Sikap Bijak Ulama Ahlus Sunnah Terhadap Perselisihan Qunut Shubuh (Bag 1)

💦💥💦💥💦💥💦

Persoalan membaca doa qunut pada shalat subuh, merupakan perselisihan fiqih sejak zaman para sahabat Nabi. Ini termasuk perselisihan yang paling banyak menyita waktu, tenaga, pikiran, bahkan sampai memecahkan barisan kaum muslimin. Sebenarnya, bagaimanakah sebenarnya masalah ini? Benarkah para Imam Ahlus Sunnah satu sama lain saling mengingkari secara keras, sebagaimana perilaku para penuntut ilmu dan orang awam yang kita lihat hari ini dari kedua belah pihak?

Kali ini, saya tidak akan membahas qunut pada posisi, “Mana yang lebih benar, qunut atau tidak qunut?” yang justru kontra produktif dengan tujuan tema yang sedang saya bahas.

Mereka semua baik yang pro dan kontra saling bersaudara seiman yang harus dijaga perasaan dan dipelihara hubungannya. Tidak mengingkari salah satu dari mereka, lantaran masing-masing mereka pun berpijak pada pendapat para Imam Ahlus Sunnah lainnya, yang juga memiliki sejumlah dalil dan alasan yang dipandang kuat oleh mereka. Sedangkan para imam kita telah menegaskan kaidah, “Al Ijtihad Laa Yanqudhu bil Ijtihad (Suatu Ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh Ijtihad lainnya),” dan “Laa inkara fi masaail ijtihadiyah (tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah).”

📌 Qunut Subuh Benar-Benar Khilafiyah Ijtihadiyah

Kita lihat peta perbedaan ini, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama sebagai berikut:

📕 Berkata Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya sebagai berikut:

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ و قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ

“Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang qunut pada shalat fajar (subuh), sebagian Ahli ilmu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan lainnya berpendapat bahwa qunut ada pada shalat subuh, dan ini adalah pendapat Malik dan Asy Syafi’i. Sedangkan, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh kecuali saat nazilah (musibah) yang menimpa kaum muslimin. Jika turun musibah, maka bagi imam berdoa untuk para tentara kaum muslimin.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

📗 Berkata Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah :

اختلفوا في القنوت، فذهب مالك إلى أن القنوت في صلاة الصبح مستحب، وذهب الشافعي إلى أنه سنة وذهب أبو حنيفة إلى أنه لا يجوز القنوت في صلاة الصبح، وأن القنوت إنما موضعه الوتر وقال قوم: بيقنت في كل صلاة، وقال قوم: لا قنوت إلا في رمضان، وقال قوم: بل في النصف الاخير منه وقال قوم: بل في النصف الاول منه

“Mereka berselisih tentang qunut, Malik berpendapat bahwa qunut dalam shalat subuh adalah sunah, dan Asy Syafi’i juga mengatakan sunah, dan Abu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat subuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir. Ada kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat. Kaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan. Kaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. Ada juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.” (Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz. 1, Hal. 107-108. Darul Fikr)

📙 Juga diterangkan di dalam kitab Al Mausu’ah sebagai berikut:

ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى مَشْرُوعِيَّةِ الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ . قَال الْمَالِكِيَّةُ : وَنُدِبَ قُنُوتٌ سِرًّا بِصُبْحٍ فَقَطْ دُونَ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ قَبْل الرُّكُوعِ ، عَقِبَ الْقِرَاءَةِ بِلاَ تَكْبِيرٍ قَبْلَهُ

وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُسَنُّ الْقُنُوتُ فِي اعْتِدَال ثَانِيَةِ الصُّبْحِ ، يَعْنِي بَعْدَ مَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ ، وَلَمْ يُقَيِّدُوهُ بِالنَّازِلَةِ

وَقَال الْحَنَفِيَّةُ ، وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ قُنُوتَ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ إِلاَّ فِي النَّوَازِل وَذَلِكَ لِمَا رَوَاهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ ، وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : – أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ إِلاَّ أَنْ يَدْعُو لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ وَمَعْنَاهُ أَنَّ مَشْرُوعِيَّةَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ مَنْسُوخَةٌ فِي غَيْرِ النَّازِلَةِ

“Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan Asy Syafi’iyah (pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat bahwa doa qunut pada shalat subuh adalah disyariatkan. Berkata Malikiyah: Disunnahkan berqunut secara sirr (pelan) pada shalat subuh saja, bukan pada shalat lainnya. Dilakukan sebelum ruku setelah membaca surat tanpa takbir dulu.

