Tafsir Surat Al Muzammil (Bagian 1)

A. Mukaddimah Surat Al Muzzamil

Surat Al Muzzammil termasuk Makiyyah, kecuali ayat terakhir termasuk Madaniyah. Surat ini turun setelah surat Al-Qalam (Nun).

surat ini berisi perintah shalat malam (qiyamullail) yang pada awalnya bersifat wajib, kemudian hukumnya di nasakh( dihapus) oleh ayat terakhir pada surat ini.

Selain itu, surat ini juga mengajarkan qiyamullail merupakan sarana penguat dalam perjuangan dakwah dengan segala tribulasinya yang terus bergerak. Mengajarkan bagaimana melawan hawa nafsu (kantuk) berselimut dan bersembunyi, untuk “bangunlah” lawan kantukmu dan terus berjuang.

Juga perintah untuk membaca Al-quran dengan perlahan (tartil) sehingga lebih meresap maknanya ke dalam sanubari.

B. Identifikasi Surat

  • Surat Al Muzzamil merupakan surat ke-67
  • Terdiri dari 20 ayat
  • Memiliki 285 kata
  • Memiliki 838 huruf [1]

C. Sababun Nuzul (sebab turun surat)

Para ulama dan mufassirun menyebutkan beberapa riwayat terkait sabab nuzul surat Al-Muzammil, diantaranya:

  1. Riwayat Al Bazzar dan Imam At Thabrani dalam Al Ausath, juga Abu Nuaim dalam Ad Dalail:

عن جابر- رضى الله عنه- قال: اجتمعت قريش في دار الندوة فقالوا: سموا هذا الرجل اسما تصدوا الناس عنه فقالوا: كاهن. قالوا: ليس بكاهن. قالوا: مجنون. قالوا: ليس بمجنون. قالوا: ساحر. قالوا: ليس بساحر .فتفرق المشركون على ذلك. فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم فتزمل في ثيابه وتدثر فيها. فأتاه جبريل فقرأ عليه: يا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ يا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

“Namailah orang ini (Nabi Muhammad ) dengan nama yang dapat menghalangi manusia darinya. “Maka (sebagian) mereka berkata,” seorang dukun (kahin), yang lain berkata,”Dia bukan dukun.” Sebagian lagi berkata, Orang gila, sebagian lagi mengatakan,”Dia bukan orang gila. Sebagian lai berkata,” Di seorang Penyihir, sebagian lagi berkata,”Dia bukan  Penyihir. Orang-orang musyrik berpecah belah dalam hal ini. Lalu sampailah berita itu kepada Rasulullah, kemudian beliau menyelimuti dirinya dengan kain dan berkemul. Malaikat Jibrilpun datang dan berkata,” Wahai orang yang berselimut (muzammil) -Wahai orang yang berkemul  (muddatsir).

  1. Riwayat Bukhari dan Muslim

ما رواه الشيخان وغيرهما من حديث جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: جاورت بحراء، فلما قضيت جواري، هبطت، فنوديت فنظرت عن يميني فلم أر شيئا، ونظرت عن شمالي فلم أر شيئا … فرفعت رأسى فإذا الذي جاءني بحراء، جالس على كرسي بين السماء والأرض … فرجعت فقلت: دثروني دثروني، وفي رواية: فجئت أهلى فقلت: زملوني زملوني، فأنزل الله- تعالى-: يا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ .وجمهور العلماء يقولون: وعلى أثرها نزلت: يا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

Riwayat  Bukhari dan Muslim, dari Jabir bin Abdillah bahwa rasulullah shalalahu alaihi wasallam bersabda,” Aku berdiam diri di gua Hira, setelah selesai, Aku turun. Tiba-tiba terdengar suara memanggilku, aku menoleh ke kanan, tak menjumpai apapun. Aku menoleh ke kiri tak mendapati apapun. Lalu aku menengadahkan kepala, aku melihat Malaikat yang mendatangiku saat di Gua Hira sedang duduk disinggasanan antara langit dan bumi, lalu akupun bergegas pulang. (sesampainya dirumah) aku berkata (kepada istriku),’Selimuti aku selimuti aku”. Lalu turunlah ayat Ya ayuhal mudatatsir. Mayoritas ulama mengatakan bahwa, pada riwayat yang sama turun juga surat Al-Muzammil.[2]

