💢💢💢💢💢💢
Bagian ini sering diperselisihkan kaum muslimin, antara yang membolehkan dan melarangnya.
Daftar Isi
📚 Pihak Yang Melarang dan Dalilnya
Dari Jarir bin Abdillah Al Bajalli Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
Kami (para sahabat) memandang bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk niyahah (meratap) –yakni terlarang. (HR. Ahmad No. 6905. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: Shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 6905)
Pernyataan ini menjadi dalil, bahwa pada masa sahabat Nabi ﷺ berkumpul di rumah mayit lalu makan-makan adalah perbuatan meratap dan itu terlarang.
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau mengatakan dalam Al Umm:
وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن
“Aku membenci ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga si mayit), walaupun tidak ada tangisan, namun yang demikian itu memperbarui kesedihan.” (Imam Asy Syafi’i, Al Umm, 1/ 318. Darul Fikr)
Begitu pula kata Imam An Nawawi Rahimahullah dalam kitab Al Majmu’:
وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال ” كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة
“Adapun penyediaan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di sana, adalah tidak ada dalil sama sekali, dan itu adalah bid’ah yang dibenci. Ini adalah ucapan pengarang Asy Syamil, dia berdalil hadits Jarir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk niyahah (meretap) –yakni terlarang.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzab, 5/320. Darul Fikr)
Juga Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau berkata dalam I’anatuth Thalibin:
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين
Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin.” (Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i, I’anatuth Thalibin, 2/165. Mawqi’ Ya’sub)
Beliau juga mengatakan:
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه. كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
Dan apa yang dibiasakan manusia tentang hidangan dari keluarga si mayit yang disediakan untuk para undangan, adalah bid’ah yang tidak disukai agama, sebagaimana datangnya para undangan ke acara itu, karena ada hadits shahih yang diriwayatkan dari Jarir Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk nihayah (meratap) –yakni terlarang.” (Ibid)
Beliau juga mengatakan:
وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم
“Dalam Kitab Al Bazaz: Dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, tiga, dan setelah tujuh hari, dan juga mengirim makanan ke kuburan secara musiman.” (Ibid, 2/166)
Sementara Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini mengatakan dalam Mughni Muhtaj:
أَمَّا إصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ ، رَوَى أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ عَلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ النِّيَاحَةَ
Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah bid’ah yang tidak disukai. Imam Ahmad meriwayatkan secara shahih dari Jarir bin Abdulah Radhiallahu ‘Anhu: Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga si mayit, mereka menghidangkan makanan setelah penguburannya, adalah termasuk niyahah (meratap) –yakni terlarang.” (Imam Muhammad Al Khathib Asy Syarbini, Mughi Muhtaj Ila Ma’rifati Alfazh Al Minhaj, 4/369. Mawqi’ Al Islam)
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab At Tamimi mengatakan bahwa membaca dan membawa Al Quran di kubur sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia hari ini, mereka duduk selama tujuh hari dan menamakan itu sebagai kesungguhan, begitu pula berkumpul di rumah keluarga si mayit selama tujuh hari membaca Al Fatihah, dan mengangkat tangan untuk berdoa untuk si mayit, maka semua ini adalah bid’ah munkar yang diada-adakan, dan harus dihilangkan. (Syaikh Shalih Fauzan, At Tibyan Li Akhtha’i Ba’dhil Kitab, Hal. 171. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
قال النووي: قال الشافعي وأصحابه رحمهم الله: يكره الجلوس للتعزية
قالوا: ويعني بالجلوس أن يجتمع أهل الميت في بيت ليقصدهم من أراد التعزية، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم.
ولافرق بين الرجال والنساء في كراهة الجلوس لها.
صرح به المحاملي ونقله عن نص الشافعي رضي الله عنه.
وهذه كراهة تنزيه إذا لم يكن معها محدث آخر، فإن ضم إليها أمر آخر من البدع المحرمة – كما هو الغالب منها في العادة – كان ذلك حراما من قبائح المحرمات، فإنه محدث وثبت في الحديث الصحيح ” أن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة “. وذهب أحمد وكثير من علماء الاحناف إلى هذا الرأي.
