Tafsir Surat Al Mulk (Bagian 15)

📂 Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

📌 Teks Ayat

فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَقِيلَ هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَدَّعُونَ (27)

Maka ketika mereka melihat azab ( pada hari kiamat) sudah dekat, wajah orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka), “Inilah (azab) yang dahulu kamu memintanya.”

📌 Tinjauan Bahasa

زُلْفَةً

semakin dekat.

وُجُوهُ

Wajah-wajah

📌 Kandungan Ayat

Ketika kiamat datang, orang-orang kafir pun menyaksikannya. Mereka akan melihat bahwa apa yang dulu pernah dijanjikan benar-benar akan terjadi. Kiamat pasti datang, walaupun dirasa masih lama waktunya. Ketika kiamat itu benar-benar terjadi, jadilah muram wajah-wajah mereka (orang-orang kafir). Mereka akan tahu bahwa di hari itu kejelekan akan menimpa mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/182)

هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَدَّعُونَ

Dan dikatakan (kepada mereka) inilah (azab) yang dahulunya kamu selalu meminta-mintanya”.

Selanjutnya Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik yang menentang nikmat-nikmat Allah.

Imam An Nasafi menyebutkan dalam tafsirnya:

{سِيئَتْ وُجُوهُ الذين كَفَرُواْ}

أي ساءت رؤية الوعد وجوههم بأن علتها الكآبة والمساءة وغشيتها الفترة والسواد

Wajah-wajah kaum kafir muram ketika melihat janji Allah, karena kecemasan yang melingkupi mereka dalam kelemahan dan suram ( Tafsir An Nasafi,3/517)

قُلْ أَرَأَيْتُمْ إِنْ أَهْلَكَنِيَ اللَّهُ وَمَنْ مَعِيَ أَوْ رَحِمَنَا فَمَنْ يُجِيرُ الْكَافِرِينَ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersama dengan aku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan masuk surga), tetapi siapakah yang dapat melindungi orang-orang yang kafir dari siksa yang pedih?” (QS. Al Mulk: 28).

Yang dapat melindungi mereka dari siksa yang pedih adalah dengan bertaubat dan kembali pada agama Allah yang benar. Namun ketika adzab tersebut sudah menghampiri mereka di hari kiamat kelak, tentu saja taubat tidak berguna, dan sesal tiada arti.

🌺🌸🍃🌹🍀🌾🌴🌾

✏ Fauzan Sugiono

Serial Tafsir Surat Al Mulk:

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 1) Gambaran Umum Surat Al Mulk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 2)

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 3) Amal Terbaik

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 4) Allah Menciptakan Tujuh Langit Berlapis-lapis

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 5) Bintang dilangit dijadikan Allah alat pelempar syetan

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 6) ILUSTRASI MURKA NERAKA KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 7) PENYESALAN ORANG-ORANG KAFIR

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 8) ALLAH MENGETAHUI YANG TERSEMBUYI DAN NYATA

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 9) ALLAH MAHA PEMBERI RASA AMAN

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 10) DESKRIPSI KEKUASAAN ALLAH PADA SEEKOR BURUNG

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 11) ALLAH MAHA PENOLONG, ALLAH PEMBERI REZEKI

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 12) Perumpamaan Orang Yang Mendapat Petunjuk

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 13) Nikmat Pendengaran, Penglihatan dan Hati Nurani

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 14) Hanya Allah Yang Maha Tahu Kapan Datangnya Hari Kiamat

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 15) Adzab yang Dinantikan Akhirnya Datang

Tafsir Surat Al Mulk ( Bagian 16) Allah Maha Mematikan dan Memberi Rahmat, Tawakal Hanya Kepada-Nya, serta Dia Maha Pemberi Nikmat air

Gerhana Tertutup Awan, Apakah Tetap Dilaksanakan Sholat?

Syarat shalat gerhana adalah jika terjadi gerhana, secara de facto memang terjadi di langit sana

📌 Apakah harus kelihatan? Menurut hadits shahih Muslim memang seperti itu, tapi juga tidak ada hadits “jika tertutup awan atau mendung maka jangan shalat ..” atau “sempurnakan mungkin gerhananya besok ..”

📌 Zaman itu pakai penglihatan karena itulah satu-satunya cara untuk mengetetahui gerhana atau tidak, ini yang mesti disadari betul

📌 Saat ini sudah ada ahlinya apakah gerhana terjadi atau tidak

📌bahkan mereka sudah tahu kadar berapa persen gerhana di sebuah daerah, yaitu lembaga semacam BMKG

📌 mereka sudah mengumumkan daerah yang mengalami gerhana karena mereka melihatnya, dan ini sudah pekerjaan mereka puluhan tahun lamanya, dan tidak ada gejolak ketika menjadikannya sebagai shalat gerhana sejak lama

📌Walau kita -orang biasa-  tidak melihatnya di hari H, tapi BMKG sudah melihatnya dengan alat-alat mereka

📌Maka, itu sudah mencukupi, sebab penglihatan 1 org adil dan terpercaya sudah cukup, apalagi lebih satu pakar yang melihatnya.