  1. Menurut Imam Suyuthi:[3]

واخرج الحاكم عن عائشة قالت: لما نزلت يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) قاموا سنة حتى رمت أقدامهم فأنزلت .. فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Diriwayatkan oleh Al Hakim dari Aisyah, ia berkata,” Ketika turun ayat:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2)

(Hai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk shalat) dimalam hari kecuali sedikit (dari padanya) (QS. Al-Muzammil:1-2)

Para sahabat melaksanakan qiyamullail selama setahun, hingga kaki mereka bengkak-bengkak, sampai kemudian turun ayat…

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an) QS. Al Muzammil: 20)

D. Tinjauan Bahasa

الْمُزَّمِّلُ

Secara bahasa merupakan isim fa’il dari kata :

تزمل فلان بثيابه

“Si Fulan berselimut dengan pakaiannya” aslinya adalah

المتزمل

“al-mutazamil, kemudian huruf Ta’ dan Zai’ yang disembunyikan sehingga menjadi الْمُزَّمِّلُ

Ayat pertama ini dimulai dengan huruf Nida (panggilan)

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

“Wahai orang yang berselimut”

Kata panggilan ini fungsinya mengingatkan (tanbih) kepada orang yang diajak bicara, terkait dengan perintah maupun larangan.[4]

E. Kandungan Umum Surat Al Muzzammil

  1. Perintah Qiyamullail kepada Nabi Muhammad dan para sahabat di awal-awal dakwah, sebagai penguat hati dalam perjuangan
  2. Perintah untuk konsisten dalam shalat, zakat dan perintah-perintah agama lainnya.
  3. Perintah untuk menjauhi dari orang-orang musyrik, dan ancaman Allah untuk orang orang musyrik di akherat.
  4. Janji Allah untuk pelaku-pelaku kebaikan
  5. Keadaan dahsyatnya peristiwa hari kiamat.
  6. Bersegera bertaubat
  7. Adab-adab membaca dan mentadaburi Al-Qur’an (bersambung……)

=================

والله أعلم

Fauzan Sugiyono, Lc M.Ag


[1] Syekh Nawawi Al Bantani (1316 H),Marah Labid, (Beirut: Darul Kutub, 1417H) jilid  2/575

[2] (Muhammad Sayid Thantawi, Tafsir Al Wasith Lil Qur’anil Karim, (Mesir: Darun Nahdhah, 1997) jilid 15/152

[3] Imam Suyuthi (911H) Asbabun Nuzul  (Beirut: Muassasah Kutub Ats Tsaqafiyah, 2002) hal. 278

[4] (Muhammad Sayid Thantawi, Tafsir Al Wasith Lil Qur’anil Karim, 15/151

 

Safar (dalam Perjalanan), Antara Puasa dan Tidak

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Bismillah, Assalamualaikum ustadz. Mohon penjelasan,Apabila kita Safar di Bulan Ramadhan ,mana kah yang lebih utama..mengambil rukhsah berbuka atau tetap shaum? (+62 821-1878-xxxx)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

📌 Safar adalah salah satu udzur mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk tidak puasa Ramadhan. (QS. Al Baqarah: 184)

📌 Yaitu Jika safarnya telah memenuhi syarat boleh untuk tidak berpuasa. Syaikh Sayyid Sabiq menerangkan:

والسفر المبيح للفطر، هو السفر الذي تقصر الصلاة بسببه، ومدة الاقامة التي يجوز للمسافر أن يفطر فيها، هي المدة التي يجوز له أن يقصر الصلاة فيها

Safar yg membuat bolehnya tidak puasa adalah safar yang juga menyebabkan boleh qasharnya shalat. Rentang waktunya pun sama dengan rentang waktu dibolehkannya qashar.

(Fiqhus Sunnah, 1/444)

📌 Jika dia memilih tetap puasa, itu tidak salah, jika mengambil rukhshah tidak berpuasa maka itu baik, begitulah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan.

Dari Hamzah bin Amru Al Aslami Radhiallahu Anhu, katanya:

يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه”

“Wahai Rasulullah, saya punya kekuatan untuk berpuasa dalam safar, apakah salah saya melakukannya? Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab: Itu adalah rukhshah dari Allah, barang siapa yang mau mengambilnya (yakni tidak puasa) maka itu baik, dan barang siapa yang mau berpuasa maka tidak ada salahnya. (HR. Muslim No. 1121)

Antara Baik dan tidak salah, tentu cita rasanya lebih dalam yang “baik”.

