Muslimah Mesti Tahu Tentang Masa Iddah

💢💢💢💢💢💢💢💢

Masa iddah itu beragam..

1⃣ Jika karena suami wafat, dan dia dalam keadaan tidak hamil, maka 4 bulan 10 hari.

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنكُمۡ وَيَذَرُونَ أَزۡوَٰجٗا يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرۡبَعَةَ أَشۡهُرٖ وَعَشۡرٗاۖ فَإِذَا بَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا فَعَلۡنَ فِيٓ أَنفُسِهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ

Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

(QS. Al Baqarah: 234)

2⃣ Jika dicerai saat hamil atau suami wafat saat dia hamil, maka masa iddahnya sampai melahirkan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا

Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

(QS. Ath-Thalaq: 4)

3⃣ Jika dicerai oleh suami, TIDAK dalam keadaan hamil, maka iddahnya 3 kali quru’

Allah Ta’ala berfirman:

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ

Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’.

(QS. Al Baqarah: 228)

Apa makna QURU’ ?

Imam Al Qurthubi menjelaskan:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْأَقْرَاءِ، فَقَالَ أَهْلُ الْكُوفَةِ: هِيَ الْحَيْضُ، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ وَعَلِيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَأَبِي مُوسَى وَمُجَاهِدٍ وَقَتَادَةَ وَالضَّحَّاكِ وَعِكْرِمَةَ وَالسُّدِّيِّ. وَقَالَ أَهْلُ الْحِجَازِ: هِيَ الْأَطْهَارُ، وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ وَالزُّهْرِيِّ وَأَبَانِ بْنِ عُثْمَانَ وَالشَّافِعِيِّ

Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru. Ulama Kufah mengatakan: HAID. Inilah pendapat Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Mujahid, Qatadah, Adh Dhahak, ‘Ikrimah, dan As Suddi.

Ulama Hijaz mengatakan: SUCI. Inilah pendapat Aisyah, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Az Zuhri, Abban bin Utsman, dan Asy Syafi’i.

(Tafsir Al Qurthubi, 3/113)

Ada pun pendapat mayoritas Ahli Fiqih, makna Quru’ adalah SUCI. Sehingga arti dari tiga kali quru’ adalah tiga kali masa suci. Inilah pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sdgkan Hanafiyah yang mengatakan tiga kali masa haid.

4⃣ Jika bercerai karena fasakh (pembatalan pernikahan), atau dia khulu’ (gugat cerai dari istri dan disahkan pengadilan), maka satu kali masa suci menurut Hambaliyah, tapi umumnya ulama mengatakan sama seperti cerai biasa, yaitu tiga kali quru’.

5⃣ Jika wanita sudah menopause, atau belum mengalami haid, maka masa iddahnya 3 bulan

Allah Ta’ala berfirman:

وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا

Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.

(QS. Ath Thalaq: 4)

6⃣ Jika dicerai setelah akad nikah, dan belum pernah digauli. Maka tdk ada masa iddah.

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan. Namun berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

(QS. Al-Ahzab: 49)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Shalat di Kursi Karena Tidak Mampu Berdiri, Ruku, dan Sujud

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum, afwan Ustadz, ibu saya shalat nya dirumah juga sudah di Kursi, tidak Kuat lg berdiri dan utk jongkok dan bangun dari duduk, skr ibu saya mau kontrol ke Dokter, kebetulan waktunya melewati waktu shalat, posisi mushola di RS turun tangga Ibu saya juga sudah tidak Kuat Naik Turun tangga, yg mau ditanyakan apakah boleh ibu saya shalat di Kursi Ruang tunggu RS dengan mencari Posisi yg menghadap Kiblat?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Di antara rukun shalat adalah berdiri, ruku, dan sujud. Bagi yang mampu melakukannya maka tidak boleh meninggalkannya, dengan kata lain batal shalatnya. Oleh karena itu ayat-ayat tentang shalat selalu menggunakan kata qiyam (berdiri), seperti aqimuu, quumuu.