وذهب المتقدمون من الاحناف إلى أنه لا بأس بالجلوس في غير المسجد ثلاثة أيام للتعزية، من غير ارتكاب محظور.
وما يفعله بعض الناس اليوم من الاجتماع للتعزية، وإقامة السرادقات، وفرش البسط، وصرف الاموال الطائلة من أجل المباهاة والمفاخرة من الامور المحدثة والبدع المنكرة التي يجب على المسلمين اجتنابها، ويحرم عليهم فعلها، لاسيما وأنه يقع فيها كثير مما يخالف هدي الكتاب ويناقض تعاليم السنة، ويسير وفق عادات الجاهلية، كالتغني بالقرآن وعدم التزام آداب التلاوة، وترك الانصات والتشاغل عنه بشرب الدخان وغيره.
ولم يقف الامر عند هذا الحد، بل تجاوزه عند كثير من ذوي الاهواء فلم يكتفوا بالايام الاول: جعلوا يوم الاربعين يوم تجدد لهذه المنكرات وإعادة لهذه البدع. وجعلوا ذكرى أولى بمناسبة مرور عام على الوفاة وذكرى ثانية، وهكذا مما لا يتفق مع عقل ولانقل.
“Berkata An Nawawi: Asy Syafi’i dan sahabat-sahabatnya Rahimahumullahmengatakan: dimakruhkan duduk-duduk ketika takziyah. Mereka mengatakan: yakni duduk berkumpul bersama keluarga si mayit di rumahnya dengan maksud takziyah, bahkan mereka menyediakan kebutuhan mereka (tamu). Dalam hal hukum duduk ini, tidak ada bedanya antara laki dan perempuan. Demikian yang diterangkan Al Muhamili dan kutipannya dari Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu .
Ini adalah makruh tanzih jika tidak dibarengi oleh hal-hal muhdats (baru) lainnya, dan jika di dalamnya mengandung perkara lainnya berupa bid’ah yang diharamkan –sebagaimana umumnya kebiasaan yang berlaku- maka hal itu adalah termasuk keharaman yang buruk. Telah shahih hadits: Setiap yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.
Pendapat inilah yang dipegang oleh madzhab Ahmad, Hanafiyah, dan mayoritas ulama. Sedangkan kalangan Hanafiyah terdahulu membolehkan duduk selama tiga hari, selain di masjid, jika tidak dibarengi oleh hal-hal terlarang. Ada pun, yang dilakukan oleh sebagian manusia hari ini, mereka berkumpul untuk takziyah, memasang tenda, menggelar karpet di lantai, lalu menghabiskan uang demi memperlihatkan kehebatan dan berbangga-bangga, ini semua adalah hal muhdats (baru) dan bid’ah yang munkar, wajib bagi mereka menjauhinya, haram melakukannya, apalagi pada kenyataannya sering terjadi di dalamnya hal-hal yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan ajaran As Sunnah, sehingga menyerupai adat jahiliyah, seperti menyanyikan Al Quran, tidak memegang adab membaca Al Quran, tidak menyimaknya, tetapi sibuk minum atau menghisap rokok, dan lainnya.
