Orangtua Sakit Keras, Bolehkah Difidyahkan Saja Puasanya oleh Anaknya?

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

bolehkah sorang anak mengganti puasa ibunya yang sedang sakit parah yang sudah sangat udzur?
(Ustadz Rifki Rif’at DSW papua)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim ..

Orang yang sedang sakit payah, dan bertepatan dgn hari-hari berpuasa, maka dia mesti dikonsultasikan kepada dokter yang jujur dan terpercaya dulu.

Jika dokter mengatakan bahwa dia masih ada harapan dan peluang sembuh, maka yang wajib baginya adalah qadha di hari lain.

Hal ini sebagaimana ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ

Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.

(QS. Al-Baqarah, Ayat 184)

Ada pun jika dokter mengatakan tidak ada harapan sembuh, memang sangat sulit, maka yang wajib adalah fidyah dengan memberikan makan orang miskin sebanyak hari yang dia tinggalkan.

Hal ini sesuai firman Allah Ta’ala:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.

(QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma mengatakan tentang makna “bagi orang yang berat menjalankannya”:

هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Itu adalah aki-aki dan nenek-nenek yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka, mereka memberikan makanan tiap-tiap hari satu orang miskin. (HR. Bukhari no. 4505)

Orang yang sakit berat dan tidak ada harapan sembuh disamakan dengan aki-aki tua yang sudah tidak mampi puasa.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahumallah berkata:

وَالْمَرِيضُ الَّذِي لا يُرْجَى بُرْؤُهُ , يُفْطِرُ , وَيُطْعِمُ لِكُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا ; لأَنَّهُ فِي مَعْنَى الشَّيْخِ اهـ

Orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh hendaknya dia tidak berpuasa, dan dia memberikan makan masing-masing hari satu orang miskin karena keadaan dia semakna dengan aki-aki tua. (Al Mughni, 4/396)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

العاجز عن الصيام عجزاً مستمراً لا يرجى زواله – كالكبير والمريض مرضاً لا يرجى برؤه كصاحب السرطان ونحوه – فلا يجب عليه الصيام لأنه لا يستطيعه وقد قال الله تعالى : ( فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ ) التغابن/16 . وقال : ( لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا ) البقرة/286 .
لكن يجب عليه أن يطعم بدل الصيام عن كل يوم مسكيناً

Orang yang sudah tidak mampu berpuasa, terus-menerus seperti itu, dan tidak bisa diharapkan hilang ketidakmampuan itu, seperti aki-aki tua, orang sakit yang tidak bisa diharapkan sembuh seperti penderita kanker, maka dia tidak wajib puasa, karena dia tidak mampu.

Allah Ta’ala berfirman: “Bertaqwalah kepada Allah semampu kamu.” (QS. At Taghabun: 16)

Ayat lainnya: “Allah tidaklah memberikan beban melainkan sesuai kesanggupan seseorang memikulnya. (QS. Al Baqarah: 286)

Tapi yang wajib adalah hendaknya dia memberikan makanan sebagai pengganti puasanya, masing-masing hari itu satu orang miskin.

(Majelis Ramadhan, Hal. 32)

Jadi seperti itu, bukan anaknya yang berpuasa untuknya. Anak berpuasa untuknya itu JIKA orang tua tersebut wafat, dan ada kewajiban berpuasa yang dia tinggalkan saat sakitnya, maka menurut mayoritas ulama adalah anaknya fidyah untuk orang tuanya, kecuali menurut Syafi’iyah yang mengatakan berpuasa, bukan fidyah.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan dengan sangat bagus :

فذهب جمهور العلماء، منهم أبو حنيفة، ومالك، والمشهور عن الشافعي إلى أن وليه لا يصوم عنه ويطعم عنه مدا، عن كل يوم .
والمذهب المختار عند الشافعية: أنه يستحب لوليه أن يصوم عنه، ويبرأ به الميت، ولا يحتاج إلى طعام عنه.
والمراد بالولي، القريب، سواء كان عصبة، أو وارثا، أو غيرهما.
ولو صام أجنبي عنه، صح، إن كان بإذن الولي، وإلا فإنه لا يصح.
واستدلوا بما رواه أحمد، والشيخان، عن عائشة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من مات وعليه صيام صام عنه وليه ” زاد البزار لفظ: إن شاء
وروى أحمد وأصحاب السنن: عن ابن