Di antaranya Allah Ta’ala berfirman:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat dan shalat wusta. Dan dirikanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk. (QS. Al-Baqarah, Ayat 238)

Namun, jika seseorang tidak mampu berdiri, dia boleh duduk, jika tidak mampu juga, maka boleh berbaring. Inilah aturan dalam shalat fardhu. Ada pun shalat sunnah, tidak apa-apa duduk atau berbaring walau dalam kondisi sehat dan mampu berdiri.

Dalam hadits, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Shalatlah dengan cara berdiri, jika tidal mampu maka duduklah, jika tidak mampu maka berbaringlah. (HR. Bukhari no. 1066)

Imam an Nawawi mengatakan:

أجمعت الأمة على أن من عجز عن القيام في الفريضة صلاها قاعداً ولا إعادة عليه ، قال أصحابنا : ولا ينقص ثوابه عن ثوابه في حال القيام ؛ لأنه معذور

Umat telah ijma’ bagi orang yang tidak mampu berdiri pada shalat wajib maka hendaknya dia shalat duduk, dan dia tidak perlu mengulang shalatnya. Para sahabat kami mengatakan: pahalanya tidak berkurang dibanding jika dia shalat berdiri, sebab dia ada ‘udzur.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/226)

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وَقَدْ اتَّفَقَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ الْمُصَلِّيَ إذَا عَجَزَ عَنْ بَعْضِ وَاجِبَاتِهَا كَالْقِيَامِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الرُّكُوعِ أَوْ السُّجُودِ أَوْ سَتْرِ الْعَوْرَةِ أَوْ اسْتِقْبَالِ الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ سَقَطَ عَنْهُ مَا عَجَزَ عَنْهُ

Kaum muslimin telah sepakat bahwa orang shalat yang tidak mampu menjalankan sebagian kewajibannya seperti berdiri, atau membaca Al Quran, atau ruku’, sujud, atau menutup aurat, atau menghadap kiblat, atau lainnya, maka gugur hal-hal itu karena kondisinya yang lemah.

(Majmu’ al Fatawa, 8/437)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Melegalkan Miras Dengan Alasan Menghormati Tradisi/Kearifan Lokal

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Saya baca pelegalan miras dibbrp daerah itu alasannya tradisi atau kearifan lokal. Apakah ini dibenarkan? Afw 🙏

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika yang mengucapkan itu adalah non muslim, biarlah itu urusan mereka dgn aturan agama mereka sendiri. Krn standar kita berbeda dgn mereka.

Tapi jika yang menyatakan demikian adalah muslim, maka perlu diluruskan. Sebab itu keliru besar.

📌 Perlu diingat, budaya khamr di tanah Arab masa jahiliyah, khususnya di Mekkah dan Madinah, juga sangat kuat.

📌 Tapi, syariat Islam datang menghapuskannya, sampai tiga kali tahap turunnya ayat – saking berakarnya budaya khamr saat itu. Puncaknya dengan turunnya surat Al Maidah: 90

📌Jadi, walau tradisi sangat kuat, bukan malah membiarkannya dengan alasan tradisi, budaya, dan kearifan lokal. Apalagi jika ujung-ujungnya adalah masalah uang.

📌 Pada ulama Ushul Fiqih, membagi Al ‘Urf (tradisi) menjadi dua macam:

– Al’ Urf Ash Shahih, tradisi yang shahih, yang benar, yaitu tradisi yang tidak berasal dari Islam (Al Quran dan As Sunnah), tapi juga tidak bertentangan dengan Islam. Maka, tradisi ini dibolehkan bahkan Islam merawatnya. Seperti tradisi kerja bakti, gotong royong membantu tetangga hajatan pernikahan, dll.

Di sinilah para ulama mengatakan:

الثابت بالعرف كالثابت بالنص

Ketetapan hukum karena tradisi itu seperti ketetapan hukum dengan Nash/dalil.
(Syaikh Muhammad ‘Amim Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa’id Al Fiqhiyah, no. 101)

– Al ‘Urf Al Fasad, yaitu tradisi rusak, tradisi yang bukan berasal dari Islam tapi juga bertentangan dengan Islam. Maka, Islam melarang bahkan memberantasnya. Contohnya adalah tradisi khamr, judi, dan lainnya.