Kalangan Asy Syafi’iyah mengatakan: qunut disunnahkan ketika i’tidal kedua shalat subuh, yakni setelah mengangkat kepala pada rakaat kedua, mereka tidak hanya mengkhususkan qunut nazilah saja.

Kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan Hanabilah (pengikut Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan: Tidak ada qunut dalam shalat subuh kecuali qunut nazilah. Hal ini karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkan doa tersebut).” (HR. Muslim dan An Nasa’i). Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat subuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.” (HR. Ibnu Hibban). Artinya, syariat berdoa qunut pada shalat subuh telah mansukh (dihapus), selain qunut nazilah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/321-322. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

Sedikit saya tambahkan, bahwa hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan hujjah oleh golongan Hanafiyah dan Hanabilah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, lalu beliau meninggalkan doa tersebut. Merupakan hadits shahih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Istihbab Al Qunut fi Jami’ish Shalah Idza Nazalat bil Muslimina Nazilah, No. 677.

Ada pun hadits Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat subuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum. Disebutkan oleh Imam Az Zaila’i, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban, dan penulis At Tanqih mengatakan, hadits ini shahih. (Al Hazifh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, 3/180. Mawqi’ Al Islam)

Sedangkan dalil yang menyunnahkan qunut subuh, yang digunakan oleh kalangan Asy Syafi’iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan qunut subuh sampai faraqat dunia (meninggalkan dunia/wafat). (HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarani, Tahdzibul Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711. Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 2/139)

Sementara Al Hafizh Az Zaila’i menyebutkan riwayat dari Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya, lafazhnya dari Rabi’ bin Anas: Ada seorang laki-laki datang kepada Anas bin Malik dan bertanya: “Apakah Rasulullah berqunut selama satu bulan saja untuk mendoakan qabilah?” Anas pun memberikan peringatan padanya, dan berkata: “Rasulullah senantiasa berqunut subuh sampai beliau meninggalkan dunia.” Ishaq berkata: hadits yang berbunyi: tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkannya) maknanya adalah beliau meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah dalam qunutnya.” (Nashbur Rayyah, 3/183).

Jadi, bukan meninggalkan qunutnya, tetapi meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah yang beliau doakan dalam qunut nazilah.

(Bersambung… )

☘🌺🌻🌴🍃🌸🌷🌾

✏ Farid Nu’man Hasan

Laki-Laki Memakai Gelang

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum ustadz
Afwan, bisa dijelaskan bagaimana Hukum laki2 memakai gelang yg terbuat dari SELAIN emas/perak/perunggu?
apakah gelang itu mutlaq perhiasan bagi wanita?
takutnya tasyabuh….

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah …

Ya, tidak boleh laki-laki memakai gelang, apa pun bahannya. Sebab itu menyerupai wanita, dan hadits larangan menyerupai wanita juga jelas.

Imam Zakariya Al Anshari Rahimahullah berkata:

وَلِلرَّجُلِ لُبْسُ خَاتَمِ الْفِضَّةِ لِلْإِتْبَاعِ وَالْإِجْمَاعِ ، بَلْ يُسَنُّ له كما مَرَّ … ، لَا لُبْسُ السِّوَارِ ، بِكَسْرِ السِّينِ وَضَمِّهَا ، وَنَحْوِهِ ، كَالدُّمْلُجِ وَالطَّوْقِ ؛ فَلَا يَحِلُّ له ، وَلَوْ من فِضَّةٍ ؛ لِأَنَّ فيه خُنُوثَةٌ لَا تَلِيقُ بِشَهَامَةِ الرِّجَالِ

Laki-laki itu memakai cincin perak dalam rangka ittiba’ (kepada nabi) dan Ijma’. Bahkan itu Sunnah baginya. …, Jangan memakai gelang, walau dari perak, sebab itu penyerupaan terhadap wanita (banci), tidak berwibawa bagi laki-laki. (Asnal Mathalib, 1/379)

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah berkata:

يَحْرُمُ التَّشَبُّهُ بِهِنَّ [ أي : بالنساء ] بِلُبْسِ زِيِّهِنَّ الْمُخْتَصِّ بِهِنَّ اللَّازِمِ في حَقِّهِنَّ كَلُبْسِ السِّوَارِ وَالْخَلْخَالِ وَنَحْوِهِمَا بِخِلَافِ لُبْسِ الْخَاتَمِ

Diharamkan menyerupai wanita dalam hal perhiasan khusus mereka, seperti gelang tangan dan gelang kaki, berbeda dengan cincin. (Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubra, 1/261)

Kecuali ada uzur syar’i, seperti pengobatan secara medis. Ada gelang elektromagnetik yang memang dikeluarkan pihak ahli medik, bukan jimat. Atau gelang tanda bagi jamaah haji agar tidak nyasar. Ini ada hajat dan maslahat.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌱🌴🌵🌾🌸🍄

✍ Farid Nu’man Hasan

Bermaksiat Setelah Mendapat Nikmat

💢💢💢💢💢💢💢

Para Hukama berkata:

‏المعصية بعد النعمة ‏أشد من المعصية قبل النعمة ‏قال ﷻ: ‏{ وعَصَيتُم مِن بَعدِ ما أراكُم مَا تُحِبُّونَ }

Bermaksiat setelah mendapatkan kenikmatan lebih berat (dosanya) dibanding bermaksiat sebelum mendapatkan nikmat.

