Mendulang Faidah Dari Surat Al Fatihah (Bag. 1)

💦💥💦💥💦💥

📕 Makna Al Fatihah

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

يقال لها: الفاتحة، أي فاتحة الكتاب خطا، وبها تفتح  القراءة في الصلاة

Disebut Al Fatihah yaitu sebagai pembuka Al Quran secara khath (tulisan), dan dengannya bacaan dalam shalat dimulai. 1]

📗 Nama lain surat Al Fatihah

1⃣ Ummul Kitab dan Ummul Quran

ويقال لها أيضا: أم الكتاب عند الجمهور، وكره أنس، والحسن وابن سيرين كرها تسميتها بذلك، قال الحسن وابن سيرين: إنما ذلك اللوح المحفوظ، وقال الحسن :الآيات المحكمات :هن أم الكتاب، ولذا كرها  -أيضا -أن يقال لها أم القرآن وقد ثبت في[الحديث]   الصحيح عند الترمذي وصححه عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” الحمد لله أم القرآن وأم الكتاب والسبع المثاني والقرآن العظيم “

Dinamakan juga: Ummul Kitab menurut jumhur (mayoritas) ulama. Tetapi Anas, Al Hasan, dan Ibnu Sirin memakruhkan menamakan Al Fatihah dengan itu. Al Hasan dan Ibnu Sirin berkata: Ummul kitab itu adalah Al Lauh Al Mahfuzh. Al Hasan berkata: Ayat-ayat muhkamat itulah Ummul Kitab. Oleh karenanya dimakruhkan pula menamakannya dengan Ummul Quran. Namun, telah shahih dalam hadits At Tirmidzi, dari Abu Hurairah katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Alhamdulillah adalah Ummul Quran dan Ummul Kitab dan tujuh ayat yang berulang-ulang, serta Al Quran yang mulia.” 2]

2⃣ Al Hamdu, karena diawali kalimat Al Hamdulillah.

3⃣ Ash Shalah (shalat), disebutkan dalam hadits qudsi:

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ فَنِصْفُهَا لِي وَنِصْفُهَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Allah Ta’ala berfirman: “Aku membagi Ash Shalah antara diriKu dan hambaKu setengah-setengah. Setengah untukKu dan sebagian lain untuk hambaKu, dan bagi hambaKu akan mendapatkan apa yang dia minta…. 3]

4⃣ Asy Syifa (Obat), disebutkan dalam hadits:

فاتحة الكتاب شفاء من كل سم

Fatihatul Kitab adalah obat dari setiap racun/penyakit. 4]

5⃣  Ar Ruqyah (jampi)

Dari Abu Said Al Khudri, Nabi bertanya; (min aina ‘alimtum annaha ruqyah?) “Dari mana kamu tahu bahwa dia ruqyah?” 5]

Dalam riwayat Al Bukhari: (Wa maa yudrika annaha ruqyah?)“Apakah kamu tidak tahu bahwa dia ruqyah?” 6]

Dalam riwayat Al Bukhari lainnya: (Wa maa yudrihi annaha ruqyah?) “Apakah dia tidak tahu bahwa itu ruqyah?”. 7]

6⃣ Asasul Quran (Dasarnya Al Quran)

وروى الشعبي عن ابن عباس أنه سماها: أساس القرآن، قال: فأساسها  بسم الله الرحمن الرحيم

Asy Sya’bi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Beliau menamakn Al Fatihah: Asasul Quran, dia berkata asasnya Al Fatihah adalah bismillahirrahmanirrahim. 8]

7⃣ Al Waaqiyah (pelindung), Imam Sufyan bin ‘Uyainah menamakannya dengan Al Waaqiyah

8⃣ Al Kaafiyah (yang mencukupi), ini dinamakan oleh Yahya bin Abi Kastir.

