Sengaja Mengeraskan Suara di Shalat Zuhur Untuk Mengajar Shalat

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Mohon maaf ustadz mau tanya, berkaitan dengan mengajarkan shalat untuk anak2 dibawah 10 tahun. Ketika shalat dhuhur bolehkah dibaca keras seluruh bacaan shalat itu dalam rangka mengajarkan bacaan yang baik dan benar?

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Sengaja menjahrkan (mengeraskan) suara dalam shalat yang seharusnya lirih, seperti zuhur atau ashar, dengan sengaja walau utk keperluan mengajar, diperselisihkan para ulama.

Sebagian mengatakan hal itu meninggalkan sunnah, tapi shalatnya tetap sah. Sebagian lain mengatakan batal shalatnya. Namun umumnya mengatakan tetap sah.

Dalam mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah mengatakan:

الجهر في مواضع الجهر والإسرار في مواضع الإسرار لا خلاف في استحبابه، والأصل فيه فعل النبي صلى الله عليه وسلم وقد ثبت ذلك بنقل الخلف عن السلف. فإن جهر في موضع الإسرار أو أسر في موضع الجهر ترك السنة وصحت صلاته

Jahr (mengeraskan suara) hendaknya dilakukan di shalat jahr, sirr (lirih) juga hendaknya di shalat lirih, tidak ada beda pendapat atas kesunnahan hal itu.

Dasarnya adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, hal itu telah shahih, dan dinukil oleh generasi khalaf dari kaum salaf.

Jika Jahr di shalat sirr, atau sirr di shalat Jahr, maka itu meninggalkan sunnah dan tetap sah shalatnya. (Al Mughni, 1/407)

Dalam mazhab Imam Malik, mayoritas mengatakan tidak batal, namun dari Imam Malik ada dua riwayat, pertama mengatakan wajib sujud sahwi, yg kedua mengatakan tidak sujud sahwi. Sementara Ibnul Qasim (Maliki), mengatakan wajib mengulang shalatnya (alias batal).

Imam Abu al Walid al Baji mengatakan:

وَقَدْ رَوَى أَشْهَبُ عَنْ مَالِكٍ لَا سُجُودَ عَلَيْهِ وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَامِدًا قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ يُعِيدُ الصَّلَاةَ

Asyhab meriwayatkan dari Malik tidak usah sujud sahwi, Ibnul Qasim mengatakan: ulangi shalatnya.

(Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’, 1/161)

Solusinya adalah ajarkan saja di luar shalat sambil mempraktikkan latihan shalat, ini dalam rangka keluar dari perbedaan pendapat.

Demikian. Wallahu A’lam

🌿🌷🌺🌻🌸🍃🌵🌴

✍ Farid Nu’man Hasan

Syarah Kalimat: Jika Shahih Sebuah Hadits, Maka Itu Madzhabku

💢💢💢💢💢💢💢💢💢

📌 Anak-anak pengajian mungkin tidak asing dengan perkataan dalam judul di atas.

📌 Ya, itu perkataan Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata:

إذا صح الحديث فهو مذهبي، وإذا صح الحديث فاضربوا بقولي الحائط

Jika sebuah hadits shahih, maka itulah mazhabku (pendapatku), jika Shahih sebuah hadits maka buanglah pendapatku ke tembok.

(Abdul Qasim al-Rafi’i, Syarh Musnad Asy Syafi’i, 1/19)

📌 Para imam yang lain pun mengucapkan ucapan senada dengan redaksi yang berbeda namun substansinya sama

📌 Lalu, Apa maksud ucapan ini? Apakah berarti setiap hadits shahih pasti menjadi mazhab resmi Syafi’i? Tentu tidak, betapa banyak pendapat Imam Asy Syafi’i mengambil dari suatu hadits shahih namun tidak dari hadits shahih lainnya yg mungkin dipandangnya mansukh, atau tidak pas konteksnya, atau alasan lainnya.

📌 Ataukah kalimat itu rekomendasi bagi semua orang untuk menghakimi pendapat para imam lalu dianggap bertentangan dengan hadits shahih? Juga tidak, “Emangnya siapa kita, dibanding mereka?”

📌 Ataukah benar pendapat mereka tidak memiliki sandaran? Tidak juga, bisa jadi ada sandaran lain, seperti Mazhabnya Imam Malik, mereka mengunggulkan amalan penduduk Madinah dibanding hadits Ahad walau shahih.

📌 Yang jelas, ucapan Imam Asy Syafi’i ini merupakan stimulus kepada murid-muridnya yang juga mencapai level para imam, seperti Al Buwaithi, Al Muzani, dan Ar Rabi’ bin Sulaiman. Mereka yang sudah paham seluk beluk dan kerumitan ilmu fiqih dan ushulnya, serta hadits dan mushthalahnya.