عباس رضى الله عنهما أن رجلا جاء إلى النبي صلى الله عليه وسلم: فقال: يا رسول الله، إن أمي ماتت وعليها صيام شهر أفأقضيه عنها؟ فقال: ” لو كان على أمك دين أكنت قاضيه؟ ” قال: نعم. قال: ” فدين الله أحق أن يقضى ” قال النووي: وهذا القول هو الصحيح المختار الذي نعتقده وهو الذي صححه محققو أصحابنا الجامعون بين الفقه والحديث لهذه الاحاديث الصحيحة الصريحة.

Menurut mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, Malik, dan yang masyhur dari Asy Syafi’i, bahwa walinya tidaklah berpuasa qadha untuknya, tetapi memberikan makan sebanyak satu mud untuk setiap harinya.

Tapi, madzhab yang DIPILIH oleh Syafi’iyyah adalah dianjurkan bagi walinya untuk berpuasa qadha baginya, yang dengan itu mayit sudah bebas, dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah).
Yang dimaksud dengan WALI adalah kerabatnya, sama saja baik dia ‘ashabah, atau ahli warisnya, atau selain mereka. Bahkan seandainya orang lain pun tetap sah, jika izin ke walinya, jika tidak maka tidak sah.

Mereka berdalil seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Syaikhan (Al Bukhari dan Muslim), dari Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang wafat dan dia ada kewajiban puasa maka hendaknya walinya berpuasa untuknya.” Dalam riwayat Al Bazzar ada tambahan: “Jika dia mau.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus Sunan, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulullah ﷺ:

“Wahai Rasulullah, ibuku telah wafat dan dia ada kewajiban puasa, bolehkah saya yang mengqadha-nya?” Nabi ﷺ menjawab: “Apa pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah kamu akan membayarkannya?” Laki-laki itu menjawab: “Ya.” Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Maka, hutang kepada Allah lebih layak kamu bayar.”

Imam An Nawawi berkata: “Pendapat ini adalah pendapat yang benar lagi terpilih, dan kami meyakininya dan telah dishahihkan para peneliti dari para sahabat kami (Syafi’iyah) yang telah menggabungkan antara hadits dan fiqih, karena hadits-hadits ini adalah shahih dan begitu jelas.

(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/471. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Demikian. Wallahu a’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Mau Hijrah? Seriuslah!

▫️▪️▫️▪️▫️▪️▫️▪️▫️▪️

Ibrahim bin Ad-ham Rahimahullah berkata:

من أراد التوبة فليخـرج من المظالم، وليدع مخالطـة من كان يخالطه، وإلا لم ينل ما يريد

Barangsiapa yg ingin bertobat hendaknya dia keluar dari kubangan kegelapan, dan tinggalkan pergaulan dengan orang-orang yang bergaul dengan kegelapan itu, jika tidak, niscaya dia tidak akan mencapai apa yang diinginkannya

📚 Imam Al Baihaqiy dalam Syu’abul Iman no. 6689

📙📘📕📒📔📓📗

🖋 Farid Nu’man Hasan

Diajak Makan di Tempat yang Belum Jelas Kehalalannya

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Bismillah, Assalaamu’alaykum

Ustadz belakangan, terutama di Jakarta banyak restoran2 baru kekinian dengan konsep BBQ dsb, di plang depannya tertulis ‘no pork no lard’ artinya tidak ada babi dan lemak babi.

Banyak muslim dan muslimat yg menikmati makan disitu.

Saya sendiri ragu untuk makan di restoran seperti itu yg banyak sekarang. Apalagi di akun resmi resto di medsos ketika ditanya halal jawabnya malah iya kami tidak pakai babi. Dan ditemukan juga disebagian resto tersebut menjual minuman keras.

Bagaimana sikap kita sebaiknya, dan bila teman atau saudara kita muslim awwam ajak makan dan traktir disitu? Mohon penjelasannya, Syukron,

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Orang-orang beriman Allah Ta’ala titipkan Al Furqan di hatinya sebagai buah dari ketaqwaannya. Dengan adanya al Furqan muncul Kepekaan halal dan haram. Bisa jadi dia orang yang biasa saja pengetahuan fiqihnya. Tapi, kepekaan imannya kadang lebih tajam dibanding pengetahuannya.

