Hukum Non Muslim Memandikan Jenazah Muslim

▪▫▪▫▪▫▪▫

 PERTANYAAN

Assalamualaikum…
Afwan ustad …ijin bertanya

Ini masalah penyelenggaraan jenazah,
Ada tetangga meninggal dia muslim tapi anak nya non muslim apakah anaknya itu boleh ikut memandikan.

 JAWABAN

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullah..

Dalam hal ini tersebut diperselisihkan ulama..

Dalam Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah menulis bab:

وَلَا يَصِحُّ غُسْلُ الْكَافِرِ لِلْمُسْلِمِ؛ لِأَنَّهُ عِبَادَةٌ، وَلَيْسَ الْكَافِرُ مِنْ أَهْلِهَا

Tidak sah orang kafir memandikan mayit Muslim, karena itu ibadah, dan orang kafir tidak berhak.

Jadi, tidak sah menurut Imam Ahmad sebab kafir itu najis dan tidak bisa mensucikan mayit tesebut. Memandikan mayit itu ibadah dan ibadah tidak sah bagi orang kafir. (Al Mughni, 2/393)

Namun Makhul dan Sufyan ats Tsauri membolehkan JIKA tidak ada pilihan lain. Dahulu istrinya AlQamah dimandikan wanita Nasrani. (Ibid)

Ada pun jika hanya “nonton saja”, seorang anak menyaksikan ayahnya yang Muslim dimandikan, ini tidak apa-apa, dia menyediakan air saja. Tidak masalah. Sebab, itu tidak masuk makna memandikan.

Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

Memeluk Agama, Pilihan atau Turun Temurun?

▪▫▪▫▪▫▪▫

PERTANYAAN

Maaf apakah memiliki keyakinan itu adalah pilihan atau turun temurun?
Jikalau pilihan, apakah saya yg keturunan keluarga muslim bisa memilih untuk memilih memiliki keyakinan Kristiani?
Dan bagaimana pendapat bapak?
Terimakasih? (Hesa-Indramayu)

 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Dalam Al Quran dan As Sunnah diterangkan bahwa seluruh manusia terlahir pada awalnya hakikatnya adalah muslim. Di alam ruh -sebelum di alam rahim- telah terjadi ikatan antara manusia dengan Allah ﷻ, bahwa mereka telah mengikrarkan ketuhanan Allah ﷻ:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi (bersyahadat)”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al A’raf (7): 172)

Begitu juga dalam hadits Rasulullah ﷺ:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka bapaknyalah yang membuatnya menjadi  Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari No. 1319. Muslim No. 2658)

Apakah maksud fitrah dalam hadits ini? Dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah (w. 852H):

  وَأَشْهَرُ الْأَقْوَال أَنَّ الْمُرَاد بِالْفِطْرَةِ الْإِسْلَام ، قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ : وَهُوَ الْمَعْرُوف عِنْد عَامَّة السَّلَف . وَأَجْمَعَ أَهْل الْعِلْم بِالتَّأْوِيلِ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِقَوْلِهِ تَعَالَى ( فِطْرَة اللَّه الَّتِي فَطَرَ النَّاس عَلَيْهَا ) الْإِسْلَام

“Pandangan yang paling masyhur bahwasanya maksud dari fitrah adalah Islam. Berkata Ibnu Abdil Bar: ‘Itu sudah dikenal oleh umumnya kaum salaf.’ Para ulama telah ijma’ (sepakat) dengan ta’wil maksud ayat:    “(tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah,” adalah Islam.” (Fathul Bari, 3/248. Darul Fikr)

Oleh karena itu dari awalnya semua manusia hakikatnya adalah muslim, lalu selepas lahirnya di dunia ada yang berubah menjadi Nasrani, Yahudi, Majusi, dan lainnya, yang dibentuk oleh orang tua dan lingkungannya. Maka, ketika ada non muslim masuk Islam maka lebih tepat dikatakan kembali kepada Islam karena fitrahnya manusia dulunya adalah muslim.

Islam agama fitrah-nya manusia, maka perkembangannya tidak bisa dibendung, terus bertumbuh dan berkembang bahkan sudah melebihi dua milyar penduduk bumi hampir menyamai Kristiani walau gabungan Katolik dan Protestan. Diperkirakan tahun 2050-an jumlah umat Islam akan melebihi pemeluk Kristiani.

Islam tidak pernah memaksa manusia untuk kembali lagi kepada Islam karena sudah jelas antara jalan petunjuk dan kesesatan. Tanpa paksaan seharusnya manusia sudah bisa melihat kebenaran.

