesuatu yang lumrah dan tabiat kehidupan.

Allah Ta’ala berfirman:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat..” (QS. Hud (11): 118)

Wallahu A’lam

  • Farid Nu’man Hasan

 

Doa Minta Mati Di Tanah Suci

💥💦💥💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu ‘Alaikum, Pak Ustadz, Langsung aja ya. Boleh gak kita mohon kepada Allah Swt agar dipercepat meninggal? Khususnya pas ibadah haji, karena meninggal saat ibadah di sana kan di jamin masuk surga. Lalu yang dikubur di Mekkah katanya masuk Surga. Benar gak Pa Ustadz ?  ada dalilnya gak? Jazakallah Khairan Katsira. (08121062xxx)

📬 JAWABAN

▫▪▫▪▫▪▫

Wa ‘Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Memohon kepada Allah ﷻ agar mati dengan cara yang baik, ditempat yang baik, adalah boleh. Itu pernah dilakukan oleh para salaf, di antaranya Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu.

Beliau berdoa sebagai berikut:

اللهُمَّ ارْزُقْنِي شَهَادَةً فِي سَبِيلِكَ وَاجْعَلْ مَوْتِي فِي بَلَدِ رَسُولِكَ

Ya Allah, rezekikanlah kepadaku mati syahid di jalanMu dan jadikanlah kematianku di negeri RasulMu. (HR. Al Bukhari No. 1890)

Maksud “negeri RasulMu” adalah Madinatun Nabi (kota Nabi), yaitu Madinah Al Munawwarah, kota di mana Nabi ﷺ dikuburkan. Doa ini dijadikan dasar sebagian ulama keutamaan Madinah dibanding Mekkah.

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

احتج به من فضل المدينة على مكة ، وقالوا : لو علم عمر بلدة أفضل من المدينة لدعا ربه أن يجعل موته وقبره فيها

Ini dijadikan hujjah keutamaan Madinah dibanding Mekkah. Mereka mengatakan: seandainya Umar tahu ada negeri yang lebih utama dibanding Madinah niscaya dia akan berdoa agar wafat di sana dan di kuburkan di sana. (Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 4/558)

Ada pun berdoa dan berharap minta buru-buru mati tanpa alasan yang benar, atau karena putus asa di sebabkan musibah, maka itu hal yang dibenci.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

 

 لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ مِنْ ضُرٍّ أَصَابَهُ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا (مَا) كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

Janganlah salah seorang kamu mengharapkan kematian hanya karena musibah yang menimpanya, kalau pun ingin melakukan itu,  katakanlah: “Ya Allah, hidupkanlah aku jika hidup itu memang baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika wafat itu memang baik bagiku.” (HR. Al Bukhari No. 5671, Muslim No. 2680)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

من ضر أصابه حمله جماعة من السلف على الضر الدنيوي فإن وجد الضر الأخروي بأن خشي فتنة في دينه لم يدخل في النهي

Perkataan “karena musibah yang menimpanya” maksudnya menurut tafsir segolongan ulama salaf adalah musibah duniawi, sedangkan jika dia mendapatkan musibah ukhrawi (akhirat) karena takut fitnah yang menimpa agamanya, maka itu tidak termasuk larangan dalam hadits ini. (Fathul Bari, 10/128)

Sedangkan di kubur di Mekkah di jamin masuk surga, maka tidak ada riwayat dari Nabi ﷺ tentang hal itu. Tetapi, wafat saat ibadah haji atau umrah di sana jelas itu husnul khatimah.

Wallahu A’lam

🍃🌸🌾🌻🌴🌺🌷☘


🌾🌷 Kematian Yang Mulia 🌷🌾

🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾

Syaikh Hasan Al Banna Rahimahullah berkata:

احرصوا على الموت توهب لكم الحياة واعلموا أن الموت لابدَّ منه، وأنه لا يكون إلا مرةً واحدةً، فإن جعلتموها في سبيل الله كان ذلك ربحَ الدنيا وثوابَ الآخر

Bersungguh-sungguhlah dalam mempersiapkan kematian yang telah diberikan kepadamu kehidupan. Ketahuilah bahwa kematian itu keniscayaan. Tidaklah terjadi kecuali hanya sekali. Maka, sungguh jika kalian menjadikan kematian itu fisabilillah maka itu merupakan keuntungan di dunia dan mendapatkan balasan di akhirat.

📚 Aqwaal Hasan Al Banna

☘🌷🌺🌴🍃🌸🌾🌻

🖋 Farid Nu’man Hasan

 

scroll to top