Masbuq Apakah Wajib Takbiratul Ihram, atau Langsung Ikut Gerakan Imam?

💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum
Warrahmatullahi
Wabarakatuh

Mau tanya Ustadz

Bila kita menjadi makmum masbuq, bila imam sudah rukuk, apakah :
1) Mesti takbiratul ikhram terlebih dahulu, baru setelah itu langsung rukuk mengikuti imam ?
2) Apabila mesti takbiratul ikhram apakah mesti membaca takbir 2 kali sebelum rukuk mengikuti imam ?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim…

Takbiratul Ihram (ucapan Allahu akbar di awal shalat) itu rukun shalat, dan pembukanya. Tidak sah shalat tanpa mengawalinya dengan Takbiratul Ihram. Ada pun yang SUNNAH adalah mengangkat tangannya saat Takbiratul Ihram.

Hal ini berdasarkan hadits:

مفتاح الصلاة الطهور، وتحريمها التكبير، وتحليلها التسليم

Kuncinya Shalat adalah bersuci, pengharamnya adalah takbir, dan penghalalannya adalah salam.

(HR. Abu Daud, Ahmad, Al Hakim, kata Al Hakim: sanadnya Shahih)

Maka, disaat seseorang masbuq, maka takbirlah lalu langsung ikuti gerakan/posisi imam. Jika imam sedang ruku maka lalukan takbiratul ihram saat berdiri tegak, lalu langsung ruku, tanpa takbir intiqal lagi.

Imam Abu Ishaq asy Syirazi Rahimahullah berkata:

وإن أدركه ساجداً كبر للإحرام ثم يسجد من غير تكبير، ومن أصحابنا من قال: يكبر كما يكبر للركوع، والمذهب الأول

Jika seseorang mendapatkan imam sdg sujud maka hendaknya dia bertakbir (ihram), lalu dia sujud tanpa takbir. Di antara sahabat kami (Syafi’iyah) ada juga yg mengatakan takbir dulu seperti takbir ruku, namun pendapat resmi madzhab adalah yang awal. (Al Muhadzdzab, 1/179)

Imam an Nawawi mengatakan:

قال أصحابنا: إذا أدركه ساجداً أو في التشهد كبر للإحرام قائماً ويجب أن يكمل حروف تكبيرة الإحرام قائماً كما سبق بيانه قريباً في صفة الصلاة فإذا كبر للإحرام لزمه أن ينتقل إلى الركن الذي فيه الإمام، وهل يكبر للانتقال؟ فيه الوجهان اللذان ذكرهما المصنف أصحهما باتفاق الأصحاب: لا يكبر، لما ذكره المصنف، ثم يكبر بعد ذلك إذا انتقل مع الإمام من السجود أو غيره موافقة للإمام

Para sahabat kami mengatakan: “Jika seseorang mendapatkan imam sedang sujud atau tasyahud, hendaknya dia takbiratul ihram secara berdiri dan wajib baginya menyempurnakan semua huruf takbiratul ihramnya di saat berdiri, sebagaimana penjelasan pada sifat shalat yg lalu. Jika sudah takbiratul ihram, maka wajib baginya mengikuti posisi imam, apakah pakai takbir intiqal (takbir antar gerakan)? Dalam hal ini ada dua pendapat seperti yg disebut oleh Al Mushannif, tapi yang SHAHIH dan disepakati madzhab Syafi’i adalah TIDAK BERTAKBIR. Bertakbir itu ada pada gerakan selanjutnya bersama imam, baik pada sujud, atau lainnya.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/218)

Demikian. Wallahu a’lam

🌿🌺🌷🌻🌸🍃🌴🌵

🖋 Farid Nu’man Hasan

Siapakah Ibnul Arabi

📨 PERTANYAAN:

Assalamu alaikum ustadz, sy membaca sebuah artikel kitab2 Ibnu Arobi dan Al Ghozali adalah kitab2 sufi yg banyak kesesatan, misal wihdatul wujud dll.
mohon konfirmasi dari ustadz apakah demikian , mungkin ustadz mengetahui kitab2 kedua ulama tersebut. syukron ustadz.

📬 JAWABAN

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Dalam sejarah ada bbrp nama ulama yang mirip. Misalnya Imam Ibnul ‘Arabi Rahimahullah dan Ibnu ‘Arabi (tanpa alif lam)

Imam Ibnul’ Arabi adalah ahli tafsir dan faqih bermadzhab Maliki. Penyusun kitab Ahkamul Quran.