Allah ﷻ menjelaskan:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang mengingkari thagut (sembahan selain Allah) dan dia beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah: 256)

Karena tidak ada paksaan, maka Allah ﷻ membebaskan kepada hamba-hamba-Nya untuk memilih mukmin atau kafir, dan masing-masing jalan diujungnya ada akibat atau konsekuensi yang logis; ada reward dan punishment.

Allah ﷻ menjelaskan:

وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ

Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barang siapa menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman. Dan barangsiapa menghendaki (kafir), biarlah dia kafir.” (QS. Al Kahfi: 29)

Konsekuensi memilih jalan kafir maka dia mendapatkan punishment sesuai keadilan-Nya, Allah ﷻ menjelaskan:

{ إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ شَرُّ ٱلۡبَرِيَّةِ }

Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk. (QS. Al-Bayyinah: 6)

Konsekuensi memilih jalan iman maka dia mendapatkan reward sesuai kasih sayang-Nya yang maha luas, Allah ﷻ menjelaskan:

{ إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُوْلَٰٓئِكَ هُمۡ خَيۡرُ ٱلۡبَرِيَّةِ }

Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (QS. Al-Bayyinah: 7)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

 Farid Nu’man Hasan

Merenggangkan Gigi dengan Tujuan Memperbagus Bacaan Al Qur’an, Bolehkah?

▪▫▪▫▪▫▪▫

PERTANYAAN

maaf ustadz, jadi gini saya memiliki seorang teman, alhamdulillah allah pilih dia menjadi seorang hafidzoh qur’an, tapi dia memiliki sedikit kekurangan, giginya maju, dan berantakan, yang membuat dia agak susah dalam mengucapkan makhroj huruf, lalu dia memasang behel untuk tujuan memperbagus bacaan qur’annya, tahapannya hampir selesai, tapi ditahapan terakhir gigi nya masih agak maju, ada dua pilihan biarkan seperti itu atau dokter nya menyarankan untuk merenggangkan sedikit di sela sela gigi sebesar 1 mili antara taring ke taring lantas memundurkannya, apakah perbuatan merenggangkan gigi tersebut termasuk perbuatan yang haram ditijau dari alasannya? sekian, terimakasih ustadz. (Asyifa K Z- Pekanbaru)

 JAWABAN

Bismillahirrahmanirrahim..

Merenggangkan gigi adalah hal terlerang jika tujuannya semata-mata kecantikan. Sebagaimana hadits:

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ تَعَالَى

“Allah melaknat wanita pembuat tato dan yang bertato, wanita yang dicukur alis, dan dikikir giginya, dengan tujuan mempercantik diri mereka merubah ciptaan Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 4604, 5587, Muslim no. 2125)

Makna Al Mutafalijat, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafizh sebagai berikut:

والمتفلجات جمع متفلجة وهي التي تطلب الفلج أو تصنعه، والفلج بالفاء واللام والجيم انفراج ما بين الثنيتين والتفلج أن يفرج بين المتلاصقين بالمبرد ونحوه وهو مختص عادة بالثنايا والرباعيات

Al Mutafalijat adalah jamak dari mutafalijah artinya membuat atau menciptakan belahan (pembagian). Al Falju dengan fa, lam, dan jim adalah membuat jarak antara dua hal, At Tafalluj adalah membagi antara dua hal yang berdempetan dengan menggunakan alat kikir dan semisalnya, secara khusus biasanya pada gigi yang double dan bagian depan di antara taring. ” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/372. Darul Fikr)

Hal ini diharamkan. Hanya saja diberi keringanan bagi yang berpenyakit, atau jika mengganggu aktiitas mengunyah dan berbicara.

Berkata Imam Ath Thabari Rahimahullah:

ويستثنى من ذلك ما يحصل به الضرر والأذية كمن يكون لها سن زائدة أو طويلة تعيقها في الأكل

“Dikecualikan dari hal itu, yakni apa-apa yang bisa mendatangkan bahaya dan gangguan seperti wanita yang memiliki gigi yang lebih atau kepanjangan (tonggos) yang dapat menghalanginya ketika makan.” (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/377. Darul Fikr)

Maka, aktifitas memperbaiki gigi seperti menambal, memasang kawat gigi dan gigi palsu, tidaklah termasuk mutafallijah jika tujuannya untuk pengobatan, kesehatan, atau menghilangkan aib.