📌 Ini juga dikuatkan oleh riwayat lainnya, dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma, katanya:

لا تعب على من صام ولا من أفطر. قد صام رسول الله صلى الله عليه وسلم،
في السفر، وأفطر.

“Tidak ada kesulitan bagi orang yang berpuasa, dan tidak ada kesulitan bagi yang berbuka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berpuasa dalam safar dan juga berbuka.” (HR. Muslim No. 1113)

Dari Ibnu Abbas juga:

سافر رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان. فصام حتى بلغ عسفان. ثم دعا بإنء فيه شراب. فشربه نهارا. ليراه الناس. ثم أفطر. حتى دخل مكة .
قال ابن عباس رضي الله عنهما: فصام رسول الله صلى الله عليه وسلم وأفطر. فمن شاء صام، ومن شاء أفطر.

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan perjalanan pada Ramadhan, dia berpuasa singga sampai ‘Asfan. Kemudian dia meminta sewadah air dan meminumnya siang-siang. Manusia melihatnya, lalu dia berbuka hingga masuk Mekkah. Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma berkata: Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berpuasa dan berbuka. Barang siapa yang mau maka dia puasa, dan bagi yang mau buka maka dia berbuka. (Ibid)

📌 Namun jika seseorang memilih puasa, tapi malah menyulitkannya atau safarnya semakin berat, maka tidak disarankan berpuasa.

Berdasarkan hadits berikut:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس عليه. وقد ضلل عليه. فقال: “ماله ؟” قالوا: رجل صائم. فقال رسول الله عليه وسلم: “ليس من البر أن تصوموا في السفر”.

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tengah dalam perjalanannya. Dia melihat seseorang yang dikerubungi oleh manusia. Dia nampak kehausan dan kepanasan. Rasulullah bertanya: “Kenapa dia?” Meeka menjawab: “Seseorang yang puasa. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam1 bersabda: Tidak ada kebaikan kalian berpuasa dalam keadaan safar.

(HR. Muslim No. 1115)

📌 Sebagian ulama ada yang dengan tegas menyebut TIDAK BOLEH orang yang berpuasa dalam keadaan safar, sebab Rasulullah telah menyebut DURHAKA orang yang puasa di saat safar.

📌 Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya menuliskan:

باب ذكر خبر روي عن النبي صلى الله عليه وسلم في تسمية الصوم في السفر عصاة من غير ذكر العلة التي أسماهم بهذا الاسم توهم بعض العلماء أن الصوم في السفر غير جائز لهذا الخبر

“Bab tentang khabar dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang penamaan berpuasa saat safar adalah DURHAKA tanpa menyebut alasan penamaan mereka dengan nama ini. Sebagian ulama menyangka bahwa berpuasa ketika safar adalah TIDAK BOLEH karena hadits ini.”

📌 Dalilnya, Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج إلى مكة عام الفتح في رمضان فصام حتى بلغ كراع الغميم فصام الناس معه فقيل له يا رسول الله إن الناس قد شق عليهم الصيام فدعا بقدح من ماء بعد العصر فشرب والناس ينظرون فأفطر بعض الناس وصام بعض فبلغه أن ناسا صاموا فقال أولئك العصاة

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar pada tahun Fath (penaklukan) menuju Mekkah pada saat Ramadhan. Dia berpuasa hingga sampai pinggiran daerah Ghanim. Manusia juga berpuasa bersamanya. Dikatakan kepadanya: Wahai Rasulullah, nampaknya manusia kepayahan berpuasa. Kemudian Beliau meminta segelas air setelah asar, lalu beliau minum, dan manusia melihatnya. Maka sebagian manusia berbuka, dan sebagian lain tetap berpuasa. Lalu, disampaikan kepadanya bahwa ada orang yang masih puasa. Maka Beliau bersabda: Mereka durhaka.

(HR. Muslim No. 1114)

📌 Dengan memadukan berbagai riwayat yang ada ini, bisa disimpulkan bahwa anjuran dasar bagi orang yang safar adalah berbuka/tidak berpuasa.