Ada pun Ibnu ‘Arabi, dia adalah sufi, dan dianggap bermasalah. Sebagian ulama memfatwakannya sesat bahkan kafir, sebagian lain membelanya.

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan:

شيخ سوء كذاب يقول بقدم العالم ولا يحرم فرجاً

Syaikh yg buruk, pendusta, dia mengatakan alam ini qidam (terdahulu), dan tidak mengharamkan kemaluan (zina).

(Imam adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 23/49)

Beliau juga berkata:

هُوَ شَيْخُ سُوءٍ مَقْبُوْحٌ كَذَّابٌ

Dia Syaikh yang buruk, jelek, dan pendusta. (Ibid)

Kitabnya Ibnu ‘Arabi yaitu Fushushul Hikam, dianggap penuh kekufuran. Imam adz Dzahabi berkomentar tentang kitab tsb:

فَإِنْ كَانَ لاَ كُفْرَ فِيْهِ، فَمَا فِي الدُّنْيَا كُفْرٌ، نَسْأَلُ اللهَ العَفْوَ وَالنَّجَاةَ، فَوَاغَوْثَاهُ بِاللهِ

Seandainya di dalamnya (kitab al Fushush) tidak ada kekafiran, niscaya di dunia tidak ada kekafiran, kita memohon maaf dan keselamatan kepada Allah. (Ibid, 23/48)

Imam Tajuddin as Subki mengatakan:

‘ومن كان من هؤلاء الصوفية المتأخرين كابن عربي وغيره فهم ضلال جهال خارجون عن طريقة الإسلام، فضلاً عن العلماء، وقال ابن المقري في روضه: إن الشك في كفر طائفة ابن عربي كفر

Mereka kaum sufi era belakangan, seperti Ibnu ‘Arabi dan lainnya, mereka adalah sesat, bodoh, dan keluar dari jalan Islam, apalagi jalan ulama. Ibnul Muqri mengatakan dalam kitab Ar Raudh: “Siapa yg ragu kekafiran Ibnu Arabi, maka dia juga kafir.”

(Dikutib oleh Imam Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 3/61)

Imam Ibnu Hajar bertanya kepada gurunya, yakni Al Bulqini tentang Ibnu Arabi, dia segera menjawab: “Dia kafir.” (Lisanul Mizan, 4/318)

Sementar itu sebagian ulama membelanya dan menyebutnya sebagai imam, muhyiddin (orang yang menghidupkan agama), Syaikhul Akbar, Sulthanul ‘Arifin, seperti Imam as Suyuthi, Imam asy Sya’rani, Imam Fairuzzabadi, Imam Zamlikani, Imam al Munawi, dan lainnya.

Termasuk Dar al Ifta al Mishriyyah. Konon, Imam Izzuddin bin Abdussalam akhirnya meralat pendapatnya dan berubah memuji Ibnu ‘Arabi.

Berikut ini keterangannya:

وقد كان الإمام المجتهد شيخ الإسلام العز بن عبد السلام رحمه الله تعالى (ت 660هـ) ينكر على الشيخ ابن عربي في أول أمره، فلما عرف مقامه شهد له ورجع عن إنكاره، وقرر أن الإمام محيي الدين قطب زمانه

Imam Mujtahid Syaikhul Islam Izzuddin bin Abdissalam (w. 660H) pada awalnya mengingkari Ibnu ‘Arabi. Ketika dia tahu kedudukannya, maka dia pun meralat pendapatnya, dan mengakui bahwa Imam Muhyiddin adalah wali quthb pada zamannya. (Dar Ifta al Mishriyyah no. 4271)

Imam al Ghazali, yaitu Abu Hamid al Ghazali. Seorang ahli fiqih madzhab Syafi’i, Ushuli, sufi, sosiolog, dan filsuf.

Dia dijuluki Hujjatul Islam di zamannya. Selengkapnya bisa dibaca di sini:

Imam Al Ghazali dan Kontroversi Ihya ‘Ulumuddin

Demikian. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Apa Makna Hidayah?

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Ustadz, bagaimanakah sebenarnya hidayah Allah itu? Apakah Allah sudah memberikannya dan seseorang harus menjemputnya, lalu bertaubat?