📌 Oleh karena itu, Imam Ibnu Shalah berkata:

ليس العمل بظاهر ما قاله الشّافعي بالهيِّن، فليس كلّ فقيه له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث

Tidaklah mudah mengamalkan zhahirnya ucapan Asy Syafi’i, karena tidak setiap pakar fiqih punya independensi mengambil tindakan dengan apa yang dia lihat sebagai hujjah dari hadits. (Adabul Fatwa Wa Mustafti, 1/53)

📌 Imam An Nawawi juga berkata:

إنما هذا- يعني كلام الشّافعي-فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب

Sesungguhnya ini -yakni perkataan Asy Syafi’i- adalah bagi orang yang sudah sampai derajat mampu berijtihad dalam mazhab. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/64)

📌 Lalu, penjelasan mereka berdua dikomentari oleh Imam As Subki:

وهذا الذّي قالاه ليس ردا لما قاله الشّافعي، ولا لكونه فضيلة امتاز بها عن غيره، ولكنّه تبيين لصعوبة هذا المقام، حتىّ لا يغتر به كلّ أحد

Perkataan mereka berdua (Ibnush Shalah dan An Nawawi) bukanlah penolakan terhadap ucapan Imam Asy Syafi’i, bukan pula memposisikan keunggulan ucapan itu dibanding orang lain, tetapi menjelaskan betapa sulitnya kedudukan ini, agar jangan sampai seorang pun terpedaya olehnya. (Ma’na Qaul al-Mathlabi, hal. 93)

📌 Jadi, bukan untuk manusia yang baru belajar, atau baru menyelesaikan satu buku atau bahkan satu bab, tapi sudah merasa menjadi murid langsung para imam tersebut dan menjadi juri atas fatwa dan pendapat para imam, dengan gagah mengatakan: “Saya taklid kepada dalil, bukan kepada ulama.” Subhanallah!

📌 Semoga Allah Ta’ala merahmati orang yang tahu kadar dan kemampuan dirinya.

Wallahu A’lam. Wa Shallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin Wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

Makmum Memperlama Sujud

💢💢💢💢💢💢💢💢

📨 PERTANYAAN:

Mohon penjelasannya Ustadz pada saat sujud terakhir dalam sholat berjamaah,suka ada makmum yang imam sudah bangun dari sujudnya,tetapi makmum tersebut masih sujud (sengaja telat,untuk meneruskan berdoa di sujud terakhir). Jazakallah khoir ustadz..
(089538469xxxx, Padalarang)

📬 JAWABAN

🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃🍃

Bismillahirrahmanirrahim..

Berdoa dalam sujud memang dianjurkan, sebagaimana hadits berikut:

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.” (HR. Muslim no. 482)

Pada sujud yang manakah itu? Tidak ada dalil khusus yang menunjukkan bahwa sujud terakhir adalah waktu untuk memperbanyak doa yang di maksud, sehingga dia lebih lama dibanding sujud lainnya. Oleh karenanya, ketiadaan dalilnya secara khusus membuat hal ini berlaku umum pada sujud mana pun, bebas saja.

Jika kita perhatikan dalam sunah, semua bagian gerakan yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan adalah sama panjangnya, baik ruku’, sujud, dan i’tidalnya.

Hal ini diterangkan oleh berita dari Al Bara bin ‘Azib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رُكُوعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُجُودُهُ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ وَبَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ

Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pada ruku, sujud, dan jika bangun dari ruku’nya (i’tidal), serta duduk di antara dua sujud, lama (tuma’ninah)-nya kurang lebih sama. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Bagi yang posisinya sebagai imam maka hendaknya perhatikan makmumnya, tidak dianjurkan memperlama sebab dapat menimbulkan fitnah.

Jika posisinya makmum, maka jangan sampai dia tertinggal imam, sebab itu menyelisihi imam.

Dalam hadits:

ِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فلا تختلفوا عليه

Sesunguhnya Imam diangkat untuk diikuti, maka janganlah menyelisihinya. (HR. Muslim)

Jika si makmum sampai ketinggalan satu rukun, maka itu batal sebagaimana dijelaskan para ahli fiqih. Misal, Imam sudah sujud kedua, dia masih sujud pertama, tertinggal satu rukun: duduk diantara dua sujud dan sujud akhirnya. Ini tidak boleh.

Imam Ahmad berkata:

وإن فعل ذلك لغير عذر بطلت صلاته لأنه ترك الائتمام بإمامه عمدا.انتهى

Jika dia (makmum) melakukan itu (memperlama sampai tertinggal imam) tanpa uzur maka BATAL SHALATNYA, karena dia sengaja tidak mengikuti imam. (Dikutip oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni)

Tapi, jika ada uzur seperti lupa, atau imamnya yg terlalu cepat, maka tidak apa-apa bagi si makmum tsb.