📌 Namun, bagi yang kuat dan sanggup untuk berpuasa maka boleh saja tidak berpuasa sejak awalnya, dan boleh pula berpuasa. Namun bagi yang sulit dan lelah, maka lebih baik dia berbuka saja.

📌 Dalam konteks ‘boleh buka dan boleh puasa’ bagi yang sanggup, lalu manakah yg lebih utama?

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah meringkas sebagai berikut:

فرأى أبو حنيفة، والشافعي، ومالك: أن الصيام أفضل، لمن قوي عليه، والفطر أفضل لمن لا يقوى على الصيام.
وقال أحمد: الفطر أفضل.
وقال عمر بن عبد العزيز: أفضلهما أيسرهما، فمن يسهل عليه حينئذ، ويشق عليه قضاؤه بعد ذلك، فالصوم في حقه أفضل.
وحقق الشوكاني، فرأى أن من كان يشق عليه الصوم، ويضره، وكذلك من كان معرضا عن قبول الرخصة، فالفطر أفضل وكذلك من خاف على نفسه العجب أو الرياء – إذا صام في السفر – فالفطر في حقه أفضل.
وما كان من الصيام خاليا عن هذه الامور، فهو أفضل من الافطار.

“Menurut Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, puasa adalah lebih utama bagi yang kuat menjalankannya, dan berbuka lebih utama bagi yang tidak kuat. Ahmad mengatakan: berbuka lebih utama. Sedangkan Umar bin Abdul Aziz berkata: Yang paling utama dari keduanya adalah yang paling mudah. Barangsiapa yang lebih mudah puasa saat itu, dan mengqadha setelahnya justru berat, maka berpuasa baginya adalah lebih utama.”

Asy Syaukani melakukan penelitian, dia berpendapat bahwa bagi yang berat berpuasa dan membahayakannya, dan juga orang yang tidak mau menerima rukhshah, maka berbuka lebih utama. Demikian juga bagi orang yang khawatir pada dirinya ada ujub dan riya jika puasa dalam perjalanan- maka berbuka lebih utama. Ada pun jika puasanya sama sekali bersih dari perkara ini semua, maka puasa lebih utama.

(Fiqhus Sunnah, 1/443. Nailul Authar, 4/225)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Jika Imam Shalatnya Duduk (Tidak Mampu Berdiri), Bagaimana Makmumnya?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada perselisihan para ulama tentang bagaimana bermakmum kepada imam yang duduk, tidak mampu berdiri.

1. Wajib Ikut duduk

Hal ini berdasarkan hadits shahih:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ يَعُودُونَهُ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا فَصَلُّوا بِصَلَاتِهِ قِيَامًا فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ اجْلِسُوا فَجَلَسُوا فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengeluh sakit, para sahabatnya datang menjenguknya, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam shalat dengan DUDUK, orang-orang dibelakangnya BERDIRI, tapi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengisyaratkan mereka agar mereka DUDUK, akhirnya mereka pun duduk. Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Imam itu diangkat untuk diikuti, jika dia ruku’ maka ruku’lah, jika dia bangun maka bangunlah, jika dia duduk maka duduklah.”

(HR. Bukhari no. 647, Muslim no. 623)

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata:

وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا أَجْمَعُونَ

Jika dia shalat dengan cara duduk, maka shalatlah kalian semua dengan cara duduk. (HR. Muslim no. 622)

Abu Hurairah Radhiallahu’ Anhu berkata:

وَإِذَا صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وَإِذَا صَلَّى قَاعِدًا فَصَلَّوْا قُعُودًا أَجْمَعُونَ

Jika dia shalat berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri, jika dia shalat duduk shalatlah kalian dengan cara duduk. (HR. Muslim no. 628)

Inilah pendapat madzhab Zhahiri (al Muhalla, 2/104), sebagian Hambaliyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. (Syarhul Mumti’, 4/230)

Ini juga pendapat al Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnul Mundzir, Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وقال الأوزاعي وأحمد وإسحاق وابن المنذر : تجوز صلاتهم وراءه قعوداً, ولا تجوز قياماً

Al Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnul Mundzir mengatakan: “Boleh shalatnya makmum dengan cara duduk, dan tidak boleh berdiri.” (al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/162)

2. Wajib Tetap berdiri

Inilah pendapat mayoritas, baik Syafi’iyah, Hanafiyah, sebagian Malikiyah, dan lainnya.