لأنها تكفي عما عداها ولا يكفي ما سواها عنها، كما جاء في بعض الأحاديث المرسلة: ” أم القرآن عوض من غيرها، وليس غيرها عوضا عنها

Karena Al Fatihah dapat mencukupi apa-apa yang tidak dipenuhi oleh selainnya, adapun selainnya tidak bisa memenuhi apa-apa yang bisa dicukupinya. Sebagaimana  tertera dalam sebagian hadits mursal: “Ummul Quran adalah penebus bagi selainnya, sedangkan selainnya tidaklah bisa menebus baginya.” 9]

9⃣  Al Kanzu (Kekayaan), ini dinamakan oleh Az Zamakhsyari. 10]

(Bersambung …)

🍃🌴🌻🌺☘🌷🌾🍀🌿

✏ Farid Nu’man Hasan


🍃🌾🍃🌾🍃🌾🍃🌾

[1] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/101. Cet. 2, 1999H-1420M. Daruth Thayyibah
[2] Ibid
[3] HR. Muslim No. 395, Abu Daud No. 3121, Ibnu Majah No. 1448, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No.  10193
[4] HR. At Tirmidzi No. 2878, Al Hakim, Al Mustaarak, 2/259, Ad Darimi No. 337, Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 2277. Status: Dhaif, Lihat Dhaiful Jami’ No. 3951
[5] HR. Abu Daud No. 3418, 3900. Hadits ini shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3418, 3900
[6] HR. Bukhari 2156, At Tirmidzi No. 2064, Ahmad No. 10985
[7] HR. Bukhari No. 4721
[8] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/101
[9] Ibid
[10] Semua ini ada pada Tafsir Ibnu Katsir, Muqadimah tafsir surat Al Fatihah

 

Mencela ISRAEL= Mencela Nabi Ya’qub ‘Alahissalam?

Oleh: Farid Nu’man Hasan

Mukadimah

Ketika sedang panasnya kondisi timur tengah, akibat penyerangan negeri zionis Yahudi menyerang Gaza, dunia internasional mengutuk negara tersebut.Tentunya juga kaum muslimin, dan mereka lebih berhak untuk mengutuknya. Namun, ditengah panasnya kondisi saat itu, timbul pernyataan yang nampaknya melawan arus yang datangnya dari dalam tubuh umat Islam sendiri, mereka mengecam orang-orang yang ‘mengecam’ Israel, dengan alasan Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub, maka mengecam Israel sama juga, paling tidak seolah-olah mengecam Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam. Ini, bukan hanya sekali mereka seperti itu. Mulai dari penentangan terhadap boikot produk Israel dan Amerika. Mengecam aksi istisyhadiyah para mujahidin Palestina. Menjelek-jelekkan HAMAS, dan sekarang, mereka menentang dunia Islam  yang sedang mengecam ‘Israel’, karena Israel adalah Nabi Ya’qub ..!

Benarkah anggapan mereka ini?

Istilah ‘Israel’ Dahulu dan Sekarang

Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam adalah BENAR. Hal ini telah disepakati oleh para Imam kaum muslimin dari zaman ke zaman.

Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya:

{ ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا } [الإسراء: 3] فإسرائيل هو يعقوب عليه السلام، بدليل ما رواه أبو داود الطيالسي: حدثنا عبد الحميد بن بهرام، عن شهر بن حَوشب، قال: حدثني عبد الله بن عباس قال: حضرت عصابة من اليهود نبي الله صلى الله عليه وسلم فقال لهم: “هل تعلمون أن إسرائيل يعقوب؟”. قالوا: اللهم نعم. فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “اللهم اشهد

Allah Ta’ala berfirman: (yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (QS. Al Isra’ (17): 3). Maka, Israil, dia adalah Ya’qub ‘Alaihissalam. Dalilnya adalah telah diriwayatkan oleh Abu Daud Ath Thayalisi: telah berkata kepada kami Abdul Hamid bin Bahram dari Syahr bin Hausyab dia berkata: telah berkata kepadaku Abdullah bin Abbas dia berkata: “Sekelompok Yahudi telah hadir dihadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Maka Nabi bertanya kepada mereka: “APakah kalian tahu bahwa Israil itu adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya Allah, benar!” lalu Nabi bersabda: “Ya Allah Saksikanlah!” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/241)

Inilah fakta sejarah yang tidak bisa diingkari oleh siapa pun. Namun, kita juga melihat ada fakta sejarah di zaman modern, dan ini pun tidak bisa diingkari oleh siapa pun juga, bahwa ada sebuah Negara yang bernama ISRAEL sejak awal berdirinya, terlepas dari apa dibalik motivasi mereka menggunakan nama itu.

