Hadiah Buat Guru dari Wali Murid/Murid Saat Bagi Raport

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum.. Izin bertanya ust. Apakah hukumnya menerima hadiah dari murid/orangtua murid. Biasanya akhir tahun ajaran sekolah, sblm pengambilan rapot banyak ortu yg memberikan hadiah kepada walikelas. Apakah guru diperkenankan menerima?.

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Pemberian seseorang murid kepada gurunya setelah dia lulus, bagi raport, atau naik kelas sebagai bentuk terima kasih JIKA adalah INISIATIF muridnya sendiri atau walinya bukan permintaan guru, dan ini adalah bentuk pemuliaan dan penghargaan atas jerih payahnya adalah boleh, jika memang tidak ada larangan secara khusus dalam peraturan sekolah.

Namun hadiah kepada guru, jika diberikan sebelum penilaian atau kenaikan kelas, agar guru “terganggu” keputusannya. Atau untuk mengambil hati guru sehingga siswa tersebut diistimewakan, maka ini tidak boleh. Ini risywah (sogokan).

Syaikh Muh Shalih al Munajjid berkata:

أما إذا كان كانت الهديَّة مقابل جهدٍ وعملٍ قام به الشافع ؛ فلا حرجَ في أخذها

Ada pun jika hadiah itu diberikan karena kesungguhan kerja orang yang menolong, maka tidak apa-apa dia mengambil hadiah tersebut. (Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 220599)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فلا شيء فيما فعلتم من إهداء لذلك المدرس، بل أنتم مأجورون على ذلك ـ إن شاء الله ـ والقاعدة: أن هدية الطالب إلى المدرس إن سلمت من غرض سيئ يصاحبها، لم يحرم على الطالب بذلها، ولا على المدرس أخذها

Tidak masalah apa yang Anda lakukan berupa memberikan hadiah kpd guru tsb, bahkan Anda mendapatkan pahala atas hal itu – Insya Allah- sesuai kaidah: “Hadiah seorang pelajar kepada gurunya jika aman dari tujuan yang buruk pelakunya, tidaklah haram bagi pelajar itu melakukannya, begitu pula bagi pihak gurunya.”

وأما إن لم تسلم من ذلك، كأن تكون بقصد محاباته في رفع درجاته في الامتحان، أو لإعطائه ميزة على حساب غيره، فلا تجوز؛ لأنها حينئذ من باب الرشوة

Ada pun jika tidak aman dari hal itu, seperti ada maksud agar rangking hasil ujiannya dinaikan, atau agar pemberian itu membuatnya istimewa di atas orang lain, maka ini tidak boleh. Karena, saat itu hal tsb termasuk kategori risywah.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 284881)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Apakah Suntik Vaksin Membatalkan Puasa?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Aslkm… Ustadz bgmna hukumnya saat puasa di suntik vaksin?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Tidak apa-apa, sebab itu bukan aliran pencernaan..

Syaikh Ahmad bin Umar Asy Syathiriy Rahimahullah menjelaskan tentang suntikan obat:

أما حكم الإبرة قالوا إن الإبرة التى يحقن بها المريض تمر بالعروق و تصل إلى الجوف فتفسد الصوم لكن قال بعض العلماء كل ما يدخل الى الجسم من منفذ غير طبيعى فإنه لا يبطل به الصوم

Ada pun hukum suntikan, para ulama mengatakan bahwa suntikan yang diinjeksi kepada orang sakit yang melewati urat/pembuluh darahnya dan sampai ke lambung maka dapat merusak (batal) puasanya. Tetapi sebagian ulama mengatakan semua yang masuk ke tubuh dari jalan yang tidak alami maka itu tidak membatalkan puasa. (Syaikh Ahmad bin Umar Asy Syathiri, Syarh Al Yaqut An Nafis, Hal. 307)

Sementara itu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah, mengatakan bahwa suntikan infus yang dengannya sebagai ganti asupan makan dan minum, menurutnya batal, sebab itu pengganti makan dan minum. Sedangkan suntikan bukan pengganti makanan tidak apa-apa. 1] Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah juga menyatakan suntikan untuk obat, tidak masalah. 2]

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah menjelaskan: “Jika suntikan tersebut bukanlah mengandung makanan maka puasanya tidak batal walau diberikannya melalui pembuluh darah. Anda tidak dikenakan kewajiban apa-apa, puasa Anda tetap sah.” 3]

1) Syaikh Muhammad bn Shalih Al ‘Utsaimin, Majalis Syahr Ramadhan, Hal. 70

2) Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Fatawa Muhammad bin Ibrahim, 4/189

3) Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah no. 143225

Wallahu A’lam

🌻🌷🍀🌿🍃🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Di Mana Arwah Para Nabi Pasca Wafatnya?