Atau apakah hidayah itu harus diminta sehingga Allah menjadikan seseorang itu bertaubat lalu Allah mengampuninya?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim…

Pada dasarnya hidayah itu dari Allah Ta’ala. Ini konsep utama dalam masalah ini. Sebagaimana firmanNya:

إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.

(QS. Al-Qashash, Ayat 56)

Ayat lainnya:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ سَوَآءٌ عَلَيۡهِمۡ ءَأَنذَرۡتَهُمۡ أَمۡ لَمۡ تُنذِرۡهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ

خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَٰرِهِمۡ غِشَٰوَةٞۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٞ

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman.

Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 6-7)

Namun, demikian salah satu perangkat penting dalam diri manusia yang telah Allah Ta’ala ciptakan adalah IRADAH dan MASYI-AH (Kehendak/kemauan). Allah Ta’ala memerintahkan manusia agar kehendak itu digunakan untuk menuju dan meraih hidayah, tidak diam. Jangan pula kehendak itu dipakai untuk keburukan, kedua pilihan itu ada konsekuensi.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا

Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zhalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

(QS. Al-Kahfi, Ayat 29)

Ayat ini menunjukkan adanya peran kehendak manusia untuk menuju jalan iman dan jalan kafir.
Oleh karena itu dalam ayat lain, Allah Ta’ala menggabungkan antara usaha manusia untuk mendapatkan hidayah dan kehendak diriNya memberikan hidayah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.

(QS. Al-Ankabut, Ayat 69)

Hidayah Allah Ta’ala diberikan kepada orang-orang yang berjihad dijalanNya, yaitu bersungguh-sungguh mencari jalan kebenaran. Pencarian jalan menuju kebenaran adalah bagian dari hidayah itu sendiri.

Maka, siapa pun yg berusaha menuju hidayah, dia melakukan perbuatan yang semakin mendekatkan dirinya kepada hidayah – seperti berkumpul dgn org shalih, mempelajari buku2 keislaman, kajian- maka Allah Ta’ala akan memberikan jalan kepadaNya. Siapa yang justru menjauh dan melawan, maka dia semakin jauh dari hidayah, dan Allah Ta’ala pun menjauhkannya.

Hidayah itu mirip dengan – misalnya- prestasi yg diraih seseorang dalam hidupnya. Walau hakikatnya berasal dari Allah, tapi ada sebab-sebab ril yang sebelumnya dia lakukan.

Demikian. Wallahu a’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Orangtua Sakit Keras, Bolehkah Difidyahkan Saja Puasanya oleh Anaknya?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

bolehkah sorang anak mengganti puasa ibunya yang sedang sakit parah yang sudah sangat udzur?
(Ustadz Rifki Rif’at DSW papua)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Orang yang sedang sakit payah, dan bertepatan dgn hari-hari berpuasa, maka dia mesti dikonsultasikan kepada dokter yang jujur dan terpercaya dulu.

Jika dokter mengatakan bahwa dia masih ada harapan dan peluang sembuh, maka yang wajib baginya adalah qadha di hari lain.

Hal ini sebagaimana ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ

Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 184)

Ada pun jika dokter mengatakan tidak ada harapan sembuh, memang sangat sulit, maka yang wajib adalah fidyah dengan memberikan makan orang miskin sebanyak hari yang dia tinggalkan.

Hal ini sesuai firman Allah Ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.

(QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma mengatakan tentang makna “bagi orang yang berat menjalankannya”:

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Itu adalah aki-aki dan nenek-nenek yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka, mereka memberikan makanan tiap-tiap hari satu orang miskin. (HR. Bukhari no. 4505)

Orang yang sakit berat dan tidak ada harapan sembuh disamakan dengan aki-aki tua yang sudah tidak mampi puasa.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahumallah berkata:

وَالْمَرِيضُ الَّذِي لا يُرْجَى بُرْؤُهُ , يُفْطِرُ , وَيُطْعِمُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ; لأَنَّهُ فِي مَعْنَى الشَّيْخِ اهـ

Orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh hendaknya dia tidak berpuasa, dan dia memberikan makan masing-masing hari satu orang miskin karena keadaan dia semakna dengan aki-aki tua. (Al Mughni, 4/396)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