Syaikh Abu Zahrah mengatakan, bahwa para ulama yang menetapkan ‘Urf sebagai dalil, itu sekiranya jika tidak ditemukan dalil dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan itu pun tidak bertentangan dengannya. Tapi, jika bertentangan maka ‘Urf tersebut mardud (tertolak), seperti MINUM KHAMR dan makan riba.
(Ushul Fiqih, Hal. 418)

📌 Maka, sama sekali tidak dibenarkan melegalkannya, apa pun alasannya termasuk karena budaya.

📌 Jika nasihat para ulama, para da’i, ormas Islam, sudah tidak digubris, padahal yang melegalkan mengaku muslim .. Maka, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Jika kamu tidak punya rasa malu, lakukan saja apa pun sesuka hatimu!

(HR. Bukhari no. 3484)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Membicarakan Keburukan Seseorang yang Membahayakan Orang Banyak, Bukanlah Ghibah

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Para pembela kebatilan sering menakut-nakuti manusia dengan Ghibah saat kebatilan dirinya atau kelompoknya dibicarakan

📌 Itu adalah penempatan makna ghibah yang sangat jauh dari tempatnya. Istilah Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu:

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِلٌ

Kalimat yang benar, tapi untuk maksud yang batil.

(HR. Muslim no. 1774)

📌 Orang-orang ini berharap agar manusia diam atas kebatilan itu, sehingga pengusung kebatilan pun aman dan nyaman, padahal diam atas kebatilan adalah syetan bisu.

Abu Ali Ad Daqaq Rahimahullah mengatakan:

ُ مَنْ سَكَتَ عَن ِالْحَقِّ فَهُوَ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ

Siapa yang diam saja, tidak menyatakan Al Haq, maka dia adalah syetan bisu. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/20)

📌 Ghibah adalah HARAM dan DOSA BESAR, jika kita membicarakan AIB PRIBADI saudara kita, lalu kita membicarakan di muka umum. Itulah perbuatan mencampuri urusan orang lain, yang tidak dibenarkan.

📌 Tapi membicarakan AIB DAN KEBURUKAN seseorang yang berdampak pada orang banyak, apalagi pelakunya pun terang-terangan, serta membahayakan manusia, agama, dan negara, maka ITU BUKAN GHIBAH YANG TERLARANG. Ini adalah nahi munkar.

📌 Ini seperti yang dikatakan Imam an Nawawi dalam RIYADHUSSHALIHIN-nya, tentang ghibah-ghibah yang diperbolehkan. Di antaranya adalah:

Bertujuan menasehati, agar orang lain tidak terpedaya oleh orang tersebut…..

Terhadap orang yang terang-terangan melakukan kejahatan, maka yang demikian bukan ghibah, sebab ia sendiri yang menampakannya.

(Hal. 366-367, Maktabatul Iman, Al Manshurah, Mesir)

📌 Maka, membicarakan koruptor, pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, kebijakan yang menyalahi syariat seperti melegalkan MIRAS, JUDI, dan maksiat lainnya, jika Anda pihak yang berwenang, KPK, anggota dewan, adalah tugas Anda. Jangan takut disebut ghibah, sebab itu nahi munkar bagi Anda.

📌 Jika Anda warga biasa, maka Anda berhak membicarakannya untuk melokalisir kejahatan itu, menghindarinya, mengambil pelajaran darinya, sehingga tidak ikut-ikutan melakukannya.

📌 Kisah-kisah kejahatan manusia sejak zaman dulu telah terbukukan, baik dalam Al Quran, As Sunnah, kitab sirah, kitab tarikh, jelas nama dan perbuatan jahatnya, dan dibaca secara umum baik ulama dan orang biasa. Tidak satu pun mengatakan itu GHIBAH atau mencampuri urusan lain.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top