Hal ini sama halnya dengan dua orang yang berbeda tetapi memiliki nama yang sama. Misal,   adanya fakta sejarah bahwa  dahulu ada seorang nabi mulia dan menjadi penghulu para Nabi, dan dia dijuluki Al Amin. Belakangan, di zaman modern ada seorang koruptor bernama Al Amin juga,  sehingga  manusia saat ini menyebutnya: Al Amin sang koruptor!! Nah, siapakah Al Amin yang dimaksud oleh mereka ini? Apakah ini adalah Al Amin julukan Nabi mulia tersebut? Tentu bukan …., Al Amin di sini sesuai konteks dan maksud mereka adalah Al Amin yang telah melakukan kejahatan korupsi. Hal ini, sama sekali tidaklah salah menurut syariat.

Faktanya pula, para ulama hadits sering melakukan celaan kepada sebagian perawi hadits seperti sebutan Al Kadzdzab (pendusta), matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar) dan lainnya, …. Yang bisa jadi diantara nama perawi tersebut kebetulan sama dengan nama para nabi. Nah, apakah ini dengan mudahnya disimpulkan bahwa para ahli hadits telah mencela para nabi? Tentu tidak, bahkan menyimpulkan seperti  itu menunjukkan betapa kurang cerdasnya kita. Sebab yang mereka cela adalah para perusak hadits, yang -qadarallah- nama mereka sama dengan nama para nabi.

Selain itu, para ulama sering menggunakan istilah Israiliyat  untuk riwayat-riwayat yang dianggap berasal atau pengaruh dari ajaran Yahudi yang menyusup ke dalam kitab-kitab para ulama Islam. Mereka tidak menyebut riwayat Yahudiyat. Namun demikian, istilah Israiliyat ini oleh para ulama tidak ada yang mengartikan kisah yang berasal dari Nabi Ya’qub.

Oleh karena itu, ketika banyak manusia mencela Negara Israel lantaran kekejaman mereka terhadap umat Islam, dengan berbagai kecaman dan kalimat seperti, misal: Israel the Real Terorist, Go To Hell Israel,  dan lainnya. Hal ini tidak bisa disalahkan, sebab yang mereka maksud dari ucapan ini, -dan ini pun telah maklum dan masyhur- bahwa Israel ini adalah Nama Negara yang didirikan oleh Yahudi. Tak terpikir oleh mereka, juga oleh orang yang mendengarkannya, ketika mengucapkan kalimat itu adalah untuk mencela Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam. Amatlah  simplistis  menyalahkan hal tersebut, hanya karena nama Israel –dahulu- adalah nama seorang Rasul yang mulia Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam.

Menilai Sesuatu Tergantung Maksud dari Sesuatu Tersebut

Sesungguhnya para ahli ushul telah membuat kaidah agung, yang dijadikan salah satu variable untuk menentukan dan memutuskan bahwa satu perbuatan itu halal atau haram, benar atau salah. Imam Tajjuddin As Subki, dalam kitab Al Asybah wan Nazhair telah menulis kaidah yang kelima:

الأمور بمقاصدها

“Perkara dinilai tergantung maksud-maksudnya.” (Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Beliau –Rahimahullah- menyebutkan bahwa kaidah ini  didasari hadits nabi yang sangat masyhur yakni:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى

“Sesungguhnya, amal perbuatan tergantung niatnya, setiap orang akan mendapat balasan sesuai sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari No. 1 dan Muslim No. 1907)

Hadits ini terdapat pelajaran yang penting bagi kita untuk menentukan nilai sebuah perbuatan. Jika ada seorang memotong ayam dengan tujuan memberikan makan kepada anak dan istri, sebagai bukti tanggungjawab seorang suami maka ini adalah perbuatan yang bisa dinilai ibadah. DI tempat lain, ada orang   yang memotong ayam dengan maksud untuk sesajen maka ini adalah syirik. Dua orang ini melakukan perbuatan yang sama, namun bernilai beda menurut syariat, lantaran niat dan maksudnya yang berbeda pula. Oleh karena itu, ketika ada orang mencela ISRAEL, dengan maksud adalah nama sebuah Negara penjajah nan kejam, bukan dimaksud nama seorang nabi, maka dia akan dinilai sesuai maksudnya itu.

Kata Innama dalam hadits ini sebagaimana dijelaskan oleh para pensyarah Al Arba’in An Nawawiyah, seperti Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syaikh Ismail Al Anshari, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, adalah berfungsi untuk pembatasan (Lil Hashr). Artinya, “Sesungguhnya amal itu hanyalah tergantung apa yang diniatkannya …” Sehingga, balasan yang diperolehnya terbatas pada apa yang diniatkannya, bukan selainnya.