Acara seperti ini tidak hanya terbatas demikian, bahkan kebanyakan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu) meneruskannya tidak cukup pada hari pertama; mereka melakukannya pada hari ke empat puluh, saat itu mereka memperbarui kemungkaran dan mengulangi bid’ah tersebut. Mereka juga mengenang seratus hari pertama dari wafatnya si mayit, dan juga seratus hari kedua. Demikianlah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan oleh akal dan naql (dalil) ini.” Demikian perkataan Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah. (Fiqhus Sunnah, 1/564. Darul Kitab Al ‘Arabi)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah mengatakan:
وأما صنع الطعام من أهل الميت للناس سواء كان ذلك من مال الورثة أو من ثلث الميت أو من شخص آخر فهذا لا يجوز؛ لأنه خلاف السنة ومن عمل الجاهلية كما تقدم، ولأن في ذلك زيادة تعب لهم على مصيبتهم وشغلا إلى شغلهم. وقد روى أحمد وابن ماجه بإسناد جيد عن جرير بن عبد الله البجلي – رضي الله عنه – أنه قال «كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام بعد الدفن من النياحة » . ولم يثبت عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ولا عن أحد من أصحابه – رضي الله عنهم – ولا عن السلف الصالح إقامة حفل للميت مطلقا لا عند وفاته ولا بعد أسبوع ولا بعد أربعين يوما ولا بعد سنة من وفاته، بل ذلك بدعة يجب تركها وإنكارها والتوبة إلى الله منها لما فيها من الابتداع في الدين ومشابهة أهل الجاهلية
Ada keluarga si mayit yang membuatkan makanan, sama saja apakah itu dari harta warisan, atau sepertiga harta si mayit, atau dari orang lain, maka ini tidak boleh, karena itu menyelisihi sunah dan termasuk perbuatan jahilyah sebagaimana penjelasan yang lalu. Demikian itu dapat menambah rasa lelah dan kesibukan bagi mereka setelah mendapatkan musibah. Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan dengan sanad yang jayyid, dari Jarir bin Abdullah Al Bajalli Radhiallahu ‘Anhu bahwa dia berkata: “Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuatkan makanan setelah penguburan termasuk perbuatan meratap.” Serta tidak ada satu pun yang shahih dari Rasulullah ﷺ, tidak pula dari satu pun para sahabat Radhiallahu ‘Anhum, tidak pula dari salafush shalih tentang diadakannya acara ini secara mutlak, tidak ada ketika wafatnya, tidak pula sepekan setelahnya, empat hari dan setahun setelah kematiannya, justru itu adalah bid’ah yang wajib ditinggalkan dan dingkari, hendaknya taubat kepada Allah ﷻ darinya, karena itu merupakan mengada-ada dalam agama dan menyerupai orang jahiliyah. (Majmu’ Fatawa, 2/356- 357)
Tetapi bagi mereka tidak masalah jika makanan justru didatangkan oleh tetangganya atau sanak familinya untuk membantu kesulitan keluarga si mayit, yang seperti ini justru dianjurkan sebagaimana yang dilakukan para sahabat nabi kepada keluarga Ja’far bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, ini masyhur dan sunah, serta tidak diperselisihkan hukumnya.
Dari Abdullah bin Ja’far, ketika tersebar berita wafatnya Ja’far bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu, maka Nabi ﷺ bersabda:
اصْنَعُوا لأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka musibah yang menyibukkan mereka. (HR. At Tirmidzi No. 998, katanya: hasan. Ibnu Majah No. 1610. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1610)
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz mengatakan: “Fahadza huwa sunnah – perbuatan inilah yang sunah.” (Majmu’ Fatawa, 2/356)
Atau tidak apa-apa jika tuan rumah memberikan minum atau makan untuk tamu atau saudara yang jauh, bukan karena semata-mata dalam rangka takziyahnya, karena memang mereka adalah tamu jauh. Itu tidak mengapa, sebab biasanya, ada atau tidak ada musibah, secara alami kita akan memberikan jamuan kepada tamu jauh.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:
س: هل يجوز حضور مجلس العزاء والجلوس معهم؟
ج: إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب؛ لما فيه من الجبر لهم والتعزية، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس كعادة الناس مع زوارهم
Pertanyaan: “Bolehkah menghadiri majelis ta’ziyah dan duduk bersama mereka?”
Jawaban: “Jika seorang muslim hadir untuk menghibur keluarga si mayit maka ini mustahab (disukai/sunah), karena hal itu bisa memulihkan keadaan dan menghibur mereka, dan jika minum secangkir kopi, atau teh, diberikan wewangian, maka tidak apa-apa sebagaimana kebiasaan manusia dalam menyembut para peziarahnya. (Majmu’ Fatawa, 13/371)
Demikianlah dalil dan perkataan pihak yang melarang berkumpul dan makan-makan di rumah mayit, berserta para ulama yang melarangnya. Bagi mereka hal itu termasuk niyahah (meratap) yang dilarang syariat, dapat memperbarui kesedihan, dan merupakan muhdats (hal baru yang diada-adakan).