Demikian. Wallahu A’lam

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

Puasa Arafah dan Idul Adha; Keutamaan dan Waktu Pelaksanaanya

💢💢💢💢💢💢💢💢

1. Istilah Arafah memiliki empat makna:

a. Menunjukkan nama tempat. (Umdatul Qari, 1/263, Al Mufradat fi Gharibil Quran, 969)

b. Menunjukkan peristiwa mimpinya Nabi Ibrahim as menyembelih anaknya, dan dia baru ketahui (‘arafa) di keesokkan harinya (tanggal 9 Dzuhijjah). (Al Mughni, 3/58)
Makna peristiwa juga disebutkan Ibnu Abbas yaitu peristiwa ta’aruf-nya Nabi Adam as dan Hawa, keduanya berkenalan di Arafah, karena itulah dinamakan Arafah. (Al Kamil fit Tarikh, 1/12)

c. Nama hari ke-9 Dzulhijjah. (Tafsir Ar Razi, 5/324)

d. Nama salah satu aktivitas ibadah yaitu wuquf, dari hadits al-hajju ‘arafah. (HR. At Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Hibban, dll)

Maka, dari sini sudah bisa diketahui istilah “Hari Arafah’ sudah dikenal sejak masa para nabi sebelum Rasulullah Saw, dan sebelum adanya wuquf dan puasa arafah itu sendiri. Sehingga istilah “Hari Arafah” tidak mesti merujuk pada wuquf.

2. Berpuasa di tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan puasa Arafah, adalah sunnah dan memiliki keutamaan yang besar yaitu menghapuskan dosa setahun lalu dan setahun setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut:
Dari Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Nabi ditanya tentang puasa hari ‘Arafah, beliau menjawab: “Menghapuskan dosa tahun lalu dan tahun kemudian.” (HR. Muslim No. 1162)

Sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan, senin pertama setiap bulan, dan dua kali kamis. (HR. An Nasa’i No. 2417, shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan an Nasa’i no. 2417)

3. Kesunnahan puasa Arafah berlaku bagi yang sedang tidak wuquf di Arafah. Sedangkan bagi yang sedang wuquf tidak dianjurkan berpuasa.

Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan: “Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah, kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah.” (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No. 749).

Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ

Rasulullah ﷺ melarang berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. (HR. Abu Daud No. 2440. Dinyatakan shahih oleh Imam Hakim, Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Adz Dzahabi, namun dinyatakan dhaif oleh Syaikh Syuaib al Arnauth dan Syaikh al Albani)

4. Puasa Arafah dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah di sebuah negeri, maka hendaknya seorang muslim berpuasa berpatokan pada waktu real tanggal 9 Dzulhijjah di negerinya, berdasarkan beberapa alasan berikut:

a. Zahir hadits:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ تِسْعًا مِنْ ذِى الْحِجَّةِ ….

Bahwa Rasulullah ﷺ berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah … (HR. An Nasa’i No. 2417, shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan an Nasa’i no. 2417)

b. Haji wada’ yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ terjadi pada tahun 10 H. (Tarikh Khalifah bin Khayat, hal. 94, lihat juga Tafsir Ibnu Katsir, 6/378, Tafsir Al Qurthubi, 6/61, Tafsir Ar Razi, 1/1605), sedangkan puasa Arafah dan Shalat Idul Adha sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 Hijriyah. (Bulughul Amani, 6/119, Subulussalam, 1/60).

Ini menunjukkan patokan shaum Arafah saat itu adalah tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan wuqufnya karena wuquf belum ada.

c. Dalam sejarah, haji pernah tidak dilaksanakan selama 40 kali, baik karena konflik, kerusuhan, dan bencana. Namun aktivitas ibadah shaum arafah dan Idul Adha di negara lain tetap berlangsung seperti biasa di tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah.

d. Keterangan para ulama sebagai berikut:

Imam Al Kharasyi Al Maliki mengatakan bahwa puasa Arafah itu ditentukan oleh waktu tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan karena wuqufnya:

(قَوْلُهُ: وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ

“Hari Arafah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut.
Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal “Arafah” adalah tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya, 9 Dzulhijjah. (Syarh Mukhtashar Al-Khalil, 2/234)

Imam Ibnu ‘Abidin juga mengatakan puasa Arafah terkait tanggal 9 Dzulhijjahnya, bukan tempatnya, Beliau menjelaskan jika disebut ‘arafah maka itu nama hari, jika disebut ‘arafaat maka itu nama tempat. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 2/177)

5. Jika sudah ketahui 9 Dzulhijjah sebagai waktu Shaum Arafah, maka keesokkan harinya adalah hari Idul Adha dan pelaksanaan shalat Id. Maka, hendaknya membersamai manusia di dearahnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ, وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ, وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, hari raya adalah pada saat kalian berhari raya, dan berkurban/ Idul Adha di hari kalian berkurban.” (HR. At Tirmidzi no. 697, Shahih. Lihat Ash Shahihah No. 224)

Imam At Tirmidzi menjelaskan: “Dan sebagian ahli ilmu menafsirkan hadits ini, mereka berkata : makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka adalah bersama jama’ah dan mayoritas orang (Ummat Islam).” (Ibid)

Demikian. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

🌷🌸🍀🍁🍃🌴🌻

✍️ Farid Nu’man Hasan

scroll to top