Hukum Membayar Zakat dan Silaturahim Online

Hukum membayar zakat online itu sah. Sedangkan silaturahim online juga tidak ada masalah. Simak penjelasannya pada tanya jawab berikut!


 PERTANYAAN:

Assalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh

usradz, bagaimana hukum membayar zakat dan silaturahim/ziarah secara online? Karena yang saya tahu, membayar zakat, khususnya zakat fitrah perlu ijab kabul, dan silaturahim diperlukan tatap muka serta bersalaman secara langsung.

Namun dikondisi seperti sekarang ini sepertinya kedua hal tersebut dihimbau untuk tidak dilakukan.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hukum Membayar Zakat Online

Zakat jika bayarnya langsung ke mustahiq, dimakruhkan menyebut INI ZAKAT, menurut mayoritas ulama.

Apa artinya? Pasti ijab qabul terjadi tanpa dilafazkan, sebab kalo ada lafaz ijab qabul pasti akan ketahuan kalau itu zakat. Paham ya?

Dari sinilah bahwa zakat itu sama seperti hadiah, atau sedekah lainnya, yaitu ijab qabul itu sunnah. Karena itu interaksi monolog. Beda dengan jual beli, dua belah pihak yang timbal balik.

Sehingga membayar zakat lewat transfer (online) itu sah.

Imam as Suyuthi mengatakan:

فالصحيح أنه لا يشترط فيها الإيجاب والقبول لفظا، بل يكفي البعث من المهدي والقبض من المهدى إليه، ومنه الصدقة قال الرافعي: وهي كالهدية، بلا فرق

Maka, yang shahih tidak disyaratkan ijab qabul secara lafaz, tapi cukup dengan si pemberi mengirim dan diterima oleh yang menerimanya. Ar Rafi’i berkata: “Ini sama seperti memberikan hadiah, tidak ada bedanya”.

(Imam as Suyuthi, al Asy ah wa an Nazhair, 1/467)

Mendoakan pun sunnah. Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

ومذهبنا المشهور ومذهب العلماء كافة أن الدعاء لدافع الزكاة سنة مستحبة ليس بواجب

Madzhab kami yang masyhur, dan madzhab para ulama semuanya, bahwa doa bagi yang bayar zakat adalah Sunnah, bukan wajib.

(Syarh Shahih Muslim, 7/185)

Baca juga: Hukum Bayar Zakat ke Daerah Lain

Hukum Silaturahim Online

Ada pun silaturahim, itu bukanlah bermakna kunjungan. Kunjungan itu ziarah. Silaturahim itu adalah menyambung hubungan yang terputus yaitu kepada kerabat dekat.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ الوَاصِلُ بِالمُكَافِىء ، وَلكِنَّ الوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

Bukanlah bermakna “silaturrahim” bagi orang yang membalas kunjungan, tetapi silaturrahim itu adalah jika ada orang yang terputus tali silaturrahimnya maka dialah orang yang menghubungkannya.

(HR. Bukhari No. 5991)

Bersilaturrahim (menyambung hubungan), banyak sarananya: bisa dengan kunjungan, kirim salam, saling memberikan hadiah, telpon, WA, video call..

Sayangnya di Indonesia istilah silaturahim menyempit hanya kunjungan. Seolah di luar itu bukan silaturahim.

Demikian. Wallahu A’lam

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Semua Anggota Sujud Tidak Boleh Terhalang?

 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ustadz, apakah semua anggota sujud itu tidak boleh terhalang sesuatu? Misalnya kedua telapak tangan, saat sujud terhalang mukena atau tidak langsung nempel ke tempat sujud, apakah sah ustadz?


 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah..

Ada 7 anggota tubuh yang mesti memyentuh tanah (walau tanah itu sudah dilapisi tegel, keramik, dan karpet, sajadah, tidak masalah)..

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Aku diperintahkan sujud di atas tujuh tulang: di atas jidat, dan beliau mengisyaratkan dengan tangan kanan beliau ke hidung, dua tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua telapak kaki.” (HR. Bukhari no. 812)

Baca juga: [Tata Cara Shalat] Sujud

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:

وَنَقَلَ اِبْن الْمُنْذِرِ إِجْمَاع الصَّحَابَة عَلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئ السُّجُود عَلَى الْأَنْف وَحْده ، وَذَهَبَ الْجُمْهُور إِلَى أَنَّهُ يُجْزِئُ عَلَى الْجَبْهَة وَحْدهَا ، وَعَنْ الْأَوْزَاعِيِّ وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَابْن حَبِيب مِنْ الْمَالِكِيَّة وَغَيْرهمْ يَجِب أَنْ يَجْمَعهُمَا وَهُوَ قَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ أَيْضًا

“Dikutip dari Ibnul Mundzir adanya ijma’ (kesepakatan) sahabat nabi bahwa menempelkan hidung saja tidaklah cukup ketika sujud. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa menempelkan jidat saja sudah cukup. Sedangkan dari Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, Ibnu Habib dari kalangan Malikiyah dan selain mereka mewajibkan menggabungkan antara jidat dan hidung. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.” (Fathul Bari, 3/204)

Anggota Sujud Terhalang

Ada pun bila anggota sujud terhalang oleh pakaian yang kita pakai sendiri, seperti:

– jidat terhalang peci
– tangan terhalang mukena atau sorban
– hidung terhalang masker

Para ulama berbeda pendapat antara yang mengatakan BATAL shalatnya seperti ulama Syafi’iyyah dan SAH tapi makruh dari ulama lainnya. Ada pun masker tidak makruh jika Ada hajat, dan sudah pernah dibahas.