📌Apakah gerhana harus dilihat seluruh manusia? Tidak demikian, penglihatan para pakar sudah cukup.

📌 Fatwa Syaikh Utsaimin benar, dia mensyaratkan penglihatan

📌Fatwa itu sudah cocok dengan apa yang sedang terjadi bahwa gerhana terjadi dan terlihat oleh orang-orang terpercaya, dengan ilmu dan alat-alat mereka, secara de facto dan de jure memang terjadi

📌 Nama daerah tidak disebut maka ikuti daerah paling dekat, sebab tidak mungkin jakarta terjadi gerhana lalu bandung juga, tapi bekasi tidak terjadi.

📌 Pendapat dan fatwa seorang ulama bisa diterima bisa ditolak kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Wallahu  a’lam

☘🌺🌻🌴🍃🌾🌷🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

[Adab Pada Mulut] Anjuran Bersiwak

Islam agama yang mencintai kebersihan. Di antaranya adalah menjaga kebersihan mulut dengan bersiwak. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa riwayat berikut ini:

Dari Au Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَة

Seandainya tidak memberatkan umatku atau manusia, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak pada setiap shalat. 1)

Ini menunjukkan bersiwak sangat dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai Beliau ingin memerintahkan dilakukan setiap shalat, tapi Beliau khawatir memberatkan umatnya, maka hal itu tidak diperintahkan menjadi wajib.

Imam Ibnu Rajab Rahimahullah menjelaskan dalam kitab Fathul Bari-nya:

دليل على أن السواك ليس بفرض كالوضوء للصلاة، وبذلك قال جمهور العلماء، خلافاً لمن شذ منهم من الظاهرية

Ini menjadi dalil bahwa bersiwak bukanlah kewajiban seperti wudhu untuk shalat, inilah pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan pendapat  janggal yang menyelisihi mereka dari golongan zhahiriyah (tekstualist). 2)

Sementara Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengutip dari Imam Asy Syafi’i Rahimahullah sebagai berikut:

فيه دليل على أن السواك ليس بواجب لأنه لو كان واجبا لأمرهم شق عليهم به

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa bersiwak bukan kewajiban, karena seandainya wajib maka pastilah akan diperintahkan kepada mereka dan mereka akan mengalami kesulitan. 3)

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah mengatakan:

والعلماء كلهم يندبون إليه، وليس بواجب عندهم، ولو كان واجبًا عليهم لأمرهم به، يشق عليهم أو لم يشق

Seluruh ulama menyunahkan bersiwak, menurut mereka bukan kewajiban, seandainya wajib niscaya hal itu akan diperintahkan baik hal itu memberatkan atau ringan. 4)

Apa yang dikatakan Imam Ibnu Baththal nampaknya masih bisa didiskusikan, atau lebih tepatnya adalah pendapat mayoritas, bukan seluruh ulama. Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa dikisahkan  oleh Imam Al Ghazali dan diikuti oleh Imam Al Mawardi, dari Ishaq bin Rahawaih  bahwa menurutnya bersiwak adalah wajib setiap shalat, jika tidak bersiwak maka batal shalatnya. Ada  riwayat dari Daud Azh Zhahiri bahwa bersiwak ketika hendak shalat adalah wajib tetapi bukan syarat sahnya shalat. 5)

Perlu diketahui, Imam Ibnu Rajab (w. 795H) dan Imam Ibnu Hajar (w. 852H) membuat karya yang judulnya sama yaitu  Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, yaitu kitab yang memberikan penjelasan atas kitab Shahih Al Bukhari. Tetapi mereka membuatnya tidak bersamaan.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Siwak itu mensucikan mulut dan membuat Rabb ridha. 6)

📌 Ada pun bersiwak ketika shaum (puasa) terjadi perbedaan pendapat antara yang membolehkan dan memakruhkan.

📕 Pihak yang membolehkan seperti ‘Aisyah (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9152), Ibnu ‘Abbas (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9153), Abu Hurairah (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9163), Imam Hasan Al Bashri (Al Mushannaf Abdirrazzaq Ash Shan’ani No. 7489), Imam Ibnu Sirin (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 917),  Imam Sa’id bin Al Musayyib (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9165), Imam Malik (Al Muwaththa’ No. 60, disusun oleh Fuad Abdul Baqi), Imam Asy Syafi’i, dan lainnya.

