Serial Syarah Ringkas Hadits-Hadits Ramadhan (Hadits ke 5): Tadarus Jama’i di Masjid

💢💢💢💢💢💢💢💢

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:

وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ

Jibril menemuinya (Rasulullah ﷺ) pada tiap malam malam bulan Ramadhan, dan dia (Jibril) bertadarus Al Quran bersamanya. (HR. Bukhari No. 3220)

Fiqhul Hadits:

– Hadits ini menunjukkan bertadarus (membaca dan mempelajari) Al Quran di malam hari saat bulan Ramadhan adalah sunnah Rasulullah ﷺ bersama malaikat Jibril ‘Alaihissalam.

– Tadarus Al Quran bersama, baik dilakukan di masjid atau di rumah bersama keluarga, bukanlah bid’ah, menuduhnya sebagai bid’ah adalah tuduhan ngawur dan kelewat batas. Bagaimana mungkin sunnah nabi disebut bid’ah?

– Jika dilakukan di masjid, maka itu sangat bagus. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

Dan tidaklah sebuah kaum yang berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah (maksudnya masjid, pen) dalam rangka membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi para malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk yang ada disisiNya. (HR. Muslim No. 2699)

– Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

أن قراءة الجماعة مجتمعين مستحبة بالدلائل الظاهرة وأفعال السلف والخلف المتظاهرة

Sesungguhnya berkumpulnya jamaah untuk membaca Al Quran adalah perkara yang mustahab (sunah), berdasarkan berbagai dalil yang jelas, dan perilaku para salaf, dan khalaf yang begitu jelas. (At Tibyan fi Aadab Hamalatil Quran, Hal. 71)

Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id Rahimahullah mengatakan:

هذا دليل على فضل الإجتماع على تلاوة القرآن في المساجد

Ini adalah dalil tentang keutamaan berkumpul dalam rangka membaca Al Quran di masjid-masjid. (Syarh Al Arbain Nawawiyah, Hal. 93)

– Bagaimana bentuknya? Imam An Nawawi Rahimahullah dalam Bab fil Idarah bil Quran (Bab Bergiliran Membaca Al Quran), pada kitab At Tibyan-nya:

وهو أن يجتمع جماعة يقرأ بعضهم عشرا أو جزءا أو غير ذلك ثم يسكت ويقرأ الأخر من حيث انتهى الأول ثم يقرأ الآخر وهذا جائز حسن وقد سئل مالك رحمه الله تعالى عنه فقال لا بأس به

Yaitu jamaah berkumpul, lalu sebagian mereka membaca sepuluh ayat atau satu juz atau selain itu, kemudian mereka berhenti, dan dilanjutkan bacaannya oleh lainnya dengan melanjutkan ayat yang terakhir dibaca. Ini boleh dan bagus. Imam Malik Rahimahullah ditanya hal ini, Beliau menjawab: tidak apa-apa. (At Tibyan, Hal. 103)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abad Al Badr hafizhahullah menambahkan:

[ (ما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله) ] بيوت الله هي المساجد، قيل: ويلحق بها دور العلم والأماكن التي تخصص للعلم ونشر العلم. قوله: [ (ويتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم) ] يعني: يقرءون كتاب الله، سواءٌ أكانت هذه القراءة بأن يقوم شخص ويقرأ ويفسر أو غيره يفسر، أم أنهم يجتمعون بحيث يقرأ واحد منهم مقداراً من القرآن ويستمع الباقون، ويكون هناك شخص يصوب قراءته ويبين ما عليه من ملاحظات، كل ذلك يدخل تحت التدارس

(Tidaklah sebuah kaum berkumpul di rumah di antara rumah-rumah Allah) yaitu masjid-masjid. Dikatakan: dikaitkan dengannya sebagai tempat ilmu dan tempat-tempat khusus untuk mencari ilmu dan menyebarkannya. (mereka membaca Kitabullah dan mengkajinya) yakni mereka membaca Kitabullah, keadaanya sama saja apakah ada seorang yang membaca dan menafsirkan, atau orang lain yang menafsirkan, atau mereka berkumpul dengan satu orang di antara mereka membaca sejumlah ayat Al Quran dan yang lain mendengarkan, lalu ada orang yang mengoreksi bacaannya dan menjelaskan dengan berbagai keterangan. Semua ini termasuk makna tadarus. (Lihat Syarh Sunan Abi Daud [175])

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Nasib Umat Yang Takut Berkata “Hei Zalim! ” Kepada Orang Zalim

💢💢💢💢💢💢

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَيْتَ أُمَّتِي تَهَابُ الظَّالِمَ أَنْ تَقُولَ لَهُ أَنْتَ ظَالِمٌ فَقَدْ تُوُدِّعَ مِنْهُمْ

Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: bersabda Rasulullah ﷺ:

Jika Engkau melihat umatku takut kepada orang zalim untuk berkata kepadanya “ENGKAU ZALIM” maka mereka telah ditinggalkan/dibiarkan.