Wallahu A’lam

☘

✍ Farid Nu’man Hasan

Keguguran Seperti Apa yang Dihitung Nifas?

Pertanyaan

Mau tanya klu keguguran baru 6 minggu apakah tetap sholat atau sudah nifas ya ust? (+62 813-6567-xxxx)


Jawaban

Bismillahirrahmanirrahim..

Keguguran yang Dihitung Nifas

Jika keguguran saat usia kandungan baru 6 pekan maka belum nifas karena bayi belum berbentuk sempurna. Dalam hadits, usia kandungan seperti itu baru menjadi ‘alaqah (segumpal darah).

Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyebutkan:

وَإِنْ أَلْقَتْ نُطْفَةً أَوْ عَلَقَةً، فَلَا نِفَاسَ لَهَا؛ لِأَنَّهُ لَا يُسَمَّى وَلَدًا، وَلَا يُخْلَقُ مِنْهُ، فَأَشْبَهَ الدَّمَ الْخَارِجَ مِنْ غَيْرِ حَمْلٍ

Jika seorang wanita menggugurkan (janin dalam bentuk) nutfah (zigot) atau ‘alaqah (segumpal darah), maka tidak ada hukum nifas baginya. Sebab, itu belum bisa disebut sebagai anak dan belum berbentuk manusia. Maka hukumnya seperti darah yang keluar bukan karena kehamilan. (Al-Mughni, 1/358)

Imam Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah-nya, disebutkan:

وَلَا يَكُونُ الدَّمُ نِفَاسًا إِلَّا إِذَا كَانَ الْوَلَدُ مُخَلَّقًا، وَهُوَ أَنْ يَتَبَيَّنَ بَعْضُ أَعْضَائِهِ

Darah yang keluar tidak dianggap sebagai nifas kecuali jika janin yang keluar sudah berbentuk (mukhallaq), yaitu sudah tampak sebagian anggota tubuhnya. (Raddul Muhtar, 1/293)

Dalam Al-Majmu’, Imam An-Nawawi berkata:

إِنْ أَلْقَتْ مَا لَا يُشْبِهُ الْخَلْقَ فَلَيْسَ بِنِفَاسٍ، وَإِنْ أَلْقَتْ مَا فِيهِ خَلْقُ آدَمِيٍّ كَانَ نِفَاسًا

Jika wanita menggugurkan sesuatu yang belum berbentuk manusia, maka itu bukan nifas. Tetapi jika ia menggugurkan sesuatu yang sudah memiliki bentuk manusia, maka itu dihukumi sebagai nifas. (Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/541)

Baca juga: Penjelasan Tentang Nifas

Kesimpulan Masalah Keguguran dan Nifas

– Jika janin belum berbentuk manusia (masih berupa darah atau daging tanpa bentuk yang jelas), maka darah yang keluar bukan nifas, melainkan istihadhah atau haid jika bertepatan dengan jadwal haid.

– Jika janin sudah berbentuk manusia (sudah terlihat anggota tubuh seperti tangan, kaki, atau kepala), maka darahnya dihukumi nifas.

Umumnya, ulama menetapkan 80-90 hari kehamilan sebagai waktu kemungkinan terbentuknya janin berdasarkan hadits tentang proses penciptaan manusia dalam rahim (HR. Muslim).

Demikian. Wallahu A’lam

Baca juga: Aborsi (Menggugurkan Kandungan Secara Sengaja)

✍Farid Nu’man Hasan

Siapakah Ahli Bid’ah di Masa Salaf?

Ahli bid’ah sudah ada di masa salaf. Tetapi para ulama tidak memvonis suatu pihak ahli bid’ah hanya karena perbedaan fiqih, tetapi karena ada penyimpangan dalam masalah aqidah. Simak penjelasannya pada tanya jawab di bawah!


Pertanyaan

Assalamualaikum ustadz, izin bertanya sebenarnya pada masa salaf siapa yg di juluki sebagai ahli bid’ah, apakah benar ulama salaf itu mereka ada yg menuduh bidah terhadap ulama lain yang berbeda amalan?

Jazakallahu khairan


Jawaban

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Ahli Bid’ah di Masa Salaf

Di masa salaf, jika disebut Ahlul bid’ah wal Hawa adalah firqah-firqah sesat seperti Khawarij, Murjiah, Syiah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah…

Ada pun perbedaan pendapat dalam masalah fiqihm tidak ada yang menyebut ahli bid’ah. Sebagaimana penjelasan para imam salaf:

Baca juga: Berbeda Fiqih Bukan Berarti Ahli Bid’ah

Imam Yahya bin Sa’id Al Qaththan Rahimahullah berkata:

ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه

Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.

(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

Syaikh Umar bin Abdullah Kamil berkata:

لقد كان الخلاف موجودا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار: أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم. ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم

“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau tuduhan terhadap pemahaman agama mereka lantaran perselisihan mereka itu.”

(Syaikh Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam)

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

scroll to top