Hal ini berdasarkan hadits shahih pula, sebagaimana yang dijelaskan Imam an Nawawi berikut ini:

قد ذكرنا أن مذهبنا جواز صلاة القائم خلف القاعد العاجز , وأنه لا تجوز صلاتهم وراءه قعوداً وبهذا قال الثوري وأبو حنيفة وأبو ثور والحميدي وبعض المالكية

Kami telah menyebutkan bahwa madzhab kami (Syafi’iyah) membolehkan seorang yang shalat berdiri menjadi makmum kepada imam yang tidak mampu berdiri. Makmum tidak boleh shalat bersama mereka dengan duduk di belakang imam. Ini juga pendapat ats Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan sebagian Malikiyah.

واحتج الشافعي والأصحاب بحديث عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( أمر في مرضه الذي توفي فيه أبا بكر رضي الله عنه أن يصلي بالناس فلما دخل في الصلاة وجد رسول الله صلى الله عليه وسلم من نفسه خفة فقام يهادي بين رجلين , ورجلاه يخطان في الأرض فجاء فجلس عن يسار أبي بكر فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي بالناس جالساً , وأبو بكر قائما يقتدي أبو بكر بصلاة النبي صلى الله عليه وسلم ويقتدي الناس بصلاة أبي بكر ) رواه البخاري ومسلم, هذا لفظ إحدى روايات مسلم, وهي صريحة في أن النبي صلى الله عليه وسلم كان الإمام; لأنه جلس عن يسار أبي بكر…”

Imam asy Syafi’i dan para sahabatnya berhujjah dengan hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat sakit yg membuatnya wafat memerintahkan Abu Bakar untuk shalat bersama manusia, ketika dia masuk ke jamaah bersama manusia, lalu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam merasa tubuhnya telah nampak enak, beliau pun keluar rumah dengan diapit oleh dua orang laki-laki. Dan seolah aku melihat beliau berjalan dengan menyeret kakinya di atas tanah, hingga masuk ke dalam masjid.

Tatkala Abu Bakar mendengar kedatangan beliau maka ia pun berkeinginan untuk mundur. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat kepadanya. Lalu tibalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga beliau duduk di SAMPING KIRI Abu Bakar. Abu Bakar shalat dengan bediri sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dengan duduk, Abu Bakar shalat mengikuti shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan orang-orang mengikuti shalatnya Abu Bakar.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini salah satu lafaz dari Imam Muslim)

Kisah ini begitu jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi imam, sebab Beliau duduk di samping kiri Abu Bakar…”

(al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/162)

3. Tidak sah bermakmum kepada Imam yang duduk

Ini pendapat Imam Malik Rahimahullah. Imam an Nawawi berkata:

وقال مالك في رواية , وبعض أصحابه : لا تصح الصلاة وراءه قاعدا مطلقاً

Berkata Malik dalam salah satu riwayat dan sebagian sahabatnya: Tidak sah shalat di belakang (imam) yang duduk secara mutlak. (Ibid)

Solusinya:

Solusinya adalah dalam rangka keluar dari perbedaan pendapat, hendaknya dipilih imam yang masih sehat dan bisa berdiri secara baik.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

قال الشافعي والأصحاب: يستحب للإمام إذا لم يستطع القيام استخلاف من يصلي بالجماعة قائماً, كما استخلف النبي صلى الله عليه وسلم ، ولأن فيه خروجاً من خلاف من منع الاقتداء بالقاعد ; لأن القائم أكمل وأقرب إلى إكمال هيئات الصلاة..”

Imam asy Syafi’i dan para sahabatnya (Syafi’iyah) mengatakan bahwa hal yang disukai bagi seorang imam yang tidak bisa berdiri dia diganti saja oleh imam yang bisa berdiri bersama jamaah, sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam rangka keluar dari perselisihan pendapat dengan yang melarang mengikuti shalat imam yg duduk. Bagaimana pun juga shalat dengan berdiri lebih utama dan sempurna. (Ibid)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Islam yang Wasathi/Moderat

📨 PERTANYAAN:

Aslmkm…ustadz, mohon penjelasannya tentang moderasi beragama ( Islam wasatiyah) berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dan hadits🙏

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Wasathiyah secara bahasa diambil dari kata “wasatha”, yang artinya tengah.