العاجز عن الصيام عجزاً مستمراً لا يرجى زواله – كالكبير والمريض مرضاً لا يرجى برؤه كصاحب السرطان ونحوه – فلا يجب عليه الصيام لأنه لا يستطيعه وقد قال الله تعالى : ( فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ) التغابن/16 . وقال : ( لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا ) البقرة/286 .
لكن يجب عليه أن يطعم بدل الصيام عن كل يوم مسكيناً

Orang yang sudah tidak mampu berpuasa, terus-menerus seperti itu, dan tidak bisa diharapkan hilang ketidakmampuan itu, seperti aki-aki tua, orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh seperti penderita kanker, maka dia tidak wajib puasa, karena dia tidak mampu.

Allah Ta’ala berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah semampu kamu.” (QS. At Taghabun: 16)

Ayat lainnya: “Allah tidaklah memberikan beban melainkan sesuai kesanggupan seseorang memikulnya. (QS. Al Baqarah: 286)

Tapi yang wajib adalah hendaknya dia memberikan makanan sebagai pengganti puasanya, masing-masing hari itu satu orang miskin.

(Majelis Ramadhan, Hal. 32)

Jadi seperti itu, bukan anaknya yang berpuasa untuknya. Anak berpuasa untuknya itu JIKA orang tua tersebut wafat, dan ada kewajiban berpuasa yang dia tinggalkan saat sakitnya, maka menurut mayoritas ulama adalah anaknya fidyah untuk orang tuanya, kecuali menurut Syafi’iyah yang mengatakan berpuasa, bukan fidyah.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan dengan sangat bagus :

فذهب جمهور العلماء، منهم أبو حنيفة، ومالك، والمشهور عن الشافعي إلى أن وليه لا يصوم عنه ويطعم عنه مدا، عن كل يوم .
والمذهب المختار عند الشافعية: أنه يستحب لوليه أن يصوم عنه، ويبرأ به الميت، ولا يحتاج إلى طعام عنه.
والمراد بالولي، القريب، سواء كان عصبة، أو وارثا، أو غيرهما.
ولو صام أجنبي عنه، صح، إن كان بإذن الولي، وإلا فإنه لا يصح.
واستدلوا بما رواه أحمد، والشيخان، عن عائشة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من مات وعليه صيام صام عنه وليه ” زاد البزار لفظ: إن شاء
وروى أحمد وأصحاب السنن: عن ابن

عباس رضى الله عنهما أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم: فقال: يا رسول الله، إن أمي ماتت وعليها صيام شهر أفأقضيه عنها؟ فقال: ” لو كان على أمك دين أكنت قاضيه؟ ” قال: نعم. قال: ” فدين الله أحق أن يقضى ” قال النووي: وهذا القول هو الصحيح المختار الذي نعتقده وهو الذي صححه محققو أصحابنا الجامعون بين الفقه والحديث لهذه الاحاديث الصحيحة الصريحة.

Menurut mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang masyhur dari Asy Syafi’i, bahwa walinya tidaklah berpuasa qadha untuknya, tetapi memberikan makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya.

Tapi, madzhab yang DIPILIH oleh Syafi’iyyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk berpuasa qadha baginya, yang dengan itu mayit sudah bebas, dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah).
Yang dimaksud dengan WALI adalah kerabatnya, sama saja baik dia ‘ashabah, atau ahli warisnya, atau selain mereka. Bahkan seandainya orang lain pun tetap sah, jika izin ke walinya, jika tidak maka tidak sah.

Mereka berdalil seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Syaikhan (Al Bukhari dan Muslim), dari Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang wafat dan dia ada kewajiban puasa maka hendaknya walinya berpuasa untuknya.” Dalam riwayat Al Bazzar ada tambahan: “Jika dia mau.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulullah ﷺ:

“Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan dia ada kewajiban puasa, bolehkah saya yang mengqadha-nya?” Nabi ﷺ menjawab: “Apa pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarkannya?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Maka, hutang kepada Allah lebih layak kamu bayar.”

Imam An Nawawi berkata: “Pendapat ini adalah pendapat yang benar lagi terpilih, dan kami meyakininya dan telah dishahihkan para peneliti dari para sahabat kami (Syafi’iyah) yang telah menggabungkan antara hadits dan fiqih, karena hadits-hadits ini adalah shahih dan begitu jelas.

(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/471. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

scroll to top