📚 Pihak Yang Membolehkan dan Dalilnya
Berikut ini dalil-dalil pihak yang membolehkan berkumpul dan makan-makan di rumah si mayit:
Pertama:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ»
Bahwasanya jika ada salah seorang anggota keluarganya (‘Aisyah) wafat, maka berkumpullah kaum wanita. Lalu mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang tertentu, lalu Aisyah pun memerintahkan untuk memasak talbinah (bubur tepung), lalu dibuatkan tsarid, lalu dia menuangkan talbinah itu di atasnya, lalu berkata: “Makanlah bubur ini! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Talbinah bisa menyegarkan hati orang yang sakit, dan menghilangkan sebagian kesedihan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Jadi, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, sebagai salah satu keluarga si mayit, Beliau membuatkan makanan untuk keluarga dan sebagian tamu khususnya.
Kedua:
Seorang laki-laki Anshar berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ: «أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ»، فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا …
Kami keluar bersama Nabi ﷺ mengantarkan jenazah, kemudian aku melihat Rasulullah ﷺ di atas kubur berwasiat kepada penggalinya: “Perluaslah di sisi kedua kakinya, perluaslah sisi kepalanya.” Kemudian tatkala kembali, Beliau disambut utusan seorang wanita yang mengundang Rasulullah ﷺ untuk makan, kemudian Beliau datang dan makanan pun dihidangkan. Lalu Beliau metelakkan tangannya pada makanan kemudian orang-orang meletakkan tangannya pada makanan, lalu mereka makan. …. (HR. Abu Daud No. 3332, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3332)
Ketiga:
عن أحنف بن قيس: كنت أسمع عمر يقول لايدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتيطعن عمر فأمر صهيبا أن يصلى بالناس ثلاثا وأمر بأن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي همّ فيه فجاء العباس بن عبد المطلب فقال: ياأيها الناس قد مات رسول الله صلي الله عليه وسلم فأكلنا بعده وشربنا ومات أبوبكر فأكلنا بعده وشربنا أيها الناس كلوا من هذا الطعام فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا فعرفت تأويل ذلك
Dari Ahnaf Bin Qais: Aku pernah mendengar Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata, “Tidak akan masuk seseorang dari Quraisy ke dalam satu pintu kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.
Aku (Ahnaf) tidak mengerti apa maksud ucapan Umar tersebut, sampai suatu hari Umar ditikam (yang membuatnya wafat). Lalu Umar memerintahkan Shuhaib untuk memimpin orang-orang shalat berjamaah selama tiga hari, dan memerintahkan untuk dihidangkan makanan bagi orang-orang.
Maka ketika orang-orang telah kembali dari (menguburkan) jenazah umar, mereka datang kembali dan telah dihidangkan makanan (di rumah Umar). Lantas orang-orang menahan diri (dari hidangan) karena kesedihan yangg sedang menimpa mereka. Maka Abbas bin Abdul Muthalib datang seraya berkata, “Wahai manusia, telah wafat Rasulullah ﷺ dan kita makan dan minum (di rumah Rasulullah ﷺ) setelah wafatnya. Dan telah wafat Abu Bakar dan kita (juga) telah makan dan minum setelah wafatnya (di rumah Abu Bakar). Wahai manusia, makanlah makanan-makanan ini. Lalu Abbas mengulurkan tangannya dan orang2 (dari para sahabat Nabi) juga mengulurkan tangan mereka, lalu mereka makan. Maka, barulah aku (Ahnaf) mengerti apa arti ucapan Umar itu.