Ibnu Faris menjelaskan: “Bangunan yang benar yang menunjukkan ciri adil dan pertengahan, sesuatu yang paling adil adalah pada pertengahannya.” (Mu’jam Maqayis al Lughah, hal. 108)

Sementara Imam Al Qurthubi mengatakan yang paling terpuji dari segala hal adalah yang paling tengah. Beliau mengutip dari At Tanzil, tentang makna “Awsathuhum” artinya yang paling adil dan paling baik di antara mereka. (Tafsir Al Qurthubi, 1/506)

Ada pun makna secara terminologis, dijelaskan oleh Syaikh Yusuf al Qaradhawi, “Keseimbangan, pertengahan, dan keadilan antara dua kutub yang saling berbeda dan bertentangan.” (Al Khashaaish Al ‘Aammah Lil Islam, hal 115)

Syaikh Muhammad ash Shalabi mengatakan, “Ajaran Islam yang mengutamakan keadilan, kebaikan, dan keunggulan yang lurus dan proporsional, jauh dari sikap melampaui batas atau ekstrim, dan jauh dari sikap tidak peduli atau mengurangi.” (Al Wasathiyah fil Quran, hal. 34-35)

Wasathiyah adalah salah satu karakter yang menyatu dalam Islam, secara tekstual tertulis dalam beberapa Al Quran, di antaranya:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 143)

Makna umat pertengahan dalam ayat ini dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ sendiri yaitu adil.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ { وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا } قَالَ عَدْلًا

Dari Abu Sa’id dari Nabi ﷺ tentang firman Allah, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” QS. Al-Baqarah: 143, beliau bersabda, “Adil.”

(HR. At Tirmidzi no. 2961, hasan shahih)

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala mengajarkan wasathi dalam mengeraskan suara saat shalat:

Allah berfirman:

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱللَّهَ أَوِ ٱدۡعُواْ ٱلرَّحۡمَٰنَۖ أَيّٗا مَّا تَدۡعُواْ فَلَهُ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَلَا تَجۡهَرۡ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتۡ بِهَا وَٱبۡتَغِ بَيۡنَ ذَٰلِكَ سَبِيلٗا

Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Raḥman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.

(QS. Al-Isra’, Ayat 110)

Wasathi dalam sedekah, disebutkan dalam ayat berikut:

َٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُواْ لَمۡ يُسۡرِفُواْ وَلَمۡ يَقۡتُرُواْ وَكَانَ بَيۡنَ ذَٰلِكَ قَوَامٗا

Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.

(QS. Al-Furqan, Ayat 67)

Ayat lainnya:

وَلَا تَجۡعَلۡ يَدَكَ مَغۡلُولَةً إِلَىٰ عُنُقِكَ وَلَا تَبۡسُطۡهَا كُلَّ ٱلۡبَسۡطِ فَتَقۡعُدَ مَلُومٗا مَّحۡسُورًا

Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal.

(QS. Al-Isra’, Ayat 29)

Wasathi dalam membalas kejahatan orang lain, Allah Ta’ala berfirman:

وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zhalim.

(QS. Asy-Syura, Ayat 40)

Wasathi dalam peperangan, sebagai berikut:

وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 190)

Ada pun wasathiyah dalam As Sunnah, juga sangat banyak. Di antaranya Rasulullah ﷺ bercerita tentang surga Firdaus, sebagai yang tertinggi dan paling tengah.

فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ

Jika kalian minta kepada Allah maka mintalah surga firdaus karena dia adalah tengahnya surga dan yang paling tinggi.

(HR. Bukhari no. 2581)

Hadits lainnya:

إِذَا وُضِعَ الطَّعَامُ فَخُذُوا مِنْ حَافَتِهِ وَذَرُوا وَسَطَهُ فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِي وَسَطِهِ

“Apabila makanan telah di hidangkan maka ambillah dari pinggirnya dan tinggalkan tengahnya, sesungguhnya barakah itu turun di bagian tengahnya.”

(HR. Ibnu Majah no. 3277, shahih)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala aalihi wa Sallam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top