Niat (An Niyah) –  kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin- adalah Al Qashdu (maksud). (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Hal. 5. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Syaikh Al ‘Allamah Mhammad Ismail Al Anshari berkata:

فمن نوى شيئا لم يحصل له غيره

“Maka, barangsiapa yang berniat sesuatu, maka tidaklah dia mendapatkan selain apa yang diniatkan itu.” (Syaikh Muhamamd Ismail Al Anshari, At Tuhfah Ar Rabbaniyah fi Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hadits No. 1. Maktabah Misyhkah)

Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil hadi As Sindi mengatakan:

أن ليس للفاعل من عمله إلا نيته أي الذي يرجع إليه من العمل نفعاً أو ضراً هي النية

“Bahwa, tidaklah bagi seorang pelaku perbuatan melainkan mendapat balasan sesuai niatnya, yaitu  tempat kembalinya nilai sebuah amal, baik manfaat atau mudharatnya adalah niatnya.” (Hasyiyah As Sindi ‘ala Shahih Al Bukhari, 1/7. Darul Fikr)

Maka, dari itu para ulama menetapkan bahwa seseorang yang sudah berniat untuk batal puasa, walau pun sampai maghrib dia belum makan minum sama sekali, dia dinilai telah batal puasanya, karena faktor niatnya itu sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam Fiqhus Sunnah.

Ketetapan Hukum Dilihat Dari Pengertian Yang Faktual

Inilah yang harus dimengerti dengan baik, agar kita tidak terburu-buru memberikan vonis. Saya akan memberikan beberapa contoh. Kita mengetahui bahwa buah anggur adalah halal dan thayyib. Namun, ketika dia dirubah menjadi khamr, maka kita tidak menilainya ‘dahulu’ ketika masih anggur. Fiqih menilainya menurut apa yang ada saat ini, yakni dia adalah Khamr yakni haram.

Memelihara kucing, kura-kura atau biawak adalah boleh-boleh saja, tetapi ketika hewan-hewan ini disiram air keras, sehingga dia membeku dan berubah menjadi patung, maka hukumnya pun bukan ‘dahulu’ ketika masih menjadi hewan real. Hukumnya adalah hukum patung, karena itulah keadaan mereka saat sekarang, yakni haram memiliki patung makhluk bernyawa di rumah seorang muslim.

Begitu pula dalam hal ini, sejarah klasik menyebutkan bahwa Israel adalah nama lain dari Nabi Ya’qub ‘Alaihissalam, dan sampai saat ini pun kita mengakuinya. Namun, fakta hari ini terbentang begitu jelas, bahwa Israel yang ada saat ini adalah nama dari sebuah Negara yang ditempati oleh bangsa Yahudi. Dan pengertian inilah yang langsung terbetik manusia ketika mendengar kata ISRAEL. Maka, pengertian faktual inilah yang menjadi pertimbangan dan pengikat dalam menilainya. Sehingga, mencela Israel bukanlah berpengertian mencela Nabi Ya’qub, melainkan secara faktual adalah mencela Negara Zionis Yahudi bernama Israel.

Sebaiknya ..

Setelah kita mengetahui, bahwa secara syar’i tidak mengapa menyebut Israel  bagi sebuah Negara jahat dan penjajah itu, karena itulah yang faktual menurut dokumen modern dan yang difahami oleh seluruh manusia. Sebagaimana kita boleh memanggil seorang penjahat yang bernama  Muhammad dengan panggilan ‘Muhammad’ pula , karena memang itulah nama yang sesuai dengan akte, KTP, dan dokumen pribadinya yang dikenal oleh manusia.

Namun, demikian sebaiknya kita perkenalkan kepada masyarakat khususnya umat Islam, bahwa bangsa Zionis Yahudi tidaklah pantas menyandang nama Israel karena perilakunya yang teramat buruk.   Di sisi lain kita memperkenalkan, bahwa Israel adalah nama Nabi yang mulia, Ya’qub ‘Alaihissalam, yang coba untuk dirusak oleh sebuah negara yang mencatut namanya menjadi nama Negara tersebut.