Allah Ta’ala berfirman:

Dan kalian telah durhaka setelah Aku perlihatkan kepada kalian apa-apa yang kalian sukai.

📚 Washaya As Salaf wal Fuqaha No. 38

🌴🌱🌸🍃🌵🌷🍄🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

Thawaf Wada’; Wajib atau Sunnah?

💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum, Akhi afwan, ana mau minta tolong sekali lagi utk menyampaikan pertanyaan ana terkait thawaf wada’ kpd ust Farid Nu’man…🙏

Alhamdulillah Saat ini posisi ana sudah melaksanakan semua runtutan ibadah haji kecuali thawaf wada’

InsyaAlloh baru tgl 10/11 nanti rombongan kami akan diberangkatkan ke madinah

Nah dalam beberapa waktu ini apakah boleh saya pergi ke jeddah utk jalan2/berkunjung ke rumah saudara saya disana dan kembali lagi ke makkah?

Karna saya khawatir atas Hadits Nabi yg mengatakan bahwa jika meninggalkan makkah maka harus thawaf wada’ terlebih dahulu, sedangkan sy belum berniat meninggalkan makkah, hanya jalan2 saja ke jeddah mengunjungi saudara saya…

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃
Bismillah wal Hamdulillah ..

Para imam berbeda pendapat tentang hukum thawaf wada’ bagi yang akan meninggalkan Mekkah. Wajibkah atau Sunnah?

1. Wajib, ini pendapat mayoritas ulama.

Gol ini juga terbagi menjadi dua.

Pertama, yaitu wajib bagi siapa pun yang akan meninggalkan Mekkah, baik keperluan ke Mekkah karena haji, umrah, atau apa saja. Inilah pendapat golongan Syafi’iyah dan Hanabilah.

Kedua, wajib hanya bagi yang haji saja. Ini Hanafiyah.

وأما الحنفية فإن طواف الوداع عندهم واجب في الحج فقط.

Ada pun Hanafiyah, Thawaf wada’ bagi mereka adalah wajib bagi Haji saja. (Selesai)

Bahkan, seorang ulama Hambaliyah kontemporer yaitu Syaikh Al Utsaimin Rahimahullah juga mengatakan demikian:

طواف الوداع واجب في حق الحاجّ على الصحيح؛ لأن الرسول عليه الصلاة والسلام قال: لا ينفرن أحد حتى يكون آخر عهده بالبيت رواه مسلم في الصحيح. وقال ابن عباس رضي الله عنهما: ( أُمر الناسُ أن يكون آخر عهدهم بالبيت إلا أنه خُفّف على المرأة الحائض )

Thawaf wada’ adalah wajib bagi jamaah haji menurut pendapat yang Shahih, karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Janganlah seseorang pulang sebelum dia thawaf wada’ (akhir) di Baitullah.” (HR. Muslim).

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata:
“Orang-orang diperintahkan agar menjadikan akhir dari perjalanan haji mereka adalah thawaf di Ka’bah Baitullah. Namun perintah ini diringankan bagi para wanita yang sedang mengalami haidh.” (HR. Al Bukhari). (Fatawa Nuur ‘Alad Darb, 18/84)

Dari kalangan Syafi’iyah, Imam An Nawawi Rahimahullah berkata dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab:

وقال البغوي والمتولي وغيرهما: ليس طواف الوداع من المناسك، بل هو عبادة مستقلة يؤمر بها كل من أراد مفارقة مكة إلى مسافة القصر

Al Baghawi, Al Mutawalli, dan lainnya mengatakan: thawaf wada’ bukan bagian dari manasik, tapi itu adalah ibadah yang berdiri sendiri yang diperintah atas SETIAP ORANG yang hendak meninggalkan Mekkah. (Selesai)

Pendapat inilah yang dianggap shahih oleh Imam Ar Rafi’i. Sementara Imam Al Haramain dan Imam Al Ghazali -keduanya adalah Syafi’iyah- menganggap thawaf wada’ adalah bagian manasik haji dan umrah, dan TIDAK WAJIB dilakukan saat keluar dari Mekkah.