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamualaikum
Afwan ustadz mohon bimbingannya takut salah jawab
Ada jamaah bertanya

Manusia wafat ada di alam barzah apakah para nabi juga ada di alam barzah

Kalau semua ada di alam barzah kenapa para nabi yang sudah wafat ada di langit yang dilewati Baginda Rasulullah
Apakah langit itu juga alam barzah

Mohon bimbingannya ustadz

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Secara fisik, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memang telah wafat. Sebagaimana nabi-nabi sebelumnya juga telah wafat.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٞ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِهِ ٱلرُّسُلُۚ أَفَإِيْن مَّاتَ أَوۡ قُتِلَ ٱنقَلَبۡتُمۡ عَلَىٰٓ أَعۡقَٰبِكُمۡۚ وَمَن يَنقَلِبۡ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ فَلَن يَضُرَّ ٱللَّهَ شَيۡـٔٗاۚ وَسَيَجۡزِي ٱللَّهُ ٱلشَّٰكِرِينَ

Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur.

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 144)

Ayat lainnya:

إِنَّكَ مَيِّتٞ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).

(QS. Az-Zumar, Ayat 30)

Hanya saja jasad para nabi, Allah Ta’ala jaga, tidak rusak di kuburnya.

Sebagaimana hadits:

إن الله عز وجل حرَّم على الأرض أجساد الأنبياء

Allah Ta’ala mengharamkan atas bumi merusak jasad-jasad para nabi.

(HR. Ahmad, no. 16162. Dishahihkan oleh Imam an Nawawi dalam Khulashah al Ahkam, no. 1441)

Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah berkata:

ولم يقم دليل على فناء جسمه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، بل جاء في بعض الأخبار ما يدل على بقياه صلوات الله عليه ” انتهى

Tidak ada dalil yang menunjukkan binasanya jasad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, justru sebagian hadits menunjukkan keutuhan jasad Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

(Ikmal al Mu’lim, 7/218)

Ada pun ruhnya, hakikatnya masih hidup yaitu di alam barzakh (al hayatu al barzakhiyah), alam pembatas antara alam dunia dan akhirat.

Hal ini didasarkan pada ayat:

وَلَا تَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمۡوَٰتَۢاۚ بَلۡ أَحۡيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمۡ يُرۡزَقُونَ

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki,

(QS. Ali ‘Imran, Ayat 169)

Ayat ini menunjukkan ruh syuhada hakikatnya masih hidup, maka apalagi ruh para nabi yang lebih mulia dari mereka.

Dalam hadits juga disebutkan:

و ما من رجل يمر بقبر الرجل كان يعرفه في الدنيا فيسلم عليه إلا رد الله عليه روحه حتى يرد عليه

Tidaklah seorang laki-laki melewati kubur seseorang yang dikenalnya, lalu dia ucapkan salam kepada penghuni kubur itu, melainkan Allah kembalikan ruhnya kepadanya dan menjawab salamnya.

(HR. Ibnu Abdil Bar. Dishahihkan oleh Ibnu Abdil Bar, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dll)

Ini terjadi pada ruh muslim. Maka, apalagi pada ruh oara nabi dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Hanya saja, posisi ruh para nabi -teristimewa lagi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam- adalah di ‘Illiyyin (posisi tertinggi) di antara ruh yang lainnya. Ketika dikembalikan ke jasadnya, dia hidup dalam kehidupan alam barzakh yang karakter kehidupannya sangat berbeda dgn kehidupan dunia. Jangan bayangkan para nabi dikuburnya melakukan aktivitas duniawi seperti saat masih hidup dulu: makan, minum, berjalan, ke pasar, dan lainnya. Tidak demikian.