Demikian. Wallahu A’lam

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 2)

💦💥💦💥💦💥💦

📌Masjid Al Aqsha Termasuk Tiga Masjid Yang Paling Dianjurkan Untuk Dikunjungi

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Janganlah bertekad kuat untuk melakukan perjalanan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan Masjidil Aqsha. (HR. Bukhari No. 1132, 1139, Muslim No. 1338, Ibnu Majah No. 1409, 1410, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 19920)

Maksudnya adalah berkunjung untuk berniat shalat, janganlah terlalu bertekad kecuali ke tiga masjid ini. Ada pun sekedar, kunjungan biasa, silaturrahim, maka tentu tidak mengapa mengunjungi selain tiga masjid ini; seperti mengunjungi orang shalih, silaturrahim ke rumah saudara dan family, ziarah kubur, mengunjungi ulama, mendatangi majelis ilmu, berdagang, dan perjalanan kebaikan lainnya. Semua ini perjalanan kebaikan yang dibolehkan bahkan dianjurkan.

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

أن النهي مخصوص بمن نذر على نفسه الصلاة في مسجد من سائر المساجد غير الثلاثة فإنه لا يجب الوفاء به قاله ابن بطال

“Bahwa larangan dikhususkan bagi orang yang bernazar  atas dirinya untuk shalat di masjid selain tiga masjid ini, maka tidak wajib memenuhi nazar tersebut, sebagaimana dikatakan Ibnu Baththal.” (Fathul Bari, 3/65)

Imam Al Khathabi Rahimahullah mengatakan:

وأنه لا تشد الرحال إلى مسجد من المساجد للصلاة فيه غير هذه الثلاثة؛ وأما قصد غير المساجد لزيارة صالح أو قريب أو صاحب أو طلب علم أو تجارة أو نزهة فلا يدخل في النهي، ويؤيده ما روى أحمد من طريق شهر بن حوشب قال: سمعت أبا سعيد وذكرت عنده الصلاة في الطور فقال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا ينبغي للمصلي أن يشد رحاله إلى مسجد تبتغى فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي”

“Bahwa sesungguhnya janganlah bertekad kuat mengadakan perjalanan menuju masjid untuk shalat di dalamnya selain tiga masjid ini. Ada pun bermaksud selain masjid-masjid ini untuk berziarah kepada orang shalih, kerabat, sahabat, menuntut ilmu, berdagang, atau berwisata, maka tidaklah termasuk dalam larangan. Hal yang menguatkan ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari jalan Syahr bin Hausyab, dia berkata: aku mendengar Abu Said, dan aku menyebutkan padanya tentang shalat di Ath thur, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Hendaknya janganlah orang yang shalat itu bersungguh-sungguh mengadakan perjalanan untuk shalat menuju masjid  selain Masjidil Haram, Masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid nabawi). (Ibid)

Bersambung ….

🍃🌾🌸🌻🌴🌺☘🌷

✏ Farid Nu’man Hasan

Serial Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 1)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 2)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 3)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 4)

Sejarah dan Keutamaan Al Aqsha Serta Kewajiban Melindunginya (Bag. 5)

Shalat Di Kubur dan di Masjid Yang Halamannya Ada Kuburnya

💥💦💥💦💥💦

📨 PERTANYAAN:

Ustadz .. Ada yang lagi ribut-ribut shalat menghadap kubur tuh, emangnya gimana sebenarnya?

📬 JAWABAN

Bismillah wal Hamdulillah ..

Langsung aja ya ..

🌸 Jika Shalat Langsung Menghadap Kubur

▪ Imam An Nawawi Rahimahullah :

( فرع ) في مذاهب العلماء في الصلاة في المقبرة :
– قد ذكرنا مذهبنا فيها , وأنها ثلاثة أقسام , قال ابن المنذر روينا عن علي وابن عباس وابن عمر وعطاء والنخعي أنهم كرهوا الصلاة في المقبرة
– ولم يكرها أبو هريرة وواثلة بن الأسقع والحسن البصري
– وعن مالك روايتان أشهرهما لا يكره ما لم يعلم نجاستها
– وقال أحمد: الصلاة فيها حرام , وفي صحتها روايتان وإن تحقق طهارتها
– ونقل صاحب الحاوي عن داود أنه قال : تصح الصلاة وإن تحقق نبشها)اه

Pandangan beragam pendapat ulama tentang shalat di kubur: Kami telah menyebutkan madzhab kami (Syafi’iyah)  adanya tiga pendapat.