(HR. Ahmad, Al Hakim berkata: shahih. Disepakati Adz Dzahabi)

Syarhul Hadits:

– Hadits ini menceritakan kondisi umat yang lemah, sekadar menyatakan pendapat “Anda Zalim” kepada orang zalim pun ketakutan.

– Ketakutan itu muncul baik karena keberingasan orang zalim tersebut atau keberingasan pendukungnya atau peraturan yang dibuat oleh mereka

– Kondisi ketakutan umat seperti itu, justru membuat mereka terus-terusan dizalimi. Pelaku kezaliman kenikmati diamnya mereka

– Itulah dikatakan diujung hadits: tuwuddi’a minhum, maksudnya:

أي تودعهم الله وتركهم لاستواء وجودهم وعدمهم، واستنبط منه أن ترك إنكار المنكر من أسباب خذلان الله للأمة

Allah Ta’ala akan tinggalkan dan membiarkan mereka karena keberadaan mereka sama seperti tidak ada, pelajarannya adalah meninggalkan nahi mungkar termasuk di antara sebab Allah hinakan sebuah umat.

– Al Munawi menyatakan bahwa memanggil orang zalim dengan “Hai Zalim” adalah nadb (anjuran/sunnah), jika memang tidak ada bahaya bagi orang banyak saat mengucapkan itu.

– Sedangkan nasib bagi orang-orang zalim adalah sbb: dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu, RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سَيَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونُ وَلا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ، يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا تَتَقَاحَمُ الْقِرَدَةُ “

Akan datang para pemimpin setelahku yang ucapan mereka tidak bisa dibantah, mereka akan masuk ke neraka berdesa-desakkan seperti kera yang berkerubungan.

(HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 925, Al Awsath No. 5311, Abu Ya’la, No. 7382, menurut Syaikh Husein Salim Asad: isnadnya shahih)

Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Syarah Ringkas Hadits-Hadits Ramadhan (Hadits 4)

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور

“Pemisah antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)

Fiqhul Hadits:

– Hadits ini menunjukkan bahwa Ahli Kitab juga berpuasa, bahkan dahulu mereka diperintah Allah Ta’ala berpuasa Ramadhan. Hanya saja para ahbaar (pendeta) mereka mengubah puasa Ramadhan menjadi 50 hari, dan memindahkan puasa Ramadhan yang biasanya di musim panas ke musim semi. (Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkam Al Quran, 2/274)

– Kata fashlu, menunjukkan al faariq (pemisah) dan al mumayyiz (pembeda), yang menunjukkan perbedaan puasa kita dengan Ahli Kitab. Mereka tidak sahur, maka hendaknya menyelisihi mereka, sehingga kita disunnahkan (mustahab) untuk sahur. (An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/208).

– Menurut Ibnul Mundzir, sahur bukanlah wajib tapi mandub dan mustahab, sepakat segenap umat ini atas hal itu (ijma’), dan tidak berdosa meninggalkannya. (Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/455. Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmal Al Mu’lim, 4/33, Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al Bukhari, 4/45). Mandub dan Mustahab adalah istilah lain dari sunnah menurut tradisi sebagian mazhab.

– Rasulullah ﷺ sendiri pernah tidak sahur, yakni saat ingin sarapan pagi, ternyata Aisyah Radhiallahu ‘Anha mengatakan sedang tidak ada makanan di rumah. Maka, Rasulullah memilih untuk puasa saja. (HR. Muslim no. 1154). Ini menunjukkan Beliau puasa tanpa sahur, ini terjadi pada puasa sunnah, sebab tidak mungkin Rasulullah ﷺ minta sarapan di bulan Ramadhan.