Hal ini sesuai kaidah:

الأمور بمقاصدها

Permasalahan dinilai sesuai maksudnya. (Imam As Suyuthi, Al Asybah Wan Nazha-ir, kaidah ke 5)

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

سئل الشيخ صالح الفوزان عن تقويم الأسنان فقال : إذا احتيج إلى هذا كأن يكون في الأسنان تشويه واحتيج إلى إصلاحها فهذا لا بأس به ، أما إذا لم يُحتج إلى هذا فهو لا يجوز ، بل جاء النهي عن وشر الأسنان وتفليجها للحسن وجاء الوعيد على ذلك لأن هذا من العبث ومن تغيير خلق الله

أما إذا كان هذا لعلاج مثلاً أو لإزالة تشويه أو لحاجة لذلك كأن لا يتمكن الإنسان من الأكل إلا بإصلاح الأسنان وتعديلها فلا بأس بذلك

أما إزالة الأسنان الزائدة فقال الشيخ ابن جبرين : لا بأس بخلع السن الزائد لأنه يشوه المنظر ويضيق منه الإنسان … ، ولا يجوز التفليج ولا الوشر للنهي عنه

Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang hukum merapikan gigi. Beliau menjawab, “Jika ada kebutuhan untuk ini, seperti adanya cacat pada gigi yang membutuhkan perbaikan, maka hal ini tidak mengapa. Namun, jika tidak ada kebutuhan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Bahkan, terdapat larangan untuk mengikir gigi atau membuat jarak antar gigi demi memperindah penampilan, dan ada ancaman bagi yang melakukannya karena termasuk dalam perbuatan sia-sia dan mengubah ciptaan Allah.

Adapun jika dilakukan untuk tujuan pengobatan, menghilangkan cacat, atau kebutuhan tertentu—seperti seseorang yang kesulitan makan kecuali dengan memperbaiki dan merapikan gigi—maka hal ini diperbolehkan.”

Sedangkan mengenai pencabutan gigi berlebih, Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, “Tidak mengapa mencabut gigi yang berlebih karena merusak penampilan dan dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman. Namun, tidak diperbolehkan membuat jarak atau mengikir gigi karena ada larangan dalam hal ini.” (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 21255)

Demikian. Wallahu A’lam

 Farid Nu’man Hasan

Tidak Menafkahi Istri yang Durhaka

✉️❔PERTANYAAN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Ustadz…. Saya mau bertanya, apakah Seorang wanita/Istri yang Nusyuz wajib diNafkahi?

✒️❕JAWABAN

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة

Istri yang nusyuz (durhaka) menjadi penghalang baginya mendapatkan nafkah.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

والناشز لا نفقة لها، فإن كان لها منه ولد، أعطاها نفقة ولدها …. فمتى امتنعت من فراشه، أو خرجت من منزله بغير إذنه، أو امتنعت من الانتقال معه إلى مسكن مثلها، أو من السفر معه، فلا نفقة لها ولا سكنى، في قول عامة أهل العلم؛ منهم الشعبي ، وحماد، ومالك، والأوزاعي، والشافعي، وأصحاب الرأي، وأبو ثور.
وقال الحكم: لها النفقة. وقال ابن المنذر: لا أعلم أحدا خالف هؤلاء إلا الحكم

Dan istri yang nusyuz (membangkang) tidak berhak mendapatkan nafkah. Jika ia memiliki anak dari suaminya, maka suaminya tetap memberikan nafkah untuk anaknya. …. Kapan pun istri menolak berada di ranjang suaminya, atau keluar dari rumahnya tanpa izin, atau menolak pindah ke tempat tinggal yang sesuai dengannya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, menurut pendapat umum para ulama; di antaranya adalah asy-Sya’bi, Hammad, Malik, al-Awza’i, asy-Syafi’i, para ashhabur ra’yi (pengikut Abu Hanifah), dan Abu Tsaur.

Namun, al-Hakam berpendapat bahwa ia tetap mendapatkan nafkah. Ibnu al-Mundzir berkata, ‘Saya tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi pendapat mereka ini, kecuali al-Hakam.
(Al Mughni, jilid. 8, hal. 236)

Namun dalam Islam seorang suami hendaknya mendidik dulu istrinya sebagaimana arahan dalam Al-Qur’an, jadi tidak langsung memberikan hukuman atas kedurhakaannya.

Bagaimana cara mendidiknya? Yaitu nasihat dengan baik, jika tidak mempan maka pisah ranjang, jika tidak mempan maka pukul dibagian yang tidak menyakitkan.

Allah ﷻ berfirman:

وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyūz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar. [Surat An-Nisa’: 34]

Demikian. Wallahu A’lam

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top