Namun yang ditarjih oleh Imam An Nawawi adalah:

والصحيح المشهور أنه يتوجه على من أراد مسافة القصر ودونها سواء كانت مسافة بعيدة أو قريبة، لعموم الأحاديث

Yang Shahih lagi terkenal bahwa perintah thawaf wada’ berlaku pada siapa pun yang akan meninggalkan Mekkah, baik perjalanan sementara, jauh atau dekat sama saja, berdasarkan keumuman haditsnya .. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 8/256)

Dari Hanabilah, berkata Imam Ar Rahibani Rahimahullah:

طواف (وداع) وهو واجب على كل خارج من مكة من حاج وغيره…

Thawaf wada’ adalah wajib atas siapa saja yang akan keluar dari Mekkah baik yang haji atau selainnya ..

Beliau juga berkata:

لم يخرج منها حتى يودع البيت بالطواف وجوباً على كل خارج من مكة لوطنه أو غيره على المذهب

Tidaklah keluar dari Mekkah sampai dia melakukan wada’ kepada Baitullah dengan thawaf, itu adalah wajib atas siapa pun yang akan keluar dari Mekkah menuju negerinya atau lainnya menurut pendapat resmi madzhab. (Mathalib Ulin Nuha, 2/435)

2. Sunnah

Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hambaliyah kontemporer.

والمالكية وإن ذهبوا إلى أن طواف الوداع مندوب وليس واجباً إلا أنهم نصوا على أنه يندب لكل خارج من مكة ولو قدم لغير نسك كتجارة ونحوها، جاء في مواهب الجليل للحطاب

: طواف الوداع مشروع لكل من خرج من مكة مكي أو غيره، قدم لنسك أو لتجارة؛ إن خرج لمكان بعيد سواء كان بنية العودة أم لا…

Malikiyah berpendapat bahwa thawaf wada’ adalah Sunnah bukan wajib. Hanya saja mereka menyatakan kesunnahan itu berlaku untuk siapa pun yang akan keluar dari Mekkah walau kedatangannya untuk selain nusuk (ibadah), seperti dagang dan lainnya.

Disebutkan dalam Mawaahib Al Jaliil karya Imam Al Hathab:

Thawaf wada’ itu disyariatkan bagi siapa pun yang akan keluar dari Mekkah baik dia orang Mekkah atau lainnya, baik kedatangannya karena ibadah atau berdagang, walau dia ketempat yang jauh sama saja apakah dia berniat akan kembali atau tidak. (Mawaahib Al Jaliil, 3/137)

Ada pun Hambaliyah kontemporer, Syaikh Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan bahwa thawaf wada’ adalah SUNNAH bagi jamaah Umrah:

اما المعتمر فقد اختلف العلماء في ذلك هل عليه طواف الوداع
على قولي العلماء، والأرجح أنه لا يلزمه طواف الوداع لأدلة كثيرة، لكن إذا طاف الوداع فهو أفضل

Bagi orang yg umrah para ulama berbeda pendapat tentang thawaf wada’ untuk mereka. Ada dua pendapat ulama, dan pendapat yang kuat adalah tidak mesti tawaf wada’ berdasarkan dalil-dalil yang banyak. Tapi afdhalnya memang melakukannya. (Fatawa Nuur ‘Alad Darb, 18/85)

Pendapat yang kuat dan hati-hati adalah WAJIB, sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

ولعل القول الراجح هو قول الحنابلة والشافعية من أن طواف الوداع واجب على كل من خرج من مكة؛ إلا الحائض حتى ولو كانت المسافة دون القصر على المشهور عند الشافعية كما ذكر النووي؛ لعموم حديث ابن عباس: أمر الناس أن يكون آخر عهدهم بالبيت؛ إلا أنه خفف عن الحائض… رواه البخاري

Barangkali pendapat yang paling kuat adalah bahwa thawaf wada’ adalah wajib atas siapa pun yang akan keluar dari Mekkah -kecuali wanita haid- bahkan yang keluarnya hanya sebentar dan pendek, sebagaimana pendapat yg masyhur dari Syafi’iyah seperti yang dikatakan Imam An Nawawi berdasarkan keumuman hadits dari Ibnu ‘Abbas Radliallahu ‘Anhuma berkata:

“Orang-orang diperintahkan agar menjadikan akhir dari perjalanan haji mereka adalah thawaf di Ka’bah Baitullah. Namun perintah ini diringankan bagi para wanita yang sedang mengalami haidh.” (HR. Al Bukhari). (Selesai)

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌴🌱🌸🍃🌵🍄🌹🌾

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top