– Anjuran sahur menunjukkan agama ini mengajarkan kemudahan, tidak mengajarkan kesulitan bagi umatnya. (Al Khathabi, Ma’alim as Sunan, 2/103-104), Al Qurthubi mengatakan sahur adalah kekhususan umat ini untuk meringankan saat berpuasa. (As Suyuthi, Syarh ‘ala Shahih Muslim, 3/197)

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Serial Syarah Ringkas Hadits-Hadits Ramadhan (Hadits 3)

َ💢💢💢💢💢💢💢💢💢

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki utang puasa maka walinya berpuasa untuknya”. (HR. Bukhari no. 1952, Muslim no. 1147)

Fiqhul Hadits:

Menurut Al Khathabi, hadits ini tentang utang puasa Ramadhan dan puasa Nazar. (Al Khathabi, Ma’alim as Sunan, 2/122) Begitu pula kata Abu Tsaur. (Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 9/28)

Hadits ini menjadi dalil bagi sebagian ulama mengqadha puasa wajib yang pernah ditinggal oleh mayit tersebut.

Namun menurut Imam Ash Shan’ani masalah ini sebenarnya ada tiga pendapat: wajib qadha dengan puasa, boleh saja, dan tidak boleh qadha sebab itu ibadah badan (yang tidak bisa diwakili). (At Tanwir Syarh Al Jami’ Ash Shaghir, 10/404). Mazhab Zhahiri juga mengatakan wajib. (Al Istidzkar, 3/343)

Ada riwayat serupa dari Ibnu Abbas yg menunjukkan wajib: “Datang seorang wanita kepada Rasulullah ﷺ, dan berkata: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, padahal ia masih memiliki utang puasa selama satu bulan.” Maka beliau pun bersabda, “Bagaimana menurutmu jika ibumu memiliki utang uang, apakah kamu akan melunasinya?” wanita itu menjawab, “Ya, tentu.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Muslim no. 1148)

Kebolehan qadha puasa Ramadhan untuk mayit menjadi pendapat Imam Ibnu Khuzaimah, Beliau memasukan hadits di atas dalam Kitab Shahihnya: Bab Qadha’i Waliyyil Mayit Shauma Ramadhan ‘anil Mayyit (Bab Wali Mayit Mengqadha Puasa Ramadhan untuk Mayit).

Al Maziri menyebutkan sebagian ulama yang mengatakan boleh saja, “Ahmad, Ishaq, dan lainnya mengambil zahir hadits ini bahwa bolehnya berpuasa untuk mayit oleh walinya.” (Al Mu’lim bifawaid Muslim, 2/58)

Sementara mayoritas ulama menakwilnya bahwa itu bukan dengan cara qadha puasa, tapi dgn memberikan makan, dan itu kedudukannya sama dengan berpuasa. (Ibid)

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa Imam Ahmad memaknai hadits ini bukan puasa Ramadhan tapi puasa nazar saja. Ini juga pendapat Al Laits, Abu Ubaid, dan salah satu riwayat Asy Syafi’i, menurut mereka bukan dengan shaum tetapi memberikan makanan dari harta si Mayit, inilah yg masyhur dari Asy Syafi’i, dan pendapat umumnya ulama. (Ikmal Al Mu’lim, 4/104)

Namun, Imam An Nawawi memilih Pendapat wajibnya qadha bukannya fidyah, “Pendapat ini adalah pendapat yang benar lagi terpilih, dan kami meyakininya dan telah dishahihkan para peneliti dari para sahabat kami (Syafi’iyah) yang telah menggabungkan antara hadits dan fiqih, karena hadits-hadits ini adalah shahih dan begitu jelas.” (Syarh Shahih Muslim, 8/25)

Inilah yang resmi dalam mazhab Syafi’i, seperti yang dikatakan Syaikh Sayyid Sabiq: “Madzhab yang DIPILIH oleh Syafi’iyyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk berpuasa qadha baginya, yang dengan itu mayit sudah bebas, dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah).” (Fiqhus Sunnah, 1/471)

Wali yg dimaksud adalah kerabat si mayit baik yang ahli waris atau ‘ashabah.

Kesimpulan:

– Mayoritas mengatakan menggantinya dengan memberikan makanan (fidyah), tidak boleh qadha
– Sebagian mengatakan wajib qadha, bukan fidyah.
– Sebagian mengatakan boleh qadha, boleh fidyah.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top