📘 Pihak yang memakruhkan adalah Al Hakam (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9175),  Mujahid (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9161, Beliau memakruhkan bersiwak setelah zhuhur), Maimun bin Mihran, Abu Maisarah (Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 9176), dan lainnya.

Namun, pendapat yang lebih dikuatkan para muhaqqiq  adalah boleh, berdasarkan riwayat  Imam Bukhari berikut ini. Dari Amr bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ» مَا لاَ أُحْصِي أَوْ أَعُدُّ

Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak dan dia sedang puasa, dan aku tidak bisa menghitung Beliau bersiwak. 7)

Keterangan ini menunjukkan bahwa bersiwak ketika shaum adalah boleh karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melakukan, bahkan saking seringnya Beliau melakukan itu, sampai-sampai Amr bin Rabi’ah tidak bisa menghitung  berapa banyaknya Beliau bersiwak di waktu shaum.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

ويستحب للصائم أن يتسوك أثناء الصيام، ولا فرق بين أول النهار وآخره. قال الترمذي: ” ولم ير الشافعي بالسواك، أول النهار وآخره بأسا “. وكان النبي صلى الله عليه وسلم يتسوك، وهو صائم

Disunahkan bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa, tak ada perbedaan antara di awal siang dan akhirnya. Berkata At Tirmidzi: “Imam Asy Syafi’i menganggap tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya.” Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak, padahal dia sedang puasa. 8)

Imam Al Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:

بَاب سِوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ لِلصَّائِمِ

“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang Berpuasa”

Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath:

وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ

“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan  kayu  basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya’bi, dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin, bahwa bersiwak dengan kayu yang basah itu seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh, pen).” 9)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

( إِلَّا أَنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا السِّوَاكَ لِلصَّائِمِ بِالْعُودِ الرَّطْبِ ) كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ فَإِنَّهُمْ كَرِهُوا لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ لِمَا فِيهِ مِنْ الطَّعْمِ ، وَأَجَابَ عَنْ ذَلِكَ اِبْنُ سِيرِينَ جَوَابًا حَسَنًا ، قَالَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ : قَالَ اِبْنُ سِيرِينَ : لَا بَأْسَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ ، قِيلَ لَهُ طَعْمٌ ، قَالَ وَالْمَاءُ لَهُ طَعْمٌ وَأَنْتَ تُمَضْمِضُ بِهِ اِنْتَهَى . وَقَالَ اِبْنُ عُمَرَ : لَا بَأْسَ أَنْ يَسْتَاكَ الصَّائِمُ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، قُلْت هَذَا هُوَ الْأَحَقُّ

(Sesungguhnya sebagian ahli ilmu ada yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan dahan kayu yang basah) seperti kalangan Malikiyah dan Imam Asy Sya’bi, mereka memakruhkan orang berpuasa bersiwak dengan dahan kayu basah karena itu bagian dari makanan. Ibnu Sirin telah menyanggah itu dengan jawaban yang baik. Al Bukhari berkata dalam Shahihnya: “Berkata Ibnu Sirin: Tidak mengapa bersiwak dengan kayu basah, dikatakan “ bahwa itu adalah makanan”, Dia (Ibnu Sirin) menjawab: Air baginya juga makanan, dan engkau berkumur kumur dengannya (air).” Selesai. Ibnu Umar berkata: “Tidak mengapa bersiwak bagi yang berpuasa baik dengan kayu basah atau kering,” diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Aku (pengarang Tuhfah Al Ahwadzi) berkata: Inilah yang lebih benar.” 10)

Dengan demikian tidak mengapa bahkan sunah kita bersiwak ketika berpuasa, baik, pagi, siang, atau sore secara mutlak sebagaimana yang dikatakan dalam Tuhfah Al Ahwadzi:

وَبِجَمِيعِ الْأَحَادِيثِ الَّتِي رُوِيَتْ فِي مَعْنَاهُ وَفِي فَضْلِ السِّوَاكِ فَإِنَّهَا بِإِطْلَاقِهَا تَقْتَضِي إِبَاحَةَ السِّوَاكِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَالْأَقْوَى

“Dan dengan semua hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ini dan keutamaan bersiwak, bahwa keutamaannya adalah mutlak, dan kebolehannya itu pada setiap waktu, setiap keadaan, dan itu lebih shahih dan lebih kuat.” 11)

📌 Lalu kemudian, bagaimana jika bersiwak tetapi bukan dengan siwak? Melainkan dengan pasta gigi dan sikatnya seperti zaman sekarang, apakah hal itu masih disebut bersiwak?