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَتَّقُواْ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّكُمۡ فُرۡقَانٗا وَيُكَفِّرۡ عَنكُمۡ سَيِّـَٔاتِكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡۗ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.

(QS. Al-Anfal, Ayat 29)

Maka, jika memang ada hal-hal yang kita ragukan kehalalannya, tentu sgt tepat jika kita meninggalkannya untuk menghilangkan was was, walau ternyata sebenarnya itu halal. Apalagi masih banyak alternatif yang jelas halalnya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

“Tinggalkan yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.”

(HR. At Tirmidzi no. 2518, hasan shahih)

Dalam hadits lain:

وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ

Dosa adalah apa-apa yang membuat dadamu gelisah.

(HR. Muslim no. 2553)

Demikian. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

Hukum Donasi Infaq Digunakan Untuk Keperluan Lain

💦💥💦💥💦💥

📨 PERTANYAAN:

Assalamu’alaikum ust. Farid yang dirahmati Alloh SWT.

Kami pengurus masjid mengadakan penggalangan dana utk pengadaan mobil ambulance yg diperuntukkan bagi jamaah masjid secara gratis kedepannya. Uang infaq sudah terkumpul setengah dari target yang ditetapkan. Namun ada informasi ternyata masjid kami mendapatkan hibah mobil ambulance dari pemerintah kota. Pertanyaan nya, apakah boleh jika uang infaq hasil penggalangan dana tersebut digunakan untuk membangun dan membeli sarana dan pra sarana pendukung mobil ambulance tsb di masjid (seperti bangunan Klinik, ruang parkir ambulance, dll) jika hibah mobil ambulance pengurus terima dr pemerintah kota?

Jazakallahu khair sebelum nya

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃

Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Untuk infaq yang muthlaq, di mana tidak ada arahan khusus dari para donatur, maka tasharruf (penyalurannya) bebas ke mana saja asalkan pantas menerimanya

Sedangkan untuk infaq dan sedekah yang muqayyad (terikat), yaitu terikat dengan target dan tujuan tertentu, jelas peruntukkannya, maka panitia mentasharrufkannya mesti ke tujuan dan target tersebut sesuai amanah dari orang yang berinfaq.

Sebab, TAGHYIRUN NIYYAH (berubahnya niat dan tujuan) hanya boleh ketika uangnya masih dikuasai oleh pemiliknya. Bukan ketika sudah dipegang oleh pengelolanya, atau bukan pula atas inisiatif pengelolanya.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,..

(QS. An-Nisa’, Ayat 58)

Dalam Mausu’ah al Fatawa no. 2324, ditanyakan tentang penggalangan dana yang tadinya buat Palestina, Libanon, bolehkah diarahkan dan dimanfaatkan buat keperluan lainnya?

Jawabannya:

لا يجوز صرف أموال الصدقات التي جمعت لصالح الشعبين الفلسطيني واللبناني لغيرهما، وذلك لكون المتبرع قد خصص جهة صرف تبرعه واللجنة تعتبر وكيلة عنه،

Tidak boleh menyalurkan harta sedekah yang tadinya sudah digalang untuk rakyat Palestina, Libanon, dan lainnya, di mana para dermawannya sudah mengarahkan secara khusus dan panitia sebagai yang diberikan kuasa bagi mereka.

وفي حال عدم تخصيص المتبرع للجهة فإنه يجوز للجنة أن تتصرف بهذا المال للجهة التي تراها محتاجة، والله أعلم

Tapi, kalau kondisinya tidak ada target khusus, boleh saja bagi panitia menyalurkannya kepada pihak yang menurut mereka membutuhkannya. Wallahu a’lam (selesai)

Maka, jika penggalangan dana sesuai pertanyaan di atas sudah JELAS MAKSUD dan TUJUANNYA, maka hendaknya diarahkan ke sana sesuai amanah para donaturnya. Bukan diarahkan untuk kepentingan lain, walau sama-sama kebaikan.

Demikian. Wallahu a’lam

📓📕📗📘📙📔📒

✏ Farid Nu’man Hasan

scroll to top