Imam adz Dzahabi Rahimahullah berkata:

وَهُوَ حَيٌّ فِي لَحْدِهِ، حَيَاةَ مِثْلِهِ فِي البَرزَخِ الَّتِي هِيَ أَكمَلُ مِنْ حَيَاةِ سَائِرِ النَّبِيِّينَ ، وَحَيَاتُهُم بِلاَ رَيْبٍ أَتَمُّ وَأَشرَفُ مِنْ حَيَاةِ الشُّهدَاءِ الَّذِيْنَ هُم بِنَصِّ الكِتَابِ: { أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ } آل عمران/169

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam hidup di liang lahadnya, dia hidup sebagaimana yang semisalnya di alam barzakh dengan kehidupan yang paling sempurna dibanding para nabi lainnya. Kehidupan para nabi tidak ragu lagi lebih sempurna kemuliaannya dibanding para syuhada, sebagaimana tertulis dalam Al Quran: Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki,

وَهَؤُلاَءِ حَيَاتُهُم الآنَ الَّتِي فِي عَالِمِ البَرْزَخِ حَقٌّ ، وَلَكِنْ لَيْسَتْ هِيَ حَيَاةَ الدُّنْيَا مِنْ كُلِّ وَجْهٍ ، وَلاَ حَيَاةَ أَهْلِ الجَنَّةِ مِنْ كُلِّ وَجْهٍ ، وَلَهُم شِبْهٌ بِحَيَاةِ أَهْلِ الكَهْفِ

Saat ini, kehidupan mereka di alam barzakh adalah benar adanya. Tapi tidak sama dengan kehidupan dunia di segala sisinya, dan tidak sama dengan kehidupan para penduduk surga. Bagi mereka adalah kehidupan yang mirip dengan Ashabul kahfi.

وَمِنْ ذَلِكَ اجْتِمَاعُ آدَمَ وَمُوْسَى لَمَّا احْتَجَّ عَلَيْهِ مُوْسَى ، وَحَجَّهُ آدَمُ بِالعِلْمِ السَّابِقِ ، كَانَ اجْتِمَاعُهُمَا حَقّاً ، وَهُمَا فِي عَالِمِ البَرْزَخِ ، وَكَذَلِكَ نَبِيُّنَا – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَخبَرَ أَنَّهُ رَأَى فِي السَّمَاوَاتِ آدَمَ ، وَمُوْسَى ، وَإِبْرَاهِيْمَ ، وَإِدْرِيْسَ ، وَعِيْسَى ، وَسَلَّمَ عَلَيْهِم ، وَطَالَتْ مُحَاوَرَتُهُ مع مُوْسَى

Oleh karena itu, Nabi Adam dan Nabi Musa pernah berjumpa dan berdebat. Adam mendebat Musa dengan ilmunya terdahulu. Pertemuan mereka adalah benar adanya, dan mereka di alam barzakh. Sebagaimana pertemuan nabi kita saat mengabarkan bahwa di langit berjumpa dengan Adam, Musa, Ibrahim, Idris, Isa, ‘Alaihimussalam. Serta panjangnya Beliau dialog dengan Musa.

(Siyar A’lam an Nubala, 7/570)

Demikian. Wallahu a’lam

🌻🌷🍀🌿🍃🌳

✍ Farid Nu’man Hasan

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban Dengan Ibadah

💢💢💢💢💢💢💢

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن

“Allah Ta’ala menampakkan (rahmat) diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.”

Status Hadits:

– Diriwayatkan dari banyak sahabat nabi yakni Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Sehingga satu sama lain saling menguatkan. Oleh karena itu dinyatakan SHAHIH, oleh Syaikh al Albani.

(Lihat As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga Shahih Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785)

Dishahihkan pula oleh Dr. Abdul Malik bin Abdullah Ad Duhaisy, dalam Jami’ Al Masanid wa Sunan, No. 9697.

Kandungan Hadits:

📌 Hadits ini menunjukkan kemuliaan malam Nishfu Sya’ban, saat itu Allah Ta’ala menampakkan kasih sayangNya dengan mengampuni semua makhluk, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.

📌 Walau pada prinsipnya, ampunan dan rahmat Allah Ta’ala tentunya ada disepanjang waktu bukan hanya pada satu hari atau malam.

📌 Maka, jika seorang muslim menghidupkan malam itu dengan doa, ibadah, dan membaca Al Quran, baik sendiri atau berjamaah, maka itu bagus.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:

إذَا صَلَّى الْإِنْسَانُ لَيْلَةَ النِّصْفِ وَحْدَهُ أَوْ فِي جَمَاعَةٍ خَاصَّةٍ كَمَا كَانَ يَفْعَلُ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ فَهُوَ أَحْسَن

Jika manusia shalat malam nishfu seorang diri atau jamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan beberapa golongan salaf, maka itu lebih baik. (Al Fatawa Al Kubra, 2/262)

Hanya saja Beliau menolak menetapkan jumlah atau angka khusus dalam rakaat shalatnya.