Untuk menjawab ini kita lihat Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

والاختيار في السواك أن يكون بعود من أراك ويجوز بسائر العيدان وبكل ما ينظف كالخرقة الخشنة والأشنان وغير ذلك

Dalam bersiwak bisa dipilih kayu arak, boleh juga semua belukar, dan semua hal yang bisa membersihkan seperti lap kasar, dan selainnya. 12)

Imam As Suyuthi Rahimahullah menjelaskan:

وَهُوَ كُلّ آلَة يُتَطَهَّر بِهَا شُبِّهَ السِّوَاك بِهَا ؛ لِأَنَّهُ يُنَظِّف الْفَم ، وَالطَّهَارَة النَّظَافَة

Itu adalah semua alat yang dapat mensucikan dan serupa dengan siwak, karena benda itu bisa membersihkan mulut, dan mensucikannya. 13)

Jadi, menurut penjelasan Imam An Nawawi dan Imam As Suyuthi, benda apa pun selama dapat membersihkan, mensucikan, dan tidak menciderai, maka dia boleh buat bersiwak. Sehingga, zaman ini dengan pasta gigi juga sudah mewakili. Sesuai kaidah: mukhtalifah fisy syakli walakin muttahidah fil aghrad (berbeda bentuk tetapi tujuannya tetap sama).

Wallahu A’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

[1] HR. Bukhari No. 887, Muslim No. 252, dan ini adalah lafaznya Bukhari
[2] Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 8/122
[3] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 2/375
[4] Imam Ibnu Baththal, Syarh Shahih Bukhari, 1/364
[5] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 2/376
[6] HR. Bukhari  dalam Kitabush Shaum bab Siwak Ar Rathbi wal Yaabisi Lish Shaa-im, Ahmad No. 7, 24203,  Ibnu Majah No. 289, An Nasa’i No. 5
[7] HR. Bukhari  dalam Kitabush Shaum bab Siwak Ar Rathbi wal Yaabisi Lish Shaa-im
[8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/459
[9] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/158
[10] Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 3/345
[11] Ibid
[12] Imam An Nawawi, At Tibyan, Hal. 72
[13] Hasyiah As Suyuthi ‘Alas Sunan An Nasa’i, 1/11

Ortu Nyuruh Cerai, Gimana nih?

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Asslkm wr.wb
Afwan ustadz mau tanya:
1. Apa hukumnya jika orang tua istri menyuruh bercerai dg anak dan menantunya? Dan apa yg harus dilakukan?
2. Apakah wanita yg sdh bersuami wajib memberi nafkah kpd org tuanya? Sdgkan selain wanita tsb masih ada kakak dan adik laki2 ?
Jazzakalloh khoir

📬 JAWABAN

Wa ‘alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

📌 Kasus pertama. Jika alasannya dibenarkan oleh syariah boleh. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu kepada anaknya. Tapi, jika alasannya tidak sesuai syariah, mengada-ada, maka tidak boleh, sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala.

Perlu diingat, seorang wanita yang bersuami, maka tanggung jawab dan ketaatan kepada suami lebih besar, dan paling besar setelah ketaatan kepada Allah dan RasulNya.  Maka, seandainya perintah orang tua tersebut bertentangan dengan perintah suami, dan perintahnya sama-sama baik, maka perintah suami lebih didahulukan.  Apalagi jika perintahnya adalah keburukan, maka lebih tidak layak dipatuhi. Sebab ketika telah ijab qabul, suamilah yang bertanggungjawab atas keseluruhan hidupnya, berbeda ketika masih gadis, orang tuanya yang paling bertanggungjawab atas hidupnya.

Namun orang tua bisa saja memberikan pertimbangan, masukan, tapi bukan vonis dan perintah, ketika melihat konflik rumahtangga anaknya. Hendaknya orang tua, jangan mengganggu independensi rumah tangga anaknya dalam mengambil keputusan.

📌Pertanyaan kedua. Berbuat baik kepada siapa pun adalah kewajiban, apalagi orang tua sendiri. Walau seorang anak sudah menjadi suami/istri seseorang. Berbakti kepada orang tua tidak pernah putus. Maka, ketika orang tua sudah tidak produktif, bantulah kehidupan mereka karena itu bagian dari birrul walidain (berbakti kepada orang tua). Namun, sebaiknya diskusi dengan suami, minta izinnya, sebagaimana yang dilakukan oleh istri Nabi ﷺ ketika akan membawa hadiah untuk orangtuanya, dia minta izin dahulu ke nabi ﷺ dan nabi ﷺ mengizinkan.   Wallahu A’lam

☘🌻🌺🌴🍃🌷🌾🌸

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top