– Berkata Ibnul Mundzir, kami meriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atha’, An Nakha’iy, bahwa mereka memakruhkan shalat di kubur.

– Tapi Abu Hurairah, Watsilah bin Al Asqa’, dan Hasan Al Bashri tidak memakruhkan.

– Sedangkan Imam Malik ada dua riwayat darinya, yang paling tenar adalah tidak makruh selama tidak diketahui adanya najis

– Imam Ahmad mengatakan haram shalat di kubur, ada pun tentang sahnya, selama terpenuhi kesuciannya (maka sah).

– Pengarang Al Hawi meriwayatkan dari Daud (Azh Zhahiri) bahwa shalatnya sah jika dilakukan pembongkaran.(Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab,  3/166)

Masih Imam An Nawawi Rahimahullah:

اتفقت نصوص الشافعي والأصحاب على كراهة بناء مسجد على القبر سواء كان الميت مشهورا بالصلاح أو غيره , لعموم الأحاديث
قال الشافعي والأصحاب : وتكره الصلاة إلى القبور , سواء كان الميت صالحا أو غيره قال الحافظ أبو موسى : قال الإمام أبو الحسن الزعفراني رحمه الله : ولا يصلى إلى قبره , ولا عنده تبركا به وإعظاما له للأحاديث والله أعلم

Telah terjadi kesamaan kata antara Imam Asy Syafi’i dan para sahabatnya, tentang makruhnya membangun masjid di atas kubur baik kubur orang shalih atau bukan sama saja berdasarkan keumuman haditsnya.

Imam Asy Syafi’i dan para sahabatnya mengatakan: makruh shalat menghadap kubur, baik kubur orang shalih atau selainnya sama saja.

Berkata Al Hafizh Abu Musa: berkata Imam Abul Hasan Az Za’faraniy:  “Janganlah shalat menghadapnya atau shalat di sisinya, baik karena mencari berkah atau memuliakannya, berdasarkan hadits-hadits  yang melarangnya. Wallahu A’lam. (Ibid,  5/280)

▪Imam Al Malibari Rahimahullah menjelaskan tentang syarat sahnya nadzar:

في شروط صحة النذر : ( وخرج بالقربة المعصية كصوم أيام التشريق وصلاة لا سبب لها في وقت مكروه فلا ينعقدان, وكالمعصية المكروه كالصلاة عند القبر والنذر لأحد أبويه أو أولاده فقط )

Telah keluar dari batas qurbah (aktifitas ibadah) dengan melakukan maksiat seperti berpuasa di hari tasyriq, shalat tanpa sebab di waktu waktu makruh, maka janganlah keduanya dilakukan, dan juga seperti maksiat yang makruh seperti shalat di sisi kubur, atau bernadzar kepada salah satu orang tuanya atau salah satu anak-anaknya saja. (Fathul Mu’in, 2/360)

▪Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah:

( قوله: (وما يكره من الصلاة في القبور) يتناول ما إذا وقعت الصلاة على القبر أو إلى القبر أو بين القبرين وفي ذلك حديث رواه مسلم من طريق أبي مرثد الغنوي مرفوعا: (لا تجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها أو عليها) قلت: وليس هو على شرط البخاري فأشار إليه في الترجمة وأورد معه اثر عمر الدال على أن النهي عن ذلك لا يقتضي فساد الصلاة

Perkataannya “Apa-apa yang dimakruhkan berupa shalat di kubur”, hal ini meliputi jika shalat di atas kubur atau menghadap kubur atau di antara dua kubur.

Dalam hal ini terdapat hadits Shahih Muslim, dari Abu Martsad Al Ghanawi secara marfu’ secara marfu’: “Janganlah duduk di atas kubur dan janganlah shalat menghadapnya atau di atasnya.”

Aku (Ibnu Hajar) berkata: “Hadits ini bukanlah atas standarnya Imam Al Bukhari, hal itu diisyaratkan pada biografinya.” Bersama itu juga terdapat atsar dari Umar yang menunjukkan bahwa hal Itu tidak berdampak pada rusaknya (batal) shalatnya. (Fathul Bari, 1/524)

Al Hafizh Ibnu Hajar juga berkata:

استنبط من قوله في الحديث ولا تتخذوها قبورا أن القبور

ليست بمحل للعبادة فتكون الصلاة فيها مكروهة…
قال ابن التين: تأوله البخاري على كراهة الصلاة في المقابر وتأوله جماعة على أنه إنما فيه الندب إلى الصلاة في البيوت إذ الموتى لا يصلون كأنه قال لا تكونوا كالموتى الذين لا يصلون في بيوتهم وهي القبور, قال: فأما جواز الصلاة في المقابر أو المنع منه فليس في الحديث ما يؤخذ منه ذلك

Telah ditetapkan dari sabdanya pada hadits: “Janganlah jadikan kubur sebagai masjid”, bahwasanya kuburan bukanlah tempat untuk ibadah. Maka, shalat di kuburan itu makruh.