📌 Para Salaf mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban, sebagaimana dikatakan Imam Ibnu Taimiyah juga:

لكن الذي عليه كثير من أهل العلم أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم على تفضيلها وعليه يدل نص أحمد لتعدد الأحاديث الواردة فيها وما يصدق ذلك من الآثار السلفية وقد روى بعض فضائلها في المسانيد والسنن وإن كان قد وضع فيها أشياء أخر

Tetapi, yang dianut oleh mayoritas ulama atau mayoritas sahabat-sahabat kami (HAMBALIYAH), dan selain mereka, bahwa malam Nishfu Sya’ban memiliki keutamaan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad. Hal ini berdasarkan banyak hadits dan atsar para salafush shalih. Diriwayatkan sebagian riwayat tentang keutamaan tersebut di kitab-kitab Musnad dan Sunan, namun adanya riwayat palsu pada riwayat tersebut merupakan perkara yang lain.

(Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim, Hal. 302)

📌Syaikh ‘Athiyah Shaqr Rahimahullah menyebutkan para imam tabi’in di Syam yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan ibadah di masjid secara berjamaah, dan mereka memandangnya bukan bid’ah. Berikut ini uraiannya:

أنه يستحب إحياؤها جماعة فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى مسائله

Dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid, Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus, memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini.

(Fatawa Al Azhar, 10/131)

📌 Ini pun pendapat mayoritas ahli fiqih.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى نَدْبِ إِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ …

Mayoritas ahli fiqih menganjurkan menghidupkan (dengan ibadah) malam Nishfu Sya’ban .. (Lalu disebutkan beberapa hadits tentang hal itu). (Al Mausu’ah, 2/236)

📌 Bahkan ini dilakukan sudah sejak lama di Masjid al Haram, di masa salaf.

Al Fakihi Rahimahullah (wafat 272 H) bercerita:

ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيهَا لِفَضْلِهَا وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَصَلَّوْا، وَطَافُوا، وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحَ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، حَتَّى يَخْتِمُوا الْقُرْآنَ كُلَّهُ، وَيُصَلُّوا، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِالْحَمْدُ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ، وَأَخَذُوا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ، فَشَرِبُوهُ، وَاغْتَسَلُوا بِهِ، وَخَبَّؤُوهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى، يَبْتَغُونَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ، وَيُرْوَى فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ

Amalan penduduk Mekkah pada malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka beribadah karena keutamaan malam tersebut. Penduduk Mekkah dari dulu sampai hari ini, jika datang malam Nishfu Sya’ban, maka mayoritas laki-laki dan perempuan keluar menuju Masjidil Haram, mereka shalat, thawaf, dan menghidupkan malam itu sampai pagi dengan membaca Al Quran di Masjidil Haram sampai mengkhatamkan semuanya, dan mereka shalat, di antara mereka ada yang shalat malam itu 100 rakaat dan pada tiap rakaatnya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas 10 kali, lalu mereka mengambil air zam zam malam itu, lalu meminumnya, mandi dengannya, dan juga menyembuhkan orang sakit dengannya, dalam rangka mencari keberkahan pada malam tersebut. (Akhbar Makkah, 3/84)

📌 Walau para ulama umumnya mengakui keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan anjuran menghidupkannya dengan ibadah, namun sebagian ulama ada yang tidak menyukainya termasuk dikalangan Syafi’iyah. Khususnya dalam hal penentuan jumlah rakaat dan cara cara spesifik lainnya.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الإِْحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لإِِحْيَائِهَا ، وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ 5وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً ، وَقَال الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلاَةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ

Imam Al Ghazali menjelaskan tata cara menghidupkan malam itu secara khusus, namun tata cara itu diingkari oleh Syafi’iyah dan menyebutnya sebagai bid’ah yang buruk. Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat tersebut adalah bid’ah, palsu, dan buruk lagi munkar. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/236)

Hal ini sebagaimana ditegaskan Imam an Nawawi berikut ini:

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل

“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya Ulumuddin , dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/56)

📌 Wal hasil, para salaf sepakat keutamaan malam Nishfu Sya’ban dan menghidupkannya dengan ibadah. Tapi, mereka berbeda pendapat dalam hal hai’ah (bentuk) dan tata caranya. Tentunya kaum muslimin hendaknya berlapang dada atas perbedaan ini sebagaimana menyikapi perbedaan persoalan fiqih lainnya.

Demikian. Wallahu a’lam

🌷🌸🌿🌳🌻🍃🍀

✍ Farid Nu’man Hasan

scroll to top