(Imam Abu Bakar Al Bazzaz, Al Fawaid Asy Syahir No. 305, Imam Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 37305, Imam As Suyuthi, Al Jami’ Al Ahadits, No. 29163, Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, Juz. 4, Hlm. 21, Imam Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyqi, Juz. 26, Hlm. 373, Imam Abu Bakar Al Baghdadi, Tarikh Baghdad No. 7641, Imam Al Bushiri, Al Ittihaf Al Khairah No. 2000, katanya: diriwayatkan oleh Ahmad bin Mani’ dalam sanadnya terdapat Zaid bin Ali bin Jud’an (seorang perawi yang dhaif, pen). Syaikh Muhammad Yusuf Al Kandahlawi, Hayatush Shahabah, Juz. 3, Hlm. 386)
Keempat:
Berkata Abu Nu’aim:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثنا أَبِي، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الْأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ: «إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامِ»
Berkata kepada kami Abu Bakr bin Malik, berkata kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hambal, berkata ayahku (Ahmad bin Hambal), berkata kepada kami Hasyim bin Al Qasim, berkata kepada kami Al Asyja’i, dari Sufyan, dia berkata: Berkata Thawus: “Sesungguhnya mayit akan mendapat ujian di kuburnya selama tujuh hari, maka mereka (para sahabat) suka memberikan makanan pada hari-hari itu.” (Imam Abu Nu’aim, Hilyatul Auliya, 4/11)
Imam As Suyuthi mengatakan: isnadnya SHAHIH, dan hukumnya sebagai riwayat marfu’. (Ad Dibaj ‘Alash Shahih Muslim, 2/490)
Beliau juga menjelaskan dalam kitabnya yang lain: “Rijal (perawi) hadits ini shahih, Thawus adalah senior tabi’in. Menurut Abu Nu’aim, Thawus adalah generasi pertama bagi penduduk Yaman. Abu Nu’aim pernah meriwayatkan bahwa Thawus berkata: “Aku pernah berjumpa dengan 500 para sahabat Rasulullah ﷺ. Sementara yang lain meriwayatkan bahwa Thawus mengatakan: “Aku pernah berjumpa dengan 700 syaikh dari generasi sahabat Rasulullah ﷺ .” Ada pun Sufyan adalah Ats Tsauri, pernah berjumpa dengan Thawus. (Al Hawi Lil Fatawi, 2/216)
Bagi kelompok ini, riwayat-riwayat ini menjadi dasar yang jelas, tegas, dan shahih, kebolehan bagi pihak keluarga memberikan makanan buat para tamu yang berta’ziyah. Mereka pun meniatkan itu sebagai sedekah, bukan untuk meratap. Bahkan Nabi ﷺ pernah makan-makan bersama mereka di rumah keluarga mayit setelah mengantarkan jenazah di kubur, sebagaimana riwayat Abu Daud di atas. Juga para sahabat nabi melakukannya sebagaimana atsar dari Imam As Suyuthi dan menurutnya shahih.
Imam As Suyuthi Rahimahullah mengatakan:
أَنَّ سُنَّةَ الْإِطْعَامِ سَبْعَةُ أَيَّامٍ، بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إِلَى الْآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ، فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى الْآنَ، وَأَنَّهُمْ أَخَذُوهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إِلَى الصَّدْرِ الْأَوَّلِ
Bahwasanya disunahkan memberikan makanan selama tujuh hari (di rumah mayit, pen), telah sampai kepadaku bahwa hal itu terus berlangsung sampai saat ini di Mekkah dan Madinah. Kenyataannya hal itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat Nabi ﷺ sampai saat ini (zaman Imam As Suyuthi), dan sesungguhnya generasi khalaf telah mengambil dari generasi salaf sampai generasi awal Islam. (Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hawi Lil Fatawi, Juz. 2 Hlm. 234)
Apa yang dikatakan oleh Imam As Suyuthi ini berbeda dengan yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz yang menurutnya memberikan makanan (dalam artian makan-makan) kepada para pentakziah adalah perkara baru yang yang tidak pernah dilakukan oleh para salaf.
Namun, pihak yang membolehkan pun melarang jika masalah makanan ini menjadi tradisi yang dipaksakan hanya karena tidak enak dengan pembicaraan masyarakat. Atau untuk bermegah-megah, sehingga nilai takziahnya hilang berubah menjadi pesta. Jika seperti itu maka mereka sepakat kebid’ahannya, bahkan menjadi haram jika untuk meratap dan memuji keluarga secara berlebihan, sebagaimana yang difatwakan Imam Ibnu Hajar Rahimahullah. (Lihat: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,10-id,37421-lang,id-c,ubudiyah-t,Hidangan+dan+Makanan+dalam+Upacara+Kematian++Ta%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2ziyah+-.phpx)
So, ini khilaf para ulama, jangan pakai emosi, jangan pula mudah menyerang sesama muslim. Ambil yang kita yakini dan jangan ingkari yang lain.
Wallahu A’lam
🌿🌿🌿🌿
✏ Farid Nu’man Hasan