Ibnu At Tin berkata: “Al Bukhari memaknai bahwa makruhnya shalat di kubur.” Ada segolongan ulama memaknai hadits ini sebagai anjuran untuk shalat di rumah, sebab mayit itu tidak shalat di kuburnya, seolah dia mengatakan: “Janganlah kamu seperti mayit yang tidak shalat di rumahnya yaitu kuburnya.” Ada pun pembolehan shalat di kubur dan juga larangannya, maka hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil. (Ibid, 1/529)

Dengan kata lain, dari penjelasan akhir Imam Ibnu Hajar, hadits tersebut bukan dasar untuk membolehkan dan mengharamkannya. Menurut Al Hafizh Ibnu Hajar yang benar adalah makruh.

Jadi, umumnya ulama mengatakan SAH shalat dikubur, tapi umumnya me-MAKRUHkan, sebagian membolehkan dan sebagian mengharamkan.

🌸 Shalat di Masjid Yang Ada Kuburnya

Tidak apa-apa alias boleh shalat di masjid yang dihalamannya terdapat kubur, baik samping atau depannya, selama ada dinding yang membatasinya sehingga kubur tersebut sudah keluar dari area tempat shalat.

▪ Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:

وذكر الآمدي وغيره : أنه لا تجوز الصلاة فيه – أي : المسجد الذي قبلته إلى القبر – حتى يكون بين الحائط وبين المقبرة حائل آخر ، وذكر بعضهم هذا منصوص أحمد

Al Amidiy dan lainnya menyebutkan: tidak boleh shalat di dalamnya -yaitu di masjid yang kiblatnya menghadap kubur- sampai di antara kubur itu dan tembok  masjid ada tembok lainnya. Mereka menyebutkan bahwa ini perkataan Imam Ahmad. (Al Mustadrak ‘alal Majmu’ Al Fatawa, 3/75)

▪ Syaikh Muhammad bin Abdul Lathif bin Abdurrahman dan Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata:

إذا جُعل بين القبر وبين المسجد جدار يرفع يُخرج القبر عن مسمى المسجد : فلا تكره الصلاة فيه
انتهى

Jika dibuatkan dinding yang tinggi  antara kubur dan masjid, yang membuat kubur keluar dari area masjid maka tidak makruh shalat di dalamnya. (Selesai)

▪ Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah berkata:

إذا صلَّى الإنسان في مسجد أمامه مقبرة : فإن كان هناك فاصل شارع – مثلاً – أو جدار تام بحيث يكون المصلون لا يشاهدون المقبرة : فلا بأس بذلك ، أما إذا كان قريباً يلي المسجد مباشرة ، وليس فيه جدار ، أو فيه جدار قصير بحيث يشاهد المصلون هذه القبور : فإنه لا يجوز ؛ لأن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم قال ( لا تصلوا إلى القبور ولا تجلسوا عليها ) – رواه مسلم –

Jika manusia shalat di masjid yang di depannya ada kuburan: jika di situ ada pemisah berupa jalanan misalnya atau dinding yang sempurna yang membuat jamaah shalat tidak melihat kuburan maka itu tidak apa-apa. Ada pun jika berdekatan langsung, tanpa adanya dinding pemisah atau dindingnya pendek, sehingga jamaah shalat dapat melihat kuburan tersebut maka tidak boleh. Sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah shalat kepada kuburan dan jangan duduk di atasnya.” (HR. Muslim). (Liqa Bab Al Maftuh,  1/137)

Jadi, jika ada tembok pemisah antara kubur itu dan masjid sehingga tidak tampak dari pandangan mata jamaah shalat, atau terpisah oleh jalan, maka boleh dan sah.

Demikian. Wallahu A’lam

🌴🍄🌷🌱🌸🍃🌾🌵

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top